Geothermal Madina di Sumatra Utara: Di Antara Bencana dan Buaian Perusahaan

Ronna Nirmala
17 menit
Jaringan pipa raksasa PT. Sorik Marapi Geothermal Power Plant (SMGP), usaha patungan perusahaan Singapura OTP Geothermal Power Ltd milik KS Orka Renewables Ltd dan PT. Supraco Indonesia, terpasang pada gerbang Desa Sibanggor Julu di Kabupaten Mandailing Natal yang dilintasi warga dan kendaraan setiap hari. Keberadaan proyek panas bumi di wilayah pemukiman menjadi ancaman hidup untuk masyarakat. (Project M/Tonggo Simangunsong)

Pembangkit listrik tenaga panas bumi  yang dioperasikan Sorik Marapi Geothermal Power Plant (SMGP) disebut-sebut sebagai proyek strategis nasional dan diklaim sebagai proyek transisi energi bersih. Nyatanya proyek tersebut telah memicu bencana sosial dan lingkungan yang menelan korban jiwa dan membuat warga desa khawatir akan keselamatannya.  


DI TENGAH ketenangan Desa Sibanggor Julu di Kabupaten Mandailing Natal yang selalu diembus angin dari perbukitan hingga areal persawahan, berdiri PT. Sorik Marapi Geothermal Power Plant (SMGP). 

Pembangkit listrik panas bumi milik KS ORKA, perusahaan dari Singapura itu, membuka well pad (sumur) di beberapa titik di desa dan mengalirkan panas bumi ke poros pembangkit melalui pipa sepanjang puluhan kilometer yang membentang dari desa ke desa. 

Well pad yang terdiri dari sejumlah sumur panas bumi dan pipa yang kemudian bocor telah mengakibatkan petaka.

Sebuah pagi di Januari 2021, ketika warga menjalani aktivitasnya sehari-hari, salah satu well pad yang berlokasi sekitar 50 meter dari lokasi proyek menyemburkan uap panas dan menyebar ke desa. Lima warga desa meninggal dan 46 kritis.

“Seorang putri saya meninggal karena kejadian itu,” kata Hambali Nasution, salah satu warga Desa Sibanggor Julu, yang saya temui di desanya pertengahan Agustus. 

Pada saat kejadian, Hambali tengah bekerja memperbaiki rumah di desanya. Sementara istrinya pergi mengurus sawah mereka bersama dua putrinya, Fadilah dan Khaila Zahra.    

Sekitar pukul dua siang, warga berhamburan keluar rumah setelah terjadi paparan uap panas mengandung hidrogen sulfida (H2S) dari salah satu sumur produksi PLTP itu. “Saya langsung berlari ke sana [sawah], mengejar anak dan istri saya,” kata pria berusia 45 tahun itu. 

Di lokasi itu, Hambali menemukan sejumlah warga pingsan, dan lainnya terkapar lemas akibat paparan uap panas. Di antara puluhan warga itu, terdapat anak, istri, dan kakak laki-lakinya. “Lokasi sumur itu hanya sekitar 50 meter dari sawah itu,” katanya.

Hambali berupaya membantu mengevakuasi warga yang masih terkapar, sementara istri dan anaknya sudah dilarikan ke Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Panyabungan. 

Sekitar pukul lima sore, Hambali tiba di rumah sakit dan langsung mendapat kabar buruk. Khaila, putrinya yang baru berusia 4 tahun, meninggal dunia. Sedangkan istri dan satu putri lainnya kritis dalam kondisi tidak sadar. 

Bukan hanya istri dan anaknya yang menjadi korban. Lima warga desa lainnya, termasuk kakak ipar dan keponakannya juga meninggal dunia.

Hambali menunjukkan foto keluarganya tergeletak di pondok dekat sawah mereka ketika kebocoran sumur panas bumi PLTP Sorik Marapi terjadi pada 25 Januari 2021. Kejadian itu menewaskan 5 warga, termasuk seorang putrinya, kakak ipar, dan keponakannya. Sebanyak 22 orang dirawat di rumah sakit dan ratusan warga mengungsi. (Project M/Tonggo Simangunsong)

Hambali mengatakan, sebelum kritis, istrinya mengalami sesak dan sakit kepala luar biasa. Istri dan putrinya, Fadila, harus menjalani perawatan intensif selama dua minggu, hingga dinyatakan sehat kembali. 

Dua minggu pasca-kejadian, Pemerintah Kabupaten Madina menggelar mediasi antara perusahaan dengan warga. Dalam agenda tersebut, perusahaan mengatakan akan memberikan kompensasi kepada korban dan keluarganya. Hambali, yang putrinya meninggal, mendapatkan kompensasi uang sebesar Rp175 juta. 

Perusahaan juga berjanji membantu biaya sekolah lima anaknya yang lain hingga sarjana. Kata Hambali, uang untuk biaya pendidikan itu dicairkan setiap enam bulan sekali, “Tetapi kadang terlambat.”

Perusahaan juga membeli sawah mereka seluas 10 rantai, atau sekitar setengah hektare, seharga sekitar Rp600 juta. Hambali juga ditawari pekerjaan sebagai penjaga alat detektor kebocoran gas di desa yang disediakan perusahaan. Perusahaan juga mempekerjakan anak laki-laki sulungnya sebagai salah satu pembantu operator. 

Kendati perusahaan memberikan sejumlah kompensasi, tetapi ada hal yang tak kunjung pulih pasca-ledakan tersebut. 

“Fadila, putri saya yang selamat, sekarang kelas satu tsanawiyah, masih trauma, [efeknya] masih lambat berpikirnya,” katanya. 

Begitu juga Hambali dan istrinya yang masih memendam rasa marah dan kecewa setelah kehilangan putri bungsunya.

Hambali menunjukkan alat detektor paparan H2S. Selain pekerjaan sebagai penjaga detektor, SMGP juga memberinya kompensasi kematian putrinya dengan uang Rp 175 juta dan membeli sawahnya seluas 10 rantai seharga sekitar Rp 600 juta. (Project M/Tonggo Simangunsong)

“Isi perut seperti pengen keluar…” 

“Objek Vital Nasional”

Begitu informasi pemberitahuan di sebuah plang di dekat pipa besar yang membentang di Desa Sibanggor Julu

Sibanggor Julu, yang berlokasi di Kecamatan Puncak Sorik Marapi, adalah desa terdekat kawasan proyek. Di dekat desa, perusahaan membuka wellpad untuk menambang panas bumi menjadi listrik. Jaraknya sekitar 500 meter hingga 800 meter ke permukiman dan puluhan meter dari areal persawahan.  

Pembangkit listrik milik perusahaan patungan antara perusahaan Singapura OTP Geothermal Power Ltd [milik KS Orka Renewables Ltd] dan PT. Supraco Indonesia ini, diproyeksikan mampu menghasilkan total kapasitas listrik sebesar 240 MW, sebagai bagian dari program ketenagalistrikan nasional berkapasitas 35 GW. 

Perusahaan memulai pengeboran sejak tahun 2016 dan operasional unit pertama sebesar 45 MW secara komersial pada September 2019. Mengutip situs resminya, KS Orka mengklaim proyek itu sebagai pembangkit listrik yang bersih, aman, bertanggung jawab dan memberi keuntungan besar bagi Indonesia.

Namun, alih-alih bersih dari bersih dan aman, proyek itu memicu bencana yang merenggut korban jiwa dan dampak lingkungan. Insiden paling mematikan terjadi pada 22 Februari 2024. Kebocoran gas beracun PLTP Sorik Marapi merenggut 123 warga di Desa Sibanggor Julu dan Desa Sibanggor Tonga.

Menurut catatan Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), sebelum kejadian itu, telah terjadi sembilan kali tragedi yang juga menelan korban jiwa. Di antaranya peristiwa semburan limbah yang menyebabkan 19 warga dan dua pekerja keracunan pada April 2022. Kemudian, 58 warga menderita sesak napas, mual, dan sakit kepala akibat keracunan gas hidrogen sulfida (H2S) pada Maret 2022.

Kepulan uap panas PLTP Sorik Marapi tampak di balik atap-atap rumah di Desa Sibanggor Julu. (Project M/Tonggo Simangunsong)

***

Nuraisyah (36), seorang warga Desa Sibanggor Julu, sudah tiga kali terpapar gas beracun dari uap panas PLTP Sorik Marapi. Kejadian pertama bersamaan pada saat Hambali kehilangan anaknya pada Januari 2021. Saat itu, sekitar pukul 12 siang, paparan gas panas bumi menyebar sampai ke rumahnya. Bau belerang menyengat, terasa menusuk hingga kepala dan badannya seketika lemas.  

“Yang saya rasakan saat itu mual, panas dingin, tenggorokan sakit, pernapasan sesak, menelan apapun tidak bisa, dan itu spontan dialami setelah mencium bau belerang,” katanya. 

Nuraisyah pulih setelah satu minggu menjalani perawatan intensif di rumah sakit. 

Kejadian lainnya terjadi pada tahun 2022 dan 2024, ketika ia juga harus menjalani perawatan karena terpapar gas beracun. 

“Kayaknya, isi perut seperti pengen keluar… Badan ini langsung lemas,” katanya menggambarkan bagaimana sakit yang dirasakan saat terpapar gas dari sumur produksi.  

Perusahaan melakukan upaya mitigasi dengan menyediakan alat detektor paparan H2S, dilengkapi sirine yang berbunyi jika terjadi paparan gas panas bumi dalam jumlah yang tidak wajar. Namun, menurutnya alat itu tidak cukup efektif berfungsi sebagai peringatan dini bagi warga untuk menyelamatkan diri ketika terjadi kebocoran gas.

“Saya tidak pernah mendengar alat detektor itu berbunyi, selain ketika pertama kali dipasang. Tetapi pas kejadian, tidak ada bunyi sirine,” katanya. 

Ketika terpapar gas beracun, Nuraisyah juga mendapatkan kompensasi sekitar Rp2 juta, sama seperti warga lainnya. “Saya tidak tahu itu kompensasi atau tali asih, yang jelas mereka kasih setelah kejadian itu,” katanya.

Nuraisyah mengaku saat ini kehidupannya dan warga desa terusik, tidak lagi tenang seperti dulu. Bila mereka lengah atau situasi tidak memungkinkan untuk mengungsi, maka mereka terpaksa menghirup bau gas beracun dan menerima dampak buruknya bagi kesehatan mereka. 

“Seharusnya perusahaan harus memberitahu masyarakat jika akan lakukan well pad test,” katanya.

Nuraisyah lahir dan besar di desa itu. Ia tahu betul perbedaan kondisi desa dulu dan sekarang.

“Lebih nyaman dan lebih tenang dululah [sebelum ada PT. SMGP],” katanya.

Namun, dia tidak dapat memungkiri upaya pendekatan yang dilakukan perusahaan untuk mengambil hati masyarakat. Sebagian warga tidak lagi kritis terhadap perusahaan atau bahkan bersikap acuh tak acuh setelah perusahaan mempekerjakan sebagian warga desa.  

”Ada sisi buruk dan sisi baiknya. Kalau soal ketenangan dan kenyamanan pasti lebih baik pada saat dulu (sebelum perusahaan beroperasi). Tetapi, sisi baiknya, kehidupan ekonomi sekarang lebih baik, karena suami saya kebetulan bekerja di perusahaan itu,” katanya. 

Berulang kali mengalami dampak paparan gas panas bumi, warga yang tinggal sekitar dua kilometer dari lokasi sumur produksi itu, pernah mengungsi bersama keluarganya ke luar desa ketika perusahaan melakukan uji coba sumur produksi, atau pengujian kandungan panas bumi sumur-sumur baru.

Uji coba atau well pad testing dilakukan perusahaan untuk menilai produktivitas dan keamanan sebelum sumur digunakan untuk produksi energi. 

“Saya sudah trauma, makanya saya dan keluarga mengungsi untuk sementara kalau perusahaan sedang uji well pad, saya khawatir terulang lagi,” katanya. 

Bising, korosi, dan krisis listrik 

Zulfitri Tanjung (44), Kepala Desa Sibanggor Julu, tidak dapat berbuat banyak agar warganya mendapatkan keadilan atas insiden-insiden yang terjadi di desanya. Seperti yang dilakukan kepala desa sebelumnya, mantan guru pesantren yang baru delapan bulan menjadi kepala desa itu, hanya dapat mengupayakan kompensasi dari perusahaan. 

“Yang dapat saya lakukan selaku kepala desa hanya menyampaikan aspirasi warga, meskipun tidak semua permintaan mereka dapat dipenuhi perusahaan,” katanya. 

Seperti sebelum-sebelumnya, katanya, setiap kali terjadi insiden kebocoran gas, warga desa tidak melakukan upaya lain selain meminta kompensasi, baik berupa pemberdayaan (memberi pekerjaan) dan uang tali asih. 

Pada kejadian pertama, perusahaan memberikan kompensasi hingga Rp48 juta per orang, dan kepada keluarga meninggal nilainya hingga Rp175 juta per kepala keluarga di samping kompensasi biaya pendidikan. Kejadian kedua warga mendapat Rp12 juta, ada juga yang mengajukan Rp15 juta, tetapi kemudian perusahaan membayar Rp2,5 juta. 

“Tergantung kesanggupan perusahaan, kita hanya bisa menyampaikan aspirasi warga sesuai dampak dan kerugian yang mereka alami,” katanya.

Terkait insiden terakhir, kata Zulfitri, perusahaan belum memberikan kompensasi karena pemicu kebocoran gas masih dalam proses investigasi pihak Kepolisian Sumatra Utara dan Kementerian ESDM. 

“Sehingga belum ada realisasi sampai sekarang,” katanya. Namun, katanya, perusahaan berkomitmen untuk memberi kompensasi dan mencari solusi terhadap kekhawatiran warga.

Anak-anak berjalan melintasi jalan Desa Sibanggor Julu. Walaupun terdapat stasiun pembangkit listrik di Sibanggor Julu, pemadaman listrik sering terjadi di desa itu. (Project M/Tonggo Simangunsong)

Ali Umar (38), warga Desa Sibanggor Julu, mengatakan kompensasi ibarat pengobat luka, bukan solusi jangka panjang. Ia mengeluhkan dampak uap panas dari PLTP bukan hanya bagi kesehatan, tetapi juga rumah tinggal mereka. 

“Kalau dulu atap seng rumah di desa baru ini baru delapan bulan hingga satu tahunan baru mulai berkarat, kalau sekarang belum sampai delapan bulan, atau rata-rata tiga bulan, sudah pada bocor,” katanya, sambil menunjukkan atap seng yang sudah berkarat. 

Sejak dulu, generasi pendahulu warga Desa Sibanggor Julu menggunakan ijuk sebagai atap rumah, yang menjadikannya unik. Belakangan seiring perkembangan jaman, beberapa warga mulai menggunakan seng. 

“Sekarang atap seng lebih cepat korosi daripada sebelumnya,” katanya.

Ia mengatakan fenomena itu mulai terjadi setelah pembangkit listrik itu mulai beraktivitas. Warga meyakini limbah dari pembangkit listrik yang dibuang melalui udara menjadi penyebab atap seng lebih cepat mengalami korosi.

Warga ingin kembali menggunakan ijuk, namun biayanya yang mencapai empat kali lipat dari biaya memasang seng. 

Perubahan lain yang juga terasa warga adalah cuaca yang semakin panas. 

“Iklimnya berubah. Dulu kalau di luar sudah musim panas [kemarau], di sini tetap dingin, orang-orang masih pakai jaket, sekarang sudah tidak begitu lagi,” kata Ali. 

Di samping itu, trauma juga masih membekas di benak warga. Ketika ada informasi pembukaan sumur baru, mereka sangat waswas. Begitu juga dengan ketenangan yang terus terusik karena suara turbin yang bising saat beroperasi pada tengah malam, sehingga membuat warga tidak bisa tidur nyenyak. 

“Terutama pada malam hari, ketika kebutuhan listrik tinggi, putaran turbin lebih cepat, suaranya sangat kuat,” jelasnya.

Ironisnya, meski Desa Sibanggor adalah stasiun pembangkit listrik, di desa itu sering terjadi pemadaman listrik. Ali berasumsi, KS Orka menjual listriknya ke PLN, namun perusahaan listrik negara itu tidak menyalurkan listrik maksimal ke desa itu. 

Sibanggor Julu dulunya dikenal jeruk manis yang ditanam di depan rumah. Namun, kini buahnya tidak sebanyak dulu lagi. Meski ada yang tetap tumbuh, tapi buahnya sudah mulai jarang.  

Dinamika sosial juga terjadi di desa pasca-kehadiran SMGP. 

Dari 1400 jiwa penduduk Desa Sibanggor Julu, saat ini sebanyak 147 di antaranya bekerja di perusahaan baik secara langsung maupun sub-kontraktor. 

Tetapi, kepercayaan antarwarga jadi korban. Menurut Ali, saat ini warga semakin mudah saling mencurigai, ditambah juga kecemburuan sosial yang semakin tinggi. 

Di tengah kondisi kehidupan di desa yang sudah banyak berubah, menurut Ali dan Zulfitri, warga tidak dapat berbuat banyak. Ketika ditanya apakah mereka masih akan bertahan tinggal di desa dengan kondisi seperti itu, mereka memilih tetap bertahan tinggal di desa, dan sejauh ini belum ada keinginan untuk relokasi dari desa.

Terbuai “kebaikan” perusahaan

Rahmat Parmonangan, Kepala Desa Hutaraja, buru-buru pergi memenuhi undangan perusahaan dalam rangka sosialisasi dampak lingkungan pengeboran sumur baru di desa.  

“Nanti, di sana akan dibahas banyak hal, termasuk soal ganti rugi kepada masyarakat terkait operasional perusahaan di desa ini,” katanya, saat kami temui di rumahnya pertengahan Agustus. 

Tak lama kemudian, ia menjemput seorang perangkat desa dari rumahnya, Khoirul Lubis (48) untuk membantunya menjelaskan bagaimana kondisi desa setelah dibukanya sumur-sumur baru di desa mereka. 

Kami datang ke desa itu berdasarkan informasi dari warga desa lainnya bahwa dampak operasi PT. SMGP tidak hanya di Sibanggor Julu, tetapi juga di desa-desa yang lebih jauh. 

Desa Hutaraja di Kecamatan Panyabungan Selatan berlokasi sekitar enam kilometer dari kawasan proyek SMGP. Tetapi, rembesan lumpur dari pembukaan sumur-sumur baru ikut merusak sawah-sawah warga desa. 

Menurut Khoirul, sejak perusahaan mulai beroperasi, sudah lima kali terjadi banjir lumpur dari bukit di lokasi perusahaan melakukan pengeboran. Lumpur-lumpur itu merembes ke sawah warga hingga sejauh lima sampai enam kilometer. 

“Kami tidak tahu berapa jumlahnya [kompensasi] karena perusahaan langsung ke warga yang sawahnya terkena lumpur,” katanya. 

Dari penuturan warga yang pernah menerimanya, besaran ganti rugi diberikan berdasarkan luas lahan sawah dan kondisi kerusakan sawah dan jika sawahnya sudah siap dipanen. 

“Misalnya satu pantak [17,25 meter x 17,25 meter] menghasilkan 12 kaleng padi, maka kerugian yang diberikan sebesar uang yang telah dikonversikan ke harga per kaleng padi,” jelasnya. 

Khoirul Lubis, warga Desa Hutaraja di Kecamatan Panyabungan Selatan, khawatir warga desanya hanya menerima dampak PLTP Sorik Marapi, tetapi tidak menerima manfaat selain kompensasi dan CSR seperti yang terjadi di Desa Sibanggor Julu. Desa Hutaraja berlokasi enam kilometer dari PLTP Sorik Marapi. (Project M/Tonggo Simangunsong)

Sebelum PLTP mulai beroperasi, perusahaan pernah melakukan sosialisasi terkait dampak lingkungan, tetapi tidak semua warga dilibatkan. 

“Cuma garis-garis besarnya aja, masyarakat awam tidak ngerti, tetapi belakangan ketika mereka ingin membuka lubang baru (sumur), mereka sosialisasikan terus dampak lingkungannya” kata Khoirul. 

Kini kekhawatiran warga bukan hanya lumpur, tetapi juga pengeboran sumur baru di desa mereka. 

“Saya khawatir, saat melakukan pengeboran belum tentu pekerjanya semua profesional, belum tentu tahu apa yang, entah gas, entah racun. Itu yang kadang saya khawatirkan karena ketika mereka membuka lubang, tiba-tiba arah angin berubah ke arah kampung kita ini, otomatis kita yang kena, apalagi kita di bawah, mereka di atas,” katanya. 

Meski mereka telah berulang kali menyampaikan hal itu ke perusahaan dan direspons dengan mengatakan akan berupaya menjaga tidak terjadi, warga tetap khawatir. Mereka khawatir apa yang terjadi di Sibanggor Julu, bisa juga terjadi di desa mereka. 

Perusahaan mencoba menenangkan masyarakat atas kebisingan itu dengan memberikan dana CSR kepada tiga kelompok tani yang masih aktif di desa itu. Nilainya sekitar Rp100 juta untuk tiga kelompok tani. Kelompok tani juga bisa minta pinjaman modal kerja berupa traktor, pompa, juga pada hari-hari besar.

Perusahaan juga rutin memberi bantuan kepada warga desa pada hari-hari besar, seperti Lebaran dan Hari Kemerdekaan RI. Serasa dibuai dengan kompensasi dan CSR, warga tidak lagi protes saat mengalami dampak buruk operasional perusahaan. 

Warga sudah berulang kali mengeluhkan jalan yang rusak setelah dilalui truk-truk perusahaan pengangkut pasir dan tanah. 

Perubahan sosial juga kini mereka alami seiring dengan semakin seringnya warga asing yang bekerja di level top manajemen di perusahaan. Mereka sering datang mandi ke lokasi pemandian air panas mengandung belerang di desa. 

“Mereka memandang kita seperti meremehkan saja,” kata Khoirul, seraya menjelaskan bahwa kebanyakan warga desa yang dipekerjakan sebagai pekerja kasar, seperti operator dan sopir truk.

Khoirul khawatir ke depan warga desa hanya akan jadi penonton di desa mereka, melihat warga asing mengeruk sumber daya alam mereka, dan mengambil keuntungan dari desa mereka. 

Warga pernah mencoba mendapatkan rasa keadilan dengan mengajukan aliran listrik gratis ke desa, tetapi tidak pernah direspon. “Di sini kan desa penghasil listrik, tetapi masa desa ini kekurangan listrik,” katanya.

Lahir dan menjalani kehidupan di desa selama hampir lima dekade, Khoirul merasa sudah banyak perubahan di kampung mereka.

Sebagai warga desa biasa yang tidak punya kuasa, dia juga mengaku tidak dapat menolak apabila itu adalah proyek nasional. Ia hanya berharap perusahaan dapat mengantisipasi dampak yang bakal terjadi kepada masyarakat. 

“Mau tidak mau kita menerima dan kita tahankanlah,” katanya mengungkapkan kondisi yang dialami sikap warga saat ini. 

Tak ada yang bisa jamin tidak terjadi lagi kebocoran 

Pada 2014, warga di beberapa desa melakukan aksi penolakan terhadap pembangunan PLTP di Madina. Aksi itu dipicu oleh kekhawatiran akan dampak lingkungan dan sosial yang bakal dialami masyarakat atas kehadiran proyek itu.

”Yang jelas adanya kekhawatiran akan dampak yang akan terjadi. Pada saat itu warga menyampaikan kekhawatiran akan kejadian yang telah terjadi belakangan ini,” kata Tan Gozali Nasution, salah seorang warga Maga, penggerak aksi itu.

Kala itu, warga menggelar aksi penolakan pada saat perusahaan awal-awal memulai proyek. Ketika itu, masih ada dua sumur. Sumur A dan sumur F di Roburan Dolok di Panyabungan Selatan. Setahun kemudian, pro kontra kehadiran proyek menewaskan seorang warga. 

Meskipun tinggal di desa yang lebih jauh dari lokasi proyek SMGP, desa tempatnya tinggal sering menerima rembesan cairan berbusa yang dia duga berasal dari lokasi proyek.

Kejadian paling parah terjadi pada 2022, saat musim hujan, lumpur merembes ke lahan pertanian dan kolam ikannya. 

“Air yang berbusa-busa, berupa limbah sampai sekarang masih sering mengalir,” katanya menunjukkan foto-foto Aek Maga yang tampak berbusa, diposting seorang tokoh masyarakat Madina di Facebook.    

Tan tak lagi sekeras dulu melakukan perlawanan terhadap dampak kehadiran proyek setelah sekelompok warga Sibanggor Julu merilis pernyataan: ‘supaya orang luar tidak ikut campur masalah di Sibanggor Julu.’ 

Namun, ia tetap bersikap kritis terhadap perusahaan. Ia melihat desa-desa terdekat, terutama Sibanggor Julu dan Hutajulu, merupakan desa-desa yang kini rentan terdampak proyek. 

Desa Maga, tempat tinggal mereka suatu saat juga bisa terkena dampak yang lebih besar, katanya. Selain dari aktivitas pengeboran sumur, jalur pipa besar yang berada di sekitar desa, menurutnya adalah satu kesalahan besar yang berpotensi menimbulkan bencana buatan manusia yang mengerikan.

“Posisi pipa tepat di tepi jalan lintas, siapa jamin itu tidak bocor? Sudahkah keamanannya dijamin? Misalnya, ketika sebuah mobil melintas lalu menabrak pipa itu, lalu pipa itu rusak dan bocor, siapa yang akan bertanggung jawab dan siapa yang akan menjadi korban?” katanya.

PLTP Sorik Marapi diproyeksikan menghasilkan total kapasitas listrik sebesar 240 MW, sebagai bagian dari program ketenagalistrikan nasional berkapasitas 35.000 MW. Didapuk sebagai proyek strategis nasional dan diklaim sebagai proyek transisi energi yang bersih, PLTP itu telah memicu dampak sosial dan lingkungan. (Project M/Tonggo Simangunsong)

Gozali hanyalah segelintir tokoh lokal Madina yang masih kritis terhadap kehadiran proyek SMGP. Anggota DPRD Madina juga tidak banyak berkoar dan kini memilih diam. 

Salah satu anggota DPRD Madina yang masih mau melontarkan kritik dan solusi adalah Teguh Hasahatan. Kami menemui wakil rakyat dari Fraksi PDI-Perjuangan ini di kediamannya di Panyabungan dan membuka kembali catatan-catatan lamanya ketika getol mengkritisi proyek SMGP.

”Hanya ada dua solusi agar tidak terjadi lagi insiden [kebocoran gas], relokasi warga desa, atau tutup perusahaan,” ujarnya blak-blakan. 

Merasa memiliki tanggung jawab sebagai wakil rakyat dan duduk di komisi III DPRD Madina yang membidangi lingkungan, pasca-insiden kebocoran gas pada Maret 2022, Teguh pernah merilis 12 tuntutan kepada SMGP.  

Tuntutannya adalah: 1) Masyarakat harus dievakuasi minimal radius 1 km dari lokasi kegiatan pada saat pembukaan sumur (welltest); 2) penambahan alat detektor; 3) mempublikasikan AMDAL yang terkesan ditutup-tutupi; 4) menyediakan balai pengobatan; 5) memberi kompensasi sebesar Rp 500.000/KK/bulan di wilayah kegiatan well perusahaan; 6) membuat alat peredam kebisingan; 7) membantu perbaikan jalan yang rusak, membuat control box areal persawahan sebelah timur well pad T, dan menyediakan petugas pengawas 2 orang. 

Kedelapan, mengutamakan putra daerah sebagai karyawan/pekerja dan government relation, dan tim SDCR, bukan hanya sebatas security dan OB; 9) mengutamakan perusahaan lokal bisnis; 10) melengkapi perizinan, seperti izin pemanfaatan air bawah tanah, izin pemakaian jalan kabupaten, izin B3 dan menyiapkan gudangnya, dan izin izin lainnya sesuai regulasi; 11) memberikan saham kepada Pemerintah Madina minimal 10% sebagai bentuk peran aktif perusahaan untuk turut membantu pembangunan di Madina.

Namun, tuntutan itu juga kandas ketika munculnya politik adu domba dengan munculnya pernyataan dari warga Sibanggor dan Ketua DPRD Madina, agar, “Orang luar Sibanggor Julu tidak mencampuri masalah PT. SMGP.”

Kini, persoalan di Sibanggor Julu berlalu bagai angin berhembus pelan-pelan, namun siapa tahu masalah besar sedang menanti. Ketika kami melintasi pedesaan yang hijau oleh persawahan yang dilalui pipa-pipa besar, kekhawatiran muncul seketika, bagaimana bila pipa-pipa itu bocor? Apa yang akan terjadi dengan warga desa?

“Siapa yang bisa menjamin tidak ada lagi terjadi kebocoran ke depan? Tidak ada,” kata Teguh ikut waswas.


Reportase ini adalah bagian dari serial #AkalAkalanEnergiHijau. Baca juga laporan terkait dampak geothermal pada pertanian: 

 

Terima kasih sudah membaca laporan dari Project Multatuli. Jika kamu senang membaca laporan kami, jadilah Kawan M untuk mendukung kerja jurnalisme publik agar tetap bisa telaten dan independen. Menjadi Kawan M juga memungkinkan kamu untuk mengetahui proses kerja tim Project Multatuli dan bahkan memberikan ide dan masukan tentang laporan kami. Klik di sini untuk Jadi Kawan M!

Liputan Terkait
Ronna Nirmala
17 menit