Infeksi virus HPV bisa menyerang semua gender. Pencegahan kanker serviks maupun kutil kelamin ini seharusnya menjadi urgensi, bukan lagi sebuah pertentangan apalagi stigma.
NI NYOMAN AYU MIRAYANTI (38) punya pengalaman yang tak mudah dengan kanker serviks. Ibunya adalah penyintas penyakit yang disebabkan infeksi human papillomavirus (HPV) pada mulut rahim itu.
Tahun 2021, ibunya menjalani operasi pengangkatan rahim.
“Waktu itu, dia cerita mengalami keputihan, kita pikir, ah, mungkin karena capek. Sebulan berlalu, ada flek, kita bertanya-tanya, kan sudah tidak haid? Periksa lah, ternyata kanker serviks stadium 1B,” kata Mira, ia biasa disapa, saat ditemui di Denpasar Barat, Bali, pertengahan Agustus.
Pasca-operasi, ibunya masih harus menjalani kemoterapi dan radiasi. Rangkaian terapi itu baru selesai satu tahun lalu. Kendati begitu, ibunya masih tetap harus menjalani kontrol satu kali dalam tiga bulan untuk memastikan sel kanker tidak muncul kembali.
“Biasanya dilakukan USG 3D Abdomen. Kalau hasilnya bagus atau tidak ada tanda-tanda penyebaran, berarti tiga bulan ke depan dilakukan hal yang sama,” kata Mira.
Pengobatan ibunya ditanggung oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan tetapi bagi Mira, yang merupakan anak perempuan satu-satunya di keluarga, seluruh proses ini tetap berat untuk dijalani.
Apa yang dialami sang ibu sebetulnya juga membuatnya khawatir karena penyakit ini memiliki faktor risiko genetik. Apalagi, ibu mertuanya juga mengalami hal yang sama. Sang ibu mertua berpulang karena penyakit ini pada tahun 2005, sebelum ia menikah dengan suaminya.
“Saya tidak terlalu tahu, tapi kalau dari cerita kakak ipar, waktu itu belum ada BPJS. Keluarga mau bawa ke [RS Kanker] Dharmais tapi ibu yang tidak mau, takut kalau kemo rambutnya rontok, jadinya pengobatan herbal saja dan kurang maksimal,” katanya.
Maka, tahun lalu, ia dan suami tak banyak berdebat ketika sekolah putrinya menyelenggarakan program vaksinasi HPV yang jadi bagian dalam Bulan Imunisasi Anak Sekolah (BIAS) yang digelar serentak sejak akhir Agustus hingga awal September. Saat itu putrinya, Desak Ayu Kireina Putri Airin, masih duduk di kelas 5 Sekolah Dasar Negeri (SDN) 13 Pemecutan, Denpasar.
“Saya belajar tentang HPV sejak ibu saya didiagnosis kanker serviks. Tapi, saya baru tahu ada vaksinnya, ya, saat Airin vaksin itu. Waktu itu sih saya nggak menerima sosialisasi soal vaksinnya, hanya dapat surat persetujuan orangtua,” kata Mira.
“Tapi saya dan suami langsung setuju, sebab sudah merasakan pengobatan kanker sangat berat.”
Tahapan vaksinasi HPV sudah dijalankan Kementerian Kesehatan sejak tahun 2016. Namun, baru tahun 2022, vaksinasi HPV masuk ke dalam program imunisasi wajib nasional dan gratis untuk anak perempuan usia 11-12 tahun di beberapa provinsi, salah satunya Bali.
Vaksin HPV membantu melindungi individu dari infeksi HPV yang menyebar melalui hubungan seksual. Indonesia menggunakan vaksin HPV produksi perusahaan farmasi asal Amerika Serikat, Merck Sharp & Dohme (MSD), Gardasil.
Baru-baru ini, perusahaan farmasi nasional Bio Farma bersama MSD meluncurkan vaksin NusaGard, vaksin HPV kuadrivalen pertama yang diproduksi di Indonesia. Kuadrivalen artinya melindungi dari empat tipe virus HPV, tipe 6 dan 11 yang menyebabkan kutil kelamin dan tipe 16 dan 18 yang menyebabkan kanker serviks.
Produksi vaksin lokal seperti ini dapat memangkas biaya dan meningkatkan akses masyarakat. Saat ini, harga vaksin HPV Gardasil berada di kisaran Rp1 juta per dosis di klinik swasta. Selain upaya produksi lokal, Indonesia tahun ini juga kembali menerima bantuan dari Gavi, The Vaccine Alliance, melalui skema hibah berupa dukungan teknis untuk negara-negara berpendapatan menengah.
Melawan Mitos Pergaulan Bebas
“Disuntik di lengan kanan. Nyerinya awet sampai pulang ke rumah,” kata Airin, mengenang suntikan vaksin HPV pertamanya, setahun silam.
Airin, yang saat diwawancarai tengah menunggu jadwal suntikan dosis kedua vaksin HPV, sebenarnya tak mengetahui apa fungsi dari imunisasi yang diterimanya. Ketika ditanya, ia hanya menggeleng sambil tersenyum malu-malu.
“Kamu lupa kali? Ada slide-slide [presentasi] gitu nggak?” tanya Mira pada Airin.
“Enggak. Seingat aku emang nggak dikasih tahu sih [oleh petugas vaksinnya],” jawab Airin.
“Hm, mungkin ini bisa jadi masukan. Baiknya ada slides yang menarik, anak-anak diberi gambaran tentang vaksinnya, kegunaannya, efek sampingnya, apa yang harus dilakukan kalau terjadi efek samping,” kata Mira.
“Kita aja kalau ibu nggak sakit kanker, belum tentu kita tahu soal kanker serviks.”
Program pengenalan vaksinasi HPV di SD/MI/sederajat dimulai sejak 2016 di antaranya di DKI Jakarta dan DI Yogyakarta, lalu bertahap ke kabupaten/kota dan provinsi lainnya. Hingga akhirnya tahun ini, vaksinasi HPV dikenalkan sebagai program nasional bagian dari BIAS untuk anak perempuan kelas 5 (dosis pertama) dan 6 (dosis kedua).
Bagi Mira dan suami, memberikan persetujuan kepada pihak sekolah untuk mengikutsertakan Airin dalam program vaksinasi HPV murni karena pengalaman yang menimpa orangtua mereka. Ditambah ketika mereka mengetahui bahwa harga vaksin HPV tidaklah murah, maka program gratis ini harus benar-benar dimanfaatkan.
“Bapaknya Airin sekarang pengemudi ojek online, saya jualan nasi bungkus di rumah. Berat sekali bila harus menyiapkan dana vaksin HPV yang besar. Apalagi nggak cuma untuk Airin tapi juga adiknya yang perempuan,” kata Mira.
Mira tak menampakkan kekhawatiran bahwa vaksinasi atau pengetahuan tentang HPV akan melanggengkan pergaulan bebas pada remaja. Sebuah mitos yang menurut Kurnia Dwijayanto, Ketua Yayasan Angsamerah, sebuah klinik kesehatan reproduksi swasta di Jakarta, masih terjadi di beberapa tempat.
“Penolakan akan vaksin HPV sebagian hadir dari ketakutan bahwa apabila anak sudah divaksin, maka dianggap membolehkan aktivitas seksual. Angsamerah pernah menawarkan program vaksinasi ke sebuah sekolah berbasis agama, tetapi ditolak oleh guru BP-nya (Bimbingan dan Penyuluhan). Alasannya, takut bakal ‘ngasih ide’ ke anak-anak,” kata Kurnia.
Kurnia menegaskan, mitos tersebut sepenuhnya tidak benar. Penelitian Boakye, dkk. (Desember, 2022) menunjukkan bahwa vaksin HPV tidak akan meningkatkan aktivitas seksual atau mempercepat ‘sexual debut.’
“Selain itu, vaksin HPV kan hanya melindungi dari infeksi HPV, tidak dari Infeksi Menular Seksual (IMS) lainnya seperti chlamydia, gonorrhea, dan HIV/AIDS. Jadi kalau dibilang vaksin HPV encourage pergaulan bebas, itu nggak logis,” katanya.
***
Keberhasilan program vaksinasi HPV bukan hanya memerlukan dukungan keluarga, tetapi juga progresivitas pemerintah daerah dan para pemangku kepentingan setempat.
Di Bali, kesadaran pencegahan kanker serviks sudah dimulai sebelum vaksin HPV mulai diwajibkan Kementerian Kesehatan pada tahun lalu. Sepanjang periode 2013-2017, pemerintah di Kabupaten Badung dan Kota Denpasar juga pernah mengadakan vaksinasi HPV untuk siswi SMP.
Maka tak mengagetkan apabila capaian vaksinasi HPV dalam program BIAS tahun 2022, sangat tinggi di Bali, mencapai 98,23 persen. Capaian itu mencakup 33.592 murid perempuan kelas 5 SD di sembilan kabupaten dan kota: Badung, Bangli, Buleleng, Denpasar, Gianyar, Jembrana, Karangasem, Klungkung, dan Tabanan.
I Gusti Ayu Raka Susanti, Ketua Seksi Surveilans dan Imunisasi Dinas Kesehatan Bali, mengatakan kunci sukses program vaksinasi ada pada koordinasi lintas-sektor, termasuk dengan Kementerian Agama yang menaungi Madrasah Ibtidaiyah.
Selain itu, selama ini, majelis tertinggi agama Hindu, Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) juga terlibat dalam setiap program vaksinasi di Bali. PHDI turut menyuarakan anjuran vaksin kepada masyarakat Hindu yang mendominasi Pulau Bali.
Raka mengatakan, pihaknya akan mengawal secara ketat pelaksanaan program vaksinasi. Semisalnya apabila ada wilayah yang belum memenuhi target minimal 95 persen, mereka akan memanggil perwakilan pemangku kepentingan setempat untuk mengevaluasi jalannya program.
“Tantangannya memang di Kota Denpasar yang banyak sekolah muslimnya. Di sana ada beberapa orangtua murid yang tidak mau anaknya divaksin, biasanya karena meragukan kehalalannya. Di situlah Kementerian Agama kemudian membantu meluruskan informasi. Di luar itu, mayoritas menerima,” kata Raka.
Raka juga menilai bahwa sikap positif terhadap vaksinasi HPV didukung oleh persepsi tentang imunisasi anak sebagai praktik yang sudah lazim, dan kepercayaan masyarakat terhadap puskesmas sebagai penyedia imunisasi.
“Penyimpanan vaksin kami menggunakan refrigerator sesuai standar WHO, sehingga terjaga rantai dinginnya sampai diberikan pada anak-anak,” kata Raka.
Erna Tuty, Penanggung Jawab Imunisasi di Puskesmas Denpasar Utara 1, menyatakan penerimaan vaksin HPV sangat baik karena banyak orangtua, seperti Mira, yang mengetahui mahalnya vaksin tersebut.
“Setelah diberitahu oleh guru di sekolah, banyak orang tua yang datang ke puskesmas mencari informasi. ‘Gimana untuk anak saya yang SMP?’ Malah saat ini orangtua lebih antusias anaknya dapat vaksin HPV daripada tetanus difteri,” kata Erna.
Kesehatan Reproduksi dari Kacamata Hindu
KANTOR PHDI Bali bersebelahan dengan Universitas Hindu Negeri I Gusti Bagus Sugriwa Denpasar. Keduanya adalah tempat Ni Made Sinarsari menyalurkan kecintaannya menimba ilmu atau ngangsu kawruh.
Di Parisada, ia mengetuai Bidang VI Kesehatan dan Sosial Kemanusiaan, alibinya untuk mendalami naskah lontar. Sementara di kampus ia mengajar sebagai dosen untuk mata kuliah Kesehatan Tradisional.
Sinar, begitu ia akrab disapa, membuka diskusi di sore yang berangin itu dengan langsung menyebutkan sebuah tatwa (prinsip atau pemahaman) dari Lontar Indra Rukmini.
“Kecantikan wajah hilang karena ketidaksehatan tubuh. Kesehatan tubuh hilang karena ketidaksehatan organ reproduksi. Kesehatan organ reproduksi hilang karena kebodohan sanggama. Semua itu hilang karena ketidakcantikan rohani.”
Ia menjelaskan, ketidakhati-hatian dalam berhubungan seksual bisa menimbulkan risiko. Dalam Susastra Hindu Prasi Dampati Lalangon, ada anjuran hubungan seks yang berhati-hati. Harus satya (setia).
“Sebab seks itu sakral. Ada juga teks Smara Krida Laksana yang mengatur tatanan seksual yang benar dan bagaimana merawat organ reproduksi. Ada teks Resi Sembina dan Grha Jagadhita, menyoal pendidikan seks yang disesuaikan usia. Artinya, kesehatan reproduksi sangat diperhatikan di Hindu,” kata Sinar.
Tak lupa ia menyebutkan gagilutan, serangkaian gerakan yoga yang fungsinya mirip dengan senam kegel. Juga ramuan untuk menjaga keseimbangan mikrobioma di vagina, yang resepnya diambil dari teks Indrani Tatwa, misalnya campuran kulit jeruk purut, jahe hitam, pala, dan kulit pohon kemloko.
Menurutnya, para leluhur telah meletakkan fondasi untuk menjaga kesehatan reproduksi agar tidak muncul Sang Kumiligi atau penjelmaan roh tingkat rendah; yang hari ini dapat ditafsirkan sebagai IMS, kanker. Sehingga, dalam konteks masa kini, upaya-upaya yang selaras sangat dianjurkan bagi umat, misalnya imunisasi HPV.
“Di Usada, kitab penyembuhan orang Hindu, diungkapkan bahwa apapun yang dipergunakan sebagai bagian untuk usada, yaitu mengembalikan kondisi yang tidak seimbang menjadi seimbang, diperbolehkan. Vaksin HPV salah satu upaya untuk membuat tubuh kita seimbang dan harmonis dengan alam yang memiliki virus HPV,” ucap Sinar.
I Nyoman Kenak, Ketua PHDI Bali, mengatakan meski di Hindu tidak ada konsep halal-haram, tetapi Hindu meyakini bahwa bhuana agung (alam semesta) dan bhuana alit (manusia) tersusun dari unsur Panca Maha Bhuta, yaitu teja (cahaya), apah (cair), bayu (udara), perthivi (padat), dan akasa (ruang).
Selama vaksin dibuat dari unsur yang ada di alam, maka itu tidak bertentangan dengan Hindu dan dianggap baik.
Ia lantas mengutip ayat Atharvaveda 12.1.1. Satyam brhad rtam ugram diksa tapo brahma yajna prthivim dharayanti.
“Kalau kita ingin ajek dan damai, tertiblah (rta), misalnya dengan mengikuti himbauan pemerintah untuk vaksinasi. Lalu diksa, kesucian. Di samping hidup bersih, kesucian itu dari memusnahkan ego dengan ilmu pengetahuan. Vaksin itu kan datang dari ilmu pengetahuan. Berikutnya tapa, pengendalian diri, kita jangan mudah terprovokasi dengan hoaks seputar vaksin. Yang terakhir, jika semua ini dilakukan dengan tulus ikhlas (yajna), saya yakin akan bermanfaat bagi kehidupan kita,” Kenak menyimpulkan.
Program Skrining Nasional
Vaksin HPV tentu saja bukan satu-satunya upaya pencegahan kanker serviks. Pemerintah juga perlu mensosialisasikan dan memperbanyak program deteksi dini atau skrining atau penapisan.
Skrining dilakukan dengan pemeriksaan pelvic perempuan yang sudah aktif secara seksual untuk mengecek keberadaan lesi kanker atau prakanker (IVA), sel abnormal (pap smear), ataupun tes HPV DNA.
Amirah Ellyza Wahdi, Dosen Departemen Biostatistika, Epidemiologi, dan Kesehatan Populasi sekaligus peneliti di Pusat Kesehatan Reproduksi FK-KMK UGM, mengapresiasi program imunisasi HPV nasional, tetapi mengingatkan pemerintah bahwa vaksinasi HPV tidak meniadakan kebutuhan penapisan atau skrining kanker serviks.
“Karena edukasi dan layanan skrining di Indonesia tidak optimal, rata-rata pasien kanker serviks ketika pertama datang sudah stadium 3B atau stadium 4, itu hampir pasti meninggal,” kata Amirah.
“Vaksinasi HPV kita harapkan bisa menurunkan angka kejadian dan kematian akibat kanker serviks, tetapi dari sisi skrining harus tetap dibenahi, karena itu perlindungan terbaik untuk perempuan yang sudah sexually active.”
Ia mengkritik pemerintah belum serius menjadikan skrining kanker serviks sebagai upaya penting melindungi masyarakat dari penyakit pembunuh perempuan Indonesia tertinggi kedua setelah kanker payudara ini.
“Kalau sekarang saya ditanya, apakah kita punya program nasional skrining kanker serviks, jawaban saya: tidak ada. Ambil contoh imunisasi. Imunisasi itu program nasional, semua orang tahu bahwa anak-anak harus diimunisasi. Ketika ada yang tidak mendapatkannya, itu menjadi masalah.”
“Contoh lainnya KB (Keluarga Berencana), pesan-pesannya ada di TV, ada kadernya yang sampai datang ke rumah untuk melayani atau mengedukasi. Apakah skrining kanker serviks seperti itu? Layanannya ada di puskesmas, gratis, tapi belum tentu orang tahu. Yang tahu dan mau, silakan periksa. Yang enggak, dibiarkan. Itu bukan program nasional namanya,” tegas Amirah.
Data Kementerian Kesehatan menunjukkan angka cakupan IVA pada tahun 2022 hanya mencapai 9,32 persen. Artinya, dari 41,8 juta perempuan yang ditargetkan untuk skrining, hanya 3,9 juta yang sudah melakukannya.
Provinsi NTB memiliki cakupan deteksi dini tertinggi (34,08%), diikuti Sumatera Selatan (33,49%), dan Kepulauan Bangka Belitung (25,76%). Ketimpangan pelayanan langsung terpampang nyata bila melihat nilai dari provinsi dengan cakupan terendah, yaitu Papua (0,13%), Papua Barat (0,36%), dan Sulawesi Utara (0,68%).
Pemilihan IVA sebagai metode skrining di Indonesia dilakukan karena murah, mudah, dan cepat diketahui hasilnya. Petugas cukup mengoleskan asam asetat yang kadarnya lebih rendah dari cuka pada leher rahim, lalu mengamati apakah ada perubahan atau kelainan (lesi). Jika ada, segera dilakukan tindakan krioterapi atau dirujuk ke fasilitas yang memiliki alatnya. Metode ini dikenal sebagai see and treat.
Memang diperlukan pelatihan untuk menafsir bentuk lesi, karena metode IVA rawan positif palsu bila salah interpretasi.
Namun, bila dibandingkan dengan pap smear atau tes HPV DNA, maka metode ini sebetulnya menjadi lebih ringan. Pasalnya, pap smear atau tes HPV DNA membutuhkan tenaga dengan keahlian mengambil sampel, membuat preparat, mengirimkan preparat ke laboratorium, lalu di laboratorium harus ada dokter patologi anatomi yang melakukan pemeriksaan, barulah hasilnya sampai ke pasien melalui klinik atau dokter umumnya.
Ada juga pap smear dan tes HPV DNA ThinPrep, yang sampelnya tidak dikirim menggunakan preparat melainkan dalam cairan, sehingga utuh dan hasilnya akan jauh lebih akurat, tetapi alatnya mahal.
Di negara-negara maju, IVA sudah ditinggalkan karena akurasinya yang paling rendah dibandingkan metode lainnya, sedangkan tes HPV DNA adalah normanya.
Negara tetangga Thailand sejak 2020, mulai menggunakan tes HPV DNA dengan genotipe parsial untuk HPV 16 dan 18 kepada perempuan usia 30-60 dengan interval 5 tahun. Sebuah studi analisis efektivitas biaya juga menunjukkan penerapan tes HPV DNA berhasil memangkas ongkos hingga 1,5 juta dolar AS atau sekitar Rp23 miliar, dan mendeteksi 506 lebih banyak kasus dibandingkan dengan pap smear.
Di Indonesia, beberapa laboratorium swasta sudah menjual layanan tes HPV DNA, tetapi memang biayanya sangat tinggi, yakni berkisar Rp1,2-1,9 juta. Tahun ini, pemerintah baru merintis program percontohan tes HPV DNA di DKI Jakarta selain Kabupaten Kepulauan Seribu.
Sementara itu, tidak semua Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) melayani pap smear yang ditanggung BPJS Kesehatan. Kemungkinan hanya FKTP yang memiliki laboratorium atau bekerja sama dengan laboratorium swasta.
Amirah memberi contoh, “Saya pernah cek ke teman nakes yang bekerja di sebuah FKTP di Pekanbaru, Riau. Di tempatnya nggak ada layanan pap smear.”
Agar pap smear ditanggung BPJS Kesehatan, pasien harus berusia 30-50 tahun dan sudah menikah. Ini menciptakan gap pelayanan yang besar, sebab berdasarkan Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) 2017, median usia menikah perempuan ialah 21 tahun. Belum lagi jika melihat tren semakin mudanya usia perempuan yang mendapat kanker serviks, artinya usia sexual debut juga semakin dini. Alhasil, banyak perempuan yang belum menikah tapi sexually active tidak dapat mengakses pap smear gratis.
Pap smear konvensional harganya Rp200-600 ribu, sedangkan pap smear ThinPrep dimulai dari Rp850 ribu. Bagi perempuan yang sudah menyadari dan mampu membayar, terkadang mereka terkendala oleh layanan yang belum bebas stigma. Misalnya, terhalang syarat administrasi “sudah menikah,” atau bisa diperiksa tapi sambil diinterogasi perihal status pernikahannya, yang membuat prosesnya tidak nyaman atau bahkan traumatis.
“Bagi perempuan yang kurang mampu, yang berbayar jelas-jelas tidak terjangkau, tapi apakah mereka dapat mengakses IVA atau pap smear gratis? Belum tentu juga,” kata Amirah.
Ada enam alasan. Pertama, belum tentu ada layanannya di puskesmas di wilayah mereka. Kedua, perempuan di kelompok ini biasanya menikah di usia muda, sehingga tidak masuk kategori 30-50 tahun. Ketiga, mereka kadang tidak memiliki bukti catatan sipil, baik tidak punya KTP atau pernikahannya tidak tercatat, jadi tidak bisa mengakses BPJS Kesehatan.
Keempat, kalaupun mereka punya BPJS Kesehatan, mereka biasanya bekerja di sektor informal yang sulit untuk meminta izin libur ke pemberi kerja. Kelima, tidak adanya dukungan keluarga atau bahkan suami yang tidak teredukasi tentang kanker serviks. Keenam, kalaupun bisa mengakses, belum tentu pelayanan yang didapat nyaman dan tanpa stigma.
“Untuk perempuan underprivileged, barriers-nya sangat banyak,” jelas Amirah.
***
Di RW 16 Kelurahan Kapuk, salah satu RW paling padat di Jakarta Barat, Sri Mulyani yang aktif sebagai anggota PKK (Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga) menceritakan sulitnya mengumpulkan ibu-ibu untuk mengikuti acara Gebyar IVA yang diadakan puskesmas setempat.
Sri mengatakan kesadaran warga masih sangat rendah. Alhasil, petugas puskesmas harus menjemput bola dengan menyambangi mereka ke salah satu lokasi di RW. “Itu pun untuk dapat 50 peserta saja susah, padahal satu RW ada ribuan perempuan,” kata Sri.
Ia mengakui bahwa puskesmas juga perlu menyisihkan waktu tambahan untuk melakukan sosialisasi dan edukasi kepada warga sebelum program dijalankan.
“Rata-rata alasannya takut [pemeriksaannya] sakit, malu diperiksa, atau takut hasilnya positif. Memang sih dari petugas puskesmas juga tidak ada waktu khusus untuk edukasi yang mendalam gitu, hanya dijelaskan saat hari H tes IVA,” kata Sri.
Amirah menambahkan, meski ada banyak faktor yang membuat cakupan skrining kanker serviks di Indonesia amat rendah, yang pertama harus diatasi adalah jurang pengetahuan.
“Percuma ada supply (layanan) kalau demand-nya nggak ada. Kita harus generate demand. Caranya gimana? Pemerintah harus jemput bola. Pertama, edukasi harus jalan. Kedua, buat layanannya terintegrasi dengan layanan yang sudah ada,” usul Amirah.
Misalnya, ibu-ibu yang melakukan antenatal care atau pemeriksaan kehamilan berkala ditawarkan juga untuk pap smear. Atau saat post-natal care, saat pasang alat KB, bidan dapat menanyakan apakah pasien sudah melakukan pap smear. Apabila belum, maka bidan bisa menyarankan untuk melakukannya.
Dengan begitu, paling tidak sekali seumur hidupnya perempuan pernah pap smear dan menurunkan risiko kanker serviksnya sebesar 25-35 persen.
Sementara untuk vaksinasi, Amirah menyarankan untuk dilakukan vaksinasi kelompok usia ganda (multi-age cohort) untuk mengejar ketertinggalan dan meningkatkan cakupan.
Target jangka panjang lainnya adalah mengikutsertakan laki-laki dalam edukasi dan vaksinasi HPV, karena laki-laki berperan dalam penyebaran virus HPV. HPV pada laki-laki pun kurang dibicarakan, padahal ia juga dapat menyebabkan kutil kelamin, kanker penis, kanker anus, dan kanker orofaring (tenggorokan).
“Memang harus menyeluruh kalau mau mengeliminasi kanker akibat HPV. Target cakupan yang besar, tapi bukan berarti nggak mungkin. Nyatanya, vaksin Covid-19 aja kita bisa, kok,” tukas Amirah.
Peran Puskesmas Dalam Deteksi Dini
Untuk langkah seperti yang diusulkan Amirah, Kementerian Kesehatan perlu membuat tata laksananya, serta pelatihan dan insentif untuk bidan, dokter, dan tenaga kesehatan yang terlibat. Jalan yang panjang tetapi tidak mustahil. Beberapa puskesmas bahkan telah memulai inisiatif serupa untuk meningkatkan kunjungan pasien deteksi dini.
Puskesmas Denpasar Utara 1 di Bali, misalnya, dengan menggunakan Data Terpadu Kesejahteraan Sosial milik Kementerian Sosial, bekerja sama dengan desa dan kelurahan untuk jemput bola, membuat pengingat bagi perempuan-perempuan yang menjadi target skrining.
Ni Putu Sri Astuti, ibu berusia 42 tahun dari Banjar Oongan, Kelurahan Tonja, adalah salah satu yang mendapat pemberitahuan untuk skrining.
“Kemarin saya di-WA Mbok Kaling (Kepala Lingkungan), diminta datang ke puskesmas untuk tes IVA. Tadi ditelepon lagi. ‘Nanti kalau ada waktu ke puskesmas ya, cek aja, nggak papa’,” kata Sri.
Ia mengaku cemas sebelum pemeriksaan, tetapi lega begitu hasilnya negatif. Usai pemeriksaan, Sri Astuti berkonsultasi dengan bidan dan mendapat konseling seputar pencegahan kanker serviks.
Bidan Ni Made Sri Mandayanti mengatakan, meski kiat ini meningkatkan kunjungan pasien, tetap saja tidak semua yang diberi pemberitahuan datang seperti Sri Astuti. Oleh karenanya, puskesmas juga mengadakan penyuluhan ke banjar-banjar (setingkat RT), sekalian dengan penyuluhan KB. Mandayanti bahkan mencetak materi edukasi yang ia kumpulkan sendiri.
“Dulu memang kalau penyuluhan nggak mendetail, tetapi karena kunjungan skrining sangat sedikit, kami putar otak gimana caranya agar ibu-ibu betul-betul merasa butuh untuk deteksi dini,” kata Mandayanti.
“Akhirnya sekarang kami jelaskan dengan bahasa awam mulai dari penyebab kanker serviks, faktor risikonya, sampai perjalanan penyakitnya. Saya takut-takutin mereka. Saya bilang kalau ada gejala itu artinya sudah parah, sudah kanker. Makanya saat belum ada gejala harus skrining, karena awal-awal terinfeksi HPV memang nggak ada gejala yang dialami. Perjalanan penyakitnya lama, bisa 3-17 tahun sampai muncul gejala.”
Poin edukasi yang disampaikan Mandayanti penting, sebab penelitian menemukan, perempuan yang tidak bergejala merasa tidak perlu melakukan penapisan kanker serviks. Persepsi risiko yang rendah ini akibat kurangnya pemahaman bahwa kanker serviks adalah penyakit “progresif” yang pada awalnya tidak menunjukkan gejala.
Poin penting lainnya, untuk meredakan potensi kecemasan atas hasil diagnosis, tenaga kesehatan yang berwenang harus menginformasikan bahwa kanker serviks sangat dapat diobati bila ditemukan pada stadium awal. Juga bahwa pengobatan tahap awal tidak semahal atau se-invasif perawatan untuk tahap selanjutnya.
“Dari pengalaman sih, setelah penyuluhan yang lengkap, jadi banyak yang bertanya lebih lanjut. Cara mengaksesnya bagaimana, yang menopause apakah masih perlu periksa, yang sudah diangkat rahimnya apakah perlu juga, seperti itu,” Mandayanti menuturkan.
***
Dari 342.000 kematian akibat kanker serviks di dunia di 2020, 90 persennya terjadi di negara berpenghasilan rendah dan menengah. Gerakan global menengarai program vaksinasi menjadi salah satu upaya efektif mengurangi mahalnya biaya penyakit kanker serviks.
“Para perempuan yang meninggal karena kanker serviks sebetulnya berada di masa-masa emasnya. Mereka dari kelompok usia 19 hingga 45 tahun. Bayangkan dampak sosial dan ekonomi yang ditimbulkan akibat kehilangan perempuan-perempuan ini,” kata Anuradha Gupta, Presiden Imunisasi Global Sabin Vaccine Institute.
Global HPV Consortium, konsorsium publik-privat yang termasuk di dalamnya Sabin Vaccine Institute, menekankan perlunya sebuah negara menyediakan pelayanan yang holistik: tidak hanya vaksinasi tetapi juga deteksi dini yang solid. Jika upayanya tidak tanggung-tanggung, masyarakat akan percaya bahwa pemerintah dan lembaga terkait betul-betul peduli dengan kesehatan dan kesejahteraan mereka.
Anuradha juga mengungkapkan urgensi menggaet remaja dan anak muda, kelompok yang secara umum sehat sehingga sangat sedikit interaksinya dengan sistem kesehatan.
“Sektor kesehatan seringkali meninggalkan remaja. Padahal, ya, ajaklah mereka, biarkan ide-ide kreatif mereka menuntun kita. Kita perlu mendengarkan bagaimana anak muda menempatkan isu HPV sebagai bagian dari strategi yang lebih luas untuk kesejahteraan anak muda itu sendiri,” tutupnya.
Laporan yang menjadi bagian dari serial #PendidikanSeksual ini terwujud berkat dukungan Sabin Vaccine Institute melalui Global Reporting Grants on HPV Vaccination.
Editor: Ronna Nirmala
*Catatan redaksi: Terdapat revisi pada artikel terkait vaksinasi HPV yang merupakan bagian dari program BIAS, bukan BIAN.