Editorial: Elite ‘Drama’ 5 Tahunan. Rakyat Berkumpul, Bergerak, Bersuara Selamanya

5 menit
Ilustrasi Pesta Pinggiran (Project M/Herra Frimawati)

Sejak pertama dibentuk Mei 2021, ini editorial pertama Project Multatuli. Editorial adalah suatu sikap redaksi atau organisasi akan isu-isu tertentu. Ia bisa muncul setiap hari, bisa juga seminggu sekali. Project M memutuskan akan menulis editorial ketika ada situasi penting yang harus direspons atau keadaan-keadaan di persimpangan sejarah dan kami sebagai gerakan jurnalisme publik dan organisasi pers butuh bersikap. Sisi sejarah mana yang kita pilih?

Ketika editorial ini kami diskusikan, Indonesia sedang menyongsong perhelatan pemilihan umum yang sebenarnya terdiri dari pemilihan legislatif dan kepala daerah juga, tetapi energi banyak orang, terutama elite, terserap ke pencalonan presiden. Secara internasional, ada yang lebih mendesak membayangi percakapan politik kita: Genosida jangka panjang pemerintah dan tentara Israel atas rakyat Palestina.

Respons kami atas keduanya sama dan sejalan dengan nilai kami selama ini: Melayani yang dipinggirkan dan mengawasi kekuasaan agar tidak ugal-ugalan. Dalam nilai ini kami ingin menjadi bagian dari kekuatan mereka yang dipinggirkan, yaitu rakyat, terutama rakyat yang kritis dan sadar bahwa dunia sedang tidak baik-baik saja. 

Lantas apa yang harus kita lakukan? Berkumpul (berserikat, berkomunitas), bergerak, bersuara demi, sekali lagi, melayani yang dipinggirkan dan mengawasi kekuasaan agar tidak ugal-ugalan.

Siapa yang dipinggirkan? 

Perempuan dan minoritas gender, orang miskin di kota maupun di desa, anak muda underprivileged, cemas dan burnout, petani dan nelayan kecil, buruh pabrik, buruh media, buruh SCBD, buruh akademis, masyarakat adat. 

Orang-orang yang alam sekitarnya sedang dirampas dan dirusak, anak muda “usia produktif” yang menanggung beban ekonomi keluarga, korban kekerasan seksual, mahasiswa yang tak mampu bayar UKT, rakyat Papua, minoritas agama, queer. 

Kelas menengah yang tampak baik-baik saja tapi menghadapi polusi udara, krisis air, dan krisis sampah, korban HAM di tangan polisi dan tentara. Dan tentu saja, korban genosida hari ini (orang Palestina, Rohingya, Masalit di Sudan).

Siapa yang ugal-ugalan?

Para politisi yang mengaku peduli rakyat saat dipilih tapi cacat janji, partai politik yang setuju UU Ciptaker dan setuju KPK dilemahkan. 

Koruptor, oknum polisi dan tentara (yang jumlahnya diduga lebih banyak dari yang bukan oknum), hakim dan jaksa yang korup. 

Korporat perampas tanah rakyat, korporat tidak bayar pajak, oligarki batubara, oligarki nikel, oligarki tambang, korporat sawit yang tebang hutan, perusahaan yang tindas buruh. 

Pelaku kekerasan seksual, pelanggar HAM, termasuk dan terutama, di Tanah Papua. Dan tentu saja, pelaku genosida hari ini (tentara dan pemerintah Israel, tentara Myanmar, dan tentara RSF di Sudan). 

Keriuhan para elite, yang disebut “drama” oleh Presiden Jokowi, dan kejadian-kejadian politik 10 tahun terakhir, ketika rakyat berubah dari “massa mengambang” menjadi fans garis keras politisi sebenarnya semakin menunjukkan siapa-siapa saja yang ugal-ugalan. Elite-elite itu tentunya.

Apakah boleh kita memilih mereka yang ugal-ugalan dalam pemilu 2024? Ada banyak teori dan pendapat soal ini. Ada jurus “mending”, yaitu pilih yang paling “dirasa” mendingan dari semua. Ada juga jurus “bijak” yaitu memilih yang programnya paling masuk akal dan sesuai kepentingan kita masing-masing. 

Para perempuan anggota koperasi JRMK menjadi panitia pemungutan suara. Mereka menyiapkan surat suara, mengantarkan kotak suara ke masing-masing kampung, dan kemudian melakukan penghitungan suara. (Project M/Tubagus Rachmat)

Apapun pilihannya, politik bukan hanya gelaran lima tahun sekali, tetapi proses panjang. Sebagaimana kami kutip dari riset Cakra Wikara Indonesia: “Politik merupakan proses alokasi dan distribusi sumber daya yang berjalan terus menerus tanpa henti dalam aktivitas keseharian masyarakat. Pemilu hanyalah sebuah momentum ketika posisi tawar warga meninggi untuk bernegosiasi atau bertransaksi mendapatkan sumber daya yang dibutuhkan.” 

Penelitian CWI menekankan bahwa transaksi tidak selalu jelek, seperti misalnya politik beli suara, tetapi bisa berbentuk “tindakan kolektif warga untuk mendapatkan sumber daya bersama yang tidak bersifat diskriminatif.” Riset CWI secara khusus meneliti bagaimana warga miskin kota di utara dan selatan Jakarta bernegosiasi dalam pilkada untuk melawan penggusuran (Jaringan Rakyat Miskin Kota dan Ciliwung Merdeka). 

Bagi kami, praktik memilih dalam pemilu adalah keputusan perseorangan yang harus dibebaskan setelah mendapatkan informasi sebaik mungkin. Ia juga hanya merupakan satu peristiwa dalam demokrasi. Ketika proses demokrasi sebelumnya sehat, maka hasilnya pun sehat, ketika prosesnya demokrasinya cacat, maka hasilnya cacat. 

Sesungguhnya bahwa pilihannya enam orang dan laki-laki semua, Jawa semua, sudah berkata banyak mengenai proses demokrasi sebelumnya. 

Sepuluh tahun terakhir mengajarkan banyak. Sistem politik kita dikepung oleh partai-partai yang elitis dan dikuasai oleh oligarki yang didanai industri-industri ekstraktif terhadap sumber daya alam. Maka penguasaan arena ada di sekelompok kecil orang yang akan melakukan apapun, termasuk baikan dengan lawan, untuk tetap bisa mengakumulasi uang demi kekuasaan dan melanggengkan kekuasaan demi bisa terus mengakumulasi harta. 

Kami lebih fokus pada apa yang harus kita lakukan setelah pemilu. Karena yang penting sebagai rakyat di alam demokrasi bukanlah membela pilihan Anda apapun yang terjadi, tetapi mengawasi kekuasaan.

Karena tugas ini tidak ringan, tentu kita tak bisa sendirian. Jika dalam pemilu kita sendiri-sendiri bersuara di bilik, tugas mengawasi kekuasaan dan melayani yang dipinggirkan harus bersama-sama.

Akhir pekan ini kami mengadakan Pesta Pinggiran, yang kami harapkan bisa jadi agenda rutin. Tapi khusus untuk 2023, kami mengadakannya sebagai suatu sindiran tak langsung pada perhelatan pemilu, yang sering disebut pesta rakyat, yang semakin lama semakin terlihat seperti pesta elite tanpa rakyat. 

Tujuan dari Pesta Pinggiran 2023 adalah berkumpul, bersuara, bergerak, juga bersenang-senang, sambil bersekongkol antar-orang pinggiran tentang bagaimana kita bisa sejahtera atau lebih sejahtera, tapi tidak kaya sendirian melainkan bersama-sama. 

Jika proses politik adalah alokasi sumber daya, mari kita berpesta sambil membicarakan bagaimana kita yang di pinggiran bisa merebut sumber daya untuk kesejahteraan sebanyak-banyaknya rakyat tanpa diskriminasi. 

Langkah pertama tentu berkumpul dan mengorganisir diri entah dalam serikat buruh, komunitas tani kota, atau bahkan sekadar kelompok hobi yang saling menjaga satu sama lain. 

Sampai jumpa di Pesta Pinggiran, tempat kita berkumpul, bergerak, bersuara.

Terima kasih sudah membaca laporan dari Project Multatuli. Jika kamu senang membaca laporan kami, jadilah Kawan M untuk mendukung kerja jurnalisme publik agar tetap bisa telaten dan independen. Menjadi Kawan M juga memungkinkan kamu untuk mengetahui proses kerja tim Project Multatuli dan bahkan memberikan ide dan masukan tentang laporan kami. Klik di sini untuk Jadi Kawan M!

5 menit