Trauma Tragedi Kanjuruhan: Ketika Tribun Kembali Riuh, Hati Keluarga Korban Tetap Sunyi

Mawa Kresna
14 menit
Sejumlah Aremania berdiri di bawah bentangan bendera Merah Putih raksasa pada aksi peringatan 1 tahun peristiwa Kanjuruhan di halaman Stadion Kanjuruhan, Malang. (Project M/Fully Syafi’i)
Kesunyian tak bertepi keluarga-kelurga korban Tragedi Kanjuruhan.

Pada 2 Oktober 2022, sehari setelah kejadian Kanjuruhan meletus, Malang bak kota mati. Jalan-jalan tampak sunyi. Poster protes bernada kutukan, melintang di setiap sudut kota. Pos polisi sepi tanpa penjaga. Hangit aroma duka dan amarah terasa pekat menyelimuti seisi kota. 

Peristiwa malam jahanam yang menewaskan 135 jiwa itu, telah satu tahun berlalu. Tim sepak bola Arema FC kembali berlaga, liga bergulir seperti semula. Semuanya kembali seperti biasa saja. Seolah, peristiwa yang kemudian merenggut hidup Mita Maulidyah, putri semata wayang Siti Mardiyah, tak pernah terjadi.

Biasanya, Siti tak pernah absen untuk menemani anaknya ketika menonton pertandingan sepak bola. Tetapi, pada 1 Oktober 2022 lalu, Mita meminta agar ibunya di rumah saja. Sebab, pertandingan melawan Persebaya selalu bertensi tinggi. Mita khawatir akan keselamatan ibunya. Ia pun juga meminta dua kakak lelakinya untuk tak berangkat ke stadion. Mita adalah satu-satunya anggota keluarga yang menyaksikan derbi sengit itu.

Mita berangkat ke Kanjuruhan bersama seorang sepupunya. Sementara sang Ibu, akhirnya memilih untuk berangkat ke pengajian. 

Selepas dari pengajian, seorang ustaz mengatakan kepada para peserta. “Pulangnya hati-hati. Karena di stadion sedang ada kerusuhan,” kenang Siti. Hatinya terasa mencelos. Pikirannya melayang pada nasib putrinya yang sedang berada di stadion. 

Hatinya pun kian ciut tatkala mikrolet yang ia tumpangi bersama rombongan pengajian, tiba di depan gang rumah. Ia melihat kerumunan warga tengah berkumpul. Ia melewati warga dengan hati was-was. Belum sempat ia duduk di kursi ruang tamunya, seorang keponakan memegang tangan Siti seraya bersujud. Keponakan Siti, menyampaikan sebuah obituari. 

“Bude, maafin Saya. Saya gagal menjaga mbak Mita. Mbak Mita, budhe, sudah enggak ada umur.”

Dunia Siti seolah runtuh dalam sekejap. Ia berteriak histeris memanggil-manggil nama anaknya. Lima belas menit kemudian, mobil jenazah membawa jasad putrinya tiba. Siti mengatakan, hatinya remuk tatkala membuka kantong jenazah. Mita Maulidiyah, tampak terbujur kaku dengan wajah tampak menghitam keunguan. Mulutnya mengeluarkan busa. Aroma pekat amonia melekat pada jenazah.

“Saya hanya bisa diam, tangis saya berhenti. Seperti kaget, seperti mimpi. Kok bisa anak saya [meninggal] kondisinya seperti itu. Mukanya seperti disiram pasir. Hitam pekat,” kata Siti.

Siti, tak hanya kehilangan seorang anak. Tetapi, ia juga merasa seperti kehilangan seorang karib. Sebab, Mita, adalah satu-satunya anak yang kerap menemaninya bepergian ke mana pun: pasar, swalayan, mall, dan kemanapun sang ibu melangkah, jikalau sempat, Mita tak pernah menolak untuk mendampinginya.

“Sampai sekarang, saya masih mencari Mita. Setiap hari, saya melihat kamarnya, manggil-manggil namanya. Saya berharap bisa kembali mendengar suara anak saya,” kata Siti Mardiyah, seraya menatap hampa potret dirinya dan putrinya yang terpacak di ruang tamu rumahnya.

“Tetapi ketika ketika saya sadar, anak saya sudah enggak ada. Saya cuman bisa nangis dan nangis.”

Kepergian Mita, berdampak pada suasana rumah yang sama sekali berubah. Siti Mardiyah mengaku tak lagi bisa tidur nyenyak dan makan teratur. Bobot tubuhnya menyusut sepuluh kilo lebih dalam satu tahun. Kulkas yang mulanya dijejali dengan pusparagam jajan, belakangan kosong. Dua kakak lelaki Mita, lebih sering berdiam di kamar. Mereka, menangisi kepergian adik bungsu dalam diam. 

“Dia adalah anak yang paling manja kalau sama saya. Setelah dia sudah enggak ada, sekarang sudah hampa rumah ini. Kosong rasanya.”

Foto Mita Maulidya, putri bungsu Siti Mardiyah, terpajang di dinding kamar. (Project M/Fully Syafi’i)

Untuk mengobati kerinduan akan si bungsu, saban hari Siti selalu sambang ke makam Mita yang hanya berjarak sepelemparan batu dari kediamannya. Di momen-momen tertentu, dalam satu hari, Siti bisa sampai tiga kali mengunjungi makam. Setiap datang, ia selalu mengganti bunga makam putrinya. Dalam satu tahun, ia tak pernah luput seharipun melawat peristirahatan terakhir si buah hati. 

“Hanya itu yang bisa saya lakukan. Saya sekarang hanya bisa berbicara dengan nisan. Setiap pulang, saya selalu berkata ‘Maafkan ibu, ya, nak. Ibu gagal. Ibu gagal menjaga Mita’.”

Satu tahun adalah waktu yang cukup singkat bagi Siti, untuk melupakan anaknya yang telah ia besarkan selama 26 tahun. Kini, yang tersisa hanya kerinduan tak berujung dan penyesalan yang kekal. Siti dan anggota keluarga lainnya, mengaku kecewa terhadap sikap Arema FC yang seolah tak memperdulikan nasib keluarga korban. 

Satu tahun pasca tragedi, pihak Arema hanya satu kali takziah ke kediamannya. Selebihnya, ia merasa seolah dilupakan begitu saja. Sementara, tim sepak bola kebanggaan warga Malang tersebut, tak pernah secara kooperatif memberikan bantuan hukum. Siti pun mengaku hampir putus asa atas upaya mencari keadilan untuk anaknya. Sebab, ia merasa bahwa konsekuensi hukum untuk para terdakwa, masih jauh panggang dari api. 

“Sejauh ini, yang selalu aktif memperjuangkan keadilan untuk Mita, ya Andi ini, kakak sulungnya. Kalau saya sudah enggak kuat. Biarlah. Kalau enggak kena hukum di dunia, saya percaya kalau hukum di akhirat masih menunggu mereka,” ujar Siti. 

Siti Mardiyah dan Adi, ibunda dan kakak Mita Maulidya, berdiri di sisi makam Mita Maulidya. (Project M/Fully Syafi’i)

Kepergian Mita, membuat kondisi psikologis Siti menjadi kacau. Ia tak pernah tidur nyenyak pada enam bulan pertama. Gairah hidupnya melemah. Siti lebih sering terserang penyakit. Ia pun juga kehilangan selera makan. 

“Sampai saat ini saya sering sekelebat gitu berpikir ‘kenapa harus anak saya ya Allah?’ gitu.”

“Saya akan maafkan mereka” 

Duka yang sama juga hinggap di kediaman pasangan Riyanto (46) dan Sujiati (38), yang terletak desa Bokor, kabupaten Malang. Di ruang tamu mereka, potret seorang bocah lelaki dan kakak perempuannya tampak sumringah dengan balutan pakaian daerah. Sebuah gitar kopong tergantung dengan senar berkarat, dan berdebu tebal, seolah lama tak dijamah lama oleh pemiliknya.

“Selepas kematian si Tole—panggilan sayangnya untuk putranya—saya kadang merindukan bunyi gitar itu. Sejak ia meninggal, enggak ada lagi yang bernyanyi di rumah ini,” ujar Sujiati dengan suara parau menahan tangis, seraya menatap hampa tembok berkelir putih tulang.

Putra mereka, Rian Fauzi, adalah salah satu korban brutalitas aparat pada tragedi Kanjuruhan. Si bungsu yang pada tahun lalu usianya belum genap 15 tahun itu, diduga meregang nyawa sebab kehabisan napas saat berupaya menyelamatkan kakak perempuannya, Vidya Dharma Nur Arianti (19). Pada hari itu, ia berbonceng tiga bersama kakak perempuan, dan juga pacar si kakak menuju Kanjuruhan. Sebetulnya, kedua orang tua Rian sudah tak memberikan izin anaknya untuk berangkat. Tapi ia tetap ngeyel dan memohon kepada orang tuanya untuk pergi ke stadion. 

“Tapi dia tetap ngeyel dan bilang ke saya, ‘terakhir wes bu. Temenan, iki terakhir aku nonton bola, bu. Dan tak lama berselang, pacar kakaknya datang membawa tiket. Akhirnya ya sudah, kami beri izin,” kenang Riyanto.

Sebelum berangkat menuju stadion, Rian menempelkan stiker bergambar logo Arema di kaca rumahnya. Sang Ibu sempat melarangnya, sebab menurut Sujiati, akan bikin rumah tampak lebih kumuh. “Tapi dia jawab ‘Gak opo-opo, bu. Terakhir iki, kenangan-kenangan teko aku’ gitu, katanya.” 

Selepas maghrib berkumandang, ketiganya mulai berkendara menuju Kanjuruhan. Sepasang orang tua itu tak menyangka, bahwa itu adalah terakhir kalinya mereka menyaksikan punggung anaknya bergerak menjauh. Meninggalkan rumah dan tak pernah kembali. 

Menjelang subuh, pada 1 Oktober 2022 lalu, gawai Riyanto berdering. Ia menerima pesan, bahwa kerusuhan meletus di stadion Kanjuruhan. Ia ingat, bahwa kedua buah hatinya sedang berada di sana. 

Aremania memasang spanduk protes di dalam Stadion Kanjuruhan saat aksi satu tahun peringatan pembantaian Kanjuruhan. (Project M/Fully Syafi’i)

Sekitar pukul dua malam, Vidya pulang ke rumah seraya tersengal-sengal diantar oleh anggota keluarga pacarnya. Ketika berada di rumah, Vidya muntah berkali-kali. Ia merasakan dadanya sesak karena menghirup gas air mata dan terhimpit di pintu keluar Gate 13. 

Sambil menahan sesak dan tangis, Vidya mengatakan bahwa pacarnya telah meninggal dunia karena berdesakan dan keracunan gas airmata. Sekaligus, ia berujar, bahwa kemungkinan besar adiknya selamat. Tetapi, ia tak mengetahui di mana adiknya sekarang. Ia meminta ayahnya untuk mencari adiknya. Riyanto meminta istrinya untuk tetap di rumah. Sementara ia, segera memacu sepeda motornya, melibas jarak sepanjang 35 km dengan kecepatan penuh. 

Ketika sepeda motor Riyanto sampai pada pintu gerbang, hatinya seketika terasa rontok. Ia melihat kantong-kantong jenazah berjajar di deretan bangku VIP hingga ruang ganti pemain. Sementara kondisi suasana masih riuh dan segalanya tampak gosong, serupa medan perang. Ia menguatkan hatinya untuk mencari sang putra. Ia membuka satu persatu kantong mayat. 

“Ngeri sekali. Rasanya selama 46 tahun saya hidup sebagai manusia, itu adalah pemandangan paling ngeri yang pernah saya saksikan. Benar-benar seperti bencana. Seperti kiamat. Mayat dengan muka gosong keunguan di mana-mana. Hancur hati saya. Tapi saya berusaha tegar,” kenang Riyanto. 

Sebetulnya, jika ia tak salah menghitung, ia menaksir bahwa jumlah korban jiwa lebih dari 135 nyawa. Sebab, ia memeriksa satu persatu kantong jenazah dari beberapa rumah sakit dan puskesmas, jumlahnya lebih dari 200 an. “Itu belum termasuk yang langsung dibawa ke rumah, ya. Saya yakin jumlahnya lebih,” kata Riyanto. 

Ketika ia selesai membuka seluruh kantong jenazah, dan tetap tak menemukan anaknya. Perasaan Riyanto sedikit lega. Tetapi rasa penasaran mendorongnya untuk terus bergerak dan mencari. Ia kemudian mencari sang putra ke beberapa rumah sakit lain: RS. Kanjuruhan, RS. Wava Husada, dan beberapa puskesmas kecil sekitaran Kanjuruhan. Hasil akhir pencarian tersebut nihil. Ia pun merasa sedikit enteng hatinya. Pikir Riyanto, mungkin anaknya selamat dan sedang menenangkan diri di rumah kawannya. Ia pun akhirnya pulang. 

Sesampainya di rumah, Riyanto mengatakan kepada istrinya, bahwa ia sudah melihat jasad seluruh korban, tetapi, tak ada jenazah Rian Fauzi di sana. Sujiati pun merasa sedikit lega, kendati sejujurnya, perasaan was-was masih menggelayutinya. Tetapi, sekitar pukul sembilan pagi, sebuah pesan susulan tiba kepada keluarga Riyanto. Seorang kerabat, mengatakan bahwa anaknya menjadi korban.

“Saya kembali ke RS. Kanjuruhan. Padahal, itu adalah rumah sakit pertama yang saya tuju ketika mencari anak saya. Tetapi saya tidak menemukan. Padahal, ketika saya kembali ke sana, anak saya berada di kantong jenazah yang pertama kali saya buka. Di sebelah jasad Ilham, pacar kakaknya,” kenang Riyanto.

Beberapa Aremania berdoa di depan Gate 13 yang terpasang foto-foto korban pembantaian Kanjuruhan setahun lalu. (Project M/Fully Syafi’i)

Kematian Rian Fauzi menciptakan trauma yang begitu dalam bagi keluarga yang ditinggalkan. Kakak perempuan Rian, sempat mengalami depresi akut. Sebab, ia melihat detik-detik bagaimana sang kekasih meregang nyawa kehabisan nafas. Sebetulnya, Vidya juga sempat disandingkan bersama jenazah Ilham, kekasihnya. Namun, ia kemudian kembali sadar dan meminta pertolongan orang-orang sekitar. 

“Anak saya waktu itu sempat minta tolong ke polisi, tetapi gak digubris. Entah keadaan memang sedang riweuh, atau gimana. Untung saja, si Vidya itu diselamatkan sama sesama suporter yang ada di sana, dan dibopong ke luar stadion,” terang Sujiati. 

Selepas lolos dari maut, dalam waktu beberapa bulan, putri Sujiati tersebut kerap mengurung diri di kamar. Ia mudah ketakutan ketika mendengar suara riuh. Saban hari, Vidya melamun, dan menangis. Ia juga marah ketika mendengar keributan di sekitaran rumahnya, meskipun hanya karena suara anak-anak tetangga yang tengah bermain di pelataran rumahnya. 

Beruntung, setelah membicarakan kekhawatirannya akan kondisi psikologis putri mereka, tim dari Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) memberikan dampingan psikologis gratis. Tetapi, bantuan tersebut, tidak datang dari tim sepak bola yang menancapkan trauma kepada Vidya. 

“Manajemen Arema FC hanya pernah satu kali datang ke sini. Itupun waktu tahlilan anak saya. Selebihnya, tak ada bantuan apapun yang mereka berikan,” kata Riyanto. “Mereka tidak memberikan kontribusi apapun atas kesembuhan hati saya sebagai orang tua, apalagi psikologis putri saya. Tidak ada.”

Riyanto dan Sujiati pun tertegun sebentar, seraya pandangannya melayang kosong menatap potret putra mereka. 

“Kalaupun mereka datang, kami Insya Allah akan memaafkan. Kami akan memaafkan mereka yang membunuh anak saya. Tetapi, biar urusah hukum tetap jalan. Tetapi sebagai sesama manusia, saya sudah memaafkan,” kata Riyanto. 

Ikhtiar Mencari Keadilan: Kriminalisasi dan Teror

Ketika mempertanyakan atas konsekuensi hukum para pelaku penembakan gas airmata, hampir seluruh keluarga korban Kanjuruhan mengatakan bahwa itu masih jauh dari harapan. Sebagian keluarga memilih berhenti berharap terhadap aparatus hukum, sementara sebagian yang lain, masih memilih untuk berjuang. Mereka tahu, bahwa perjalanan yang mereka tempuh bakal penuh onak dan duri. Tetapi, itu tak kemudian menyurutkan semangat mereka untuk mencari keadilan untuk para korban.

Seperti Riyanto misalnya, ia mengatakan bahwa keadilan sejati adalah tatkala seluruh instrumen yang terlibat dalam penyelenggaraan pertandingan 1 Oktober 2022 silam, diberi hukuman. Baik polisi, dan yang memberi perintah penembakan, serta penyelenggara liga yang gagal dalam mengamankan para penontonnya, juga patut menerima konsekuensi hukum yang setara. Ia melihat persidangan hanyalah sebuah teatrikal belaka. 

“Polisi yang menembak, kan mereka juga menerima perintah dari atasannya. Nah tapi sampai sekarang, kok itu enggak pernah dituntut hukum? Sebetulnya, polisi ganti aja, deh, slogannya. Melindungi, mengayomi, dan melayani, siapa? Saya sebagai rakyat kecil, tidak pernah merasakan slogan mereka. Sama sekali,” tukas Riyanto. 

Berbagai macam coretan protes tertulis di Gate 14 Stadion Kanjuruhan, Malang yang sedang dalam proses renovasi. (Project M/Fully Syafi’i)

Hal tersebut diamini oleh istrinya, Sujiati. Sekaligus, Sujiati pun merasakan bahwa suporter yang kemudian terpecah belah menjadi salah satu hambatan bagi keluarga korban dalam meraih keadilan. Seperti tatkala mereka memperingati satu tahun tragedi Kanjuruhan, ia dan keluarga korban lain, mengaku diprovokasi oleh oknum suporter yang menyanyikan chant bernada kebencian ketika keluarga korban sedang merapal doa. 

“Jadi waktu itu, kami sedang menangis, dan bersholawat, itu mereka yang disebelah malah berpesta, nyalain mercon, dan nyanyi ‘bonek jancok dibunuh saja’. Seolah gak ada empati atas sesama suporter yang menjadi korban,” kata Sujiati.

Desas-desus yang berhembus terkait friksi antar suporter yang kian menguat, diamini oleh Ambon Fanda, seorang eks-Aremania yang saat diwawancara oleh Project Multatuli, tengah ditahan di Polresta Kota Malang. Ambon ditangkap dengan dakwaan sebagai dalang kerusuhan perusakan kantor Arema FC, yang terjadi pada 29 Januari 2023 lalu. Ambon, ditahan bersama delapan terdakwa lain yang dituding terlibat pada kasus yang sama.  

Ambon Fanda, dikirim ke balik jeruji besi pasca sebuah potongan video yang dinilai bernada provokasi viral di Tiktok. Menurut pengakuan Ambon Fanda, massa yang kemudian bergerak pada 29 Januari silam, bukanlah rekan seperjuangannya. Sejatinya, titik aksi akan ia gerakan menuju ke Forum Koordinasi Pimpinan Daerah (Forkopimda) kabupaten Malang, serta kantor polisi Kepanjen, alih-alih kantor Arema FC. 

“Penangkapan saya ini, saya kira adalah adalah taktik politik untuk meredam gerakan usut tuntas yang pada saat itu begitu masif. Hampir satu minggu sekali selalu ada demo, kan. Tetapi setelah saya ditangkap, gerakan itu turut surut,” kata Ambon. 

Ambon meyakini penggembosan aksi ‘Usut Tuntas’ lahir dari kolaborasi antara aparat dan juga beberapa kelompok suporter.

Sejumlah suporter membawa spanduk saat memperingati satu tahun pembantaian Kanjuruhan di halaman Stadion Kanjuruhan, Malang. (Project M/Fully Syafi’i)

Sehari sebelum sidang putusan, Ambon berharap dibebaskan, sebab memang tak ada bukti yang kuat menyatakan bahwa ia turut mengorganisasi massa dan memberikan komando untuk merusak kantor Arema FC. Harapan itu akhirnya sirna, sehari kemudian ia dinyatakan bersalah dan divonis penjara 9 bulan. 

Adi Dharmawan, kuasa hukum Ambon Fanda mengatakan bahwa ia prihatin atas putusan hukum yang diterima oleh kliennya. Sebab, sepanjang persidangan, tidak ada bukti konkrit yang kemudian meletakan posisi Ambon patut dijerat dengan pasal 160 KUHP. 

Namun ia mengaku masih pikir-pikir untuk mengajukan banding. Sebab, jika dihitung dari hari pertama Ambon ditangkap, hanya butuh waktu 15 hari untuk Ambon menuju bebas. 

“Ini adalah konsekuensi yang telah saya sadari sejak awal. Risiko terkecil saya adalah dipenjara, dan risiko terbesar saya adalah, dibunuh. Tetapi ini tetap saya terabas, demi keadilan. Demi kemanusiaan. Demi 135 nyawa dan seluruh keluarga korban peristiwa Kanjuruhan,” ujar Ambon. 

Perjalanan terjal nan sunyi telah ditempuh oleh mereka yang tergerak, untuk mencari adil kasus Kanjuruhan. Sampai satu tahun pasca peristiwa terlewat, tak ada penegakan hukum yang menjawab tuntutan korban. Sebagian mereka masih tetap memilih berdiri di jalan yang sama: mencari adil untuk kawan, karib, anak, suami, istri, dan keluarga mereka. 

“Meskipun semua orang mengatakan, bahwa perjalanan mencari keadilan bagi anak saya akan sulit dan panjang. Tapi saya tak putus asa. Ini adalah ikhtiar orang tua kepada anaknya,” kata Riyanto.

Ia mengatakan, tatkala putra bungsunya masih hidup, ia mau mengupayakan segala cara agar anak-anaknya mendapatkan segala yang terbaik dari dunia ini. Bagi Riyanto, satu-satunya cara yang tersisa untuk membuktikan ikrarnya sebagai orang tua, adalah mencari keadilan untuk anaknya. Apa pun ongkosnya. 

Riyanto dan Sujati yang kehilangan anak laki-laki mereka,Rian Fauzi, pada pembantaian Kanjuruhan. (Project M/Fully Syafi’i)

“Ini adalah janji setia orang tua kepada anaknya, ibu dan bapak akan mengadili siapa pembunuhmu, hingga ke ujung dunia pun, akan kami usahakan,” timpal Sujiati. 

Satu tahun tragedi berlalu, luka dan trauma keluarga korban belum sepenuhnya kering. Sementara, tim yang mereka bela, kembali berlaga, nama mereka yang meregang nyawa, lamat-lamat mulai terlupakan. Tagar ‘Usut Tuntas’ perlahan tenggelam. Stadion bergemuruh kembali, tetapi para keluarga, selamanya kehilangan separuh hidup mereka.


Reportase ini bagian dari serial #PercumaLaporPolisi dan #PolisiBukanPreman

Terima kasih sudah membaca laporan dari Project Multatuli. Jika kamu senang membaca laporan kami, jadilah Kawan M untuk mendukung kerja jurnalisme publik agar tetap bisa telaten dan independen. Menjadi Kawan M juga memungkinkan kamu untuk mengetahui proses kerja tim Project Multatuli dan bahkan memberikan ide dan masukan tentang laporan kami. Klik di sini untuk Jadi Kawan M!

Liputan Terkait
Mawa Kresna
14 menit