Dua orang lelaki paruh baya duduk di bangku penyidik Unit VI Ditkrimum Polda Sumatera Utara. Satu orang mengenakan kaos, seorang lain lagi mengenakan kemeja lengan panjang. Mereka duduk menjaga jarak dan memakai masker ikuti anjuran pemerintah menerapkan protokol kesehatan pada masa pandemi Covid-19. Keduanya menundukkan kepala, terlihat lesu di ruangan itu.
Mereka adalah Edi Saputra dan Supriyanto. Hari itu, Sabtu 17 Juli 2021, Edi dan Supriyanto sengaja datang ke sana untuk memberikan kesaksian atas tewasnya dua orang teman mereka di sel tahanan Polsek Sunggal, Kota Medan.
Sayangnya meski mereka adalah saksi kunci, penyidik menolak kesaksian keduanya.
“Kami mau bersaksi di kantor polisi justru ditolak,” kata Edi setelah keluar dari ruangan Unit VI Ditkrimum Polda Sumut.
Penolakan itu membuat Edi semakin yakin ada sesuatu yang janggal. Bagaimana mungkin, ia yang merupakan saksi kunci yang bisa menjelaskan penyebab tewasnya Joko Dedi Kurniawan dan Rudi Efendi di dalam sel Polsek Sunggal pada bulan Oktober 2020 justru ditolak memberikan keterangan.
“Ini aneh.”
Edi Saputra merupakan warga Percut Sei Tuan, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara. Pada 8 September 2020 lalu, ia, Joko Dedi Kurniawan, dan enam orang teman lainnya ditangkap polisi di jalan Ringroad Medan. Mereka ditangkap karena tuduhan kasus pencurian dengan kekerasan bermodus polisi gadungan. Sejak itu mereka mendekam di sel tahanan Polsek Sunggal.
Kematian Rudi dan Joko
Irwansyah kaget bukan kepalang ketika mendengar kabar kematian adiknya, Rudi Efendi, di dalam sel tahanan. Ia tahu, Rudi dalam kondisi sehat saat masuk tahanan. Ia sempat dua kali mengunjungi Rudi selama di dalam tahanan Polsek Sunggal. Pada kunjungan pertama, kondisi adiknya terlihat masih sehat. Namun saat kunjungan kedua pada 12 September, adiknya mengeluhkan sakit. Selang dua minggu kemudian, pada tanggal 26 September 2020 Rudi meninggal.
“Saya curiga ada tindak kekerasan yang dilakukan petugas terhadap adik saya hingga mengakibatkan kematian,” kata Irwansyah.
Kecurigaan Irwansyah beralasan, sebab saat melihat jenazah adiknya di rumah sakit, ia menyaksikan keadaan kulit tangan adiknya terkelupas dan badannya membiru. Menurutnya, tanda-tanda itu mengindikasikan kematian adiknya itu tidak wajar.
Sunarseh, istri Joko juga mengungkapkan kecurigaan serupa. Ia bilang kondisi suaminya sehat-sehat saja saat ditangkap petugas. Bahkan saat pertama kali ia menjenguk Joko di tahanan Polsek Sunggal pada 15 September 2020 kondisi suaminya juga masih sehat. Namun saat kunjungan kedua pada 22 September, Sunarseh mendapati suaminya sudah dalam kondisi sakit.
“Badannya panas sekali, saya sempat bertanya kenapa badannya panas sekali. Namun, suami saya tidak menjawab. Dia justru mengatakan kepada anak saya, ‘bapak tidak bisa merawat kalian’” kata Sunarseh.
Sunarseh kembali menjenguk suaminya di tahanan Polsek Sunggal pada 1 Oktober 2020. Kali ini, Sunarseh ditemani Sri Rahayu, adik iparnya. Saat itu Sri Rahayu sempat memegang kepala korban sembari bertanya kenapa kepala Joko panas. Joko hanya menjawab, “Kepala abang sakit sama dada.”
Mendengar jawaban itu, Sri langsung keluar ruang tahanan untuk menemui petugas. Sri mempertanyakan penyebab abangnya sakit dan kenapa tidak dibawa ke rumah sakit. Salah seorang petugas Juru Periksa bernama Taufik Akbar saat itu menyarankan agar korban diberi makan lalu opname. Sri kebingungan karena mereka tak punya yang untuk opname. Tak berapa lama setelah mereka meninggalkan Polsek Sunggal, petugas polisi membawa Joko ke rumah sakit Bhayangkara Medan.
Pada 2 Oktober 2020 pukul 06.30 WIB, Sunarseh mendapat kabar dari Polsek Sunggal bahwa Joko telah meninggal. Jenazah Joko kemudian dimakamkan di pekuburan muslim desa Saentis, Kecamatan Percut Sei Tuan, Deli Serdang. Kematian Joko ini hanya berselang seminggu dari kematian Rudi.
Kanit Reskrim Polsek Medan Sunggal AKP Budiman Simanjuntak mengatakan kematian Joko itu semata-mata akibat sakit yang dideritanya. Ia juga memastikan bahwa tidak ada penganiayaan terhadap Joko. “Tidak ada penganiayaan, mereka dinyatakan meninggal dunia setelah dirawat oleh dokter karena sakit,” kata Budiman.
Namun omongan Budiman ini bertolak belakang dengan kesaksian Edi yang saat itu sama-sama ditahan di sana. Edi tahu benar, kematian Joko itu bukan perkara penyakit demam atau sesak di dada. Ia menyaksikan dengan dua matanya, bagaimana Joko dipukuli polisi terus menerus di dalam tahanan hingga muntah darah.
“Awalnya, korban sehat-sehat saja. Namun setelah dipukuli terus menerus langsung mengalami muntah darah yang berujung kematian,” kata Edi.
Sunarseh pun merasa ada yang janggal dari kematian suaminya. Ia tahu ada luka pada bagian dada dan kepala Joko. Karena itu, Sunarseh meminta polisi untuk membongkar makam korban agar jenazahnya diautopsi. Tim gabungan laboratorium forensik membongkar makam almarhum Joko pada 10 Maret 2021. Pembongkaran makam disaksikan Sunarseh dan kuasa hukum dari LBH Medan.
Pasca autopsi, polisi pun tak kunjung memberikan hasil autopsi kepada Sunarseh dan LBH Medan. “Sampai saat ini hasil autopsi suami saya tidak diberikan pihak kepolisian kepada kami,” ujar Sunarseh.
Wakil Direktur LBH Medan, Irvan Saputra mengatakan pihaknya telah meminta kepolisian untuk menyerahkan hasil autopsi korban, namun sampai sekarang tidak pernah diberikan. Hasil autopsi yang tidak kunjung diberikan itu semakin menambah kecurigaan mereka bahwa sejak awal polisi ingin menutupi kasus ini. Irvan menduga siasat ini digunakan polisi untuk menutupi fakta kematian Joko. Sebab jika fakta yang sebenarnya terungkap maka nama baik Polri akan tercemar.
“Ini yang mereka takutkan makanya dari awal penyidikan tidak transparan, ada kesan kepolisian takut jika kasus ini terungkap faktanya ke publik,” kata Irvan.
Upaya Pembungkaman Saksi
Irvan mengatakan gelagat tidak baik ini mulai mereka rasakan ketika LBH Medan berupaya mengadvokasi para saksi. Suatu hari, saksi yang menyaksikan kekerasan polisi yang diduga mengakibatkan Joko meninggal, diancam oleh salah seorang penyidik polisi supaya tidak menandatangani surat kuasa kepada LBH Medan. Para saksi diancam akan “dibenamkan” jika tetap menandatangani surat kuasa tersebut. Namun para saksi tidak takut dengan ancaman tersebut, mereka tetap memberikan kuasanya kepada LBH Medan.
Selain ancaman itu, menurut Irvan, para saksi kunci yang saat itu menjalani hukuman di Rutan Klas-I A Labuhan Deli, dijemput balik oleh Polsek Sunggal dengan alasan proses pengembangan kasus, namun tidak ada kejelasan soal tujuan pengembangan tersebut.
Selain intimidasi, polisi juga menolak Edi dan Supriyanto yang ingin bersaksi di hadapan penyidik polisi. Padahal, keduanya melihat dan mengetahui langsung adanya dugaan penyiksaan yang dilakukan polisi terhadap korban.
Atas penolakan ini, LBH Medan meminta perlindungan ke Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) RI. Irvan bilang LBH Medan telah mengirimkan surat permohonan perlindungan ke LPSK. Perlindungan LPSK ini sangat penting karena mereka khawatir terhadap keselamatan kliennya, terutama para saksi kunci.
Irvan mengaku kecewa atas sikap aparat kepolisian yang menolak kesaksian kliennya. Sebab, kata Irvan, adalah hak saksi secara konstitusi untuk memberikan keterangan yang benar dan berdasarkan fakta-fakta yang dialaminya.
“Saksi punya hak konstitusi untuk memberi keterangan, jadi jangan sampai ditolak. Kami minta agar para saksi segera diperiksa, selanjutnya penyidik melakukan pemeriksaan CCTV Polsek Medan Sunggal guna membuktikan adanya dugaan penyiksaan terhadap korban hingga berujung kematian,” tegasnya.
Pada saat gelar perkara yang dilakukan pada 21 Juni 2021 di Polda Sumut, Irvan juga telah meminta polisi untuk menghadirkan para saksi dan meminta penyidik untuk memeriksa CCTV yang ada di Polsek Sunggal. Namun permintaan itu diabaikan begitu saja.
“Sudah kami minta itu saat gelar perkara lalu, tapi kenapa ditolak. Kami meminta agar para saksi segera diperiksa dan penyidik melakukan pemeriksaan CCTV Polsek Sunggal guna membuktikan adanya dugaan penyiksaan terhadap korban,” ujar Irvan.
Polisi membantah tudingan menolak keterangan saksi. Salah seorang penyidik Ditkrimum Polda Sumut, Kompol Butarbutar justru mempertanyakan mengapa baru saat ini para saksi tersebut ingin memberikan kesaksian. Menurutnya, dari awal saksi tidak jujur dan tidak memberikan keterangan yang sebenarnya.
Menanggapi hal ini, Irvan menegaskan saat pemeriksaan awal di Polsek Sunggal, para saksi berada di bawah tekanan. Bahkan, kata Irvan, saat berada di dalam penjara para saksi diduga disodori uang biar mereka tidak bicara kepada orang lain soal kematian Joko. Ironisnya lagi, LBH Medan kesulitan untuk mengambil kuasa para saksi karena dihalang-halangi pihak Polsek Medan Sunggal.
“Para saksi diduga diintimidasi dan diancam agar tidak menandatangani kuasa ke LBH Medan dan tidak memberitahukan apa yang terjadi sebenarnya,” kata Irvan.
Polisi Tutup Kasus
Kanit Reskrim Polsek Medan Sunggal AKP Budiman Simanjuntak membantah pihaknya telah melakukan intimidasi terhadap para saksi. Budiman juga membantah kematian dua tahanan, termasuk Joko akibat dianiaya oknum petugas.
“Tidak ada penganiayaan, mereka dinyatakan meninggal dunia setelah dirawat oleh dokter karena sakit,” kata Budiman.
Tak lama berselang, polisi pun menghentikan kasus ini melalui Surat Perintah Penghentian Penyelidikan nomor SPP-Lidik/994.a/VIII/2021/Ditreskrimum. Surat itu ditandatangani Direskrimum Polda Sumut, Kombes Tatan Dirsan Atmaja pada 4 Agustus 2021.
Dalam surat itu polisi menyatakan bahwa “…dugaan tindak pidana penganiayaan yang menyebabkan matinya orang ternyata bukan merupakan tindak pidana atau hal sebagaimana diatur dalam undang-undang…”
Sementara itu LBH Medan menilai tidak ada argumen SP3 yang jelas dan logis dari penghentian penyelidikan kasus itu. Sebab sejak awal, polisi tidak maksimal menangani kasus ini dan cenderung menutupi kebenaran. LBH Medan menyatakan penyelidikan yang dilakukan Polda Sumut tidak maksimal dan jauh dari kewajiban kepolisian yang seharusnya mengedepankan asas profesional, proporsional, dan prosedural. Oleh karena itu LBH Medan meminta perkara ini diambil alih Mabes Polri.
“Penghentian penyelidikan tersebut sangat mengecewakan dan melukai hati Sunarseh yang dalam hal ini mengharapkan keadilan dan kepastian hukum kepada Polda Sumut guna mengungkap penyebab kematian suaminya yang diduga kuat merupakan korban penyiksaan di Polsek Sunggal,” kata Irvan melalui rilis LBH Medan.
Kematian orang di dalam tahanan ini bukan satu-satu yang terjadi di Sumatera Utara. Kepala Divisi Sipil Politik LBH Medan, Maswan Tambak mencatat pada tahun 2020 setidaknya ada 11 kasus kematian orang di dalam tahanan di wilayah Polda Sumatera Utara. Maswan menyebut pada umumnya mereka meninggal karena dianiaya seperti kasus yang terjadi di Polsek Sunggal.
“Sudah cukup banyak kasus kekerasan polisi di wilayah ini, termasuk dugaan penganiayaan tahanan. Ini alarm buat kepolisian kita,” tandas Maswan.
Tulisan ini adalah bagian dari serial reportase #PolisiBukanPreman yang didukung oleh Yayasan Kurawal.