Kasus Pemerkosaan Berencana di Kemenkop UKM: Korban Disepelekan di Tempat Kerja, Dinikahkan Paksa oleh Polisi

Ilustrasi penanganan kasus kekerasan seksual oleh polisi dan Kementerian Koperasi dan UKM. (Project M/Sekarjoget - CC BY-NC-ND 4.0)
Peringatan: Artikel ini bisa memicu trauma.

Tim kolaborasi Project Multatuli, Konde, dan Narasi TV mendalami rentetan kejadian yang merugikan korban kekerasan seksual di lingkungan kerja Kemenkop UKM. Polisi melanjutkan penyidikan setelah kasus ini viral.


SEORANG PEGAWAI HONORER Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah diperkosa secara terencana saat mengikuti kegiatan rapat kantor di salah satu hotel di Bogor, Jawa Barat, pada 5-6 Desember 2019. Terduga pelaku merupakan para senior korban dengan inisial WH (37) berstatus PNS, ZPA (27) CPNS, MF (30) honorer, NN (44) honorer, MM (36) honorer, AS (28) honorer, dan EW (36) CPNS.

Setelah kejadian, korban dengan ditemani keluarga membuat laporan ke Polresta Bogor Kota pada 20 Desember 2019. Polisi menetapkan empat tersangka, yakni WH, ZPA, MF, dan NN, sedangkan EW menjadi saksi.

Para tersangka dijerat Pasal 286 KUHP karena telah “bersetubuh dengan perempuan yang bukan isterinya sedang diketahuinya bahwa perempuan itu pingsan dan atau tidak berdaya,” dengan ancaman penjara maksimal 9 tahun.

Korban dan keluarga juga melaporkan pemerkosaan ke Kemenkop UKM, tapi penanganannya tidak memenuhi asas keadilan bagi korban.

Tim independen pencari fakta, yang dibentuk oleh Menkop UKM Teten Masduki setelah kasus ini viral pada 26 Oktober 2022, menemukan nepotisme sebagai faktor penanganan kasus tidak tuntas.

“Ada hubungan kekerabatan yang cukup dekat antara pelaku dengan orang-orang di sekitar Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah,” kata staf khusus dan tim independen Muhammad Riza Damanik, dalam konferensi pers di gedung Kemenkop UKM pada November 2022.

Tim kolaborasi Project Multatuli, Konde, dan Narasi TV menemukan relasi kekeluargaan dua tersangka dengan pejabat setempat.

Dua paman ZPA menjabat kepala bagian dan kepala bidang, sedangkan WH mempunyai dua paman yang menjabat kepala bagian di Kemenkop UKM.

Salah satu paman WH diduga mengintervensi agar proses hukumnya berakhir “damai”. Ia mendatangi keluarga korban setelah pelaporan korban ke Polresta Bogor Kota dan saat para tersangka ditahan. Paman pelaku tersebut merupakan atasan ayah korban.

“Yang pertama, dia datang ramai-ramai dengan keluarga para pelaku. Yang kedua, dia datang bawa parsel,” kata ayah korban kepada tim kolaborasi. “Dia minta kasus ini jangan diteruskan.”

Dia diduga mengonsolidasikan keempat tersangka dan mengusulkan pernikahan untuk menyelesaikan kasus. Skenarionya: ZPA yang masih lajang akan “menikahi” korban dan ketiga tersangka yang sudah berkeluarga akan membiayai prosesi “pernikahan” tersebut.

Keluarga korban menolak ide pernikahan tersebut. Mereka ingin proses hukum tetap berlanjut agar para tersangka mendapatkan sanksi pidana dan sanksi pemecatan dari Kemenkop UKM.

“Kami balikin ke mereka, ‘Kalau ini terjadi di keluarga kalian gimana?’” kata kakak korban.

Kepada tim kolaborasi, si paman pelaku menolak berkomentar terkait upayanya mendamaikan korban dengan tersangka. “Tolong bisa dikomunikasikan dengan humas Kemenkop,” katanya.

Polisi Menawarkan Pernikahan

Selama proses hukum di kepolisian, pengacara para tersangka menyurati polisi soal penangguhan penahanan, tapi polisi tetap menahan para tersangka pada 14 Februari 2020.

Sementara itu, korban tanpa pendampingan pengacara selama proses hukum. Ia hanya ditemani pihak keluarga. Polisi tidak menginformasikan bahwa pendampingan kuasa hukum adalah hak korban. Adapun pihak Kemenkop UKM hanya mengutus atasan korban sebagai saksi.

Kondisi tanpa pengacara membuat posisi korban dan keluarga menjadi rentan. Berkali-kali polisi diduga memaksa korban berdamai dengan para tersangka. Bahkan ada dugaan polisi menyarankan korban menikah dengan ZPA. “Tiap dipanggil malah menawarkan, ‘Sudah nikah di Polres Bogor, saya fasilitasi,’” kata ayah korban. “Ucapan itu itu dari Kanit sendiri,” tambahnya. Kepala Unit Pelayanan Perempuan dan Anak Polresta Bogor Kota saat itu dijabat Iptu Frida Hidayanti.

Awalnya keluarga korban tetap kukuh memidanakan para tersangka. Namun, “Orangtua kami menyerah setelah kepolisian menakut-nakuti pengadilan itu ada biayanya,” kata kakak korban. Keluarga korban pun menjadi ragu untuk melanjutkan proses pidana.

Pada 3 Maret 2020, Iptu Frida Hidayanti memanggil korban, keluarga korban, tersangka, dan keluarga tersangka ke ruangannya. Ia meminta mereka menandatangani surat perjanjian damai. Ayah korban kebingungan saat disodorkan surat tersebut.

“Munculnya surat juga saya nggak tahu. Tahu-tahu saya disuruh tanda tangan. Isinya pun nggak tahu sama sekali,” kata ayah korban.

Menurut Ratna Batara Munti, pendamping korban dari LBH Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (APIK) Jawa Barat, korban menandatangani surat dalam kondisi masih trauma. Korban tidak paham bahwa surat itu berisi pencabutan laporan di kepolisian.

“Sebelumnya korban tidak ditanya dulu soal pencabutan itu,” kata Ratna kepada tim kolaborasi.

Tim kolaborasi memperoleh salinan dokumen tersebut. ‘Surat Perjanjian Bersama’ tertanggal 3 Maret 2020 itu berisi: 1) Korban dan tersangka sepakat menyelesaikan masalah secara kekeluargaan; 2) Korban bersedia mencabut laporannya di Polresta Bogor Kota; 3)  Para tersangka tidak mengulangi perbuatan lagi dan jika ada laporan dari korban maka mereka bisa dituntut secara hukum; 4) ZPA berkewajiban menafkahi korban sebagai suami.

Keluarga korban membenarkan dokumen tersebut yang mereka tandatangani di ruang Iptu Frida Hidayanti. Pernyataan keluarga korban sekaligus membantah klaim kepolisian bahwa pihak korban yang menghendaki pencabutan laporan tersebut.

“Yang mengetik surat pihak kepolisian. Tapi, tidak ada pihak kepolisian dalam surat itu,” kata kakak korban.

Pada 5 Maret 2020, polisi membebaskan para tersangka. Keesokan hari, penyidik kepolisian meminta ayah korban kembali ke Polresta Bogor Kota. Sampai di ruang Iptu Frida Hidayanti, ayah korban langsung disodorkan segepok uang.

“Ibu Frida yang menyerahkan langsung, ‘Ini ada uang dari pelaku Rp40 juta,’” kata ayah korban.

Uang itu diduga hasil urunan para tersangka WH, MF, dan NN untuk pembiayaan pernikahan korban dengan ZPA.

Korban dan ZPA melangsungkan akad pernikahan di Kantor Urusan Agama pada 13 Maret 2020. Kemudian, mereka menjalani acara lamaran esok harinya. Setelah dua urusan itu, polisi menerbitkan surat pemberhentian penyidikan untuk pihak kejaksaan pada 18 Maret 2020 dengan alasan “keadilan restoratif”.

Sehari kemudian surat pemberitahuan perkembangan hasil penyidikan dari polisi keluar, tertulis: “Perkara tersebut tidak cukup bukti maka untuk memberikan kepastian hukum akan kami hentikan penyidikannya.”

Meski sebenarnya, polisi telah mengantongi cukup bukti berupa rekaman CCTV dari pihak hotel, potongan pakaian korban yang tertinggal di kamar hotel, hasil visum yang mengindikasikan ada luka akibat kekerasan seksual pada korban, dan keterangan saksi-saksi.

Tentang polisi menghentikan penyidikan, korban dan keluarga korban sama-sama tidak tahu. Mereka tidak pernah mengetahui keberadaan surat perkembangan hasil penyidikan dari kepolisian.

“Surat itu tidak pernah sampai ke rumah kami. Kami tahu kasus ini sudah di SP3 dari pertemuan dengan pengacara pelaku [ZPA],” kata kakak korban.

Tim kolaborasi menghubungi Iptu Frida Hidayanti melalui nomor telepon yang tercantum dalam surat perkembangan hasil penyidikan, tapi nomor tersebut tidak aktif. Kami juga mendatangi Polsek Cileungsi, tempat Iptu Frida bertugas sebagai kepala unit lalu lintas sekarang, tapi ia disebut tidak ada di tempat. Salah satu anggota polisi di sana berkata bahwa Iptu Frida sudah tidak masuk kantor berhari-hari karena “sakit”.

‘Keluarga Kami Dibohongi’

Setelah menikahi korban, ZPA tidak pernah berlaku sebagai suami. Ia tidak tinggal satu atap dengan korban, bahkan menghilang sejak acara lamaran, tidak mendaftarkan korban sebagai istri ke Kemenkop UKM, cuma menafkahi korban Rp300 ribu dalam setahun, menguasai buku nikah, dan menggugat cerai korban. Sementara korban masih harus berjibaku dengan trauma kekerasan seksual yang belum pulih.

Keluarga korban mengetahui gugatan cerai itu melalui sepucuk surat dari Badan Penasihatan Pembinaan dan Pelestarian Perkawinan, berisi klaim ZPA tentang rumah tangganya dengan korban yang “tidak harmonis”.

Keluarga korban marah besar. Sebelum surat itu datang, keluarga korban berkali-kali menghubungi ZPA untuk meminta pertanggungjawaban sesudah pernikahan paksa itu.

“Ini semakin jelas pernikahan yang terjadi cuma pura-pura. Keluarga kami merasa dibohongi,” kata kakak korban.

Keluarga korban kemudian berupaya kasus kekerasan seksual ini diproses pidana dengan menyewa seorang pengacara.

Sejak Desember 2021 hingga Maret 2022, korban melalui pengacara mengirimkan surat somasi kepada ZPA. Alih-alih menghasilkan rasa adil bagi korban, pengacara korban justru mengupayakan jalur mediasi dengan menemui pengacara ZPA hingga mediasi dengan pihak keluarga ZPA di Polresta Bogor Kota. Dalam periode tersebut, keluarga korban mengetahui bahwa polisi telah menerbitkan SP3.

Pengacara korban turut diduga membujuk keluarga korban agar kembali berdamai dengan tersangka. Ada iming-iming “uang damai” di dalamnya. Diduga “uang damai” tersebut sebesar Rp50 juta.

Tim kolaborasi mendapatkan tangkapan layar yang diduga berisi percakapan pengacara korban dengan Kanit PPA Polresta Bogor Kota Iptu Ni Komang Armi, pengganti Iptu Frida Hidayanti yang dirotasi pada awal 2021.

“Ini kasus pidana. Bukan damai yang kami mau,” kata kakak korban.

Kejadian itu membuat keluarga korban kecewa dan memutus kontrak dengan pengacaranya. Kemudian, menghubungi LBH APIK Jawa Barat.

Kanit PPA Polresta Bogor Kota, Iptu Ni Komang Armi, membantah terlibat dalam mediasi antara korban dan ZPA. Ia membantah ada obrolan “uang damai” dengan mantan pengacara korban. “Tidak ada seperti itu. Tidak ada kami mediasikan,” katanya kepada tim kolaborasi.

Atas dugaan tindakan kepolisian yang tidak berpihak kepada korban, LBH Apik Jawa Barat melaporkan penyidik Polresta Bogor Kota ke Divisi Propam Polda Jawa Barat pada 18 November 2022.

“Agar kepolisian tidak melindungi serta memberi sanksi tegas terhadap anggotanya yang membujuk memfasilitasi perdamaian pelaku dan korban. Termasuk menikahkan pelaku dengan korban kekerasan seksual,” kata Ratna dari LBH APIK.

Melindungi Pemerkosa

Internal Kemenkop UKM diduga abai memenuhi hak korban sejak awal. Korban tidak mendapatkan layanan pendampingan hukum dan pemulihan psikis.

“Ada bullying kepada korban dari rekan kerja korban yang dibiarkan atasan korban,” ujar Ratna Batara Munti.

“Bahkan ketika korban didamaikan, dinikahkan, justru menjadi landasan untuk tidak memproses kasusnya di internal Kemenkop,” imbuh Ratna dalam konferensi pers di gedung Kemenkop UKM, November 2022.

Sejak korban melaporkan pemerkosaan itu, Kemenkop UKM sudah merespons dengan berbagai upaya. Namun, penanganan kasus memang tidak tuntas dan jauh dari asas berkeadilan bagi korban.

Rully Indrawan, Sekretaris Kemenkop UKM saat itu, mengatakan sudah memeriksa para tersangka dan memanggil ayah korban. Rully bilang laporan itu sudah disampaikan ke Menteri Koperasi & UKM Teten Masduki melalui dokumen nomor 128/Lap/SM/III/2020 tertanggal 30 Maret 2020.

Akan tetapi, Kemenkop UKM tidak menyebutkan secara gamblang dalam dokumen itu bahwa telah terjadi tindak kekerasan seksual di lingkungan kerja. Para tersangka hanya disebut bersalah karena meninggalkan hotel tanpa izin atasan dan pergi ke klub malam untuk mabuk-mabukan.

“Berdasarkan berita acara [empat pelaku], mohon maaf, saat itu kita juga ragu apa memang terjadi kekerasan atau tidak. Karena korban belum bisa ditanyai saat itu,” dalih Rully kepada tim kolaborasi.

Rully juga menerbitkan surat Keputusan Sekretaris Kemenkop UKM Nomor 130/2020 tertanggal 2 April 2020, yang menjadi dasar pembentukan Majelis Etik. Salah satu tugas Majelis Etik ialah memberikan rekomendasi sanksi moral dan tindakan administratif. Rully menjabat sebagai ketua sekaligus anggota.

Namun, Majelis Etik tidak menghasilkan apa-apa. Rully berdalih lantaran informasi kasus masih sebatas dari sisi pelaku.

“Kita tidak berani mengambil keputusan bila korban belum menjelaskan lebih detail. Sehingga belum bisa memberikan rekomendasi yang menjamin rasa adil buat semua, terutama bagi korban,” dalih Rully.

Ilustrasi penanganan kasus kekerasan seksual oleh polisi dan Kementerian Koperasi dan UKM. (Project M/Sekarjoget – CC BY-NC-ND 4.0)

Kemenkop UKM hanya memecat dua tersangka dengan status pegawai honorer: MF dipecat pada 14 Februari 2020. NN diputus kontrak kerja pada 24 Februari 2020. Sementara WH dan ZPA tidak langsung dipecat karena menunggu proses hukum di kepolisian.

ZPA justru mendapatkan promosi kenaikan jabatan dari CPNS menjadi PNS tertanggal 20 Februari 2020. Rully menandatangani surat keputusan tersebut dengan dalih, “Proses hukumnya masih bergulir di polisi, belum berkekuatan hukum tetap. Kalau sudah terbukti, baru eksekusi.”

Rully pensiun pada Januari 2021 dan posisi Sekretaris Menkop UKM dijabat oleh Arif Rahman Hakim. Sebulan kemudian, terbit surat rekomendasi beasiswa S2 untuk ZPA pada 1 Februari 2021 serta surat kenaikan pangkat untuk WH pada 22 Februari 2021.

Tim kolaborasi sudah mengajukan surat permohonan wawancara kepada Arif tapi yang bersangkutan menolaknya.

Kemenkop UKM baru menetapkan sanksi untuk ZPA dan WH pada 29 September 2022 setelah keluarga korban melanjutkan proses hukum para tersangka.

Sementara itu, korban dan keluarga korban mendapatkan tindakan merugikan.

Misalnya, muncul surat pengunduran diri atas nama korban. Dari salinan surat yang didapatkan tim kolaborasi, tertulis alasan korban mengundurkan diri karena sudah mendapatkan pekerjaan baru. Surat itu seolah dibuat dan ditandatangani korban pada 3 Maret 2020.

Keluarga korban menilai pembuatan surat itu tidak masuk akal. Sebab, korban sedang mengurus proses hukum di kepolisian pada tanggal yang sama. “Surat pengunduran diri yang dipalsukan itu berkaitan slip gaji,” jelas kakak korban.

Kerugian juga dialami kakak korban yang bekerja sebagai tenaga honorer Kemenkop UKM. Ia dipindahkan ke satu ruangan kerja dengan para pelaku. Gajinya bulan September-November 2022 ditahan tanpa kejelasan. Ia menduga semua itu akibat upayanya memperjuangkan keadilan.

“Saya dianggap trouble maker. Itu suatu bentuk intimidasi,” kata kakak korban.

Tim independen pencari fakta dari Kementerian menilai telah terjadi pelanggaran, maladministrasi, dan penyalahgunaan wewenang dalam penanganan kasus oleh Kemenkop UKM. Rekomendasinya, dibentuk Majelis Etik yang baru.

“Dari semua langkah-langkah yang dilakukan itu, ada pelanggaran dan upaya melindungi pelaku,” kata Ratna.

Dugaan Pemerkosaan Berencana

Tim kolaborasi menelaah dokumen pemeriksaan Kemenkop UKM terhadap para pelaku. Mereka diduga telah melakukan perencanaan dengan menjebak korban keluar hotel dan membuatnya tidak berdaya.

Setelah rapat hari pertama tanggal 5 Desember 2019 itu selesai, MF, ZPA, MM, dan AS membahas rencana keluar hotel di kamar EW.  “Mereka bilangnya, ‘Ayo kita keluar, kita ngebir-ngebir atau makan soalnya Mas WH kasihan belum makan,’” kata EW berdasarkan kesaksiannya dalam dokumen tersebut.

MF dalam kesaksiannya bilang semula berencana pergi ke klub malam di Kemang, Jakarta Selatan. Itu klub langganan MF, MM, dan WH. “Akhirnya yang di Kranggan itu, yang di Cibubur. Makan dulu, terus jalan kaki dari sana. Mobil parkir di tempat makan,” kata MF.

Korban diajak pergi dengan satu mobil dengan WH, ZPA, MF, NN, MM, AS, dan EW.

Ratna Batara Munti berkata korban tidak tahu sama sekali akan dibawa ke klub malam pada saat itu. Korban sempat menolak masuk ke klub, tapi para pelaku terus membujuknya. “Menurut saya ini sudah direncanakan,” kata Ratna.

Di klub malam itu, pelaku mencekoki korban dengan minuman alkohol hingga pusing dan kesulitan berjalan. “Itu tekanan. Dia hanya tenaga honorer. Siapalah dia,” kata Ratna.

Saat korban tidak berdaya, para pelaku melecehkan korban secara bergantian. “Peluk-peluk sambil joget semuanya,” kata MF yang melecehkan korban.

Dalam perjalanan kembali ke hotel, korban diapit di kursi mobil paling belakang. Diduga para pelaku kembali melecehkan korban saat itu.

Setiba di hotel, kondisi korban sudah payah. Ia mesti dipapah menuju kamar. Para pelaku tidak mengantar korban ke kamarnya. Mereka membawa korban ke kamar di lantai 2, kamar kosong yang awalnya dikhususkan untuk pimpinan tinggi Kemenkop UKM. Mereka bisa masuk ke sana karena WH pegang kunci kamar.

Lalu, pemerkosaan terjadi.

Setelah memerkosa, para pelaku kembali ke kamar masing-masing dan meninggalkan korban sendiri di kamar. Korban kembali ke kamarnya setelah tersadar dan merasa punya cukup energi untuk berjalan.

Penyidikan Dilanjutkan Setelah Kasus Viral

Kasus pemerkosaan di lingkungan Kemenkop UKM ini menjadi viral setelah diberitakan Aktual.co pada 19 Oktober 2022 dan Konde.co pada 24 Oktober 2022. Sejak saat itu publik bereaksi menuntut keadilan bagi korban.

Menkop UKM Teten Masduki merespons dengan membentuk Tim Independen Pencari Fakta, yang menghasilkan pemecatan dan pembatalan beasiswa terhadap ZPA dan pemecatan untuk WH. Sementara EW dikenakan sanksi penurunan jabatan setingkat lebih rendah selama setahun dan MM diputus kontrak kerja.

Teten juga membentuk Majelis Etik yang baru. Mereka akan memberikan sanksi kepada para pejabat Kementerian yang membuat kasus kekerasan seksual ini menjadi berlarut-larut.

Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD merespons dengan mengadakan rapat gabungan bersama Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban, Kabareskrim, Kompolnas, Kejaksaan, Kemenkop-UKM, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak pada 21 November 2022.

Mahfud MD menyatakan penangan kepolisian dalam kasus ini, seperti pencabutan laporan, tidak dibenarkan secara hukum apalagi telah cukup bukti, dalil keadilan restoratif keliru untuk kasus dengan ancaman hukuman di atas lima tahun penjara, dan SP3 yang diterbitkan Polresta Bogor Kota batal.

“Kepada empat tersangka dan tiga saksi, yaitu N, MF, WH, ZPA (tersangka), kemudian saksinya yang juga dianggap terlibat itu, A [AS], T [MM], dan E [EW] itu supaya diproses ke pengadilan,” kata Mahfud.

Pada 7 Desember 2022, Polresta Bogor Kota menerbitkan surat penyidikan lanjutan dengan nomor SPDP/243/XII/RES.1.24/2022.

Empat tersangka, ZPA, NN, WH, dan MF, akan kembali dijerat dengan Pasal 286 KUHP. Dan penyidik yang sama akan menangani kasus ini kembali.

“Sesuai dengan hasil rapat di Kemenkopolhukam dan hasil rekomendasi gelar perkara khusus terhadap kasus persetubuhan pegawai Kemenkop UKM telah dilanjutkan kembali penyidikannya oleh Sat Reskrim Polresta Bogor Kota,” kata Kasat Reskrim Polresta Bogor Kota AKP Rizka Fadhila kepada tim kolaborasi.


Liputan ini, bagian dari serial #KekerasanSeksualDiTempatKerja dan #PercumaLaporPolisi, merupakan kolaborasi antara Konde.co, Project Multatuli dan Narasi TV dalam Liputan Kekerasan Seksual di Institusi Pemerintahan. 

Revisi:  Kami keliru menulis surat kenaikan pangkat untuk WH pada 31 Februari 2021; yang benar 22 Februari 2021. Revisi sudah diperbaiki. 

Terima kasih sudah membaca laporan dari Project Multatuli. Jika kamu senang membaca laporan kami, jadilah Kawan M untuk mendukung kerja jurnalisme publik agar tetap bisa telaten dan independen. Menjadi Kawan M juga memungkinkan kamu untuk mengetahui proses kerja tim Project Multatuli dan bahkan memberikan ide dan masukan tentang laporan kami. Klik di sini untuk Jadi Kawan M!

Liputan Terkait