Kematian Afif dan penyiksaan terhadap sejumlah remaja seperti puncak gunung es kekerasan yang dilakukan oleh polisi Sumatera Barat. Catatan LBH Padang, penggunaan kekerasan dan penggunaan senjata api oleh polisi meningkat sepanjang 2019-2021.
SETELAH ditangkap polisi di jembatan Kuranji, Adit dibawa ke Polsek Kuranji. Ia bersama beberapa remaja lainnya, lantas diinterogasi dan disiksa. Adit disetrum. Bahkan ketika ia meminta ampun, seorang polisi menendang mukanya, lalu menghantam tubuh Adit dengan rotan.Ā
Saat menahan kesakitan, polisi menyuruh Adit membuka mulut lebar-lebar, lalu si polisi meludahkan air liurnya ke dalam mulut Adit. Alasannya supaya Adit patuh. Remaja lainnya dipaksa untuk saling berciuman satu sama lain, jika menolak dipukul.
Setelah rangkaian penyiksaan itu, Adit dan remaja lainnya disuruh melucuti pakaian hingga tersisa celana dalam. Mereka lalu disuruh berjalan jongkok, lalu berguling-guling hingga muntah. Mereka ditangkap pada 9 Juni menjelang subuh, lalu sekitar pukul 10 pagi, Adit dan remaja lainnya diperbolehkan pulang ke rumah.Ā
Semua remaja yang terlibat dalam tawuran dini hari itu akhirnya pulang ke rumah, kecuali Afif yang pada pagi itu membonceng Adit. Pada hari yang sama, sekitar pukul 11 pagi, Afif ditemukan tidak bernyawa di bawah jembatan Kuranji dengan luka memar di tubuh.
Penyiksaan yang dilakukan polisi itu diceritakan Adit dalam surat pernyataannya kepada LBH Padang pada 12 Juni 2024. Cerita kekerasan yang dilakukan oleh polisi kepada warga sipil bukan cerita baru di Sumatera Barat.
Menurut Direktur LBH Padang, Indira Suryani, penyiksaan oleh polisi-polisi di Sumatera Barat mencakup berbagai metode, mulai dari penyalahgunaan senjata api hingga penggunaan alat penyiksaan. Penyalahgunaan senjata api sering terjadi saat penangkapan dan pembuatan berita acara pemeriksaan, yang kadang berujung kematian atau disabilitas.
āAlat-alat seperti setrum, besi, balok, dan lainnya juga sering digunakan. Selain itu, pelajar STM pun dilaporkan mengalami penyiksaan setelah dimasukkan ke ruangan tim anti-bandit. Penegakan Perda Tibum (Ketertiban Umum) oleh Satpol PP juga tak lepas dari praktik kekerasan ini,ā imbuhnya.
Indira menyebutkan ada beberapa momen yang rentan penyiksaan dilakukan oleh polisi, misalnya saat penangkapan. Biasanya korban dituduh melawan atau mencoba melarikan diri, atau saat terlibat kejahatan yang dianggap kejam. Saat penahanan, menurut Indira, kerap terjadi kekerasan saat mencari keterangan dan barang bukti.Ā
āKondisi ini sangat rentan, terutama bagi penyandang disabilitas intelektual,ā katanya.
Penggunaan Senjata Api
Selain penyiksaan, LBH Padang juga mencatat ada penggunaan senjata api secara ugal-ugalan dan mengarah pada extrajudicial killing. Berdasarkan hasil monitoring LBH Padang, pada 2019-2021, ada peningkatan penggunaan senjata api dalam proses penegakan hukum.Ā
Pada 2019 ada 2 kasus penembakan oleh polisi. Korbannya satu orang meninggal, empat orang lain luka tembak. Tahun 2020, ada 15 kasus kekerasan dilakukan penegak hukum di Kota Padang dalam wujud penangkapan dan penembakan terhadap terduga pelaku kriminal. Korbannya 14 orang dengan luka tembak. Pada Januari 2021, ada 6 kasus penembakan yang mengakibatkan 2 orang meninggal dan 4 orang luka tembak.
Menurut Indira, kasus-kasus ini menunjukkan betapa marak kekerasan dan penyiksaan oleh aparat di Sumatera Barat, serta berbagai hambatan yang dihadapi dalam upaya penegakan hukum dan keadilan bagi para korban.Ā
āLBH Padang terus mendesak reformasi dan penanganan serius terhadap praktik kekerasan oleh aparat penegak hukum,ā ujarnya.
Hal ini cukup ironis. Menilik sejak 28 September 1998 Indonesia telah meratifikasi Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan Atau Penghukuman Lain Yang Kejam, Tidak Manusiawi Dan Merendahkan Martabat Manusia melalui Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1998.Ā
Pasal 7 Kovenan Sipil dan Politik yang telah diratifikasi Indonesia menyatakan tak seorang pun boleh menjadi sasaran penyiksaan dan perlakuan atau penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat kemanusiaan.Ā
Indira melihat, dalam proses penegakan hukum polisi sering kali melakukan penyiksaan kepada tersangka dalam tahapan penangkapan, penahanan, dan pemeriksaan tersangka.Ā
LBH Padang mencatat penyiksaan yang terjadi di Sumatera Barat dilakukan dengan berbagai macam modus seperti melakukan kekerasan dengan menggunakan benda tumpul, dengan besi, kayu, dan penggunaan senjata api.
āPenggunaan senjata api seringkali menjadi alasan pembenar dalam hal tersangka melawan petugas dan atau membahayakan nyawa dalam proses penangkapan dan interogasi agar tersangka mengakui perbuatannya.āĀ
āPenggunaan senjata api berlebihan dalam proses penegakan hukum di Sumatera Barat terpantau meningkat setiap tahun bahkan berujung pada extrajudicial killing. Tanpa ada pengawasan yang ketat, tak ayal ini akan menjadi bom waktu yang dapat merenggut hak atas hidup dan kehidupan ke depan,ā beber Indira.
Salah satu korban kasus penggunaan senjata adalah Panut Hardiyanto, seorang petani di Pekonina Solok Selatan. Pada April 2020, polisi menangkap dan menembak Panut. Belakangan diketahui Panut merupakan korban salah tangkap.
āPanut Hardiyanto menjadi korban salah tangkap dan salah tembak oleh oknum polisi yang bertugas di Polres Solok Selatan. Korban melaporkan kejadian tersebut ke Polda Sumatera Barat pada 14 April 2020. Namun, sampai sekarang tak jelas penanganannya,ā kata Indira.
Selain itu juga ada SY, narapidana yang dipindah dari Lapas Biaro ke Lapas Sawahlunto. Ia ditemukan tidak sadarkan diri dengan banyak tanda kekerasan di tubuhnya setelah dipindah.
āKasus-kasus ini menyoroti penggunaan kekerasan oleh aparat penegak hukum dalam menangani kejahatan di Kota Padang, serta mencerminkan tantangan dalam menegakkan hukum tanpa melanggar hak asasi manusia,ā terang Indira.
Selain kekerasan, penembakan, dan penyiksaan selama proses hukum, polisi di Sumatera Barat juga tercatat melakukan kekerasan terhadap warga Air Bangis, Pasaman Barat, yang berunjuk rasa berhari-hari di Kota Padang menyangkut penolakan rencana Proyek Strategis Nasional (PSN) dan penghentian kriminalisasi petani pada 5 Agustus 2023.
Ribuan warga dipaksa pulangkan paksa dari kawasan Masjid Raya Sumbar. Selain membubarkan paksa, polisi menangkap 18 warga, mahasiswa, dan aktivis. Penangkapan mengakibatkan dua warga, dua mahasiswa, dan dua aktivis LBH Padang luka dan memar di bagian kepala belakang, perut, lengan, bahu dan leher.
Pembubaran itu diduga terkait dengan agenda tokoh nasional seperti kedatangan bakal calon Presiden RI pada Pemilu 2024 ke Masjid Raya, 6 Agustus 2024. Namun hal itu dibantah oleh polisi.
“Pembubaran inisiatif dari kita. Tidak ada hubungan kegiatan besok. Yang masih bertahan sore ini, kita imbau untuk pulang,” ujar Karoops Polda Sumatera Barat Kombes Djadjuli kepada wartawan di pelataran Masjid Raya Sumatera Barat pada 5 Agustus.
Kematian Terkait Kekerasan Polisi
Sementara itu Komnas HAM Sumatera Barat punya catatan buruk serupa terhadap polisi di Sumbar. Data Komnas HAM Sumbar 2011-2014 menunjukan ada kasus kematian tahanan di dalam sel polisi secara berturut-turut.Ā
Pada 2011, dua tahanan kakak-beradik, Faisal dan Budri, ditemukan tewas di sel Polsek Sijunjung. Pada 2012, Erik Alamsyah ditemukan tewas di Polsek Bukittinggi. Pada 2013, tahanan bernama Oktavianus ditemukan meninggal di tahanan Polsek Bonjol, Pasaman. Selanjutnya, 17 September 2014, Robby Putra Hadi ditemukan meninggal dalam tahanan Polres Solok.
Pada 2019 hingga 2024, LBH Padang mencatat setidaknya ada 7 kasus kematian yang terkait dengan polisi.Ā
Pada 2019, kasus penyalahgunaan narkotika (Yudi) di Kabupaten Limapuluh Kota; pada 2021 ada MS, kasus penyalahgunaan narkotika di Kabupaten Limapuluh Kota (dianggap jaringan sabu-sabu Malaysia); juga pada 2021 ada DK yang jadi DPO judi online di Solok Selatan.
Pada Januari 2022, SA ditemukan tergantung di Lapas Agam sesudah melarikan diri pada 28 Agustus 2021.Ā
“Sudah terpidana, masuk penjara, lalu kabur. Ditemukan polisi, lalu dimasukkan kembali ke Lapas. Dan sehari setelah dimasukkan, ia ditemukan dalam keadaan tergantung di Lapas,” kata Indira.
Pada 9 Maret 2022, Ganti Akmal terduga eksploitasi seksual terhadap anak, meninggal sesudah ditangkap penyidik dengan menggunakan kekerasan oleh Polres Agam.
Selanjutnya, Y, terduga kasus penyalahgunaan narkotika, ditangkap di depan rumah orangtuanya oleh polisi Polres Padang Pariaman dalam keadaan baik. Namun, besoknya keluarga mendapat kabar: Y masuk rumah sakit dan meninggal dunia dengan tubuh berjejak kekerasan seperti mata lebam, kepala belakang memar, dan luka sobek.Ā
āKasusnya ditutup setelah keluarga mencabut kuasa dari LBH dan dibayar oleh pelaku,ā jelasnya.
Dan terakhir kasus Afif.Ā āJadi ada 7 kasus,ā kata Indira.
Kasus kekerasan yang dilakukan polisi di Indonesia juga mendapat sorotan dari Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan. Berdasarkan pemantauan KontraS, sepanjang Juli 2023 – Juni 2024, ada 38 orang tewas dan 759 orang luka akibat kekerasan yang dilakukan polisi.Ā
Dari 38 orang tewas, 37 kasus merupakan extrajudicial killing. Dari 37 kasus itu, 32 di antaranya terkait kasus kriminal, 5 lain non-kriminal. Sementara itu, institusi pelakunya adalah 20 Polres, 11 Polda, dan 4 polsek.
Lebih lanjut, dari 35 kasus extrajudicial killing, sebanyak 24 peristiwa adalah penembakan dengan senjata api dan 11 adalah penyiksaan.
Kultur Kekerasan Perlu Dihentikan
Kekerasan yang melibatkan aparat keamanan kembali mencuat dan menimbulkan keprihatinan mendalam di tengah masyarakat.Ā
Dosen Hukum Tata Negara Universitas Andalas, Ilhamdi Putra, memaparkan data Kontras yang mengejutkan: sejak tahun 2023, tercatat 42 kasus penganiayaan, 31 di antaranya dilakukan oleh polisi, dengan 17 kasus berakhir pada kematian.
“Sepanjang sejarah aparat keamanan, kekerasan seolah menjadi kultur institusi,” ujar Ilhamdi Putra mengomentari tren mengkhawatirkan ini.Ā
Salah satu kasus yang mencuat adalah insiden di Masjid Raya Sumatera Barat ketika seorang advokat dari LBH Padang menjadi korban penganiayaan. Ilhamdi menekankan kasus ini menunjukkan ketidakjelasan sanksi kepada pelaku dari kepolisian.
Mengutip data dari Kontras, Ilhamdi menjelaskan data itu hanyalah puncak gunung es. “Artinya, lebih banyak lagi kasus yang mungkin tidak terungkap,” tuturnya.Ā
“Masalahnya, kita terganjal pada kenyataan yang memilukan bahwa polisi yang melakukan penganiayaan juga yang memeriksa kasus tersebut. Hal ini menimbulkan keraguan seberapa jujur polisi dalam memproses anggotanya sendiri.”
Ilhamdi juga menyoroti kasus Afif dan belasan remaja yang diduga terlibat tawuran dan mengalami penganiayaan oleh tim Sabhara. “Masalahnya, Sabhara itu tidak tahu apakah tindakan mereka dilakukan saat berdinas atau tidak. Melakukan kejahatan saat berdinas merupakan pelanggaran HAM,” tegas pengajar Hukum dan HAM di Fakultas Hukum Unand ini.
Menurut Ilhamdi, perspektif UU Perlindungan Anak memandang anak sebagai korban, dan yang salah adalah lingkungannya. “Sementara itu, UU HAM menegaskan apa yang dilakukan Sabhara adalah pelanggaran HAM dan bisa berujung pada pemidanaan. Dugaan kasus kekerasan seksual terhadap anak menambah lapisan kejahatan yang dilakukan.”
“Kalau kepolisian dengan slogan presisi ingin menghapus tampilan premanisme, seharusnya momentum kasus Afif dimanfaatkan untuk mengungkap tabir ada dugaan penganiayaan yang berujung pada kematian terhadap anak, bukan malah menutup kasus ini,” tegasnya.
Reportase ini bagian dari serialĀ #PercumaLaporPolisi.