RAUT WAJAH Ramalan Abubakar tampak gusar. Ia hanya bisa memandang nanar, menyaksikan kebun sagu warisan di belakang pemukiman tergenang lumpur tambang nikel. Sedimentasi limbah sisa pengerukan di bukit tumpah, meluber ke areal kawasan sagu setempat.
Ramalan bermukim di Kampung Umera, Pulau Gebe, Halmahera Tengah, Maluku Utara. Kini, lelaki berusia 65 tahun ini memilih berhenti mengolah sagu. Bukan karena usia, tetapi akses ke tempat sagu bernama Wagob di belakang pemukiman tersumbat limbah tambang yang sudah menahun. Kalau dia nekat ke kebun sagu, bisa saja tercebur ke dalam kubangan lumpur.
Sisa urugan tanah merah katanya, meluap dari bukit dan mengendap setiap kali turun hujan. Kejadian itu terus berulang sejak perusahaan tambang nikel PT Bartra Putra Mulia (BPM) aktif beroperasi empat tahun terakhir. Dia menduga kolam pengendap atau sedimen pond yang dibuat perusahaan jebol.
“Lumpur samua, tidak bisa masuk ambil sagu di situ,” ujar Ramalan, pada suatu sore, 22 Januari 2024, saat hujan deras mengguyur kampungnya.
Kebun sagu di daerah Wagob adalah warisan adat dari empat marga di Umera, di antaranya Marga Magtublo, Magimai, Umlil, dan Magpo. Ramalan sendiri dari marga Magpo. Rumpun sagu di situ adalah sumber penghidupannya selama puluhan tahun, dan dia tidak pernah membayangkan kondisinya akan berubah serupa tampungan limbah sekarang.
“Kase pindah limbah di sana itu karja deng [kerja dengan] puluhan tahun baru dia bisa abis. So tara [sudah tidak] bisa sudah. [Tambang] nikel di gunung baru aer [air limbah] turun kabawa tu,” terang Ramalan, geram.
Perusahaan berdalih sudah membangun penampungan limbah, tapi kata Ramalan cara itu sia-sia karena limbah terus mengalir ke kebun sagu mulai pertengahan 2021 lalu. Sialnya lagi, tak hanya kebun sagu di tempat itu yang rusak. Eksploitasi penambangan yang berlangsung masif, juga turut mencemari wilayah sagu di tempat lain di Umera.
Keadaan yang makin memburuk ini terjadi semenjak sebagian besar wilayah hutan, perkebunan hingga pesisir dialih fungsi menjadi areal penambangan nikel PT BPM. PT BPM memperoleh izin dari Bupati Halmahera Tengah pada sejak 2013 dan menambang di lahan seluas 1.850 hektar. Namun, baru mulai menambang pada akhir 2020.
Alokasi ruang untuk industri nikel di belakang pemukiman yang begitu luas diyakini bakal memperparah ruang hidup warga. Itu belum termasuk dua izin tambang, PT Anugrah Sukses Mining (ASM) dan PT Lopoly Mining Cdx (LMC) yang konsesinya berdampingan dengan PT BPM, yang juga berada di Desa Umera hingga berbatasan dengan Desa Sanaf Kacepo.
PT ASM yang menambang di lahan seluas 503 ha sedang berhenti beroperasi. Sementara, PT Lopoly Mining dengan konsesi 47,4 ha belum menambang sejak izinnya diterbitkan. Ketiga izin tambang ini dikeluarkan tahun 2013 dan mendapat keistimewaan mengeruk nikel hingga 2032-2033.
Ramalan khawatir jika tambang-tambang nikel ini seluruhnya aktif beroperasi, maka, mudaratnya akan jauh lebih besar. Bukan tidak mungkin, sumber penghidupan warga Umera terutama kebun sagu akan terancam rusak atau bahkan lenyap.
Merusak kebun sagu
BERTELANJANG KAKI, Sahud Hi Robo (67) melangkah pelan menyusuri jalan kebun sagu di Teluk Inalo. Tak begitu jauh berjalan, dia memeriksa sebuah pohon sagu, membersihkan ranting dan dedaunan yang melingkarinya, lalu dengan cekatan menebas pohon rumbia itu pakai kapak.
“Dia [pohon sagu] pe daging bagus, baisi [berisi],” ujar Sahud, warga Umera, Pulau Gebe, setelah dua tiga kali mengayunkan kapak pada batang sagu dan dagingnya terpental keluar.
Begitu pohon sagu tumbang, dia membelah batangnya dengan gergaji mesin dan mengambil dagingnya. Daging sagu dipotong-potong berukuran kecil, dan akan dibawa ke tempat bahalo atau pengolahan sagu di kampung. Area pengolahannya berada di pesisir pantai tak jauh dari rumahnya.
Siang itu, Ahad, 21 Januari 2024, langit tampak mendung. Kami menemani Sahud bersama dua anak muda—M Rizal, cucunya, dan Cristian, yang berusia sebaya, 18 tahun—menebang pohon sagu di daerah Inalo. Dalam bahasa lokal, Inalo berarti tempat ikan.
Kebun sagu di kawasan Inalo dimiliki dua marga, Umsipyat dan Magpo. Sahud dari Marga Magtublo dan dia mengambil sagu di situ atas seizin Muharam Abdurrasyid (60 tahun) yang bermarga Magpo. Hari itu, Muharam yang akrab disapa Tete Safi berada di kebun sagu bersama seorang cucunya. Di tempat itu, Safi membangun rumah singgah untuk menjaga kebun sagu sambil membudidaya ikan.
Daerah Inalo berada di sisi selatan bersebelahan tanjung dengan pantai wisata Umera dan Teluk Smingit. Pesisir hingga daratannya yang menjorok dari ujung teluk ditumbuhi hamparan mangrove berdampingan dengan pohon-pohon sagu.
Di situ adalah tempat bagi sebagian besar warga Umera seperti Sahud dan Safi memancing ikan dan mengolah sagu. Akan tetapi, aktivitas penambangan nikel PT BPM di bukit mencemari perairan dan lanskap kawasan Inalo yang rimbun.
Sahud berkata, perusahaan membabat habitat mangrove di ujung teluk lalu membangun jetty atau dermaga untuk tongkang pengangkut ore nikel. Bukit-bukit di belakangnya juga tampak terkelupas, sebagian menganga dan gundul, menyisakan bekas dan lumpurnya menggenangi bentangan mangrove dan sagu di bawahnya.
Dari dekat tempat tambak ikan Safi, terlihat begitu luas areal mangrove yang mati menyisakan batang kering. Ratusan pohon roboh dan terendap dalam limbah. Sedang, kebun sagu warisan yang lokasinya berhimpitan dengan mangrove, kondisinya pun rusak parah tak bisa diolah. Lumpur yang menggenangi kawasan itu tampaknya sudah menggurat bertahun-tahun.
Limpasan lumpur yang merusak kawasan mangrove dan sagu juga meluber hingga membuat perairan Inalo berubah warna coklat kemerah-merahan. Sahud bilang, pencemaran dan perubahan warna air itu baru terjadi setelah adanya aktivitas penambangan di bukit.
“Dulu dia [warna airnya] tara pernah bagini [imbas lumpur], sampe di atas so bagitu [bukit di tambang] baru dia pe warna bagini [berubah keruh],” kata Sahud.
Kepada kami, Safi mengakui ikan juga sulit didapatkan, padahal daerah itu adalah rumah ikan. Mereka menduga, aktivitas pertambangan dan bongkar muat kapal-kapal besar jadi penyebabnya. Nelayan-nelayan dari Umera yang pergi melaut pun sering berpapasan dengan aktivitas tongkang di perairan.
Kondisi itu pula membuat Safi memilih membudidayakan ikan di Inalo, daripada melaut yang jarak tangkap semakin jauh. “Lebe bae [lebih baik] piara ikan. [Ikan] tambah jauh, baru dia susah makan [saat memancing],” terang Safi.
Sebelum adanya penambangan nikel, kata Sahud, mereka tidak perlu pergi jauh memancing atau mengolah sagu. Ikan bisa didapatkan dengan mudah, sedang tempat mengolah sagu juga banyak dan melimpah. Semua sumber pangan tersedia di alam Umera, sebelum pada akhirnya satu persatu dirusak tambang.
Kata Sahud, daerah sagu di Inalo sebetulnya menjadi cadangan pangan sagu yang tersisa di Umera. Sebab, di hulu penambangan, kebun sagu warisan empat marga yang biasa dia dan Ramalan olah juga sudah rusak tergenang lumpur tambang.
Selain di Inalo dan Wagob, kebun warisan sebagian warga di daerah Teluk Smingit juga terdampak lumpur dari pertambangan yang sama. Sebelumnya, pada 2021, saat PT Anugrah Sukses Mining masih aktif beroperasi, kebun sagu di kawasan itu sudah berulang kali dilumuri sisa penambangan.
Ramalan mengatakan hampir sebagian besar kebun sagu di Umera telah terkena limbah tambang. Padahal, sejak awal mereka sudah memperingatkan kepada perusahaan-perusahaan yang beroperasi agar aktivitasnya tak mencemari kebun sagu.
“Sekarang, abis so ada apa-apa ini [sagu tergenang lumpur], bikin bagimana. Jadi tong bilang dong [perusahaan] bayar sudah. Bukan bayar sagu, tapi bayar dia pu lumpur ini,” terang Ramalan.
Ramalan yang saban hari menghabiskan waktunya di dusun sagu nyaris tak lagi mengolah sagu. Dia kini menjaga kebun kelapa dan pala yang berada tak jauh dari pemukiman. Sedang Sahud, masih berusaha bertahan mengambil dan mengolah sagu.
“Tambang itu hanya sementara, tapi kalu tong punya makanan [sagu] itu sampe dunia habis [kiamat],” tutur Sahud.
Was-was mengolah sagu
KENDATI TELAPAK kaki kirinya sakit, tetapi Siti Hawa (39) masih bertenaga membakar sagu. Sesekali dia menyeka keringat, menahan nyeri, dan bolak-balik mengangkat forno–alat cetakan sagu lempeng, dari bara api di tungku. Dia mesti bergegas memasak sagu selagi cuaca panas, biar sagu yang sudah matang bisa dijemur hari itu.
Siti memasak sagu pada suatu siang, 22 Januari 2024 di sebuah ruangan yang di petak terpisah tepat di belakang rumahnya. Ruangan sederhana berdinding papan dan beratap seng itu serupa pabrik kecil tempat ia selama ini mengolah sagu.
“Tong bikin sagu ini yang penting tong pe tenaga kuat, itu [dapat] uang banyak,” ujar Siti sembari kedua tangannya cekatan mengayak tepung sagu. “Ini [sagu] tong pe makanan hari-hari sudah, sekaligus tong jual.”
Siti berkata penghasilan dari sagu cukup menguntungkan. Dalam sehari, dia bisa mendapatkan uang Rp500 ribu sampai Rp1 juta. Pembeli biasanya datang di rumah. Kalau tiba hari pasar, pada hari Minggu, dia bawa dan jual di Kampung Kapaleo, ibu kota Kecamatan di Pulau Gebe.
Siti adalah anak pertama Sahud, yang juga menggantungkan hidup dari hasil sagu. Pekerjaan ini telah dia lakukan bertahun-tahun untuk menghidupi keluarganya, sampai suatu hari dia menyadari kebun sagu warisan bapaknya di belakang pemukiman telah ditutupi lumpur tambang nikel.
“Dong bapak pu sagu disana su kena limbah,” jelas Siti sambil menunjuk ke arah tempat operasi tambang dan rumpun sagu.
Siti geram, sebab, sagu lempeng yang dia bikin bahan bakunya dipasok oleh bapaknya. Sahud-lah yang pergi menebang pohon sagu, mengolahnya jadi tepung basah, lalu Siti dan saudara-saudaranya bikin jadi menu siap saji seperti sagu lempeng dan papeda untuk dijual.
Siti cuma bisa menghela napas panjang dan tak bisa berbuat banyak. Biarlah, katanya, urusan pencemaran diusut oleh bapak dan warga pewaris dengan perusahaan. Yang bisa dia lakukan saat ini hanyalah bertahan mengolah sagu, mengurus anak-anaknya di rumah, dan berharap masalah pencemaran bisa diatasi.
Meski begitu, kadang-kadang, setiap kali mengolah sagu, yang terlintas di benaknya adalah mencari alternatif tempat tumbuhan sagu di daerah lain kalau kelak semua rumpun sagu di Umera rusak.
Namun Siti menyadari, itu tidak mungkin terjadi. Tak ada lagi rumpun sagu yang tumbuh banyak di Pulau Gebe selain di kampungnya. Dia khawatir, menyusutnya rumpun sagu di kampung akan berdampak buruk bagi kelangsungan sumber pendapatannya selama ini.
Sambil bercerita, Siti menyodorkan sepotong sagu lempeng yang baru saja matang. Dia meminta saya mencicipinya dengan segelas teh hangat. Warna sagunya putih, teksturnya halus dan lembut, ada rasa manis. Sewaktu dicelupkan dengan teh, tak perlu dikunyah, langsung menyesap di tenggorokan.
“Bagimana, enak to tong pu sagu?” tanya Siti. Dia tertawa kecil, dan dua perempuan yang membantunya mengayak tepung di ruangan itu ikut terkekeh. “Orang-orang dari mana saja dong pesan [sagu lempeng] dari sini, karena beda to dia pu rasa.”
“Tapi tong tara tau bikin sagu ini bagimana lagi kalu [sagu] so ilang.”
Apa yang dikhawatirkan Siti serupa dipikirkan Warda Kahar (33). Perempuan tamatan Universitas PGRI Yogyakarta itu menyadari bahaya tambang tengah mengintai pangan yang sehari-hari mereka olah dan konsumsi.
“Saya bisa kuliah karena dari sagu ini,” ujar Warda, cemas. “Banyak orang di sini kase sekolah anak-anak dari hasil sagu sampe sekarang. Jadi saya harap, perusahaan jangan kase rusak.”
Warda adalah salah satu dari sekian banyak perempuan di Umera yang bergantung kebutuhan hidup dan biaya kuliah dari hasil sagu. Ia ingat, sewaktu masih kuliah, orang tuanya selalu berkata “tunggu sagu laku baru kirim doi”.
Selain Warda, tiga adik Siti juga lulus dari perguruan tinggi di Makassar dan Yogyakarta dari hasil menjual sagu. Dari cerita warga setempat, dulu, orang tua mereka berangkat haji pun dari keuntungan sagu.
“So dari dulu-dulu to, tong pu [kami punya] orang tua olah sagu. Jadi kalu dape kondisi bagini [tercemar limbah], sapa juga yang tida marah,” tambah Warda.
Kaya pangan tapi dirusak tambang
KAMPUNG UMERA menjadi benteng pertahanan pangan di Pulau Gebe, sebab, wilayahnya masih ditutupi hutan, sumber air bersih, serta tanaman sagu dan perkebunan yang melimpah. Namun, nasibnya ikut terancam seiring eksploitasi pertambangan nikel yang berlangsung masif.
Dulu, sewaktu PT Aneka Tambang (Antam) beroperasi dekade 1980-an, kampung ini merupakan satu-satunya wilayah di Pulau Gebe yang tidak terjamah. Meski di banyak kampung di Pulau Gebe terjadi perubahan ekonomi dan pola konsumsi, Kampung Umera masih terus bertahan dengan ekonomi pertanian tradisional.
Namun, pemberian izin-izin tambang baru pasca PT Antam, turut menyasar wilayah Kampung Umera. Daerah yang masih produktif dengan tanaman sagu dan perkebunan ini dipaksa beralih nasib serupa kampung lain di Pulau Gebe yang kehilangan banyak areal perkebunan.
Abdul Manan, Kepala Desa Umera mengatakan sagu di Kampung Umera memiliki peranan penting dalam ketahanan pangan lokal di Pulau Gebe. Sebab, sebagian besar kawasannya ditumbuhi sumber tanaman pangan sagu. Sialnya, sumber-sumber kehidupan tradisional tersebut semuanya berada dalam areal penambangan nikel.
Pasca PT Antam, pemerintah secara ugal-ugalan mengalokasikan wilayah perkebunan dan ruang hidup warga di Pulau Gebe yang tersisa kepada belasan izin tambang. Izin-izin tambang datang silih berganti mengeruk nikel, kemudian pergi meninggalkan jejak buruk, lalu datang lagi tambang-tambang baru.
Tercatat, data terakhir Kementerian Energi dan Sumber daya Mineral (ESDM), ada delapan izin usaha pertambangan, tiga diantaranya PT BPM, PT ASM, dan PT Lopoly Mining Cdx yang mengeksploitasi wilayah Umera hingga Sanaf Kacepo. Sementara, lima lainnya mengeruk nikel di daerah Bukit Kaf hingga semenanjung Ueboelie di bekas tambang PT Antam.
Di Blok Kaf yang sebelumnya dilelang Kementerian ESDM, kini telah dimenangkan oleh PT Mineral Jaya Mologina dengan konsesi 914,5 ha pada Februari 2024. Blok Kaf sebelumnya merupakan wilayah konsesi PT Gebe Sentra Nickel dan PT Elsaday Mulia.
Di daerah Tanjung Ueboelie, ada PT Smart Marsindo 666,3 ha, PT Mineral Trobos 315 ha, dan PT Karya Wijaya 500 ha. Sedangkan, di atas Pulau Fau yang begitu kecil berada di depan Pulau Gebe, PT Aneka Niaga Prima diberi izin menambang nikel seluas 459,66 ha. Sebagian besar izin-izin tambang ini diterbitkan pada 2012-2023 dan berlaku hingga 2032-2040.
Delapan izin tambang ini menguasai separuh wilayah Pulau Gebe dengan total konsesi seluas 5.255 hektar. Itu belum termasuk bekas tambang PT Antam yang dikelola PT Fajar Bhakti Lintas Nusantara (FBLN), yang kini izinnya tengah ditangguhkan.
Eksploitasi pertambangan nikel di Pulau Gebe pernah diungkap dalam riset Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) pada 2018 berjudul “Pulau Kecil Indonesia, Tanah Air Tambang”. Riset ini menunjukan hadirnya izin-izin tambang baru di Pulau Gebe pasca PT Antam makin memperburuk kondisi lingkungan dan kehidupan warga.
Riset ini juga menyebut bahwa dari 80 persen warga di Pulau Gebe, hampir setiap rumah tangga bekerja sebagai buruh kasar di perusahaan tambang. Aktivitas pertambangan di Pulau Gebe sudah mengepung hampir 80% pulau tersebut.
Di Halmahera Tengah, pemerintah setempat membuat Peraturan Daerah (Perda) No.2/2018 tentang Pengelolaan dan Pelestarian Sagu. Perda ini dibuat untuk merespon beberapa hal, di antaranya, berubahnya pola konsumsi, rendahnya nilai ekonomi, laju pembangunan, termasuk kerusakan areal hutan yang mengakibatkan rumpun sagu makin tergerus dan terancam punah.
Merujuk data Dinas Pertanian Halmahera Tengah, luasan rumpun sagu di kabupaten ini menyusut lima tahun terakhir. Dari 2018 tercatat seluas 1.463 ha dan berkurang tersisa 1.411 ha pada 2023. Sedangkan, di Pulau Gebe, di periode tahun itu, luasnya 68 ha lalu berkurang menjadi 63 ha pada 2023.
Meski angkanya tidak menurun signifikan, tetapi menurut Kisman Lasaidi, Kepala Bidang Perkebunan Dinas Pertanian Halmahera Tengah, luas areal sagu di Pulau Gebe sebetulnya sudah berkurang drastis sejak PT Antam beroperasi dua dekade lalu. Termasuk, sebelum 2018 saat tambang-tambang baru beroperasi.
Kisman mengatakan kehadiran tambang-tambang nikel di Pulau Gebe pasca PT Antam turut merusak rumpun sagu yang tersisa, terutama di Kampung Umera yang menjadi cadangan sagu. Dia akui, sebagian masyarakat di pulau ini menggantungkan hidup dari hasil sagu, jika terus menyusut, bukan tidak mungkin ruang hidup warga akan terancam.
“Daerah ini cukup potensial tanaman sagunya. Sagu di Pulau Gebe, salah satunya yang paling terkenal, apalagi dari Umera. Namun, kalau tambang terus operasi, sagu akan menyusut dan bisa terancam,” terang Kisman.
Saat kami bertemu Abdul Manan di rumahnya, dia tampak cemas. Kalau eksploitasi pertambangan nikel di kampungnya dan di Pulau Gebe beroperasi masif, bukan tidak mungkin nasib warga di pulau tersebut akan lebih buruk dari jaman PT Antam beroperasi.
“Jang sampe [jangan sampai] sagu dia mati, karena kitong pe [kami punya] kehidupan selama ini sampe so [sampai sudah] berapa turunan ini tong [kami] harap sagu itu, bukan harap tambang..tambang ini kan baru,” jelas Abdul.
Orang Umera menganggap sagu tak sekadar penopang hidup, tetapi sudah menjadi tradisi turun temurun sejak nenek moyang mereka. Sagu dianggap sebagai identitas dan kehidupan di Umera dan Pulau Gebe jauh sebelum adanya beras.
“Sagu itu kayak tong pu [kami punya] kehidupan, su ada dari tong pu moyang sudah. Sampe torang [sampai kami] ini masih bisa produksi sagu.. Kalu [kalau] tambang kase rusak habis, tong hidup bagimana?” jelas Ramalan.
Soal pencemaran kebun sagu di Umera, Jalaludin Ramalan, Humas PT BPM tidak menanggapi pertanyaan yang kami kirimkan lewat pesan singkat beberapa waktu lalu. Sebelumnya, dia sempat membalas konfirmasi tim kami terkait dampak aktivitas pertambangan terhadap kondisi perairan.
Menurutnya, kondisi perairan masih aman karena ada penanganan dari perusahaan berupa pembangunan check dam (sedimen pond) atau tempat penyaringan air/lumpur yang mengarah ke laut.
“Demikian terkait kondisi vegetasi khusus mangrove yang ada di seputar areal jeti juga masih terpantau dalam kondisi aman karena kita juga memperhatikan kondisi lingkungan sekitar, terutama yang berkaitan dengan hutan mangrove,” kata Jalaludin.
Masalahnya, perusahaan juga diduga memanfaatkan warga setempat dengan membentuk tim sembilan. Warga diakali masuk dalam tim tersebut untuk meredam protes terkait lahan kebun sagu yang tercemar lumpur tambang.
Sagu terakhir, generasi terakhir
KAMPUNG UMERA kerap disebut sebagai “kampung sagu terakhir” di Pulau Gebe yang masih memproduksi sagu dan menjual ke berbagai tempat di Kabupaten Halmahera Tengah. Tetapi ekspansi tambang nikel yang terus membongkar wilayah-wilayah produktif sagu setempat membuat luasan rumpun sagu makin tergerus dan profesi petani terancam hilang.
“Dulu banyak, semua orang yang ada di sini tu samua bahalo [mengolah sagu]. Karena dong pe [mata] pencarian cuma bahalo…[Sekarang] su kurang karna perusahaan, jadi yang laeng-laeng [sebagian warga Umera] dong so tara [mereka sudah tidak] olah sagu,” jelas Sahud.
Di Kampung Umera, hanya tersisa beberapa warga yang mengolah sagu. Para petani yang umumnya laki-laki, termasuk anak-anak muda, semakin tak tertarik mengolah sagu. Mereka memilih bergantung hidup dari hasil ekonomi tambang.
“Paling banyak skarang [yang kelola sagu] lima orang,” kata Abdul Manan.
Sementara pekerjaan berkebun tanaman pangan lain seperti menanam ubi, pisang, kasbi, dan sayur-sayuran lebih sering dikendalikan oleh perempuan. Diantara perempuan yang terbiasa mengolah sagu lempeng atau papeda pun lambat laun kekurangan bahan baku dari pohon sagu yang biasanya diambil suami mereka.
Menurut Sahud, semakin sedikit warga yang mengolah sagu, semakin banyak permintaan memproduksi sagu. Warga yang sudah bekerja di perusahaan tambang mulai memilih mendapatkan sagu berupa bahan baku atau sagu lempeng dengan cara praktis.
Mereka yang sebelumnya adalah pengolah sagu, kini membeli sagu dari Sahud dan warga yang masih bertahan mengolah sagu di kampung. “Jadi begitu tong bahalo, dorang [warga yang bekerja di tambang] mulai datang beli satu dua karung. Jadi torang juga rasa enak,” ujarnya.
Tetapi perubahan itu, kata Subhan Somola, seorang pegiat pemberdayaan ekonomi desa di Halmahera Tengah, terjadi akibat adanya pertambangan nikel. Menurutnya, pertambangan membuka ruang terjadinya perubahan pola konsumsi dan aktivitas pengolahan sagu.
Perubahan tersebut kata dia, diikuti dengan tercerabutnya kultur tradisional masyarakat setempat. Beras justru menjadi pangan utama sementara sagu dianggap sekadar pangan alternatif. Padahal dahulu, sagu dan tanaman perkebunan adalah makanan pokok dan dikonsumsi sehari-hari.
Perubahan itu juga, kata Subhan, mempengaruhi kepedulian masyarakat setempat, untuk melindungi pangan lokal sagu di wilayahnya.
Subhan sendiri banyak mendampingi kelompok masyarakat pengolah sagu sejak 2010. Tiga tahun lalu, dia mendampingi Badan Usaha Milik Desa (Bumdes) di Umera untuk usaha pengolahan sagu. Tujuannya untuk tetap mempertahankan eksistensi pangan lokal sagu di Pulau Gebe.
Usaha ini sempat jalan, dan hasilnya dipasarkan ke berbagai tempat di Halmahera Tengah. Produk sagu dikemas dalam kardus dan seingat dia bahkan yang terjual sekitar 800 kantong.
Sayangnya, usaha ini tak berlangsung lama dan akhirnya terhenti satu tahun terakhir. “Kendala utama so tarada lagi orang yang mau bahalo [produksi] sagu.” Dia menilai, pemerintah acuh terhadap pengelolaan pangan tradisional berkelanjutan seperti ini.
Dengan hadirnya tambang, kata Subhan, banyak warga di Umera yang beralih profesi menjadi pekerja tambang dan jarang atau tidak banyak lagi yang mau mengolah sagu. Padahal, kata dia, sagu merupakan mata pencaharian yang sangat menggiurkan. Mengingat, harga pangan lokal sagu saat ini dia sebut makin mahal dari waktu ke waktu karena kelangkaan stok sagu.
Meski menggiurkan, tetapi Sahud menyadari fenomena terkikisnya perlahan-lahan pangan lokal sagu di Kampung Umera dari aktivitas penambangan akan merusak rumpun sagu yang tersisa. Seperti yang khawatirkan Ramalan, “Sagu akan tetap abis kalu model disana [limpasan lumpur dalam kebun sagu].”
Liputan ini merupakan bagian pertama dari program Pasopati Journalist Fellowship 2023 bertajuk “Mengungkap Dampak dan Ancaman Hilirisasi Nikel Bagi Keberlangsungan Ekologi di Indonesia” yang didanai oleh Yayasan Auriga Nusantara.