Kekerasan Seksual di Ruang Kerja: Sengsara Penyintas Mengubur Kasusnya

Mawa Kresna
7 menit
Women's March di Jakarta. (Hafitz Maulana)

Tulisan ini adalah pengantar untuk serial reportase yang mengangkat cerita penanganan kejahatan kekerasan seksual yang tidak berperspektif pada keadilan bagi korban di lanskap profesional.


Seorang perempuan bercerita pernah mengalami pelecehan seksual ketika masih menjadi staf baru di salah satu lembaga swadaya masyarakat di Jawa Tengah. Pelecehan terjadi berulang. Terduga pelaku adalah rekan kerjanya.

Lantaran tak tahan, ia memberanikan diri mengonfrontasi pelaku. Bukan penyelesaian yang didapat, ia malah “dicutikan” dengan alasan membuat situasi kerja jadi tidak kondusif.

Dalam pengakuan kepada Project Multatul & KBR, ia merasa terombang-ambing karena tidak ada panduan penyelesaian kasus pelecehan dan kekerasan seksual yang jelas di tempat kerjanya itu. Ketika ia membicarakan perkara ini ke salah satu atasan, diskusi justru berubah menjadi evaluasi kinerja korban. Ujung-ujungnya, ia dinyatakan tidak layak lagi bekerja di sana.

Penyelesaian kasus pelecehan dan kekerasan seksual di ruang kerja seolah menjadi hal yang ganjil. Perempuan, kelompok marginal lain, yang menjadi korban kekerasan seksual seringnya disalahkan, diasingkan, dipecat atau terancam kehilangan pekerjaan, hingga dikriminalisasi.

Padahal bagi pekerja, tempat kerja adalah ruang produktif yang (seharusnya) aman untuk mencari nafkah, mengumpulkan pengalaman, mencari status sosial, mengejar karier, atau juga menunaikan passion. Ruang atau tempat kerja yang kami bicarakan di sini meliputi semua sektor, mulai dari pemerintahan, swasta, hingga lembaga/institusi/organisasi nirlaba.

Survei Never Okay Project menemukan sepanjang 2018-2020, dari 117 kasus pelecehan dan kekerasan seksual di tempat kerja yang dilaporkan ke otoritas yang dibayangkan bisa membantu penyelesaian adil oleh korban, justru berbalik jadi celaka. Sebanyak 5 persen korban yang melapor dipecat dan disalahkan. Ada juga korban yang malah dipaksa minta maaf dan dipenjara.

Sementara, hanya 1 dari 9 kasus yang dilaporkan ke kepolisian berakhir dengan pelaku menjadi tersangka.

Dari survei itu, hampir setengah dari responden yang mengalami pelecehan dan kekerasan seksual melaporkan kasusnya ke Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan).

Sebagian dari mereka justru mengaku takut melapor ke internal organisasi/perusahaan. Ketakutan bukan tanpa alasan. Berkaca dari survei Never Okay Project, lebih dari 60 persen pelakunya adalah atasan atau rekan kerja senior lain yang punya kuasa di tempat kerja.

Belum lagi yang ujungnya justru diselesaikan secara “kekeluargaan”. Bukannya melindungi korban, penyelesaian “kekeluargaan” itu justru membuat semakin tertekan.

Semangat menyelesaikan perkara secara kekerabatan tidak boleh berlaku untuk kasus pelecehan dan kekerasan seksual. Karena luka, amarah, dendam, malu, perasaan tidak berarti dan keputusasaan akan masa depan, tidak bisa begitu saja hilang dengan jabat tangan dan janji-janji manis. Karena ini adalah pelanggaran terhadap hak asasi manusia. Juga, bukankah sebaik-baiknya nasihat tentang profesionalisme adalah memisahkan urusan kerja dengan keluarga?

Panduan penyelesaian kasus pelecehan dan kekerasan seksual yang berperspektif pada keadilan untuk korban sudah seharusnya menjadi bagian penting yang ada di perusahaan/organisasi. Pemberi kerja, penanggung jawab perusahaan, dan semua pihak yang punya jabatan tinggi juga harus mengenalkan dan mengawasi rambu-rambu pelecehan dan kekerasan seksual. 

Mekanisme penyelesaian perlu sebagai upaya menghentikan kejahatan tetapi juga mengakhiri sempitnya pemahaman atas penghormatan tubuh dan privasi orang lain, pemikiran-pemikiran yang masih patriarki dan heteronormatif, serta ketidaktahuan dan/atau pengabaian atas apa yang disebut dengan consent atau izin.

Karena bolongnya mekanismenya berdampak sistemis. Ketika kasus tidak selesai dengan tuntas, pelaku tidak punya jera dan terus mengulang perbuatannya.

Tempat kerja yang tidak punya perspektif keadilan bagi korban bukan tidak mungkin justru memberikan peluang bagi pelaku mendapat promosi atau bahkan diberikan rekomendasi yang ‘baik-baik saja’ ketika berpindah kerja. Dengan demikian, aspek pencegahan juga jadi sulit dilakukan. Sungguh, sangat tidak mungkin para predator seksual akan sadar dan terbuka mengakui tabiat lacurnya kepada calon pemberi kerja.

Kalau sudah begitu, kasus pelecehan dan kekerasan seksual di ruang kerja tidak ubahnya seperti lingkaran setan.

Survei lain Never Okay Project mencatat laporan kasus pelecehan dan kekerasan seksual di tempat kerja sejak tahun 2018 hingga 2021, terus meningkat. Bahkan, kebijakan work from home (WFH) selama pandemi COVID-19, juga tidak membuat pekerja aman dari ancaman pelecehan dan kekerasan seksual.

Bentuk pelecehan di antaranya menerima candaan seksis, dikirimi foto, video, email, pesan teks, atau stiker seksual tanpa persetujuan, hingga difoto atau direkam diam-diam saat melakukan rapat atau pertemuan daring.

Project Multatuli & KBR berkolaborasi untuk membuat serial reportase yang mengangkat topik pelecehan dan kekerasan seksual di ruang kerja. Kami memilih berfokus pada mekanisme penyelesaian kasus di semua sektor profesional, bukan bagaimana korban mengalami pelecehan atau kekerasan seksual.

Kami memulai serial reportase ini dengan mengangkat cerita penanganan kasus pelecehan dan kekerasan seksual di organisasi/lembaga nirlaba. Untuk memperkuat argumen, kami mengumpulkan survei kekerasan seksual di ruang kerja yang masih akan terus dibuka hingga serial ini berakhir nanti. Anda masih bisa berpartisipasi dalam survei melalui tautan ini: https://bit.ly/KS-ruangkerja

Kami perlu mengidentifikasi sistem yang berlaku di ruang kerja. Apakah ruang kerja yang melanggengkan, menormalkan, dan bahkan menutupi adanya dugaan kekerasan seksual semata-mata karena mereka tidak memiliki SOP yang komprehensif untuk penanganan kasus ini? Atau, SOP sudah ada tetapi tidak berjalan maksimal karena relasi kuasa?

Harapannya, laporan ini bisa mendorong evaluasi internal dan perbaikan kebijakan. Apalagi satu pintu untuk upaya penyelesaian kasus kekerasan seksual telah terbuka dengan pengesahan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) pada 13 April 2022. Tentunya, kami tidak ingin pengesahan UU itu jadi simbol politik belaka.

Pada laporan pertama, beberapa nama organisasi muncul. Nama-nama ini muncul atas dasar pengakuan penyintas, baik yang kami wawancara langsung maupun dari hasil survei yang dilakukan. Kami sadar, keputusan untuk memunculkan nama-nama tersebut akan menimbulkan tanya dan kritik.

Oleh karena itu, Project Multatuli dan KBR telah menyusun sejumlah klarifikasi atas pertanyaan yang mungkin muncul dalam benak Anda ketika laporan penanganan kasus pelecehan dan kekerasan di organisasi/lembaga nirlaba kami terbitkan.

Apa tujuan laporan ini? Apakah ingin menghancurkan gerakan?

Laporan ini adalah yang pertama dari serial laporan kekerasan seksual di ruang kerja dan tidak akan berhenti di lingkup kerja NGO, tapi juga akan menyisir ke lingkup kerja lain.

Tujuan utamanya memeriksa apakah organisasi-organisasi, juga perusahaan-perusahaan atau lembaga pemerintahan, sudah berupaya dan berniat baik untuk memberi ruang aman pada semua karyawannya. Serial ini memang akan lebih berfokus pada apa yang sudah dan belum dilakukan oleh para pemberi kerja atau majikan.

Laporan ini dibuat untuk saling mengingatkan soal peliknya penanganan kasus kekerasan seksual di ruang kerja karena membutuhkan kesadaran, komitmen yang kuat dari para pimpinan organisasi, tata cara dan teknis pelaporan serta situasi yang juga berpihak pada korban.

Kami memulai serial ini dari dunia NGO karena menurut kami, aktivis mempunyai mandat etik untuk menjadi yang terdepan dalam memperjuangkan kesetaraan gender. Ketika para aktivis mendorong penegakan HAM, keadilan, transparansi, akuntabilitas, maka mereka sendiri harus memastikan semua nilai-nilai itu juga diterapkan pada korban kekerasan seksual di lingkungan kerja mereka.

Kisah yang secara spesifik mengangkat tentang penanganan kekerasan di lingkungan NGO justru bertujuan memberi solusi untuk memperkuat gerakan, alih-alih menghancurkan gerakan.

Telah cukup banyak kisah yang “dikubur” demi menjaga nama baik gerakan, sementara masih banyak kekosongan akan jaminan ruang aman bagi pekerja di dalamnya. Kami berharap pembentukan ruang aman terus dibentuk seiring terus diserukannya permasalahan hak asasi manusia (HAM) lainnya.

Saya mendengar kasus di beberapa organisasi. Mengapa yang saya dengar tidak disebut di artikel ini? Kalian pilih kasih?

Tidak mudah bagi penyintas kekerasan seksual untuk angkat suara–-menceritakan kembali apa yang mereka alami kepada orang lain, termasuk kepada media. Penyintas kekerasan seksual dalam laporan kolaborasi Project Multatuli dan KBR adalah sedikit dari mereka yang berani bersuara. Penyintas menceritakan apa yang ia alami saat bekerja di sebuah kantor NGO, dan kami melakukan proses verifikasi dengan meminta keterangan dari kantor NGO tersebut.

Kisah dari para penyintas dalam laporan ini bukanlah satu-satunya kasus yang terjadi di lingkungan NGO. Namun, kasus ini menjadi cerminan atas banyaknya kekurangan yang masih dihadapi dalam penanganan kekerasan seksual di ruang kerja, termasuk NGO.

Sekali lagi, serial ini berangkat dari salah seorang penyintas yang dengan berani mendatangi kami untuk menceritakan kisahnya. Kami mengapresiasi karena penyintas sudah mempercayakan kami dengan kisahnya.

Berangkat dari kisahnya, kami mulai menghubungkan ke beberapa temuan lain dalam organisasi yang kami angkat dalam tulisan ini. Kami menilai setiap pengalaman yang berangkat dari penyintas telah melewati banyak tantangan hingga akhirnya ia berani untuk menyampaikannya.

Kenapa nama para pelaku disamarkan?

Pertama, untuk perlindungan dan berdasarkan kesepakatan dengan para penyintas.

Kedua, serial ini bertujuan untuk membedah lebih mendalam tentang permasalahan struktural dalam lembaga, khususnya bagaimana mereka melakukan penanganan kekerasan seksual. Dengan itu, fokusnya pun lebih banyak ke lembaga, alih-alih ke profil dari para pelaku.


Baca laporan perdana kami dalam serial #KekerasanSeksualDiTempatKerja:

Mendobrak Sirkel Sendiri: Saat Penyintas Melaporkan Kekerasan Seksual di NGO

Terima kasih sudah membaca laporan dari Project Multatuli. Jika kamu senang membaca laporan kami, jadilah Kawan M untuk mendukung kerja jurnalisme publik agar tetap bisa telaten dan independen. Menjadi Kawan M juga memungkinkan kamu untuk mengetahui proses kerja tim Project Multatuli dan bahkan memberikan ide dan masukan tentang laporan kami. Klik di sini untuk Jadi Kawan M!

Mawa Kresna
7 menit