Di pesisir utara Cirebon, Jawa Barat, berdiri dua Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) yang dioperasikan PT Cirebon Electric Power (CEP). PLTU Cirebon-1 beroperasi sejak 2012, dan PLTU Cirebon-2 pada 2022.
Berdirinya pabrik listrik yang menyuplai 660 megawatt (MW) dan 1.000 MW ini membawa dampak pada kondisi sosial, ekonomi, dan lingkungan masyarakat sekitarnya. PLTU menghantam kehidupan di antaranya para nelayan, petambak garam, dan udang. Pemerintah berjanji akan mengakhiri masa operasional PLTU-1 Cirebon paling cepat 2035.
Satria, yang Pergi Bersama Cita-cita
NYALI melaut sudah muncul sejak Satria masih kecil. Satria Krisnadi, nama lengkapnya, tak gentar dengan hujan dan bahkan ombak. Satria kecil akan kerap merengek, meminta ikut melaut dengan bapaknya, Bambang Wiradi.
Ketika libur sekolah, Satria tak pernah absen menemani bapaknya mencari rajungan di Laut Pantura. Beranjak remaja, Satria bisa tinggal lima hari lima malam di lautan atau babangan, untuk mencari rajungan.
Satria akan menyambut gembira jika ombak datang. Baginya, ombak adalah pertanda datangnya puluhan bahkan ratusan ekor rajungan.
“Anak saya gak ada takutnya. Ada ombak, dia senang,” kata Bambang saat ditemui di rumahnya di Desa Waruduwur, pertengahan September.
Ketika rajungan semakin langka karena terusir PLTU Cirebon 1, Satria mulai gelisah. Hasil melautnya terus menurun, berbanding terbalik dengan ongkos melaut yang semakin menanjak. Uang semakin sulit didapat, sementara tagihan motor menunggu dibayar.
Sebab Laut Cirebon sudah berbeda, Satria dan beberapa pemuda di desa tersebut terpaksa merantau, mencari peruntungan di perairan lain. Beberapa kali Satria merantau ke Laut Jakarta selama satu hingga dua bulan. Sampai pada akhirnya, ia meminta izin bekerja sebagai anak buah kapal (ABK) di kapal penangkapan cumi. Kapal milik perusahaan dalam negeri itu berlayar hingga Papua. Satria dikontrak selama satu tahun.
“Mah, pengin berangkat saja lah sama teman-teman ke Papua, mancing cumi,” pinta Satria ke ibunda, Iti, circa 2020.
“Aduh, Dek, mancing itu lama pulangnya,” tolak Iti.
“Gak apa-apa, Mah. Ada teman, cari-cari pengalaman,” ucap Satria yang saat itu berusia 22 tahun.
Iti dan Bambang sebetulnya berat mengizinkan anak pertama dari tiga bersaudara itu pergi ke Papua. Namun tekad Satria begitu kuat, seiring melemahnya harapan mengais rezeki di tempat tinggal mereka. Dengan kekhawatiran yang besar, Bambang dan Iti melepas kepergian Satria yang ternyata pergi untuk selamanya.
Satria pergi dari kampungnya pada Juni 2020. Pada Desember tahun yang sama, Satria pulang tanpa nyawa. Ia hanya bertahan selama enam bulan karena terserang malaria. Obat-obatan yang terbatas dan tidak ada petugas medis di kapal membuat kondisinya memburuk. Satria berpulang di perjalanan menuju rumah sakit.
Empat tahun berlalu, kesedihan masih menggelayuti setiap sudut rumah.
Bambang mengenang anak lelaki satu-satunya itu seorang yang gigih, berani, dan mencintai profesi nelayan.
“Ada (pikiran andai PLTU tidak ada, rajungan masih banyak), karena (Satria) gak akan jauh dari desa cari makannya. Paling jauhnya ke Jakarta,” sesal Iti.
“Ada gak ada, itu ketentuan dari Tuhan. Kita cuma merencanakan Tuhan yang menentukan segalanya, inginnya hidup bareng anak-anak sampai tua,” timpal Bambang.
Nelayan Waruduwur Melarung Doa
Minggu pagi, Bambang sudah bersiap dengan kaos seragam kelompok nelayan Warudur. Ia bersama warga desa lainnya akan menggelar nadran atau sedekah laut yang diawali dengan mengarak sesajen keliling kampung.
Nadran rutin digelar nelayan Cirebon setiap tahun sebagai tanda syukur atas hasil tangkapan laut yang melimpah, serta berharap hasilnya akan meningkat di tahun depan, dan selalu diberi keselamatan saat mencari nafkah di laut.
“Kita berdoa kepada Yang Maha Kuasa supaya kita mencari nafkah di lautnya tetap ada hasilnya dan yang kita cari tetap ada, tetap terjaga kelestariannya,” harap pria 52 tahun itu.
Doa dilarungkan bersama sesajen yang perlahan hanyut ke tengah lautan, disertai asa permintaannya akan dikabulkan Sang Pencipta sehingga masa paceklik ini akan segera berakhir.
Empat tahun setelah peresmian PLTU Cirebon 1 pada 2012, hasil tangkapan nelayan Waruduwur menurun. Area tangkapan juga menyusut lantaran dibatasi dermaga yang membentang sepanjang dua kilometer dari pantai hingga ke bangunan PLTU. Bambang terpaksa harus melaut lebih jauh untuk mendapatkan rajungan.
“Sekarang 10 kilo aja susah,” keluhnya.
Sebelum ada PLTU, Bambang bisa mendapat rajungan sebanyak 20-30 kilo atau 140-300 ekor. Itu pun tidak perlu melaut hingga jauh. Bambang cukup menebarkan jala di pinggir laut atau kalaupun harus melaut, Bambang hanya memerlukan perjalanan sekitar 30 menit dan menghabiskan 5 liter solar.
Sekarang, Bambang bisa melaut hingga perbatasan Indramayu. Ia juga harus mengisi bahan bakar hingga berkisar 20 liter solar. Upaya itu kadang tak sebanding dengan hasil dan risikonya.
Masa panen semakin jarang, sedangkan paceklik semakin sering terjadi.
Rajungan Sulit Terjaring, Malah Terjerat Utang
Sejak beberapa tahun ke belakang, hari-hari Iti dihabiskan bekerja mengupas rajungan di pabrik pengolahan makanan boga laut. Ia berangkat sekitar pukul 7 pagi, tak lama setelah anak bungsunya, Aprilia Trimulyani, pergi sekolah.
Kalau rajungannya banyak, Iti bisa menghabiskan waktu sepanjang hari bekerja di pabrik. Perempuan 45 tahun itu baru pulang menjelang malam dengan membawa uang hasil jerih payahnya sebesar Rp120 ribu.
Namun, rajungan yang diolah di pabrik milik Haji Persis itu bukan hasil tangkapan nelayan Waruduwur, tapi kiriman dari Jakarta. Rajungan Waruduwur semakin jarang terjaring. Kondisi itulah yang memaksa Iti bekerja sebagai pengupas rajungan.
Dulu, Iti mengupas rajungan hasil tangkapan Bambang. Dari menjual daging rajungan yang dikupas selama 2-3 jam, Iti bisa mendapat Rp500 ribu. Sisa waktunya itu bisa ia manfaatkan untuk membuat jaring, mengerjakan pekerjaan rumah tangga, dan mengurus April.
Di pabrik, Iti bekerja mengupas rajungan secara borongan. Semakin banyak rajungan yang dikupas, semakin banyak upahnya. Iti beruntung karena sering dibantu April.
“April kalau pulang sekolah, langsung bantuin. Lepas seragam, makan, terus bantuin saya. Setiap pagi, April nanya, ‘Mama kerja di mana hari ini?’ Kalau seumuran anak SMP, cuma anak saya saja yang bantu orang tua,” ungkap Iti.
April merasakan pula kesulitan yang dialami orang tuanya itu.
“Dulu Mama ada uang, sekarang gak ada. April sering pengin apa, tapi mamanya gak punya uang. Sering pengin punya apa, tapi gak berani minta sama Mama,” ujar April yang lahir saat aksi unjuk rasa besar-besaran menolak PLTU Cirebon 1 pada 2010.
Iti terpaksa berutang ke bank keliling karena terdesak kebutuhan hidup. Bank keliling sebutan untuk pemberi pinjaman dana kepada masyarakat yang dilakukan dari pintu ke pintu dengan bunga pinjaman yang tinggi. Tidak hanya keluarganya, kata Iti, banyak keluarga nelayan lain yang juga terjerat utang bank keliling sebagai akibat dari menurunnya hasil tangkapan.
Ada pula warga yang nekad bekerja di luar negeri. Warga perempuan bekerja sebagai pembantu rumah tangga dan laki-laki bekerja sebagai ABK atau buruh pabrik.
Iti bertanya-tanya mengapa sejak PLTU berdiri kehidupan warga Waruduwur terasa sulit, tapi ibu tiga anak itu tidak memahami apa kaitannya.
“Kurang ngerti sama PLTU, wis pasrah bae. Masih gak bisa ditebak, apa nanti nelayan masih ada penghasilan, apa enggak. Jadi pasrah bae,” ucapnya.
Cirebon [bukan lagi] Kota Udang
Sejak 1982, Warcita sudah menjadi nelayan. Saat itu, kehidupan nelayan sejahtera karena sumber daya laut masih melimpah. Rebon atau udang kecil memenuhi pesisir pantai, bahkan hingga ke sungai-sungai. Kekayaan laut berupa rebon itu yang menjadikan Cirebon dijuluki Kota Udang. Tapi sekarang?
“Sekarang boro-boro. Namanya aja Kota Udang, tapi udangnya gak ada. Kalaupun ada, gak seberapa,” kata Warcita, warga Waruduwur.
Warcita sempat merasakan kejayaan sebagai seorang nelayan dan berkembang menjadi pengepul rajungan. Warcita sempat memiliki 160an bubu, empat buah kapal seharga total Rp460 juta, dan ABK.
Kondisi perlahan berubah sejak 2016. Juragan perahu yang tadinya berjumlah 240 orang, termasuk dirinya, sekarang tinggal 130 orang. Sebagian besar juragan nyaris bangkrut karena ditinggal oleh ABK-nya yang berangkat ke luar negeri.
“Sekarang bubu cuma 40an. Empat perahu saya jual Rp60 juta, rugi 400 juta. (Kapal saya) cuma laku Rp15 juta satunya. Saya bilang, sudah sini aja uangnya daripada rusak di pinggir sungai, didamparin orang yang pada berangkat ke luar negeri. Mereka cari makan sendiri-sendiri. Orang punya keluarga,” ujar Warcita.
Kalau pun pergi melaut, imbuh Warcita, nelayan rugi karena ongkos dan perbekalan lebih besar dibanding pendapatan. Belum lagi harga solar yang bagi Warcita dan nelayan lainnya sangat memberatkan. yaitu Rp8 ribu per liter.
“Kami nelayan kecil, tapi beli solarnya, gak ada subsisdi. Nah, itu beratnya seperti itu,” ungkap Warcita yang menjabat sebagai Ketua Kelompok Perikanan Bintang Muara.
Warcita tidak memungkiri program subsidi bahan bakar minyak untuk nelayan yang harganya dipatok Rp6.500 per liter. Akan tetapi, menurut Warcita, aturannya menyulitkan nelayan, seperti harus memiliki surat rekomendasi dari Kementerian Kelautan dan Perikanan, pembelian solar dibatasi hanya 30 liter, SPBU yang melayani subsidi solar juga terbatas.
“Kami penginnya, seluruh SPBU bisa melayani subsidi solar ini. Pemerintah tolong jangan kami dipersulit,” keluh Warcita.
Rajungan Terusir Limbah
MALAM yang tenang dipecahkan suara bergemuruh mesin PLTU Cirebon 1. Suara itu mengagetkan Bambang yang tengah melaut di Perairan Cirebon. Rupanya sedang dilakukan pengisian batubara yang menjadi bahan bakar PLTU.
Ketika perjalanan pulang, Bambang melihat kapal tongkang sedang bongkar muat batubara di dermaga PLTU. Debunya yang berterbangan memang tidak tampak, tapi Bambang bisa merasakan dari matanya yang mendadak perih dan napasnya yang terasa sesak.
Debu batubara juga beterbangan saat kapal tongkang yang mengangkut batu hitam itu lewat.
“Kalau saya pulang (dari melaut) kan melewati tongkang yang ngangkut batubara, perih mata saya, pernapasan sesak. Apalagi kalau pas batubaranya sedang diangkutin dan angin dari laut kencang,” sebut Bambang.
Seringkali batubara itu jatuh dan tenggelam di dasar laut. Kadangkala tersangkut di jaring nelayan. “Saya tahu batu bara. Hitam itu. Suka terbawa di jaring,” kata Iti.
Serbuk hitam batu bara mengendap di pasir, mengotori penghuni laut di sekitarnya, termasuk rajungan yang hidup di daerah berpasir.
Sekitar 2018, puluhan ekor rajungan hasil tangkapan Bambang berwarna hitam di dada dan kakinya. Pun, udang cakrek dan lobster yang juga hidup di area berpasir. Bambang keheranan karena hal ini tidak pernah terjadi sebelumnya. Bambang menduga kejadian itu ada kaitannya dengan keberadaan PLTU.
“Pertama kali heran, sekarang kok dapat rajungannya hitam. ini terjadi sejak PLTU berdiri, kami berasumsinya seperti itu karena kami orang awam gak tahu pengaruh dari mana. Cuma setelah ada batu bara, anehnya kayak gitu (rajungan hitam).”
Pikiran Bambang dipenuhi pertanyaan, apakah berkurangnya rajungan ada kaitannya dengan PLTU.
Kecurigaan yang sama muncul di benak Warcita. Sekitar 2015-2016, Warcita juga mendapati rajungan hasil tangkapan nelayannya berwarna hitam.
“Rajungannya banyak, tapi hitam semua, dada dan kakinya. Udang cakrek yang di dasar laut juga hitam. Kayak ada endapan batubara di dasar laut,” katanya.
Warcita ingin memastikan kecurigaannya. Ia lantas membeli beberapa ekor rajungan hitam dan membawanya ke UPTD Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan Wilayah Utara (PSDKP WU) Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Jawa Barat untuk diperiksa di laboratorium.
Namun, tanggapan dari instansi pemerintah tersebut mengecewakannya. Ia mengatakan saat itu pihak PSDKP WU meminta Warcita mengecek rajungan itu ke laboratorium.
“Loh, kenapa harus saya yang periksa? Memangnya saya ada biaya? Masa pemerintah seperti itu? Harusnya dicek ada apa. Apakah masih aman untuk dikonsumsi manusia. Kan takutnya keracunan. Siapa nanti yang bertanggung jawab,” ujar Warcita kesal.
Saking kesalnya, Warcita mengajak pegawai dinas tersebut memakan bersama rajungan itu.
“Sudah, ayok, saya rebus rajungannya, kita makan bareng-bareng. Enggak mau mereka.”
Respon yang sama ia terima ketika melaporkan temuan bukit batubara di perairan Waruduwur Kanci pada 2018. Bukit kecil itu berasal dari batu bara yang terjatuh ke laut dan menumpuk. Warcita sempat ditugaskan sebagai Ketua Kelompok Masyarakat Pengawas (Pokmaswas) pencemaran laut oleh PSDKP WU.
Pemerintah tidak menindaklanjuti laporan tersebut, bahkan Warcita diancam pidana pencemaran nama baik.
“Tahun 2018, sempat mengambil batubara yang jatuh di laut. Saya dokumentasikan batu baranya waktu diambil. Tapi malah dituduh pencemaran nama baik. Padahal saya ditugaskan sebagai petugas Pokmaswas,” katanya.
“Enggak ada gaji, enggak ada honor, malah dikorbankan. Aturan pemerintah itu merasa senang ada yang membantu, tapi malah kita yang disudutkan.”
Sesal Sari untuk Watia
“Sudah lah, Nok, (panggilan untuk anak perempuan) jangan mimpi yang tinggi-tinggi,” ucap Sari menjawab permintaan Watia, anak sulungnya yang ingin melanjutkan pendidikan di sekolah kebidanan.
Hati Sari pedih ketika mengucapkan kalimat itu. Ibu tiga anak itu sebetulnya memahami keinginan Watia yang begitu besar untuk menjadi bidan. Di lubuk hatinya, Sari mendukung cita-cita Watia, terlebih lagi keinginan itu muncul sebab tidak adanya bidan di Kandawaru, desa tempat tinggal mereka. Cita-cita anaknya begitu mulia, tapi juga begitu tinggi sehingga tak terjangkau.
Dari informasi yang didapatnya, Sari membutuhkan uang sebesar Rp300 juta untuk menyekolahkan Watia hingga lulus. Jumlah yang sangat besar di tengah kondisi ia dan suaminya tidak bekerja, setelah tambak garam mereka tergusur PLTU Cirebon 2. Untuk makan sehari-hari saja, Sari dan suami bekerja serabutan dengan hasil yang minim.
Tiap hari Watia menangis berharap keinginannya dipenuhi orang tuanya. Namun Sari bergeming.
“Nok, walaupun kamu nangis berapa kali pun, gak bisa. Mama gak kuat, Nok,” kata Sari.
“Bisa nyicil, Mah,” bujuk Watia.
“Nyicil juga dari mana. Kalau masih punya tambak garam, mungkin bisa. Bayar tiap bulannya satu juta, dua juta juga bisa bayar. Sekarang mah, boro-boro,” keluh Sari.
Saat memiliki tambak, kehidupan Sari bisa dibilang berkecukupan. Dari penjualan garam, Sari bisa membangun rumah. Lalu petaka itu datang. Tambak garam yang jadi sumber penghasilan keluarga Sari tergusur PLTU Cirebon 2. Kala itu warga sempat menolak digusur dengan cara berunjuk rasa, tapi sia-sia.
“Kami bertahan karena gak mau kan tambak garamnya dibeli buat PLTU. Kami gak mau digusur, tapi mana mungkin kami kuat. Kami kan gak punya apa-apa. Mereka punya uang. Kayak kompeni paksa kami,” beber Sari.
Sebagian besar warga Wakandaru yang berprofesi petambak garam ikut kehilangan sumber penghasilan mereka. Mereka beralih menjadi kuli serabutan, kuli panggul, atau mencari pekerjaan di luar kampung, bahkan sampai ke luar negeri. Perempuan-perempuan muda di Kandawaru banyak yang menjadi pekerja migran, termasuk Sari. Dengan berat hati, ia bekerja ke Kuwait sebagai pengasuh anak, meninggalkan Watia dan Reno yang saat itu berumur sembilan dan tiga tahun.
Setelah dua tahun merantau, Sari pulang kampung berangan bisa segera memeluk kedua anaknya. Namun yang terjadi malah sebaliknya, kerinduan Sari justru berbalas kemarahan.
“Pas pulang, anakku benci semua sama aku. Katanya, ‘Kenapa kamu pulang. Kamu ngurusin anak orang, aku diurusin sama nenek?,” ungkap Sari dengan suara bergetar.
Penggusuran itu bukan hanya menghilangkan mata pencaharian Sari, tapi juga hubungannya dengan keluarga. Sari berusaha merajut kembali ikatan yang sempat terputus dengan anak-anaknya. Namun kali ini, giliran suaminya yang harus pergi mencari rezeki di daerah lain. Masa-masa kebersamaan dengan suami saat menggarap tambak garam, entah kapan akan terulang lagi.
“Kalau tambak garam ada, gak tergusur PLTU, mungkin kami sudah sukses, buat makan sehari-hari gak kekurangan, terus masa depan anak cerah, anakku mungkin bisa jadi bidan,” sesal perempuan 44 tahun itu.
Watia, putri kesayangannya itu, akhirnya memilih menikah muda. Cita-citanya menjadi bidan kandas.
Perempuan dan Anak Paling Terdampak
Bagi warga di Kecamatan Astanajapura, keberadaan PLTU Cirebon 1 dan 2 sudah membawa kerugian bahkan sejak tahap pra-konstruksi. Saat itu, banyak warga terusir dari lahan dan sumber kehidupannya. Proses pembebasan lahan diwarnai intimidasi yang melibatkan calo tanah. Mengutip laporan Sajogyo Institute, PLTU Cirebon dibangun di atas tanah yang digunakan warga sebagai lahan pertanian dan tambak garam, atau biasa disebut gareman.
Saat musim kemarau tiba, tanah tersebut dijadikan tambak garam dan ketika musim penghujan, menjadi tambak ikan atau udang.
Pouw (2013) menyebutkan, sepanjang 2012-2013, pertanian tambak garam di Desa Kanci dan Kanci Kulon melibatkan setidaknya 520 orang petani dengan luasan lahan sekitar 222 hektare (ha) dengan produksi hingga hampir 28 ribu ton.
Saat proses pembangunan, warga kembali dirugikan. Material bangunan menyebabkan laut dan pesisir menjadi semakin kotor. Debu dan pasir juga mengotori garam sehingga banyak penggarem harus kerja keras untuk membersihkan garam hasil panennya.
“Garam jadi kotor kena polusi dari PLTU. Kualitasnya jadi gak bagus, gak putih garamnya, agak kemerah-merahan,” ungkap Sari.
PT CEP pernah berjanji bahwa keberadaan PLTU akan menyerap sebanyak mungkin tenaga kerja lokal. Namun kenyataannya, tidak banyak warga yang bisa direkrut menjadi tenaga kerja di masa pembangunan PLTU.
Malah, proses rekrutmen juga diwarnai penipuan oleh calo tenaga kerja.
Riset Sajogyo Institute dan SALAM Institute juga menyebutkan, limbah PLTU yang dibuang ke laut lepas menyebabkan banyak hasil laut menghilang. Beberapa jenis hasil tangkapan seperti ukon, bukur (kerang dara), mbet, ingser, laksa, mbot, giyobong, gayaman, dan keong mulai menghilang. Sebelum PLTU beroperasi, jenis-jenis tangkapan tersebut melimpah ruah bahkan biasa diambil secara gampang di bibir pantai oleh nelayan dan anak-anak.
Selama 12 tahun PLTU Cirebon 1, dan dua tahun PLTU Cirebon 2 beroperasi, warga sekitar semakin menurun kualitas hidupnya, baik secara ekonomi, sosial, dan lingkungan. Namun dari semua itu yang paling terdampak adalah anak dan perempuan.
Siti Latifah, Divisi Riset Aksi SALAM Institute, mengatakan sebelum ada PLTU, warga bisa mengatur waktu antara memenuhi kebutuhan sehari-hari, melakukan pekerjaan domestik, mengurus dan mendampingi anak. Sekarang, ketika ekosistem laut sudah rusak, penghasilan suami semakin sedikit, mereka harus menanggung beban berkali-kali lipat.
“Bukan hanya mengerjakan tugas domestik, tapi perempuan-perempuan ini juga harus memikirkan bagaimana dapur mereka terus ngebul. Ini berat sih,” kata Ifah, panggilan Siti Latifah.
Anak-anak juga menderita beban psikologis lantaran mereka harus menahan diri untuk memiliki keinginan yang muluk, bahkan meraih cita-cita, lanjut Ifah. Anak-anak ini juga tidak memiliki kesempatan untuk bermain.
“Mereka seolah-olah ditahan untuk punya mimpi yang besar. Mereka sudah dihadapkan pada kenyataan, aku hanya anak nelayan nih. Aku gak boleh punya mimpi yang muluk,” tukas Ifah.
Menanti Pensiun Dini PLTU Cirebon 1
Merujuk pada Laporan Investigasi Gas Rumah Kaca dan Monitoring, Pelaporan dan Verifikasi (MPV) 2021, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, industri batubara dan operasional pembangkit listrik adalah penyumbang terbesar emisi gas rumah kaca hingga 56%.
Kondisi ini menggambarkan bagaimana Indonesia masih memiliki ketergantungan tinggi pada sumber energi fosil. Data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menunjukkan saat ini terdapat sekitar 253 unit PLTU.
Di tengah target menurunkan emisi pada 2030, pemerintah masih belum terlihat komitmen tegasnya dalam mengurangi ketergantungan ini. Justru, jika melihat Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PLN, masih ada rencana untuk membangun PLTU hingga kapasitas 13.000 MW PLTU sampai 2030.
Di lain pihak, Pasal 3 Peraturan Presiden No. 112/2022 tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik memandatkan moratorium pemberian izin baru PLTU, walaupun ada beberapa pengecualian.
Adanya aturan tersebut sejatinya menjadi komitmen yang perlu ditagih dari pemerintah terkait penghentian operasional PLTU.
Merujuk skema JETP (Just Energy Transition Partnership) dan Energy Transition Mechanism (ETM), PLTU Cirebon 1 seharusnya menjadi pembangkit batubara pertama yang dipensiundinikan. Target yang dipasang pemerintah adalah 2035.
Pembangkit dengan kapasitas produksi 660 MW ini mengonsumsi kurang lebih 8.000 ton batu bara perhari. Dari konsumsi batubara sebanyak itu, mengutip riset Transisi Energi Berkeadilan di Jawa Barat PLTU Cirebon 1 menghasilkan kurang lebih 4.445 ton emisi karbon per hari atau sebanyak 30 juta ton, jika diakumulasikan selama 15 tahun.
Syaharani, Plt Kepala Divisi Tata Kelola Lingkungan dan Keadilan Iklim ICEL, kendati emisi karbon PLTU Cirebon 1 tidak sebanyak PLTU Tanjung Jati A di Cirebon yang menghasilkan 200 juta emisi karbon selama masa operasinya, tetapi pensiun dini tetap penting dilakukan.
“Apalagi IPCC (Intergovernmental Panel on Climate Change) di laporan terakhirnya juga sudah menyinggung kalau jatah emisi yang dapat kita keluarkan akan habis di awal tahun 2040 dengan tingkat emisi di tahun 2023. Pemensiunan PLTU Cirebon 1 ini tetap akan selalu signifikan untuk mengurangi beban emisi dari sektor ketenagalistrikan kita,” terang Syahrani saat diwawancara, Oktober.
Selain itu, imbuh Syaharani, pemensiunan PLTU akan selalu signifikan sebab jaringan PLN saat ini kelebihan pasokan listrik. Di sisi lain, penghentian operasional PLTU juga menjadi prasyarat untuk penetrasi energi terbarukan ke dalam jaringan PLN.
“Ketika kapasitas PLTU di grid PLN sudah berkurang, energi terbarukan baru bisa masuk ke dalam jaringan,” ujarnya.
Pemensiunan dini PLTU Cirebon 1 akan menjadi tolok ukur keseriusan pemerintah dalam menjalankan komitmennya, lanjut Syaharani. Saat pertemuan G20 (Group of 20) di Bali, 2022, Kementerian ESDM berujar akan ada 13 PLTU yang akan dipensiunkan. Akan tetapi, sejauh ini, Syaharani belum melihat langkah pemerintah ke arah itu.
Pemerintah pun sudah diberi mandat oleh Perpres 112/2022 untuk menyusun peta jalan pensiun dini PLTU. Namun setelah dua tahun berlalu, peta jalan itu belum juga terlihat wujudnya. Syaharani menduga, hal itu disebabkan belum terjadinya kesepakatan antara pemerintah dengan pihak yang terlibat, seperti PLN, Asian Development Bank (ADB), dan CEP.
“Niat pemerintah ada, tapi masih di mulut doang. Jadi belum diniatin dengan sedalam-dalamnya niat. Niatnya itu masih jauh panggang daripada api untuk pemensiunan dini ini. Tapi meskipun cuma niat tanpa ada tindak lanjut secara serius, itu membuka ruang untuk masyarakat sipil menagih komitmen itu,” ucapnya.
***
Bagi warga di sekitar PLTU Cirebon 1, rencana pensiun dini pembangkit listrik tersebut masih samar-samar.
Iti hanya mendengar PLTU akan diganti bahan bakarnya dari batubara menjadi gas. Ia juga tidak meyakini jika PLTU sebesar itu benar-benar akan dipensiunkan.
“Kurang tahu kalau dipensiunkan, tapi katanya cuma mau diganti saja. Jadi gas bukan batubara. Tapi gak mungkin lah pabrik segede itu (dipensiunkan), gak mungkin,” ucap Iti.
Meski begitu, Iti berharap jika PLTU benar ditutup, maka rencana itu bisa memulihkan kondisi laut seperti sebelumnya.
Siti Latifah dari SALAM Institute juga mengaku ragu akan rencana penghentian operasional PLTU.
“Menimbulkan tanda tanya juga, apakah ini hanya sekadar wacana, kemudian masyarakat dibohongi lagi, ditinggal begitu saja dengan penderitaan-penderitaan dan problemnya,” kata Ifah, yang juga tinggal di Cirebon.
Sementara itu, merujuk survei persepsi publik tentang transisi energi di Jawa Barat menemukan mayoritas masyarakat menyadari cuaca yang semakin tidak menentu dan 93,8% merasa hal ini perlu diatasi. Survei Center for Economics and Development Studies (CEDS) Unpad, Koalisi Untuk Energi Bersih (KUTUB), dan Indonesia Cerah ini menunjukkan sebanyak 81% percaya energi terbarukan adalah kunci untuk masa depan yang lebih baik. Sementara berdasarkan polling Delphi, para ahli merekomendasikan percepatan transisi energi dan pensiun dini PLTU di Jawa Barat.
Bagaimana tanggapan pemerintah? Project Multatuli telah berusaha menghubungi Dirjen Ketenagalistrikan Kementerian ESDM, Jisman P. Hutajulu, tapi sampai berita ini ditayangkan tidak memberikan tanggapan atas permintaan wawancara. Sedangkan Sekretaris Jenderal Dewan Energi Nasiona, l (DEN) Djoko Siswanto menolak permohonan wawancara.