Dalam komandoisme, rakyat dianggap tidak memiliki kehendak sendiri, tidak pernah bertindak dari pikirannya sendiri. Setiap kemarahan harus punya dalang, setiap protes harus ada penunggang.
Juli 1994, peringatan Hari Anak Nasional. Beberapa anak berjejer di hadapan Presiden Soeharto di Istana Kepresidenan Jakarta. Masing-masing menyiapkan pertanyaan.
Tiba giliran Hamli dari Sulawesi Tengah: “Pak, mau tanya. Mengapa presiden di Indonesia cuma satu padahal Indonesia, kan, luas?” Soeharto menjawab sekenanya, lalu bertanya balik, “Kenapa kamu tanya begitu? Siapa yang suruh tanya?”
Sejak itu kita tahu imajinasi kekuasaan di Indonesia berhenti pada logika siapa-yang-suruh.
Hari-hari ini, ketika kemarahan rakyat meledak dalam gelombang aksi yang mungkin paling sengit sejak 1998, mentalitas ala Soeharto itu masih hidup segar. Bukan soal aksinya, melainkan bagaimana penguasa meresponsnya.
Ketika yang kita harapkan adalah pernyataan, “kami salah, kami minta maaf, kami mundur,” yang keluar dari congor mereka malah lagu lama: demonstrasi disebut “ditunggangi asing” atau “didalangi aktor intelektual.” Ucapan mereka itu meluncur seperti refleks, tanpa berpikir.
Mari kita sebut penyakit ini “komando-isme” atau kebiasaan penguasa membaca protes rakyat sebagai hasil hasutan atau suruhan, bukan sebagai ekspresi murni rakyat. Barangkali ada yang melihat ini sebagai strategi kekuasaan yang bertujuan mengalihkan perhatian dari isi tuntutan ke asal komando.
Saya agak sangsi penguasa kita ada di level kecerdasan macam begitu. Komandoisme bukan strategi. Komandoisme adalah mentalitas para pejabat yang mandek di masa ketika manusia tak boleh berpikir sendiri.
Dalam komandoisme, rakyat dianggap tidak memiliki kehendak sendiri, tidak pernah bertindak dari pikirannya sendiri. Setiap kemarahan harus punya dalang, setiap protes harus ada penunggang. Negara lebih sibuk menebak siapa yang memerintah ketimbang memahami apa yang diminta. Akhirnya demokrasi direduksi menjadi permainan tebak dalang.
Dengan cara baca demikian, negara menganggap rakyat bodoh, karena tak punya pikiran sendiri atau bisa disuruh-suruh. Padahal jika rakyat bodoh, artinya negara gagal menunaikan tugasnya untuk mencerdaskan kehidupan berbangsa, dong?
Untuk menyempurnakan permainan tebak dalang ini, aparat rutin menggelar pentas aneh-aneh. Dulu misalnya, kepolisian hobi mainan narasi anarko. Di Samarinda baru-baru ini, cerita yang dimainkan adalah bom molotov dan logo Partai Komunis Indonesia (PKI).
Narasi-narasi karangan yang tidak pernah dibuktikan itu tujuannya lagi-lagi untuk membingkai protes warga tampak sebagai ulah provokator, bukan kehendak warga sendiri. Semua ini menghasilkan apa yang disebut Miranda Fricker, seorang perempuan filsuf Inggris, dalam bukunya sebagai “ketidakadilan epistemik”. Ini adalah situasi ketika kesaksian warga direndahkan secara sistematis bukan karena argumennya lemah, tetapi karena siapa yang berbicara diasumsikan tak punya kehendak sendiri.
Pandangan ini bukan hanya menghina, tapi juga berlawanan dengan kenyataan. Mari ingat-ingat pada masa pandemi, ketika muncul solidaritas warga bantu warga, donasi spontan, sampai penggalangan tabung oksigen. Tidak ada siapa-yang-suruh di sana. Semua lahir dari inisiatif rakyat sendiri. Mengapa solidaritas rakyat tak pernah dicurigai ada dalang, sementara protes selalu dianggap titipan?
Dan komandoisme ini bukan monopoli pejabat. Kelas menengah urban ikut melanggengkannya. Komentator media sosial cepat percaya bahwa kalau ada kekerasan, pasti ulah penyusup. Padahal, kekerasan kadang berfungsi sebagai repertoar komunikasi politik, sebuah bahasa ekstrim yang muncul ketika saluran formal tertutup dan pengalaman warga tidak terpindai dalam register politik yang tersedia.
Memahami hal ini bukan berarti kita membela tindakan kekerasan. Sebaliknya, ia menyoroti kegagalan institusi dalam merespons tuntutan warga, yang berulang kali memaksa mereka memilih jalan kekerasan untuk didengar. Artinya, ketidakadilan epistemik ini bukan saja dilakukan oleh pejabat, tapi juga kelompok yang mendominasi percakapan publik.
Logika komandoisme ini jelas bukan kebetulan. Ini adalah warisan Orde Baru yang melahirkan doktrin “massa mengambang” dan menjadikan rakyat kumpulan tanpa kehendak yang harus diatur agar stabil.
“Penumpang gelap” dan “aktor intelektual”, misalnya, adalah jenis kosakata yang selalu dimunculkan ketika tuntutan rakyat menguat. Karena itu, buat saya penguasa hari ini bukan sekadar mirip Orde Baru, mereka adalah pewaris aktifnya, yang melanjutkan proyek depolitisasi warga dengan wajah demokrasi semu.
Samarinda, awal Agustus 2025. Tiga puluh satu tahun setelah Hamli, ratusan mahasiswa baru FKIP Universitas Mulawarman membelakangi Wakil Gubernur Kalimantan Timur, Seno Aji, yang tengah berpidato. Gestur tersebut adalah protes mereka terhadap program beasiswa “Gratispol” yang timpang, juga acara kampus yang lebih mirip parade pejabat ketimbang orientasi mahasiswa. Dan dari mulut Seno Aji meluncurlah kalimat itu, “Siapa yang suruh?”
Tiga dekade, tapi Soeharto masih bicara.
—
Roy Thaniago adalah kandidat doktor bidang antropologi di Geneva Graduate Institute, Swiss.