Hutan Gundul dan Pembalakan Liar: Muasal Banjir di Jembrana

Made Marco Aji
Mawa Kresna
10 menit
Seorang laki-laki dan putrinya berdiri di sisa rumahnya yang hancur karena banjir bandang di Bilukpoh Kangin, Kelurahan Tegal Cangkring, Kecamatan Mendoyo, Jembrana. (Project M/Luh De Suriyani)

Kadek Juliada (33) hanya bisa meratapi rumahnya yang sudah hancur disapu air bah. Sepanjang mata memandang di sekitar rumahnya hanya terlihat kayu-kayu gelondongan dan lumpur yang menimbun rumah warga. Hanya atap rumah yang terlihat di antara impitan kayu beraneka jenisnya itu. Rumah-rumah di sisi utara sungai terendam banjir dan kayu, rumah-rumah di sisi selatan ambruk dihantam air bah.

Kayu-kayu gelondongan tak hanya menghancurkan rumah warga, termasuk rumah Juliada, tapi juga memenuhi jembatan dan jalan raya nasional Denpasar-Gilimanuk.

Sepanjang ingatan Juliada, belum pernah sebelumnya terjadi bencana sebesar ini di desa Penyaringan, Jembrana. Sampai akhirnya, pada 17 Oktober 2022, air bah datang di daerah aliran sungai (DAS) Bilukpoh membawa ratusan batang kayu gelondongan.

Totalnya ada sembilan bangunan hancur. Rumah Juliada di pinggir jalan raya utama lintas provinsi kini hanya tersisa kamar mandinya. Posisi rumahnya lebih rendah dari jalan raya dan jembatan. Jarak sungai dari bangunan rumahnya dua rumah. Dilihat dari jejak air dan kerusakannya, air bah melewati sawah lantas menerjang rumahnya.

Ia beruntung, malam itu semua keluarganya selamat. Mereka bersama warga sudah mengevakuasi diri setelah mengamati air sungai naik hingga bibir jembatan. Dari pengalaman sebelumnya, naiknya air sungai yang tidak wajar itu pertanda petaka bakal datang.

“Ini bencana terbesar, rumah hancur,” kata Juliada.

Selama sepuluh tahun ke belakang, warga memang sudah terbiasa dengan bencana banjir. Banjir besar terakhir terjadi pada 2018 ketika beberapa rumah warga rusak.

Perbedaan yang kasat mata antara banjir 2018 dan sekarang adalah banyak kayu gelondongan ikut terbawa air bah. Pertanyaan pun terbesit: “Dari mana kayu ini berasal?”

Seorang perempuan memandang rumahnya yang tertimbun kayu-kayu hutan yang terbawa arus banjir bandang. (Project M/Luh De Suriyani)

Juliada menduga banjir besar dan banyak kayu gelondongan adalah dampak ngawen, istilah lokal untuk perambahan hutan menjadi kebun di Jembarana. “Karena kayu-kayu besar, kayu hutan [yang terbawa banjir],” ujarnya.

Sesudah banjir, pada 23 Oktober 2022, kami menelusuri DAS Bilukpoh dari desa tetangga yang lebih aman. Sepanjang perjalanan hujan deras turun, membuat air sungai cepat naik. Dari papan informasi di jembatan Bilukpoh yang rubuh, disebutkan luas DAS Bilukpoh meliputi Kabupaten Jembrana 68,68 km dan Kabupaten Buleleng 6,02 km, dan panjang sungai 33,80 km.

Tipe aliran sungai Bilukpoh adalah pharenial karena terus mengalir tiap tahun. Sungai ini mengaliri 9 desa. Secara tegas pemerintah melarang siapa pun membangun dan melakukan aktivitas komersial di sempadan sungai.

Saat tiba di sungai, air terlihat hanya setinggi betis, tapi lebar sungai bertambah sekitar dua kali lipat, memakan lahan kiri dan kanan. Batang-batang kayu tampak menumpuk di salah satu ladang pohon kelapa. Di sepanjang sempadan terlihat banyak pohon pisang dan beberapa bekas pohon tumbang akibat banjir.

Hilangnya pohon-pohon besar berganti tanaman pisang inilah bentuk dari ngawen, yang terlihat di luar kawasan hutan lindung. Warga sengaja menanami sempadan sungai dengan tanaman umur pendek seperti pisang karena nilai ekonominya tinggi. Pisang menjadi komoditas penting di Bali karena diperlukan dalam upacara adat dan agama. Pisang Negara, sebutan warga kota untuk komoditas pisang yang terkenal dari Jembrana.

Ketika memasuki kawasan hutan lindung Desa Penyaringan, salah satu hulu DAS Bilukpoh, perilaku ngawen juga tampak dari bukaan lahan, di antaranya ditanami pisang dan vanili di antara pepohonan besar. Selain itu ngawen terjadi di kawasan hutan lain di Jembrana.

Tanaman usia pendek seperti pisang dan vanili ditanam masyarakat di hutan lindung Desa Penyaringan, salah satu hulu DAS Bilukpoh. (Project M/Luh De Suriyani)

I Gede Sugiana, Ketua Lembaga Pengelola Hutan Desa (LPHD) Penyaringan, mengatakan ngawen makin marak setelah peristiwa amuk massa di Bali pada 1999. Saat itu kerusuhan meletus di sebagian wilayah Pulau Bali termasuk Jembrana.

Konflik elite politikus ketika Megawati Soekarnoputri yang kalah pemilihan presiden dalam sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat merembet sampai ke akar rumput. Warga mulai masuk hutan lindung untuk berkebun. Ia memperkirakan ngawen sudah mulai tampak sejak reformasi 1998 ketika krisis ekonomi dan politik melanda Indonesia.

Perlahan perambahan meluas sampai akhirnya muncul skema perhutanan sosial dan hutan desa dari pemerintah sebagai jalan tengah.

Desa Penyaringan mendapatkan akses hutan desa pada 2019. Saat itu dibentuk LPHD Penyaringan yang membuat mekanisme agar perambahan tidak meluas di kawasan hutan lindung. Lewat Rencana Kerja Tahunan 2022, LPHD harus membuat rencana konservasi dan rehabilitasi hutan, di antaranya penanaman bibit buah usia panjang seperti durian, manggis, alpukat, duku, sirsak, dan jambu, masing-masing 150 bibit.

Penanaman tanaman kayu seperti mahoni, kwanitan, dan beringin, trembisi, dan genitri masing-masing 25 bibit. Lainnya membuat taman gumi banten yang menyediakan tanaman sarana upacara agama seperti cempaka, kenanga, ancak, albasia, dan tulak. Agar program ini berjalan, LPHD Penyaringan menyepakati para pengurus tidak boleh dari warga perambah.

Dari hasil pemetaan, area LPHD sekitar 340 hektare. Sugiana menyebut tidak ada perambahan baru. Kayu-kayu yang terhempas ke hilir menurutnya bisa jadi dari kawasan hulu di atas kawasan LPHD.

“Air bandang pertama bendungan jebol dan tanggul rusak tidak ada perbaikan, satu meninggal pada 1998, setelah itu 2018. Warga terus kena air bah,” paparnya.

Penelusuran Illegal Logging

Seminggu setelah bencana, warga Lingkungan Bilukpoh Kangin, Kelurahan Tegal Cangkring, Kecamatan Mendoyo, masih gotong-royong membersihkan rumah. Bupati Jembrana memperpanjang status keadaan darurat bencana hingga akhir Desember 2022.

Bencana yang mengepung Jembrana mengakibatkan hampir 4.000 rumah warga terdampak. Dari jumlah itu, sedikitnya ada 162 Kepala Keluarga masih mengungsi. Awalnya, mereka mengungsi di posko-posko pengungsian yang disediakan. Namun, hingga 31 Oktober 2022, hanya tersisa 7 keluarga yang mengungsi di Posko Pengungsian Balai Tempek Kerta Sari Bilukpoh Kangin.

Seorang warga terdampak, Ida Ayu Wiratmi (64), menuturkan ia bersama keluarga telah melalui tiga kali banjir bandang aliran sungai Bilukpoh, yakni tahun 1998, 2018, dan Oktober 2022.

“Saya ingat sekali, banjir pertama yang saya alami saat anak saya berusia 3 tahun. Saat itu tidak separah saat ini. Yang paling parah adalah tahun ini,” tutur wanita yang rumahnya paling timur atau di pinggir Sungai Bilukpoh.

Gusti Biang Raka (60) bersama keluarga juga sudah merasakan tiga kali dampak banjir bandang. Namun, peristiwa 17 Oktober 2022 ini yang terparah. Volume air dan volume material banjir sangat besar. Rumahnya rusak parah dan terendam material kayu.

“Yang hanya saya pikirkan adalah rumah. Sekarang saya tak punya rumah, hanya mencoba pinjam ke mereka yang punya tempat lebih,” tutur Biang Raka.

Untuk sementara, ia hanya bisa memanfaatkan gedung pencetakan batako milik warga lain. Gudang pembuatan batako tersebut sudah lama tak berfungsi dan dianggap layak ditempati sementara. “Kami sudah dapat informasi relokasi, tapi tempatnya belum pasti.”

Rumah warga yang hancur karena banjir bandang di kawasan hilir sungai Bilukpoh, Jembrana. (Project M/Luh De Suriyani)

Bupati Jembrana, I Nengah Tamba menetapkan status keadaan darurat selama 14 hari. Status ini ditetapkan karena ada 35 titik banjir di 18 desa/kelurahan dan mengakibatkan ribuan rumah warga terendam. Kemudian, ada tujuh jembatan rusak dan putus. Selain itu, 300 ha lebih kawasan pertanian, baik perkebunan maupun sawah, rusak parah.

Selain itu, Bupati Nengah Tamba memanggil 32 LPHD se-Jembrana. Pemanggilan itu karena marak isu pembalakan liar atau illegal logging di Kabupaten Jembrana. Bupati juga melakukan sayembara berhadiah Rp2 juta untuk yang memberi informasi terkait aktivitas illegal logging di hutan wilayah Jembrana.

Dalam pertemuan dengan LPHD, seluruh kawasan yang sudah dapat izin hutan desa diminta menandatangani surat pernyataan siap melaksanakan pengelolaan hutan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Dalam surat pernyataan, disebutkan ketua dan anggotanya siap melaksanakan pengelolaan hutan.

Apabila terjadi pelanggaran dan/atau terjadi tindak pidana kehutanan di areal kelola/kawasan hutan sekitarnya seperti penebangan pohon, pembakaran lahan, peneresan pohon, perluasan areal kelola/perabasan baru, dan kegiatan lain yang melanggar ketentuan hukum, termasuk yang dilakukan oleh orang lain di areal pengelolaan, bersedia bertanggung jawab serta dikenakan sanksi.

“Saya meminta tanggung jawab dan rasa empati terhadap apa yang terjadi di hulu. Saya harap agar tahun depan dan selanjutnya tidak terjadi lagi musibah seperti ini,” kata Tamba usai rapat tersebut.

Menurutnya, surat pernyataan itu penting dilakukan saat ini. Jika kepergok dan terbukti bersalah, para pelanggar akan dimejahijaukan.

Menurut data Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Bali Barat, total luasan hutan lindung di Jembrana adalah 37.182,13 ha. Luasan itu dibagi menjadi 3 blok, yakni blok inti seluas 21.000 ha, blok khusus dan blok pemanfaatan atau yang dikelola LPHD seluas 12.000 ha, dan blok pemanfaatan hutan produksi 3.110 ha.

Kepala Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) KPH Bali Barat, Agus Sugiyanto, menjelaskan blok pemanfaatan awalnya diharapkan menjadi titik awal resolusi konflik serta upaya mengembalikan fungsi hutan lindung kembali pasca-1998. Namun, belakangan ini terjadi beberapa kali aktivitas illegal logging.

“Beberapa kali, penangkapan kasus penebangan liar itu, kita dibantu masyarakat dalam hal ini LPHD,” ungkapnya.

Hutan yang begitu luas, tapi hanya diawasi dua polisi hutan dan dua penyuluh. Sehingga LPHD, yang anggotanya atau yang memiliki akses pengelola berjumlah 4.930 keluarga, diharapkan bisa mengawasi dan menjaga kawasan hutan lindung.

“Saya sangat berharap seluruh masyarakat pengelola bantu dengan skema tanam tuwuh atau sekali menanam menuai sepanjang hayat sehingga hutan kembali lestari dan bermanfaat,” kata Agus.

Salah satu jembatan terputus dari sempadan akibat arus air bah sungai Bilukpoh, Jembrana. (Project M/Luh De Suriyani)

Agus menduga banjir yang terjadi kali ini akibat akumulasi dari hutan inti yang sudah gundul. Petugas UPTD KPH Bali Barat menemukan beberapa titik longsor di kawasan hutan blok inti.

Selain longsor, di sepanjang DAS Bilukpoh masih banyak material pohon sisa longsor yang tersangkut di aliran sungai kawasan hutan inti. Sebagian sudah di luar kawasan hutan. Agus khawatir, ketika ada air bah, material itu terbawa dan mengakibatkan bencana yang sama di kemudian hari. Ia mewanti-wanti eksploitasi air oleh beberapa pihak termasuk PDAM dan kelompok pengelola air masyarakat dengan pemipaan dari hutan.

Rapuhnya Ekologi Bali

Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Bali menyebutkan dari bencana banjir dan longsor Oktober 2022, sedikitnya ada sembilan warga dilaporkan meninggal karena terseret banjir, terkena material longsor dan lain-lain.

Di Kabupaten Jembrana banjir terjadi di lima titik sungai menyebabkan 3.955 rumah terendam dengan 50 titik banjir tersebar di beberapa wilayah dengan satu korban jiwa di Mendoyo. Sedangkan di Kabupaten Tabanan tersebar di hampir semua kecamatan dengan 250 titik dan 3 meninggal. Daerah paling parah di bebukitan, misalnya di Kecamatan Pupuan, ada 22 titik banjir dan longsor dengan satu korban meninggal; di Baturiti, tempat rekreasi Bedugul, ada 18 titik banjir dengan satu meninggal.

Korban jiwa terbanyak lain di Kabupaten Karangasem: ada 131 titik lokasi banjir dan longsor dengan 3 korban jiwa. Di Kabupaten Gianyar ada 28 titik kejadian; Kabupaten Buleleng 4 titik; Kabupaten Bangli 20 titik dengan korban satu orang meninggal.

Kabupaten Klungkung ada 2 titik bencana. Sedangkan pusat keramaian di selatan, yakni Kabupaten Badung, 33 titik; dan Kota Denpasar ada 10 titik kejadian dengan satu korban meninggal.

Bencana ini, menurut I Putu Bawa, warga Yehembang Kauh sekaligus pegiat konservasi air di Yayasan IDEP, bukan hanya karena curah hujan seperti yang banyak dibicarakan orang, tapi juga masalah rusaknya ekologi Bali.

Berdasarkan data Global Forest Watch (GFW), pada 2021, Bali kehilangan 47,5 ha hutan primer dan 825 ha hutan primer basah. Hutan primer termasuk hutan dengan tingkat keanekaragaman hayati tertinggi, menyediakan beraneka layanan ekosistem.

Kehilangan menunjukkan hilangnya tutupan pohon dan dapat disebabkan berbagai faktor termasuk penebangan mekanis, kebakaran, penyakit, atau kerusakan akibat badai. Dengan demikian, kehilangan tidak sama dengan deforestasi.

Masalah kehilangan yang sudah berlarut-larut inilah yang diduga membawa petaka saat ini.

Hutan lindung di Yehembang, Jembrana. (Project M/Luh De Suriyani)

“Bukan kesalahan hari ini tapi sejak 1998. Tapi harus dijawab dengan perbaikan,” kata Bawa merujuk mulainya perambahan di hutan Jembrana dengan komoditas kebun. Misalnya perbaikan DAS, rencana kontingensi, dan mendorong peran masyarakat.

Ia dan sejumlah warga Yehembang difasilitasi komunitas BASE Bali dan IDEP merintis sejumlah inisiatif perbaikan seperti hutan sekolah dan hutan belajar.

Hutan Belajar adalah area 4 hektare dalam kawasan yang sudah dirambah untuk pemulihan. Hutan ini diresmikan pada 2021 sebagai laboratorium pemuliaan hutan. Menurutnya, warga harus dikenalkan situasi hutan, masalah, dan manfaat ekologinya. Salah satu kegiatannya pembibitan dan penanaman pohon endemik seperti kwanitan, majegau, hingga bambu hitam. Tanaman ini jadi makanan satwa endemik di hutan Jembrana seperti siung atau celepuk Bali.

Sementara itu, di tengah puing-puing rumahnya, Ayu Wiratmi berharap banjir kali ini menjadi banjir bandang terakhir kali. Namun, jika melihat kondisi saat ini, harapan itu sulit terkabul. Sebab, masalah hilangnya hutan tidak bisa diselesaikan hanya dalam semalam.

“Kami harap relokasi menjadi solusi. Tapi yang kami pikirkan terhadap relokasi ini adalah biaya upakaranya (ritual saat pindah),” keluhnya.

Terima kasih sudah membaca laporan dari Project Multatuli. Jika kamu senang membaca laporan kami, jadilah Kawan M untuk mendukung kerja jurnalisme publik agar tetap bisa telaten dan independen. Menjadi Kawan M juga memungkinkan kamu untuk mengetahui proses kerja tim Project Multatuli dan bahkan memberikan ide dan masukan tentang laporan kami. Klik di sini untuk Jadi Kawan M!

Liputan Terkait
Made Marco Aji
Mawa Kresna
10 menit