RIBUT SURATNO gelap mata. Tangan kirinya mencengkeram tengkuk pria di hadapannya, tangan kanannya mengangkat parang, siap memancung kapan saja. Cukup satu tebasan, kepala si pria bakal terpisah dari badan.
Sekilas, perkaranya sederhana. Ribut melintasi hutan yang masuk wilayah tambang batubara Banko Barat, salah satu garapan PT Bukit Asam (PTBA) di Kabupaten Muara Enim, Sumatera Selatan. Seorang karyawan perusahaan mengadang dan melarangnya lewat. Ribut naik darah dan menghunuskan parang. Situasi pun jadi tak terkendali.
Namun, ada setumpuk lapisan tak kasatmata yang sukar diabaikan begitu saja. Ini bukan cuma ego yang terluka karena dilarang melintasi hutan. Ini puncak dari gunung es yang menyimpan amarah membara seiring kian masif operasi pertambangan batubara di Muara Enim.
Ribut lahir dan besar di Tegal Rejo, desa di Lawang Kidul yang bertetanggaan tambang Banko Barat. Neneknya datang dari Pulau Jawa dan melahirkan orangtuanya di kawasan Sungai Lengi di Kecamatan Gunung Megang, juga di Muara Enim.
Sejak lahir pada 1970 hingga kini berusia setengah abad, Ribut terbiasa bermain dan mencari rezeki di hutan tersebut—biasa disebut warga setempat sebagai hutan Banko. Ia menggarap kebun berbagai tanaman seluas kira-kira 1-2 hektare.
“Sebelum ada tambang memang kita cari makannya di situ,” kata Ribut. “Dulu aslinya itu jalan masyarakat. Berhubung itu ada perusahaan yang besar, yang bagusin (jalan) itu ya perusahaan yang besar, kan. Sudah bagus, dibilang jalan dia. Masyarakat enggak punya lagi.”
Selain berkebun, Ribut mencari nafkah sebagai kuli sejak sekolah. Puluhan tahun ia bekerja di pabrik batu bata dan pabrik kayu, sebelum beralih jadi kuli serabutan.
Meski lebih dari separuh ekonomi Muara Enim ditopang oleh sektor pertambangan dan penggalian batubara, Ribut tak pernah secara serius mempertimbangkan opsi bekerja di industri “emas hitam”. Ia sadar diri. Pendidikan terakhirnya hanya sekolah teknik, itu pun tidak lulus karena tak punya uang. Perusahaan mana yang mau menerimanya? “Mau kerja kalau memang enggak ada yang ‘bawa’, agak sulit juga,” katanya.
Bagi Ribut, kehadiran perusahaan batubara justru lebih banyak mudarat daripada manfaat. Tegal Rejo yang ia kenal saat kecil adalah desa yang asri. Pohon karet di mana-mana. Sungai Kiahan, anak Sungai Enim yang jadi pembatas wilayah desa dan area pertambangan PTBA, dulu jernih dan penuh ikan. Warga senang mandi atau mencari ikan di sana.
Kini pohon karet lenyap. Sungai Kiahan keruh, dipenuhi kaporit. Warga berkawan dengan debu batubara. Rumah-rumah kotor. Lubang hidung hitam sudah biasa. Saat terik, Ribut kerap sesak napas.
Bahkan, ada masa dinding rumah-rumah di Tegal Rejo berulang kali retak karena aktivitas blasting atau peledakan yang dilakukan PTBA untuk membuka lapisan tanah dan mengeruk batubara di area berjarak hanya beberapa kilometer dari permukiman. Perusahaan biasanya datang membagikan beras dan susu kemasan sebagai kompensasi. “Tapi kalau (warga) sudah diam, nanti ya sudah,” kata Ribut.
Dan puncaknya, Ikhwan Naza, anak sulung Ribut, meninggal pada 2013 setelah tenggelam di lubang besar dipenuhi limbah bekas galian tambang PTBA. Saat itu Naza berusia 8 tahun. Masih SD. Teman sebayanya, Ferdi, juga jadi korban.
Sekira satu atau dua tahun setelah Naza meninggal, Ribut melintasi hutan Banko. Karyawan PTBA mengadangnya. Ribut kalut. Tangan kirinya mencengkeram tengkuk pria itu, tangan kanannya mengangkat parang.
“Kepala kamu ini keras,” bisiknya. “Ingin kupotong.”
Tak jauh dari sana, lubang hitam raksasa menganga. Ekskavator tanpa henti mengeruk bumi. Truk-truk berlalu-lalang mengangkut batubara. Sibuk. Bising. Namun, Ribut tak bisa mendengar apa-apa.
‘Bak Ayam Kelaparan di Lumbung Padi’
Apa saja akan dilakukan Yedi Nopmalison untuk bisa bekerja di perusahaan batubara. Itu tekadnya selepas lulus SMA pada 1994. Logikanya sederhana. Ia orang asli Muara Enim. Muara Enim adalah lumbung batubara. Maka, ia harus bisa hidup dari sana.
Buat Yedi, konyol bila ia tak bisa memanfaatkan kekayaan kampung halamannya sendiri. “Kenapa kita seperti ayam mati di lumbung padi? Padahal ‘emas’ ada di sini,” katanya. “Dengan berprinsip ‘aku harus bisa’, apa yang (tadinya) saya enggak bisa, jadi harus bisa saya lakukan.”
Karena cuma bermodal ijazah SMA, pilihan Yedi terbatas. Paling mentok jadi sopir truk batubara atau operator alat berat macam ekskavator atau buldoser. Rasanya juga ia sulit bermimpi lebih tinggi dari itu. Masalahnya, ia tak bisa menyetir dan tak punya SIM. Perusahaan biasanya enggan merekrut orang-orang tanpa pengalaman kerja.
Tak putus asa, Yedi menyusun rencana. Pertama, ia meminta tolong temannya yang sopir truk batubara untuk memberikan kursus privat menyetir. Temannya setuju. Yedi mengintil temannya bekerja dan, pada jam istirahat, ia tekun belajar nyopir. Dalam sembilan pertemuan, ia menjajal membawa berbagai jenis mobil, dari mobil penumpang kecil hingga truk berbagai ukuran dan tipe. Tak butuh waktu lama sampai ia lihai.
Kemudian, Yedi mesti menabung agar bisa mengurus pembuatan SIM B1 umum untuk mengemudikan truk bermuatan lebih dari 3,5 ton. Jadilah ia bekerja serabutan, termasuk jadi sopir tembak, dan sempat pula ikut koperasi bentukan PTBA untuk melakukan penghijauan di sejumlah wilayah bekas galian tambang. Selewat beberapa tahun, uang terkumpul. SIM B1 umum dalam genggamannya.
Ia lantas memberanikan diri melamar kerja pada 2000 jadi sopir truk batubara di PT Sumber Mitra Jaya (SMJ), subkontraktor yang digandeng PTBA untuk mendukung operasi pertambangan mereka di Muara Enim. Ia “poles” berkas lamarannya dengan memasukkan pengalaman kerja palsu sebagai sopir. Ia pun diterima.
“Cemplunglah kita di dunia tambang,” kata Yedi.
Selewat tujuh tahun di SMJ, Yedi terpaksa pergi setelah kontraknya tak diperpanjang perusahaan karena alasan efisiensi. Namun, pengalaman di SMJ membuka jalan baginya mencoba peruntungan di tempat lain. Ia sempat tiga kali pindah kerja sebelum berlabuh hingga kini di PT Satria Bahana Sarana (SBS), cucu usaha PTBA di bidang jasa pertambangan batubara dan penyewaan alat berat. “(Jadi) sopir semua. Sopir dump truck,” ujar Yedi, semringah.
Yedi berharap tak perlu pindah-pindah kerja lagi. Capek. Saat muda, ia kerap ingin mencari tempat kerja lebih baik. Kini, pada usia 46 dan seorang bapak beranak dua, ia hanya ingin punya pekerjaan dan pemasukan stabil untuk menghidupi keluarga. Syukur-syukur bisa sampai pensiun di SBS.
Selain itu, ia sadar kondisinya jauh lebih beruntung dibandingkan banyak orang lain yang masih menganggur. Maka, sekalinya perusahaan membuka rekrutmen di Muara Enim, warga sekitar segera berlomba melamar. “Masyarakat sini telinganya panjang-panjang, melebihi kanguru atau kelinci,” kata Yedi. “Kalau sudah buka lowongan, wusss…”
Menyadari ketatnya persaingan mendapatkan kerja, banyak warga mencoba masuk lewat “jalur belakang”. Yedi bilang para pelamar kerap mengandalkan bantuan berbagai forum yang tersebar di Muara Enim, entah forum masyarakat Dusun Talang Jawa tempatnya tinggal, forum masyarakat Desa Tegal Rejo, dan sebagainya. Pelamar bisa membayar hingga Rp20 juta pada salah satu forum, yang lantas bakal memberi “tekanan” pada perusahaan untuk menerima si pelamar.
“Kamu harus terima! Saya ini orang pribumi! Kamu enggak tahu saya?!” kata Yedi, menggambarkan jenis “tekanan” yang biasa diberikan forum kepada perusahaan.
Pemasukan sopir truk batubara seperti Yedi kira-kira Rp7 juta per bulan. Rinciannya: gaji pokok Rp3,4 juta dan sisanya uang lembur. Karena itu, dalam tiga bulan setelah bekerja di sebuah perusahaan tambang, mereka yang menggunakan “jasa” forum sudah bisa balik modal.
Masalahnya, banyak warga Muara Enim terjepit situasi. Mau lewat jalur depan tapi minim pendidikan dan kemampuan. Uang pun tak ada untuk lewat belakang. Akhirnya, seperti kata Yedi, mereka bagai ayam-ayam kelaparan yang menunggu mati di lumbung padi. Bagi mereka, tak ada cipratan sejahtera dari batubara.
‘Daripada Kami Jadi Penonton, Kami Hajarlah’
Batubara telah mengubah hidup Keyjhon. Pada 1990-an, ia kepala gerombolan bajing loncat yang beroperasi di sekitar Desa Darmo di Lawang Kidul. Sehari-hari, kerjaannya merampok truk ekspedisi. Kini ia salah satu bos tambang batubara rakyat yang dikelola bersama oleh warga di Muara Enim.
Keyjhon berhenti jadi bajing loncat pada awal 2000-an. “Mulai masuk pemikiran yang agak bagus,” katanya. Ia lantas mencicipi bisnis kayu dan sempat pula menjadi kepala keamanan di dua perusahaan batubara swasta: PT Bara Anugrah Sejahtera dan PT Pacific Global Utama. Pengalaman bekerja di dua perusahaan itulah yang membuka jalan Keyjhon memahami seluk-beluk penambangan batubara.
“Karena saya kepala keamanan, orang-orang kayak KTT (Kepala Teknik Tambang), kayak foreman-nya dekat sama saya. Soalnya jelas butuh perlindungan di sini. Di situ kita sering tanya (sama mereka),” kata Keyjhon, yang bernama asli Juniardi. “Jadi, di situ kita pelajari. Oh, caranya begini.”
Pada 2007, muncul peluang bagi Keyjhon menerapkan ilmunya langsung di lapangan. Ia diajak Herman Effendi mengembangkan usaha tambang rakyat di Darmo dan sekitarnya. Keduanya sama-sama anak asli Darmo, tapi beda nasib.
Bila Keyjhon lama jadi rampok, Herman menghabiskan sebagian hidupnya merantau ke Banten sejak awal 1990-an untuk berbisnis kayu. Pada awal 2000-an, Herman menjajal usaha tambang rakyat di Rangkasbitung. Ia mengambil batubara dari sana dan menjualnya ke pabrik-pabrik di sekitar. Setelah mendapatkan informasi dari temannya soal operasi tambang rakyat di Sawahlunto, Sumatera Barat, Herman berpikir kenapa tidak membuka usaha serupa di Darmo, kampungnya sendiri? Jadilah ia pulang ke Darmo dan mulai mengajak masyarakat setempat bekerja sama, salah satunya Keyjhon.
Mulanya Keyjhon ragu. Tetap saja, ada banyak hal teknis yang belum ia pahami untuk menambang batubara secara mandiri. Ia pun belum yakin dengan perhitungan keuntungannya. Tak hanya Keyjhon, secara umum warga Darmo saat itu masih enggan terlibat, apalagi mengingat risiko kecelakaan kerja yang tinggi dan kemungkinan ditangkap polisi karena status ilegal tambang rakyat. Pemerintah melabeli usaha ini sebagai pertambangan tanpa izin (PETI).
Herman tak patah semangat. Ia membawa 23 penambang dari Sawahlunto untuk memelopori pengerjaan tambang rakyat pertama di Darmo pada 2007. Lokasinya di pinggir sungai kecil bernama Jamile Bangke. Singkapan batubara di sana begitu kasatmata, sehingga para pekerja tak perlu repot menakil—istilah setempat untuk menggali—hingga jauh ke dalam perut bumi.
Dalam prosesnya, Herman selalu mencoba melibatkan warga setempat hingga mereka perlahan mengerti cara mainnya dan tertarik ikut serta. Hasilnya, wilayah operasi tambang rakyat di Muara Enim terus meluas hingga kini mencapai sekitar 200 titik, tersebar di dua kecamatan di Muara Enim: Lawang Kidul dan Tanjung Agung.
“(Kami) secara tidak langsung membantu pemerintah, menciptakan lapangan kerja yang ada di kampung kita sendiri,” kata Herman.
Saat ini, diperkirakan ada sekira 7 ribu orang terlibat operasi tambang rakyat di Muara Enim, dan 2 ribu di antaranya merupakan pendatang. Ada yang dari Lampung, Pandeglang, Bandung, Bali, dan bahkan Timor Leste. Semua mengantre demi jatah “kue batubara”. Ada yang jadi penggali atau penakil, tukang “ojek arang” yang membawa hasil galian ke tempat penumpukan, kuli yang mengangkut batubara ke truk, dan sebagainya.
Mereka semua bersatu di bawah payung Asosiasi Masyarakat Batubara (Asmara) Muara Enim yang dikepalai Keyjhon dan Asosiasi Tambang Rakyat Daerah (Astrada) Sumatera Selatan yang dipimpin Herman.
Para penakil mendapat upah Rp2.000 per karung batubara yang mereka gali. Dalam sehari, mereka bisa mengumpulkan 50-100 karung, tergantung kondisi fisik masing-masing. Namun, rata-rata mereka mendapatkan 70 karung sehari, atau senilai Rp140.000. Libur kapan saja mereka mau, tapi biasanya setiap Jumat atau di hari mereka gajian. Di sisi lain, tuan tanah yang lahannya digunakan untuk tambang rakyat juga mendapat pemasukan Rp1.000 per karung.
Sementara itu, upah tukang ojek arang berkisar Rp1.000 hingga Rp3.500 per karung batubara, tergantung jarak tempuh dari lokasi tambang rakyat ke tempat penumpukan. Rata-rata, mereka bisa meraih Rp300.000 hingga Rp500.000 sehari. Pemasukan harian ojek arang lebih besar dari penakil, tapi mereka juga mesti keluar uang lebih banyak untuk reparasi, pemeliharaan, dan pembayaran cicilan bulanan sepeda motor masing-masing. Paling umum mereka memakai Honda Revo yang telah dimodifikasi. Mereka harus rajin merawat sepeda motor karena beban kerja dan medan berat yang harus ditempuh sehari-hari.
Tambang rakyat bisa berkembang pesat karena ada permintaan tinggi terhadap batubara murah untuk bahan bakar berbagai industri, terutama di Pulau Jawa. Mulanya Herman harus jemput bola. Ia mendatangi sejumlah pabrik satu per satu sembari membawa sampel batubara dari Darmo dan menawarkannya kepada mereka. Dapatlah pembeli pertama, yaitu sebuah pabrik tekstil di Serang.
“Jadi, sebelum saya bergerak (dengan tambang rakyat), saya harus cari buyer dulu,” kata Herman. “Jangan sampai masyarakat jadi korban. (Sudah) produksi, keluar tenaga, keluar biaya, enggak kebayar. Mereka, kan, sudah buang tenaga. Jadi, mau tak mau saya siapkan dulu pasar.”
Semakin lama, jumlah pembeli semakin banyak. Menurut Herman, banyak pabrik yang membutuhkan batubara berkalori medium, dan jenis itulah yang memang mendominasi produksi batubara dari tambang rakyat garapan Asmara di Muara Enim.
Maka, wajar melihat batubara hasil produksi Herman dan kawan-kawan laris manis. Setiap malam, 50-100 truk berangkat mengantarkan batubara ke pembeli, entah ke pabrik tekstil, garmen, bata ringan, atau besi, yang 90% di antaranya berada di Pulau Jawa. Rata-rata ada 600 karung batubara per truk. Tiap karung, dengan berat sekira 40 kilogram, dihargai Rp10.000. Artinya, harga setiap ton batubara adalah Rp250.000.
Sebagai perbandingan, harga batubara acuan (HBA) sepanjang 2021 terus meningkat hingga menyentuh 161,63 dolar AS (Rp2,3 juta) per ton pada Oktober dari hanya 75,84 dolar AS pada Januari. HBA ditetapkan sebulan sekali oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dan digunakan sebagai patokan untuk penjualan batubara langsung secara free on board.
Dengan perhitungan di atas, omzet harian tambang rakyat di Muara Enim bisa menyentuh Rp600 juta per hari. Dari tahun ke tahun, perputaran uang ini terus meningkat dan kian banyak yang menggantungkan hidupnya dari batubara.
Bagi para pemain tambang rakyat, peduli setan dengan status ilegal. Pemerintah selama ini rajin membanggakan besarnya cadangan batubara di Pulau Sumatera dan kontribusinya terhadap pemasukan negara. Perusahaan-perusahaan di Muara Enim, khususnya PTBA yang bagai raja di sana, juga terus mengeruk keuntungan dari batubara sembari memamerkan berbagai program tanggung jawab sosial yang telah mereka lakukan. Namun, semua itu selalu terasa begitu jauh, tak ada faedahnya bagi orang-orang seperti Herman dan Keyjhon.
“Kami, walaupun (tinggal) di ‘ring 1’ PTBA ini, walaupun ijazah kami sarjana hukum, sarjana ekonomi, sarjana apa, belum tentu bisa masuk PTBA itu untuk kerja. Jadi, PTBA itu enggak ada gunanya buat kami sebenarnya,” kata Keyjhon. “Daripada kami jadi penonton, ya lebih baik kami hajar-hajaranlah.”
Tak ada kompromi, apalagi bila sudah terkait urusan perut.
* * *
PERUT BUMI SUMATERA sudah seksi sejak masa kejayaan Kerajaan Sriwijaya, dulu dikenal kerajaan maritim terbesar di Asia Tenggara. Konon, sekitar abad ketujuh dan kedelapan, orang Tanjung Enim telah menggunakan batubara untuk urusan domestik dan bahkan menjualnya kepada para pendatang dari Persia, Cina, ataupun Eropa. Tak sulit bagi warga menemukan batubara. Tinggal mencungkil halaman belakang rumah masing-masing.
Potensi batubara Sumatera tak luput dari perhatian pemerintah kolonial Belanda. Dokumen Kongsi Dagang Hindia Timur Belanda (VOC) bertarikh 1859 menyebutkan batubara telah jadi bagian dari kehidupan sehari-hari masyarakat sekitar Tanjung Enim. Ia dapat dengan mudah ditemukan di tepian Sungai Enim. Serangkaian penelitian pun dilakukan untuk menambang si “emas hitam” secara serius di Sumatera.
Willem Hendrik de Greeve, geolog Belanda, menemukan potensi besar kandungan batubara di Ombilin, Sawahlunto, pada 1868. Setelah melakukan sejumlah eksplorasi lanjutan, pemerintah kolonial Belanda mulai membangun berbagai infrastruktur untuk mendukung operasi pertambangan, termasuk rel kereta api dan pelabuhan. Pada 1892, produksi mulai berlangsung di Ombilin, menjadikannya tambang batubara pertama di Sumatera.
Tiga tahun berselang, eksplorasi batubara di kawasan Air Laya, Tanjung Enim, dimulai oleh Lematang Maatschappij, kongsi dagang swasta asal Belanda yang beroperasi di sekitar Sungai Lematang. Mereka berhasil memastikan keberadaan kandungan batubara di lahan seluas lebih dari 1.800 kilometer persegi, merujuk buku 100 Tahun Tambang Batubara di Tanjung Enim (2019) karya Wahyu Utomo dan Riri Sudirman.
Eksplorasi berlanjut hingga kegiatan produksi perdana di Air Laya pada 1917 dengan hasil 9.765 ton. Setahun kemudian, jumlahnya naik jadi 50.312 ton. Angka ini membuat Tanjung Enim jadi penghasil batubara terbesar kala itu, mengalahkan hasil produksi tambang-tambang di Kalimantan yang telah beroperasi lebih dahulu sejak 1861.
Pada 1919, pemerintah kolonial Belanda mengambil alih pengelolaan tambang Air Laya dari Lematang Maatschappij, yang lalu berubah nama jadi Boekit Assam Maatschappij. Setelah membangun infrastruktur pendukung dan mendatangkan berbagai tenaga ahli dari Eropa, pemerintah kolonial Belanda segera memulai eksploitasi batubara besar-besaran. Setelahnya, wajah Tanjung Enim berubah selamanya.
Batubara saat itu jadi komoditas primadona karena banyak digunakan sebagai bahan bakar kendaraan dan pabrik bermesin uap di Eropa, seiring Revolusi Industri sejak abad ke-18. Karena itu, popularitas bebatuan hitam terus melesat hingga mengalahkan rempah-rempah, yang sebelumnya menjadi incaran utama para kolonialis di Nusantara.
Bahkan, saking besar potensi batubara di Sumatera, sempat muncul ungkapan Molukken is het verleden, Java is het heden, en Sumatera is de toekomst. Maluku adalah masa lampau, Jawa adalah masa kini, dan Sumatera adalah masa depan.
Imbasnya, kian banyak pendatang mencoba mengais rezeki dari batubara di Tanjung Enim. Seperti dijabarkan dalam buku Wahyu dan Riri, kebanyakan pendatang berasal dari Pulau Jawa. Mereka mengadu nasib sebagai kuli bersama sekelompok kecil buruh migran dari Cina, mencoba bertahan menghadapi situasi kerja yang berat, penuh tekanan, dan selalu dibayangi ancaman kematian.
Pada 1923-1940, pemerintah kolonial Belanda menerapkan metode penambangan bawah tanah berisiko tinggi. Kala itu, kecelakaan kerja sudah biasa sehingga korban jiwa kerap berjatuhan. Situasinya membaik setelah otoritas memutuskan beralih ke penambangan terbuka mulai 1940.
Sejak itu, risiko mati memang bisa dikurangi, tapi kondisi kerjanya sama saja. Banyak dari para kuli tetap harus menggali dengan perkakas seadanya seperti sekop dan belicong—alat mirip palu berujung tajam, meski peralatan tambang kian hari kian modern. Mereka bersimbah peluh selama 10-11 jam sehari, sementara para bos berkulit putih duduk manis di kantor dengan upah dan tunjangan berkali-kali lipat.
Mulanya, para buruh dari Jawa dibawa oleh pemerintah kolonial Belanda. Gelombang kedatangan pertama pada awal 1920-an ditempatkan di barak yang disebut “karantine”, yang kini lokasinya disebut Karang Tinah. Gelombang kedua datang beberapa tahun berselang, ditempatkan di kampung dekat permukiman warga Eropa. Daerah perkampungan itu sekarang dikenal Talang Jawa.
Selain itu, banyak pula orang Jawa yang datang secara sukarela. Mereka membentuk beberapa permukiman baru dengan menggunakan nama “Rejo”, mengikuti kebiasaan dari kampung halaman mereka di Jawa Tengah.
Sebagian buruh dari Jawa ini memutuskan tinggal di sebelah barat tambang Air Laya. Daerahnya terletak di kaki bukit, sehingga diberi nama Karang Rejo. Sebagian lain menetap di sebelah timur tambang. Ada genangan air besar yang terkenal angker di sana. Alhasil, daerah itu disebut Tegal Rejo.
Kematian Naza
Tegal Rejo tampak lengang sore itu, 2 Februari 2013. Tukiki sedang bersantai di depan rumah sembari memperhatikan keponakannya, Ikhwan Naza, berlarian di halaman. Sesekali pandangannya berkeliaran, menatap rumah atau jalanan yang tak pernah absen dilanda debu batubara.
Semua berjalan seperti biasa. Tukiki, kelahiran 1951, menikmati hari tua sembari menjaga rumah, sementara adik bungsunya dengan usia terpaut 19 tahun, Ribut Suratno, sedang nguli di depot batu bata berjarak beberapa kilometer dari sana.
Bosan bermain, Naza duduk dan menyikat kudapan. Tak lama, bocah berusia 8 tahun itu berdiri lagi. Ada layang-layang putus, terombang-ambing di udara, mencari tempat jatuh manasuka. Naza berjalan ke arah pagar. Ia melihat kawannya berlari duluan mengejar si layangan. Tak mau kalah, Naza segera mengekor. Ia pun pergi.
Tukiki membiarkan. Biasalah, bocah. Ia anteng saja. Jam-jam petang memang kerap bikin terlena. Matahari mulai bersahabat, tak lagi galak menyengat. Anak-anak perlahan tumpah ke jalan. Warga keluar membersihkan halaman, menyapa tetangga, atau sekadar minum kopi, menunggu matahari mati.
Namun, bagi warga Tegal Rejo, petang juga adalah saat memulai hitung mundur yang menguak wajah asli desa. Kala matahari lenyap, barulah terlihat jelas pusaran debu bolak-balik melintas di bawah penerangan lampu jalan. Debu dari tempat penumpukan batubara di sebelah desa hinggap di pagar, halaman, jendela, lantai, dan paru-paru warga.
Maka, Tukiki lanjut memeluk sore, menikmati waktu saat semuanya terlihat baik-baik saja tanpa tahu petaka bersiap menyergap.
Tiba-tiba, seorang warga datang tergopoh-gopoh. Ia berteriak berulang kali, memanggil nama adik Tukiki. “Pak Ribut! Pak Ribut!”
“Kenapa?” kata Tukiki. “Pak Ribut enggak ada.”
“Pakde, Naza kecemplung kambang!”
Tukiki tersentak. Ia segera melesat ke area tambang PT Bukit Asam (PTBA) yang berbatasan dengan RT 14 Tegal Rejo. Ia menyeberangi Sungai Kiahan, melaju ke bekas wilayah galian perusahaan, yang saat itu telah jadi danau limbah besar.
Tiba di sana, Naza telah tergeletak di pinggir danau limbah. Tubuhnya berlumpur. Tak bergerak. Hati Tukiki mencelos.
Tukiki cek. Naza masih bernapas. Tukiki membopong bocah itu, menaikkan dan memangkunya di sepeda motor. Seorang warga membantu menyetir dan membawa mereka pulang. Tukiki terus memeluk erat Naza sepanjang perjalanan.
Di rumah, Tukiki merebahkan Naza, berulang kali menekan dadanya. Tak ada hasil. Tukiki mencoba napas buatan. Lumpur jebrol dari mulut Naza.
Istri Ribut terus mencoba menelepon sang suami. Tak ada respons. Ribut sedang menurunkan batu bata di depot, tak terpikir mengecek ponsel.
Tukiki memutuskan ke dokter. Ia membopong Naza, menaikkan dan memangkunya kembali di sepeda motor. Seorang warga membantu menyetir dan membawa Naza ke Rumah Sakit Bukit Asam Medika punya PTBA. Di sana, Naza meninggal dunia.
Malamnya, Ribut tiba di rumah. Naza sudah tak ada.
* * *
ADA SESUATU yang mengganjal pikiran pemerintah kolonial Belanda jelang kedatangan tentara pendudukan Jepang ke Nusantara pada 1942. Belanda emoh meninggalkan begitu saja berbagai fasilitas tambang yang telah dibangun di Pulau Sumatera. Itu sama saja memberi akses pada pemerintahan militer Jepang mengeksploitasi batubara dan minyak, thus bisa menghidupi mesin-mesin perang Dai Nippon.
Karena itu, sebelum meninggalkan tanah Sumatera, Belanda memutuskan untuk meledakkan fasilitas tambang batubara di Tanjung Enim dan merusak pipa-pipa minyak yang melintasi sejumlah daerah, termasuk dari Prabumulih ke Plaju dan dari Palembang ke Bajubang.
Saat pendudukan Jepang resmi membentuk pemerintahan militer di Nusantara, mereka lantas kesulitan melanjutkan aktivitas pertambangan di Tanjung Enim. Sekira 1.000 orang Jawa didatangkan sebagai rōmusha alias pekerja paksa untuk mengeruk batubara dengan peralatan sangat terbatas. Akhirnya, kebanyakan tenaga paksa meninggal karena lelah dan kelaparan.
Situasi berubah setelah Sekutu menjatuhkan bom atom meluluhlantakkan Hiroshima dan Nagasaki, pada 6 dan 9 Agustus 1945. Jepang mengaku kalah pada 15 Agustus dan membuka jalan bagi para nasionalis Indonesia memproklamasikan kemerdekaan dua hari berselang.
Imbasnya, tambang-tambang dinasionalisasi. Setelah Belanda mengakui kedaulatan Indonesia, pemerintahan Presiden Sukarno pada 1950 resmi menyerahkan pengelolaan tambang batubara di Tanjung Enim kepada Perusahaan Negara Tambang Arang Bukit Asam, yang kemudian lebih dikenal sebagai PN TABA.
Nasionalisasi terjadi di tengah menurunnya popularitas batubara. Saat itu, dunia jatuh cinta pada minyak, primadona baru yang pasokannya berlimpah dan harganya murah.
Ini bikin PN TABA terjepit. Produksi batubaranya sempat anjlok, selain karena tak ada pembeli, juga banyak alat tambang sudah tak laik pakai. Kondisi sulit membuat perusahaan meminta sejumlah karyawan mengundurkan diri. Setelah peristiwa pembantaian massal 1965-66, yang menaikkan Jenderal Soeharto, banyak pula karyawan yang dilepas dan dijebloskan ke bui bila dianggap berafiliasi dengan Partai Komunis Indonesia. Hingga awal 1970-an, perusahaan selalu dibayangi ancaman penutupan.
Embargo minyak oleh negara-negara Arab pada 1973 jadi titik balik yang membuat batubara kembali dilirik. Tiga tahun berselang, Presiden Soeharto menerbitkan instruksi memprioritaskan rehabilitasi sarana kerja tambang dan peningkatan produksi batubara nasional.
Indonesia mendapat pinjaman dari Bank Dunia pada 1978 untuk mengembangkan operasi pertambangan dan pengangkutan batubara PN TABA di Tanjung Enim. Syaratnya, sebagian besar produksi batubara harus digunakan untuk memenuhi kebutuhan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) Suralaya di Banten, yang rencananya akan mulai dibangun pada awal 1980-an.
Untuk mendukung rencana itu, pemerintah memutuskan untuk menyertakan modal dan mengubah status PN TABA menjadi perseroan terbatas. Mulai 1 Maret 1981, namanya resmi menjadi PT Bukit Asam alias PTBA. Ia berkantor pusat di Tanjung Enim, mendapat hak eksplorasi 75 tahun serta kuasa pertambangan untuk mengeksploitasi wilayah Air Laya seluas 7.700 hektare.
Sejak itu, dimulailah babak baru pertambangan batubara di Sumatera, dengan PTBA bertindak bagai raja.
* * *
RAJA YANG SEMENA-MENA. Begitulah pandangan umum para penambang rakyat di Desa Darmo dan sekitarnya terhadap PT Bukit Asam. Batubara sudah dikeruk sejak zaman nenek moyang mereka, tapi hingga kini maslahatnya tak kunjung terasa. Perusahaan makin besar, tapi mereka tetap lapar. Itulah kenapa mereka berusaha menambang sendiri, mengambil apa yang mereka percaya sebagai hak mereka, walau konsekuensinya mesti dikejar-kejar polisi.
“PTBA itu sudah terlalu rakus. Lokasinya pun sudah luas,” kata Keyjhon, yang membentuk Asosiasi Masyarakat Batubara (Asmara) Muara Enim.
Saat pertama menjadi perseroan terbatas pada 1981, wilayah eksploitasi PTBA hanya 7.700 hektare. Pada akhir 2020, izin usaha pertambangan (IUP) yang dipegang perusahaan untuk aktivitas operasi dan produksi telah menyentuh 93.528 hektare, termasuk sekitar 66.000 hektare di dua kabupaten di Sumatera Selatan: Muara Enim dan Lahat.
Sepanjang 1981, produksi batubara PTBA hanya sekitar 50 ribu ton. Pada 2020, produksinya 24,8 juta ton. Itu bukan apa-apa bila dibandingkan total cadangan dan sumber daya batubara yang dikuasai perusahaan; masing-masing 3,2 miliar ton dan 8,6 miliar ton. Bila perusahaan mempertahankan angka produksi seperti tahun 2020 saja, cadangan arangnya baru bakal habis setelah 128 tahun.
Sebagai perbandingan, seluruh cadangan batubara di Sumatera mencapai 12,96 miliar ton, sementara sumber dayanya 55,08 miliar ton. Itu pun masih kalah dari Kalimantan, yang cadangan dan sumber dayanya menyentuh 25,84 miliar ton dan 88,31 miliar ton, merujuk data Kementerian ESDM. Dua pulau itu memang lumbung energi kotor Indonesia. Seluruh pasokan batubara Indonesia berasal dari kedua pulau yang semakin rusak itu.
Keyjhon dan kawan-kawan merasa apa yang mereka ambil dari tanah mereka sendiri sesungguhnya tak seberapa. Apalagi, mereka mengklaim seluruh lahan untuk tambang rakyat belum dibebaskan atau diganti rugi, entah oleh PTBA ataupun beberapa perusahaan tambang swasta.
Tambang-tambang rakyat garapan Asmara di Lawang Kidul dan Tanjung Agung memang masuk ke wilayah IUP lima perusahaan berbeda: PTBA, PT Bara Anugrah Sejahtera, PT Manambang Muara Enim, PT Pacific Global Utama, dan PT Sriwijaya Bara Priharum. Namun, kata Keyjhon, yang selama ini rajin mempermasalahkan hanyalah PTBA.
PTBA setidaknya telah 20 kali melaporkan para penambang rakyat Asmara ke polisi dalam 15 tahun terakhir, merujuk catatan Asosiasi. Bentrok antara para penambang dan pihak perusahaan serta polisi terjadi beberapa kali. Namun, belakangan polisi lebih “bersahabat”. Biasanya, kata Keyjhon, polisi setempat bakal berkoordinasi dulu dengan Asmara sebelum datang dan menyelesaikan urusan secara baik-baik.
“Kami mau masuk, nih, tapi masyarakat jangan salah tanggapan,” kata Keyjhon, menirukan kata-kata yang biasa dilontarkan polisi sebelum mampir. “Karena akan jadi rusuh kalau ini masuk tanpa ‘Assalamualaikum.'”
Terakhir kali polisi menyambangi tambang rakyat Asmara pada minggu keempat September 2021, kata Herman Effendi, kroni Keyjhon. Mulanya datang perwakilan dari Kepolisian Daerah Sumatera Selatan pada 22 September. Mereka menerima laporan dari PTBA soal aktivitas tambang ilegal di wilayah IUP perusahaan dan bermaksud mengecek langsung. Herman menemani mereka ke lapangan dan menjelaskan belum ada pembebasan lahan. Para polisi lantas pamit.
Tak disangka, dua hari berselang, datang enam orang dari Markas Besar Kepolisian RI. Kali ini tak ada koordinasi. Mereka mampir ke tiga titik tambang rakyat, lalu menangkap 11 penakil dan tukang ojek batubara di sana. Dugaan Herman, kepolisian pusat turun tangan karena kepolisian Sumatera Selatan dan Muara Enim dianggap tak mampu menyelesaikan urusan tambang rakyat di Darmo dan sekitarnya yang selama ini mengganggu PTBA.
Walau begitu, Herman bilang penangkapan itu tak mengganggu aktivitas tambang rakyat Asmara. Operasi jalan terus. Menurutnya, situasi sempat “heboh”, tapi akhirnya terkendali setelah ia berbincang dengan kepolisian setempat.
“Mohon jangan ada gerakan. Jangan ada aksi sehubungan dengan Mabes Polri turun,” kata Herman, menirukan ucapan polisi.
Ferry Harahap, Wakil Direktur Reserse Kriminal Khusus Polda Sumatera Selatan, membenarkan penangkapan 11 penambang ilegal itu tapi menolak berkomentar lebih lanjut. Sementara Argo Yuwono, Kepala Divisi Hubungan Masyarakat Mabes Polri, tak menjawab konfirmasi kami terkait tambang rakyat di Muara Enim.
Herman heran atas sikap perusahaan serta kepolisian dan pemerintah pusat terhadap aktivitas tambang rakyat di Muara Enim. Buatnya, urusannya sederhana. Tambang rakyat memang ilegal, tapi sukses memberi makan ribuan orang selama belasan tahun. Lantas, ia bilang, kenapa tak sekalian saja pemerintah melegalkan statusnya? Sejak lama ia memperjuangkan hal ini, tapi tak pernah ada titik terang.
‘Barang Tuhan Bagi Rata’
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba) memberi ruang untuk kegiatan tambang rakyat. Sebuah lokasi bisa diajukan menjadi wilayah pertambangan rakyat (WPR) bila memenuhi beberapa persyaratan, termasuk memiliki cadangan mineral di sungai atau cadangan batubara dengan kedalaman maksimal 25 meter. Selain itu, kegiatan tambang rakyat harus berlangsung di lokasi tersebut selama minimal 15 tahun. Wewenang penetapan WPR di tangan bupati atau walikota setempat.
Setelah sebuah area ditetapkan menjadi WPR, maka individu, kelompok masyarakat, atau koperasi mesti mengajukan izin pertambangan rakyat (IPR) agar bisa menambang. IPR diberikan untuk jangka waktu lima tahun dan dapat diperpanjang. Pemegang IPR wajib mengikuti peraturan terkait keselamatan dan kesehatan kerja serta mengelola lingkungan bersama pemerintah daerah setempat.
Merujuk UU tersebut, Herman mencoba mengajukan empat titik tambang rakyat di Muara Enim pada 2009 untuk diproses menjadi WPR. Namun, permohonannya tak pernah direspons. Bisa jadi karena empat tambang rakyat itu belum lama beroperasi, padahal syaratnya minimal 15 tahun. Berulang kali ia menegosiasikannya dengan pemerintah kabupaten dan DPRD Muara Enim, tapi selalu nirhasil.
Lalu terbitlah UU Nomor 3 Tahun 2020, yang merevisi sejumlah ketentuan dalam UU Nomor 4 Tahun 2009. Salah satunya: tambang rakyat batubara tak lagi diizinkan. Yang boleh hanya tambang rakyat mineral serta batuan seperti kerikil sungai dan pasir uruk. Wewenang penetapan WPR dan IPR pun berpindah ke menteri ESDM, bukan kepala daerah.
Ada opsi untuk melegalkan kegiatan pertambangan tanpa izin atau PETI yang sudah telanjur berjalan. Untuk mineral, pelaku tambang rakyat bisa menjajal pola kemitraan, membentuk perusahaan agar bisa memproses izin usaha jasa pertambangan (IUJP), atau mengajukan penetapan WPR. Untuk batubara, tak ada pola kemitraan dan pengajuan WPR. Pilihannya adalah memproses IUJP sebagai perusahaan atau mengajukan IUP sebagai koperasi atau BUMD.
Meski begitu, Asmara yang dipimpin Keyjhon tetap ngotot mengupayakan kemitraan. Apalagi, bupati Muara Enim saat ini, Nasrun Umar, cenderung bersahabat dengan Asmara dan mendukung usaha asosiasi melegalkan tambang rakyat garapan mereka.
Nasrun menjabat sejak Februari 2021 setelah tiga bupati pendahulunya secara beruntun ketahuan jadi maling. Ada Juarsah dan Ahmad Yani yang diciduk Komisi Pemberantasan Korupsi karena kasus suap 16 proyek pengerjaan jalan serta Muzakir Sai Sohar yang ditahan Kejaksaan Tinggi Sumatera Selatan karena kasus suap alih fungsi lahan hutan.
Setelah melakukan inspeksi ke lokasi tambang rakyat pada 9 Juni, Nasrun berkata ada dua opsi yang bisa dijajaki para penambang: membuat koperasi atau badan usaha milik desa.
“Karena ini menyangkut keberlangsungan kehidupan masyarakat, maka wajib kita berikan solusi bagaimana caranya pertambangan yang dilakukan masyarakat tetap berjalan tapi dengan cara yang legal,” dalih Nasrun.
Nasrun gerak cepat. Sejak pertengahan Juni hingga sekarang, Herman berkata pihaknya telah bertemu Nasrun setidaknya enam kali untuk membahas dua opsi tersebut. Mereka sepakat memilih koperasi sebagai wadah para penambang rakyat.
Koperasi ini yang diharapkan bakal bermitra dengan perusahaan pemegang IUP. Dengan begitu, koperasi hanya bisa menjual produksi batubara anggotanya kepada perusahaan yang bermitra. Koperasi mesti membayar pajak penghasilan kepada negara dan memungut pajak pertambahan nilai dari penjualan batubaranya kepada perusahaan.
Di sisi lain, perusahaan tak perlu pusing lagi mengurus pembebasan lahan warga, tinggal membiarkan mereka menambang dan membeli hasilnya. Namun, perusahaan juga harus menanggung seluruh biaya untuk melakukan reklamasi dan kegiatan pascatambang di lokasi bekas tambang rakyat.
“Seharusnya enggak mengurangi produksi perusahaan juga kalau perusahaan mau menampung hasil rakyat ini,” kata Yandri, juga pemain tambang rakyat di Muara Enim. “Siapa yang dirugikan? Enggak ada. Perusahaan malah enggak perlu bebaskan lahan lagi.”
Proses pembentukan koperasi telah selesai pada akhir Agustus 2021. Namanya, Koperasi Sejahtera Batubara Lawang Kidul-Tanjung Agung. Bahkan, kata Keyjhon, seorang investor telah siap menggelontorkan dana untuk mendukung operasi tambang rakyat Muara Enim. Dana itu akan digunakan untuk menalangi upah mingguan para pekerja tambang rakyat, sembari menunggu uang penjualan batubara ke perusahaan cair.
Masalahnya, PTBA sebagai pemegang IUP batubara terbesar di Muara Enim secara tegas menolak ide bermitra dengan koperasi.
Venpri Sagara, general manager PTBA untuk pertambangan Tanjung Enim, mengatakan aktivitas tambang rakyat Asmara jelas melanggar hukum. UU yang berlaku tidak memberi ruang untuk keberadaan tambang rakyat batubara. Maka, PTBA tak bisa mengakomodasi kemauan Asmara.
“Kita BUMN. BUMN itu harus menjadi contoh bagi perusahaan tambang lainnya. Jadi enggak sesederhana itu,” kata Venpri. “Mereka itu tidak punya SIUP (surat izin usaha pertambangan), mereka tidak punya kompetensi, dan, yang harus saya sayangkan, mereka tidak mengerti risiko.”
Tambang rakyat Asmara di Lawang Kidul dan Tanjung Agung memang digarap dengan cara seadanya dan berisiko tinggi. Pada awal kemunculannya, penambang rakyat membuka lahan secara manual. Lima atau enam orang bekerja sama menggali satu lokasi hingga kedalaman setidaknya 4-5 meter selama satu bulan penuh, sebelum mulai menakil batubara menggunakan belicong.
Kini, alat berat sudah mulai digunakan untuk membuka lahan, meski para penakil tetap mengeruk arang secara tradisional, tanpa helm, masker, atau alat pelindung diri lain. Mereka bekerja seperti kuli-kuli biasa yang membangun rumah atau memperbaiki taman kompleks. Maka, mereka dengan mudah bisa terpapar debu batubara dan rentan terjangkit berbagai penyakit, utamanya terkait pernapasan.
Selain itu, selama lebih dari satu dekade, para penambang rakyat kerap bekerja dengan metode bawah tanah. Mereka bisa menggali terowongan hingga sedalam 200-300 meter, tanpa tiang penyangga, dan mengeruk batubara di sana. Tak jarang timbul kecelakaan. Yang teraktual pada Oktober 2020 saat terjadi longsor menewaskan 11 pekerja. Terowongan juga bisa sewaktu-waktu meledak karena tingginya kadar gas metana.
Menurut Keyjhon, para penambang rakyat Asmara belakangan telah meninggalkan metode bawah tanah, walau di lapangan masih terlihat keberadaaan sejumlah terowongan.
Terkait lahan, PTBA memang belum membebaskan seluruh tanah warga yang masuk dalam wilayah IUP perusahaan. IUP memberi hak bagi PTBA untuk mengelola kandungan batubara di suatu wilayah, bukan menguasai tanah, dan perusahaan membebaskan lahan secara bertahap sesuai kebutuhan. Namun, perusahaan menilai warga tetap tak berhak menambang batubara di wilayah IUP tanpa izin.
Sikap pemerintah pusat pun sejalan PTBA. Ridwan Djamaluddin, Direktur Jenderal Mineral dan Batubara dari Kementerian ESDM, menegaskan pertambangan tanpa izin alias PETI melanggar aturan dan mesti diberantas, apalagi mengingat dampaknya yang merusak lingkungan dan membahayakan nyawa.
PETI disebutnya tak sejalan Pasal 33 ayat 3 Undang-Undang Dasar 1945, yang menyatakan “kekayaan alam mesti dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.” Itu karena PETI dikuasai dan diambil manfaatnya oleh sekelompok orang saja, termasuk pemodal-pemodal besar nan serakah, dalih Ridwan.
Imbasnya, negara kehilangan pemasukan besar; nilainya kira-kira setara penerimaan negara yang saat ini diperoleh dari sektor tambang.
“Kita harus menindak PETI ini sama dahsyatnya seperti kita berperang melawan narkoba, kita berperang melawan korupsi,” kata Ridwan. “Yang sulit adalah jumlah PETI atau jumlah pelakunya, jauh lebih banyak daripada jumlah petugasnya. Namun, yang lebih sulit lagi adalah keterlibatan pihak-pihak yang seharusnya menertibkan (aktivitas PETI).”
Hingga September 2021, Kementerian ESDM mencatat ada setidaknya 2.741 lokasi PETI di seluruh Indonesia; 2.645 di antaranya pertambangan mineral dan sisanya batubara. Khusus untuk Sumatera Selatan, pemerintah mencatat hanya ada 33 lokasi PETI batubara di dalam wilayah IUP PTBA, meski Asmara bilang jumlah tambang yang mereka kelola di Muara Enim mencapai sekitar 200 titik.
Untuk itu, Kementerian ESDM telah membentuk satuan tugas penanggulangan PETI, yang bakal menindak dan mendorong formalisasi PETI, entah melegalkan aktivitas pertambangan yang telanjur berjalan melalui beberapa opsi, mengalihkan pekerjaan warga ke sektor non-tambang, atau menciutkan wilayah tambang yang ada.
Namun, para penambang ilegal di Muara Enim tampaknya tetap berkeras hati.
Menurut mereka, justru pemerintah telah melanggar Pasal 33 ayat 3 UUD 1945. Jika mereka tak bergerak sendiri, kekayaan alam kampung halaman mereka yang selama ini dikelola negara toh tak pernah benar-benar mendatangkan kemakmuran. Buat mereka, justru mereka adalah korban yang telah dizalimi negara.
“(Seharusnya) sesuai singkatan ‘Batubara’,” kata Yandri. “Barang Tuhan Bagi Rata.”
Bak Toserba Bencana
Rata sudah. Tanah RT 6 Desa Tegal Rejo di Lawang Kidul, Muara Enim, sebentar lagi siap jadi lokasi pembangunan kompleks perumahan subsidi. Siang itu, 22 Januari 2020, buldoser terus bolak-balik mengampelas tanah di bawah langit cerah berawan. Dan, Hapriansyah tak henti-hentinya semringah.
Hapriansyah, akrab disapa Apri, berbungah-bungah membagikan keriangan hatinya. Ia rekam dan menyiarkan secara langsung pekerjaan meratakan tanah itu di akun Facebook-nya, sembari sesekali berbincang dan bercanda dengan beberapa operator buldoser di lapangan.
“(Ini) progress pembangunan 100 rumah dengan lahan 1,5 hektare,” kata Apri, yang memiliki usaha penyewaan alat-alat berat, kepada kawan-kawannya di Facebook. “Kita lagi semangat-semangatnya bekerja hari ini.”
Apri pantas girang. Ia sudah keluar banyak uang, waktu, dan tenaga untuk memuluskan pembangunan perumahan tersebut. Ia bekerja sama dengan perusahaan pengembang dan saling membagi tugas. Sebelum pengembang mulai membangun hunian, Apri bertanggung jawab meratakan tanah, membuat jalan, dan memasang tiang listrik. Total, ia memasang 22 tiang listrik, masing-masing berbiaya Rp4,5 juta.
Rencananya, pembeli membayar uang muka Rp2 juta dan cicilan bulanan Rp500.000 selama 12 tahun untuk memiliki rumah subsidi itu. Apri berpikir, siapa yang tak mau? Dan memang, banyak yang tergiur.
Namun, siang itu, Apri tak tahu dalam sekitar dua bulan, kesialan bakal menyapa. RT 6 Tegal Rejo terletak persis di sebelah wilayah tambang batubara PTBA. Perusahaan menimbun limbah di sekitar. Satu hari, hujan lebat turun dan mendorong limbah masuk ke area RT 6. Lumpur hitam mendadak di mana-mana. Tanah dan kebun rusak. Bergelombang. Tiang-tiang listrik tumbang. Hanya beberapa masih berdiri, itu pun miring. Tanahnya tunggang-tunggit.
Bukannya untung, Apri malah buntung. Menurut perhitungannya, kerugiannya mencapai Rp1 miliar. Angkanya tentu jauh lebih besar bila menyertakan kerugian warga lain yang telanjur membeli tanah di RT 6. Namun, hingga kini, PTBA tak kunjung memberi kompensasi.
Menurut Apri, setahun lalu perwakilan PTBA sempat menemui warga Tegal Rejo yang terdampak operasi pertambangan perusahaan. Mereka berjanji mengganti kerugian warga. Setelahnya, mereka hilang. Tak ada kabar.
“Saya coba memperjuangkan hak saya. Ini perumahan, tanah kebun saya dijadikan perumahan, saya pasang fasilitas, semuanya hancur,” kata Apri, warga asli Tegal Rejo. “Hak tanah kami, kebun kami, mana yang rusak tolong diganti untung, bukan diganti rugi.”
Tegal Rejo secara khusus dan Muara Enim secara umum sudah seperti toserba bencana. Masalah lingkungan, sosial, dan kesehatan, kerap muncul dari waktu ke waktu. Ini dipicu maraknya kegiatan pertambangan.
Ada 22 perusahaan pemegang IUP batubara dan satu yang masih beroperasi di bawah Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) di Muara Enim. Total wilayah pertambangannya seluas 145.213 hektare, berdasarkan data Kementerian ESDM tahun 2020 yang diolah Aksi Ekologi dan Emansipasi Rakyat (AEER).
Salah satu dampak dari pertambangan batubara adalah menurunnya kualitas air Sungai Enim di Lawang Kidul, merujuk hasil penelitian F.Z. Ijazah, D. Rohmat, dan Y. Malik dari Departemen Pendidikan Geografi Universitas Pendidikan Indonesia (2016).
Pemicunya adalah air cucian batubara dari tambang di sekitar sungai. Setelah diproses di kolam pengendapan lumpur atau KPL, limbah asam itu memasuki subdaerah aliran Sungai Enim dan anak-anaknya, termasuk Sungai Kiahan yang jadi pembatas wilayah Tegal Rejo dan area pertambangan PTBA. Dampaknya beragam, termasuk air sungai makin keruh, kadar oksigen berkurang sehingga ikan-ikan mati, tingkat kesadahan air jadi lebih tinggi dan bisa memicu diare bila dikonsumsi.
Walau begitu, Venpri Sagara dari PTBA tegas menolak bila perusahaannya disebut mencemarkan sungai. “Air tambang itu mengalir ke KPL (kolam pengendapan lumpur) dulu,” katanya. “Keluar dari itu, (air) sudah jernih, sudah sesuai baku mutu lingkungan.”
Banjir jadi persoalan lain. Pada awal Mei 2020, misalnya, banjir besar merendam 30 rumah di RT 14 Tegal Rejo. Saat itu, timbunan tanah galian PTBA terkikis hujan deras sehingga longsor, memasuki Sungai Kiahan. Air meluap, menerjang permukiman RT 14 di samping sungai.
“(Timbunan) terkikis itu kami akui salah kami. Tapi apakah banjir itu, yang merendam rumah penduduk itu, 100% salah kami? Saya enggak mau bilang iya. Karena kalau mau tahu, rumah yang terkena dampak pertama sekali itu jaraknya lima meter (dari sungai),” kata Venpri. “Itu sudah kami bebaskan (lahannya).”
Pada 2020, ada 38 desa dan kelurahan mengalami banjir di Muara Enim, turun dari 44 pada tahun sebelumnya, menurut laporan Badan Pusat Statistik (BPS). Sementara itu, tanah longsor terjadi di 22 desa dan kelurahan pada 2020, naik dari yang sebelumnya hanya 20 desa.
Selain karena keteledoran dalam praktik pertambangan, banjir dan longsor dapat dipicu minimnya daerah resapan air karena deforestasi. Selama ini, pembukaan lahan dan pembangunan infrastruktur tambang batubara telah melenyapkan sejumlah kawasan hutan di Muara Enim.
Pada periode 2019-2020, Sumatera Selatan kehilangan tutupan hutan seluas 37.170 hektare, dan Muara Enim berkontribusi sebesar 2.038 hektare, merujuk data Hutan Kita Institute (HaKI).
Tak hanya hutan, lahan pertanian terkena dampak pertambangan batubara. Banyak orang merelakan kebun dan sawah dibeli berbagai perusahaan untuk dikonversi jadi wilayah tambang. BPS mencatat, dalam satu dekade (2008-2017), luas lahan sawah di Muara Enim menyusut 36% jadi 23.407 hektare dan perkebunan menciut nyaris 30% jadi 237.164 hektare.
Karena itu, semakin banyak orang Muara Enim bermimpi kerja di tambang, alih-alih di sawah atau kebun.
Contohnya, Yedi Nopmalison yang bersedia melakukan apa saja agar bisa jadi sopir truk batubara, atau para pencari kerja yang rela membayar Rp20 juta demi jadi operator ekskavator. Mereka berdesakan, saling memperebutkan jatah “kue arang” yang begitu menggiurkan, pun mengancam kesehatan.
Setelah bekerja selama lebih dari dua dekade, Yedi paham bahwa ia dan kawan-kawannya di lapangan adalah orang-orang rentan. Para operator alat berat, misalnya, rata-rata jadi pekak kupingnya setelah pensiun karena terlalu sering terpapar suara bising. Sementara itu, sopir truk seperti Yedi dan pekerja lain yang rutin terpapar debu batubara bisa dengan mudah terjangkit tuberkulosis (TBC) atau infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) bila lalai dan tak mengenakan masker.
“Kalau kita enggak antisipasi dengan sendirinya, TBC itu pasti untuk orang tambang,” kata Yedi. “Kalau aku sih, alhamdulillah, sampai sekarang belum terkena TBC. Alhamdulillah. Mudah-mudahan tidak.”
ISPA adalah penyakit nomor wahid di Muara Enim. Data BPS menunjukkan rata-rata lebih dari 42.000 orang per tahun mengalami ISPA pada periode 2015-2019. Pada saat yang sama, penderita TBC mencapai kira-kira 1.000 orang per tahun. Sebagai perbandingan, jumlah penduduk Muara Enim lebih dari 637.500 jiwa pada akhir 2019.
Tingginya angka penderita ISPA terkait rendahnya imunitas warga. Direktur Utama RS Pusri di Palembang, Yuwono, menjelaskan warga Muara Enim rawan terkena pneumokoniosis, yaitu penyakit yang disebabkan debu batubara mengendap di paru-paru. Akibatnya, daya tahan tubuh penderita menurun dan jadi rentan infeksi apa pun.
“Jangan salah paham. Batubara atau debu tidak menyebabkan ISPA, tapi menyebabkan kerentanan,” kata Yuwono. “Jadi memang warga di situ sudah rawan, sudah rentan terkena berbagai penyakit, karena masalah debu tadi sangat mungkin menurunkan kualitas kesehatan.”
Untuk hal ini, Venpri dari PTBA berdalih ISPA bisa terjadi karena berbagai faktor. Pemicunya bukan hanya debu batubara, tapi bisa debu jalan. Perusahaan pun rutin melakukan penyiraman air di jalan agar debu batubara tidak beterbangan ke mana-mana, katanya.
Namun, sejumlah warga termasuk Hapriansyah, mempertanyakan efektivitas penyiraman air tersebut.
Biar bagaimanapun, jadinya serba runyam. Muara Enim adalah lumbung energi kotor, kabupaten dengan cadangan “emas hitam” terbesar di Sumatera Selatan, lokasi operasi dan kantor pusat PTBA, si BUMN batubara kebanggaan pemerintah.
Di sana, sungai tercemar. Banjir dan longsor rutin menyapa. Kawasan hutan menyusut. Lahan-lahan pertanian dan perkebunan menciut. Di sana, konflik lahan bak santapan biasa. Tambang ilegal di mana-mana. Kesehatan warganya buruk.
Di sana, bagai cuplikan distopia.
Kota Arang. Kota Hantu, Kota Wisata?
Distopia rasanya bisa jadi nyata bila Muara Enim tetap begitu saja. Kini, batubara dikeruk di segala penjuru. Bagaimana nanti, saat ia habis atau tak lagi laku karena energi bersih jadi nomor satu?
Pada Mei 2021, Presiden Joko Widodo menginstruksikan BUMN setrum PLN untuk menghentikan pembangunan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) baru, kecuali yang sudah di tahap konstruksi atau pemenuhan pembiayaan. Dua bulan berselang, Indonesia menyerahkan dokumen memuat komitmen iklim baru kepada Perserikatan Bangsa-Bangsa dan menetapkan tenggat untuk memangkas emisi karbon hingga nol pada 2060 atau lebih cepat.
Mempertimbangkan semua hal itu, pada awal Oktober, PLN menerbitkan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) baru untuk periode 2021-2030. Dalam kurun waktu itu, PLN hanya berniat menambah kapasitas PLTU sebesar 13,8 gigawatt (GW), turun drastis dibandingkan rencana penambahan sebesar 27 GW di RUPTL sebelumnya untuk periode 2019-2028.
RUPTL 2021-2030 disebut menjadi landasan bagi Indonesia mewujudkan target nol emisi. PLN bakal mulai memensiunkan PLTU secara bertahap mulai 2025. Diharapkan, tak ada lagi fasilitas batubara pada 2060.
Jokowi memang punya rekam jejak plinplan dan serba impulsif saat menentukan kebijakan energi nasional. Namun, katakanlah Indonesia semakin terpojok karena dunia kian memprioritaskan energi bersih dan akhirnya Indonesia serius meninggalkan batubara. Akan jadi seperti apa “kota-kota arang” macam Muara Enim di masa depan?
Pertanyaan ini jadi penting karena kebijakan energi nasional jarang membumi dan kerap sulit dimengerti. Ia cenderung cuma jadi isu kaum elitis dan tak pernah tergambar dengan jelas dalam benak kebanyakan orang di lapangan.
Keyjhon, pemain tambang ilegal di Muara Enim, berkata cuma pernah mendengar kalau suatu saat pemerintah hanya akan memberi izin untuk memproduksi batubara berkalori tinggi. Untuk yang berkalori rendah, katanya, masih ada jalan. Ia dengar gosip, entah dari mana, bahwa Jepang bersedia menampung batubara macam itu. “Jadi yang menampung (batubara berkalori) di bawah 6.000 ini ya mereka.”
Ilwan Utama, Kepala Desa Darmo, mengusulkan agar warganya beralih kerja ke sektor peternakan ketika tak bisa lagi menambang arang. Saat ditanya lebih jauh, responsnya: “Masih lama.”
Lain hal dengan Rimulati, warga Dusun Talang Jawa di Tanjung Enim yang telah bekerja di sejumlah perusahaan penyedia jasa pertambangan batubara sejak 1990-an. Ia telah memiliki keresahan terkait nasib Tanjung Enim ke depan. “Itulah yang kami takutkan. Jadi Kota Hantu.”
Mengantisipasi hal ini, PTBA sebagai penambang terbesar di Muara Enim berencana menciptakan roda perekonomian baru dengan menyulap Tanjung Enim jadi Kota Wisata. “Kita benar-benar harus menarik uang dari luar masuk ke dalam. Sama kayak Bali,” kata Venpri Sagara dari PTBA.
Pertanyaan selanjutnya: atraksi macam apa yang bisa membuat banyak turis berlomba mengunjungi Tanjung Enim, apalagi tak ada gunung atau pantai untuk wisata alam di sana?
Venpri terdiam sesaat, lalu berkata, “Tanjung Enim ini… Susah, kalau ngomong wisata.” Mau tak mau, katanya, harus tercipta sesuatu yang baru. Ada beberapa ide yang telah terpikirkan, misalnya membuat wisata tambang dan ekowisata.
Walau begitu, saat ini PTBA tampaknya belum bisa serius menggarap ide tersebut. Ia masih sibuk berusaha memeras manfaat batubara sebanyak-banyaknya selagi bisa. Perusahaan tengah dalam proses membangun sejumlah fasilitas di Muara Enim untuk memproses batubara jadi produk hilir. Ada pembangkit mulut tambang Sumsel 8. Ada pula proyek gasifikasi yang rencananya bakal menghasilkan dimethyl ether untuk substitusi LPG, polypropylene untuk bahan baku plastik, metanol, dan urea. Tak ada waktu untuk memikirkan pariwisata.
Memang, tak ada yang punya jawaban konkret soal masa depan Muara Enim, soal tanahnya yang telanjur penuh lubang, lingkungannya tercemar, atau kebanyakan warganya sepanjang hidup hanya tahu cara mencari makan dari batubara.
Yang pasti, saat batubara cuma jadi seonggok batuan hitam tak berharga, nilai kerusakan yang telah ditimbulkannya tak akan pernah bisa tergantikan.
Tidak dengan uang. Tidak dengan barang. Tidak dengan nyawa.
* * *
NYAWA ANAK Ribut Suratno melayang setelah tenggelam di lubang besar penuh limbah tambang. Seminggu setelah kejadian, rombongan tim sosial PT Bukit Asam mampir ke rumahnya, meminta maaf, dan memberi uang santunan Rp5 juta. Ribut diam saja.
Ribut menggunakan sebagian uang itu untuk membeli beras, yang lantas dibagikan ke panti asuhan. Sebagian lain ia sumbangkan ke sejumlah masjid, sekalian ia meminta dibacakan doa untuk almarhum anaknya, Ikhwan Naza.
Sudah. Ia merasa tak mampu berbuat lebih jauh. Ia orang kecil. Mau menuntut pun pasti kalah, pikirnya. Ia coba menerima permintaan maaf dari perusahaan, yang bosnya saja sesungguhnya tak sepenuhnya merasa bersalah.
Venpri Sagara dari PTBA justru bertanya-tanya kenapa anak kecil bisa bermain jauh sekali dari rumahnya di RT 14 Tegal Rejo hingga menyeberangi Sungai Kiahan dan tenggelam di lubang bekas galian tambang perusahaan.
“Saya tidak menyatakan bahwa salah orangtuanya enggak jaga anak. Enggak,” kata Venpri. “Tapi jaraknya jauh banget, loh, itu.”
Ribut tak pernah mendengar langsung kata-kata macam itu diucapkan kepadanya. Dan mungkin ia pun tak mau tahu. Ia sudah terlalu lelah kalah. Ia coba ikhlas.
Namun, hari itu, kala tangan kirinya mencengkeram tengkuk karyawan PTBA di hadapannya, dan tangan kanannya mengangkat parang, Ribut tak bisa lagi menahan emosi. Semua bercampur di kepalanya. Soal anaknya dan santunan Rp5 juta.
Entah bagaimana, Ribut akhirnya bisa mengendalikan diri. Ia pergi, lalu kembali mencari si pria esok hari. Kali ini, Ribut membawa Rp20 juta.
“Dulu anak saya mati, PTBA cuma kasih Rp5 juta.”
“Ini uang Rp20 juta. Kamu tidur di jalan itu. Biar mobil yang ngerit batubara itu ngelimpis kepalamu.”
“Hayo!”
“Biar mati kamu!”
Hafidz Trijatnika Januar berkontribusi dalam laporan ini.
Laporan ini bagian dari serial reportase #EnergiKotor, terwujud berkat dukungan Earth Journalism Network melalui proyek kolaborasi khusus bertajuk “Available but not Needed”, yang mempertemukan enam media lintas-negara menyingkap kepentingan swasta dan publik mendanai pembangkit berbahan bakar fosil di Asia Tenggara.
Baca laporan sebelumnya dari serial ini:
Ambisi Jokowi Bikin PLN Lapar Batubara, Energi Kotor pun Jadi ‘Terbarukan’