Dahulu kala, Suku Laut adalah penguasa sekaligus penjaga laut. Namun, ambisi pembangunan pada era modern perlahan memisahkan mereka dari laut, melumpuhkan kepiawaian, dan melunturkan adat yang tersisa
BADAK (65) belum juga pulang dari melaut padahal hari sudah sore. Biasanya Kepala Suku Laut di Kepulauan Riau (Kepri) itu pergi subuh dan kembali jam 10 pagi.
Sambil menunggu kedatangan Badak, Peri (57) istrinya bercerita sambil menunjuk salah satu foto pernikahan anak perempuan mereka yang dipajang di dinding ruang tamunya.
Anak perempuannya itu menikah dengan seorang pemuda asal Batam. Kini anaknya sudah menjanda, suaminya yang berprofesi sebagai pengelola dapur arang dan pencari kayu bakau meninggal akibat komplikasi paru-paru (pneumonia) setelah terinfeksi Covid-19, dua tahun yang lalu.
“Dulu anak Ibu ada 10, hidup tiga, yang lain sudah meninggal,” Peri buka cerita. “Soalnya kalau di laut angin kencang, masuk angin, kan. Sedikit sakit kami tidak pernah ke rumah sakit.” katanya.
Masuk angin mungkin terdengar ringan. Akan tetapi, bagi mereka yang tinggal dan mengembara di lautan tanpa akses kesehatan yang memadai, masuk angin bisa mengancam nyawa.
Sambil melipat baju jemuran ia bercerita, jika ada anggota Suku Laut yang sakit, maka mereka akan mencari dukun atau jika akan melahirkan sang ibu akan mencari bedan alias bidan.
“Kalau sakit itu dijampi, kalau obat kita pakai kayu dan daun-daun dari hutan,” katanya.
Peri dan puluhan warga Suku Laut tinggal di atas rumah panggung di bibir pantai Kampung Tanjung Gundap, Batam. Mereka menjadi bagian dari 44 kelompok Suku Laut lain yang tersebar di perairan Kepri.
Suku Laut sejatinya adalah pengembara. Setiap jengkal kehidupan mereka habiskan di laut, di atas sampan dayung beratap daun nipah yang mereka panggil kajang. Biasanya dalam satu kelompok suku terdiri dari 30-an kajang yang terdiri dari ayah, ibu dan anak-anak mereka.
Ketika menginjak usia remaja, anak laki-laki akan dibuatkan kajang dan dilepas untuk hidup mandiri. Di atas kajang baru itulah si anak akan belajar menombak ikan hingga mencari pasangan dan membentuk keluarga baru. Begitu seterusnya siklus kehidupan suku nomaden ini.
Suku Laut adalah bangsa Melayu Tua (Proto Melayu) yang menyebar di Pulau Sumatra melalui Semenanjung Malaka pada 2500-1500 Sebelum Masehi. Sejumlah penelitian menyebut pada era Kerajaan Sriwijaya hingga Kesultanan Riau-Lingga, Suku Laut diberi tugas sebagai wira laut untuk menjaga dan mengawasi perairan dari timur Sumatra hingga Semenanjung Malaka.
Orang Suku Laut pandai membaca musim. Mereka tahu di mana dan kapan ikan-ikan akan berkumpul. Saat itulah suku nomaden ini akan berpindah. Di atas kajang mereka akan memelihara anjing dan burung bayan. Suku Laut percaya dua hewan tersebut adalah penolak bala serta alarm alami cuaca lautan yang tak pasti.
Namun, ambisi pembangunan untuk mempercepat laju ekonomi pada era Orde Baru membuat Suku Laut harus menyingkir dari laut.
Pada awal 1970-an hingga 1990an, pemerintahan Orde Baru lewat program Rencana Pembangunan Lima Tahunan (Repelita) memulai proyek percepatan pembangunan ekonomi di seluruh Indonesia salah satunya di Pulau Batam. Bersama Johor dan Singapura, Batam dicita-citakan menjadi pusat segitiga emas ekonomi di Selat Malaka.
Suku Laut yang masih hidup nomaden kala itu dianggap sebagai masyarakat terasing dan tertinggal. Pemerintah kemudian mencanangkan program Pembinaan Kesejahteraan Masyarakat Terasing (PKMT) untuk Suku Laut di Kepulauan Riau. Lewat program ini, ribuan orang Suku Laut diberikan bantuan rumah agar meninggalkan kehidupan nomaden dan menetap di darat.
Mayoritas memilih menetap dan meninggalkan adat nenek moyang mereka, sementara sebagian lainnya memilih hidup nomaden ataupun semi-nomaden. Seiring berjalannya waktu dan masifnya perkembangan industri di kota Batam dan sekitarnya, Suku Laut makin terasing dan tersingkirkan oleh proyek industri, tambang, serta pariwisata.
Peri dan Badak adalah salah satu yang memilih menetap. Mereka sebenarnya berasal dari Pulau Tumbar, tapi pada tahun 1982, mereka pindah mengurus dapur arang atas permintaan tauke (majikan atau pemilik perusahaan) bernama Jekim dari Pulau Buluh. Harapannya jika musim laut sedang buruk, mereka bisa mencari penghasilan tambahan lewat kayu arang.
Namun, semenjak pemerintah mengeluarkan aturan tentang perlindungan hutan dan konservasi, orang Suku Laut tidak lagi dapat mengambil kayu bakau sebagai bahan utama arang dengan bebas. Alhasil, dapur arang terpaksa ditutup.
“Dari lahir kami di laut, dari orangtua nenek moyang kami sudah di laut. Di kajang itulah kami hidup, cari makan, melahirkan tidak ada rumah (darat),” kata Peri sambil menyuguhkan gorengan dan teh manis.
“Tapi sekarang ibu sudah tak bisa lagi melaut lama-lama, kepala pusing perut mual.”
Di Tanjung Gundap sudah tidak ada kajang. Sampan tradisional itu kini digantikan perahu bertenaga motor. Budaya nomaden sudah mereka tinggalkan.
Dilema Arang Bakau
SUBUH datang, ayam belum juga berkokok. Hanya gemericik ombak pasang yang perlahan naik, menampar pelan kayu-kayu sampan yang mulai lapuk.
Badak menyesap kopi dan rokok terakhir sebelum memakai baju olahraga biru bertuliskan SMK Muhammadiyah Kota Batam. Warna baju itu telah pudar, bagian lengannya rombeng. Ia juga memakai celana jin abu-abu yang kotor akibat bercak lumpur.
Setelah mengambil tas punggung dan pinggang dari dapur, Badak keluar, lalu pelan-pelan turun dari tangga rumah panggungnya, disusul anaknya Yanto (34).
Keduanya menaiki sampan motor kecil. Badak duduk di depan, sementara Yanto memegang kemudi. Subuh ini keduanya hendak mencari kayu arang.
Suku Laut memang terkenal pandai melaut dan menombak ikan. Namun, pagi ini Badak dan Yanto tidak bermaksud menombak, “Kalau kami Suku Laut tidak pakai jala tapi tombak. Menombak itu malam, pakai lampu petromaks, kalau siang ikan kabur,” katanya.
Matahari muncul di ufuk timur, sampan perlahan masuk ke dalam rimbunan pohon bakau. Yanto mematikan mesin dan berganti mendayung. Badak berdiri dan ikut mendayung, sambil membuka jalan membelah rimbun bakau.
Sang Kepala Suku itu sesekali mendorong sampan menjauh dari akar-akar bakau yang menyeruak dari dalam air yang keruh. Jalur dayung sempit, hanya cukup untuk satu sampan.
Sekitar 15 menit, mereka sampai di perairan agak terbuka. Sampan bersandar di antara akar bakau. Sejenak Badak mengasah kapak. dia lalu menceburkan diri ke dalam air setinggi paha. Badannya kecil, tapi lincah. Sebentar saja ia sudah masuk di antara rerimbunan bakau, Yanto menyusul dari belakang. Di antara rimbun, besi dan kayu beradu, satu persatu pohon bakau tumbang.
“Kami pilih batang-batang tua, yang masih muda tak kami tebang, akar tak kami babat supaya cepat tumbuh lagi,” kata Yanto. “Sekitar 4-5 bulan sudah lebat lagi,” Badak menambahkan.
Mereka bisa mengumpulkan 600-700 kg bakau dalam sehari. Batang bakau yang telah dipotong akan dibawa, ditumpuk, dan dijemur pada sebuah dapur arang untuk ditimbang. Satu ton kayu bakau kering dihargai 200 ribu. Sebulan mereka bisa mendapat 3-4 ton kayu dan mengantongi uang 600-800 ribu rupiah.
“Kita tak bisa potong kebanyakan nanti pemerintah marah, tapi kalau tak banyak dapat duit sedikit.” kata Badak.
Badak dan Yanto serta belasan kepala keluarga lainnya yang tinggal di Tanjung Gundap tak punya banyak pilihan. Mereka paham tentang larangan menebang bakau. Namun, ikan makin sulit dicari, bubu kepiting jarang menghasilkan, sedangkan bila bekerja di darat mereka tak punya keterampilan.
Maka, mencari kayu bakau sebagai bahan baku arang adalah jalan satu-satunya. Pekerjaan ini yang mereka lakoni sejak lama.
***
Dua jam sudah berlalu, satu persatu batang kayu mulai dinaikan ke atas sampan. Yanto naik ke atas sampan yang telah penuh dan mulai mendayung, sementara Badak tinggal untuk melanjutkan pekerjaan. Yanto melaju menuju dapur arang.
Di antara gaung mesin, Yanto setengah berteriak dan menunjuk ke arah kiri. Di sana berdiri Pembangkit Listrik Tenaga Gas (PLTG) Panaran milik Perusahaan Gas Negara (PGN). Di antara rerimbunan hutan, ada asap tak putus menyembur dari cerobongnya.
Pada kecurigaan yang lain, warga Suku Laut Tanjung Gundap menduga pemasangan pipa gas PGN serta adanya jalur pipa gas milik Singapura menjadi penyebab hilangnya ikan.
“Mungkin laut rusak, dikeruk terus ditanam pipa gas. Kemarin dikeruk sampai 5 bulan sama PGN, warga dapat kompensasi 700 ribu,” kata Yanto.
Ingatannya samar, tetapi sebelum ada pipa gas, ikan besar masih berenang di sekitar perairan Tanjung Gundap.
“Kalau dulu dekat setengah jam jalan belasan kilo, 20 kilo, dapat lah, sekarang cari sekilo dua kilo susah tak dapat untung-untungan.” kata Yanto. Belum lagi warga kini dilarang menombak di dekat perairan jalur pipa gas.
Bapak dua anak ini sebetulnya tak mau bekerja mencari kayu arang. Jumlah yang didapat jika dibandingkan dengan menjual ikan jauh berbeda. Jika dihitung-hitung, sehari melaut ia bisa mengantongi 700 ribu rupiah atau sama dengan sebulan bekerja mencari kayu arang.
“Kalau ada ikan dan kepiting tak perlu kerja kayu lagi kita. Sudah cukup makan kita. Dijual dapat uang, sisanya bisa buat lauk lagi. Sekarang kita mesti beli sayur, lauk beras, itupun kalau ada uang, kalau tak ada? Makan jari telunjuk juga,” kata Yanto.
Badak, Yanto serta warga Suku Laut lain tak pernah tahu pasti mengapa ikan-ikan hilang. Ada yang menyalahkan pipa gas, yang lain menuding limbah tambang dan industri mengotori laut, beberapa menduga akibat kelebihan tangkap (overfishing).
Di Tanjung Uncang, sisi barat Pulau Batam, puluhan perusahaan galangan kapal beroperasi. Selain sebagai Kawasan Ekonomi Khusus (KEK), Batam adalah kawasan industri galangan kapal terbesar di Indonesia. Dari 250 galangan kapal di Indonesia, 110 galangan kapal berada di Pulau Batam. Dari sana, separuhnya beroperasi di pesisir barat Batam, tak jauh dari Tanjung Gundap.
Operasi Galangan Kapal terkenal dengan pencucian kapal menggunakan pasir silika atau sandblasting yang mencemari laut dan udara. Belum lagi pencemaran limbah minyak hitam yang terjadi hampir setiap tahun di Batam terutama di perairan dekat galangan kapal.
Kepri juga pernah jadi salah satu titik tambang pasir laut di Indonesia. Pasir dari Kepri diekspor untuk reklamasi Singapura pada tahun 2000. Pengerukan pasir diikuti oleh ekosistem yang rusak, laut keruh, dan tangkapan nelayan menurun.
Pemerintah kemudian menerbitkan aturan pelarangan ekspor pasir laut pada 2022. Namun, pada 15 Mei 2023, pemerintah kembali mengizinkan ekspor pasir laut. Ini akan menambah daftar panjang penyebab hilangnya ikan di perairan, aspek penting dalam kehidupan orang Suku Laut.
Dua Sisi Modernisasi
SEBAGAI masyarakat nomaden, warga Suku Laut sangat mengandalkan alam untuk hidup dan menjalankan nilai-nilai budaya.
Kendati demikian, percepatan pembangunan infrastruktur ekonomi di Batam dan sekitarnya membuka peluang bagi eksploitasi dan konsesi. Industri mulai menguasai laut dan darat. Dimulai dari pendirian pusat industri Batamindo pada 1975, pembangunan Batam makin melesat.
Data dari Dinas Perindustrian Dan Perdagangan Kota Batam Bidang Industri tahun 2001-2012 menunjukkan jumlah industri perkapalan paling besar yakni 30% dari total industri yang ada di Batam, diikuti oleh tekstil 14% dan percetakan 12%. Pada 2019, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat industri pengolahan menyumbang pendapatan ekonomi terbesar yakni 42,03% untuk provinsi Kepri disusul konstruksi 18,75% dan pertambangan dan penggalian 13,16%.
Suku Laut tak mungkin bersaing dan terpaksa menyingkir. Kebijakan pemerintah yang mendaratkan mereka tanpa bekal pendidikan, keterampilan, serta perlindungan atas wilayah adat hanya membuat warga Suku Laut makin termarjinalkan.
Pada akhir 2022, orang Suku Laut pernah diminta pindah oleh sekelompok oknum yang mengaku penduduk asli Tanjung Gundap. Mereka mengaku empunya lahan. Padahal tanah tersebut secara sah dimiliki oleh tauke yang dulu meminta Badak dan keluarganya pindah ke sana.
Belakangan diketahui lahan mereka bakal dijadikan restoran boga laut. Tak heran wilayah mereka banyak diincar untuk kepentingan komersial karena di sekitar Kampung Tua Tanjung Gundap memang tengah dibangun komplek perumahan.
“Masalah kami tinggal di sini tak boleh bikin RT (Rukun Tetangga), tak boleh tambah rumah, cor rumah pun dilarang,” kata Badak.
Masalah perebutan lahan ini memang sudah selesai ditangani oleh DPRD Kota Batam awal tahun ini. Namun, warga meyakini akan ada usaha-usaha lanjutan untuk merebut tempat tinggal mereka.
Percakapan hari itu pun berakhir ketika Pak Gembala, pendeta dari Gereja Bethel Indonesia (GBI) datang. Badak segera mengambil batik oranye kemerahannya.
Tak lama rombongan pendeta bersama ibu-ibu masuk, diikuti beberapa tetangga. Dari dalam rumah, ayat-ayat alkitab mulai dibacakan. Nyanyian pujian samar-samar terdengar menggema di antara rumah-rumah panggung.
Artikel ini menggunakan lisensi CC BY-NC-ND 4.0 merupakan bagian dari serial #MasyarakatAdat