Mama-mama Lembah Grime di Jayapura: Bergerak Jaga Tanah Adat dari Gempuran Sawit dan Merebut Hak Komunitas

Ronna Nirmala
11 menit
Ilustrasi perempuan Lembah Grime: Rosita Tecuari dan para perempuan Orpa Namblong. (Project M/Sekarjoget - CC BY-NC-ND 4.0)

Tergerusnya hutan karena ambisi perkebunan sawit mendorong perempuan adat di Papua angkat bicara menantang angkuhnya kuasa negara, swasta, dan keluarga. Para perempuan bersuara atas nama hak dan perlindungan harta terakhir masyarakat meski kerangka adat mengekang peran mereka.


USIA kehamilannya sudah hampir sembilan bulan. Para calon ibu biasanya memanfaatkan waktu ini dengan beristirahat di rumah, berjaga-jaga menunggu waktu kelahiran. Tapi tidak bagi Rosita Tecuari (42).

Senin, 7 Maret 2022, sekitar pukul 08.30 waktu Papua, Rosita dan rombongan warga dari Lembah Grime berkumpul di Gunung Merah, Kompleks Kantor Bupati Jayapura. Mereka hendak bertemu Bupati Mathius Awoitauw.

Rosita berada di antara rombongan yang menunggu di dekat lobi, tak jauh dari mobil Bupati. Tangannya mengapit map kuning berisi pernyataan serta tanda tangan warga. Ia bersikeras menyerahkan langsung pernyataan itu ke Bupati Awoitauw.

Kedatangan mereka diterima. Namun, Bupati Awoitauw menugaskan Kepala Bagian Humas Pemerintah Kabupaten Jayapura, Budi Yokhu, untuk menemui mereka di aula pertemuan.

“Kami datang ke sini untuk menyampaikan aspirasi terkait dengan pembabatan hutan yang sedang terjadi di wilayah Unurumguay dan Nimbokrang. Wilayah itu wilayah adat Namblong,” kata Rosita di hadapan perwakilan kantor bupati.

Rosita berbicara sebagai Ketua Organisasi Perempuan Adat (ORPA) Suku Namblong. Nada bicaranya tegas dan jelas, dengan kalimat-kalimat yang tersusun rapi.

Pembabatan hutan yang dimaksudnya dilakukan oleh PT Permata Nusa Mandiri (PMN), anak usaha Salim Group, untuk kepentingan perkebunan sawit.

Rosita mengatakan banyak masyarakat adat tidak tahu tentang rencana pembabatan hutan. Hingga awal Januari, sejumlah ekskavator perusahaan mulai mengeruk tanah dan membangun blok-blok kebun.

Masyarakat menolak. Hutan adat Namblong itu adalah harta terakhir mereka.

Hal yang paling menyedihkan bagi Rosita dan masyarakat adalah perusahaan sudah mengantongi berbagai izin pembukaan lahan dari pemerintah pusat hingga daerah, termasuk beberapa tokoh adat yang diduga ikut meneken perjanjian pelepasan hak ulayat.

“Di sini saya mau tekankan bahwa sebenarnya dalam hukum adat kami, Ondoafi atau Iram tidak punya hak untuk menjual, tapi hanya melindungi hak masyarakat. Kami datang mewakili masyarakat yang ada di wilayah Suku Namblong, meminta kembali hak kami atas tanah adat. Itu keinginan kami,” kata Rosita.

Dalam pertemuan itu, Rosita juga mendesak agar izin lokasi yang pernah diberikan oleh mantan Bupati Jayapura pada 11 tahun silam kepada PT PMN, segera dicabut. Ketika itu, pemerintah setempat menerbitkan izin lokasi seluas 32.000 hektare yang mencakup enam distrik: Unurum Guay, Nimbokrang, Nimboran, Namblong, Kemtuk, dan Kemtuk Gresi.

Pada 2014, pemerintah daerah dan pusat menerbitkan tiga izin penggunaan lahan untuk PT PMN di lokasi tersebut. Bupati Awoitauw menerbitkan izin lingkungan dan izin usaha perkebunan seluas 30.920 hektare. Awoitauw menjabat sebagai Bupati Jayapura sejak 2012-2017, dan kembali memimpin untuk periode 2017-2022.

Sementara, mantan Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan menerbitkan izin pelepasan kawasan hutan seluas 16.182 hektare. Ini bagian dari 1,64 juta hektare kawasan hutan yang dilepas oleh Zulkifli sepanjang masa jabatannya.

“SK Bupati pada 2011, Bupati melepaskan tanah seluas 32.000 hektare. Jadi kami minta kembali supaya 32.000 hektare itu kembali menjadi tanah adat bukan untuk PT. Permata Nusa Mandiri atau perusahaan apapun. Kami tidak mau. Kami mau hutan itu tetap kami kelola untuk anak cucu.”

Pertemuan di kantor bupati hari itu berakhir dengan penyerahan pernyataan sikap. Para wartawan juga mewawancarai mereka. Informasi penolakan warga Namblong terhadap perusahaan sawit ini pun mulai beredar luas.

Terancam Kehilangan Tanah dan Hutan

Lembah Grime Nawa terletak di bagian barat Danau Sentani. Pada sisi-sisinya membentang perbukitan hijau. Lembah ini berupa hutan hujan dataran rendah yang menghampar hingga ke pesisir utara.

Grime dan Nawa diambil dari nama dua sungai besar yang mengalir di sana. Hutan ini adalah rumah cenderawasih dan berbagai hewan endemik Papua. Sejak lama, ia menjadi tempat tujuan wisata pemantauan burung dunia.

Di wilayah ini hidup beberapa suku. Ada Namblong, Kemtuk, Klesi, Oktim, Urya, Kaureh, dan Kautabakhu.

Tahun 1978 dan 1980, Pemerintah mengirim transmigran asal pulau Jawa ke daerah ini. Ribuan hektare tanah adat Suku Namblong dialokasikan untuk program transmigrasi. Selain perkebunan sawit, pemegang kuasa juga pernah memberikan izin pengolahan kayu ke beberapa perusahaan.

Di Papua, tiap jengkal tanah adalah tanah adat. Namun, negara memperlakukannya seolah-olah tanah negara. Berbagai izin bisa terbit sepihak tanpa sepengetahuan masyarakat adat, dan tak jarang penerbitan izin ini sarat dengan relasi kepentingan penguasa dan pemilik modal.

Bagi masyarakat yang menggantungkan hidupnya pada tanah dan hutan, perkebunan sawit adalah ancaman.

PT PMN bukan yang pertama. Di Lembah Grime Nawa sudah ada anak usaha grup DTK Opportunity, PT Rimba Matoa Lestari, yang menggarap perkebunan sawit di wilayah Unurumguay. Di bagian selatan, ada grup perusahaan Sinar Mas di wilayah Lereh.

Kawasan hutan yang dibabat PT. Permata Nusa Mandiri pada Januari 2022. Pembabatan dilakukan tak lama setelah Presiden Jokowi mengumumkan pencabutan Izin Kawasan Hutan. (Project M/Sabatha Rumadas)

Musyawarah Penolakan dan Kertas Kebijakan

Pemerintah Kabupaten Jayapura telah membentuk tim evaluasi perizinan sawit sejak kemunculan desakan untuk mencabut izin PT PMN dari masyarakat adat Lembah Grime Nawa. Namun, hingga kini, belum ada hasil evaluasi maupun keputusan dari tim tersebut.

Kamis, 21 Juli 2022, para tetua adat dari Suku Urya, Namblong, Kemtuk, Klesi, dan Oktim bertemu membahas rencana kembali mendesak pemerintah mencabut izin PT PMN. Dalam pertemuan turut hadir Rosita, mewakili ORPA Namblong.

“Hari ini masyarakat merasa kalau saya punya tanah. Tapi secara hukum, hukum formal atau undang-undang atau pemerintah, tanah dan hutan yang saat ini kita miliki bukan tanah dan hutan kita lagi,” kata Rosita.

Di hadapan lebih dari 200 peserta musyawarah adat itu, Rosita kembali mengingatkan bahwa peran pemimpin menjaga hak masyarakat adat. Jika ada perusahaan atau pemerintah datang meminta tanah, sudah seharusnya para pemimpin adat mengumpulkan warganya dan meminta pendapat mereka.

“Karena yang saya tahu, Iram Tekai itu sebagai pelindung bukan pemilik. Dia melindungi tanah dan hutan dari masyarakatnya. Jadi, kalau Bapa Iram Tekai kasi diam-diam, nanti Bapa Iram Tekai dapat hukuman dari yang memiliki wewenang dari atas. Nanti Wai Iram yang akan lihat Bapa Iram Tekai dorang. Bukan kami, bukan masyarakat,” lanjutnya.

Iram adalah wakil dari Wai Iram di dunia. Dalam kepercayaan orang Namblong, Wai Iram wujud kekuasaan tertinggi yang melihat semua yang terjadi di bumi. Wai Iram berarti matahari.

ORPA Namblong menjadi salah satu pihak yang paling tegas menyuarakan penolakan pembangunan perkebunan sawit oleh PT PMN. Bersama mereka, ada Dewan Adat Suku Namblong (DAS Namblong) dan para tetua adat yang mengaku tidak pernah menandatangani pelepasan hak ulayat kepada perusahaan.

Sikap penolakan mereka didukung oleh banyak pihak. Apalagi PT PMN adalah salah satu perusahaan yang Izin Kawasan Hutannya dicabut Presiden Jokowi pada awal Januari 2022. Pembabatan hutan yang dilakukannya dinilai sebagai pidana kejahatan kehutanan dan lingkungan hidup.

Berbagai lembaga masyarakat sipil yang bergabung dalam gerakan Selamatkan Lemba Grime Nawa membuat kertas kebijakan. Isinya, analisis hukum atas seluruh izin yang sudah didapat oleh perusahaan, pelanggaran yang dilakukan, serta rekomendasi kepada pemerintah.

Berbekal kertas kebijakan ini, ORPA Namblong telah mengunjungi kantor-kantor Pemerintah di Kota Jayapura dan Sentani. Mereka turut melakukan sosialisasi dan menyebarkan kertas kebijakan ini di kampung-kampung. Tak hanya wilayah suku Namblong, melainkan juga suku-suku sekitar yang wilayah adatnya masuk dalam konsesi PT PMN.

“Ketika kami turun kemarin, kami melihat bahwa sebagian besar masyarakat tidak tahu kalau tanah mereka sudah diambil oleh perusahaan atau negara,” kata Rosita.

Jalan baru yang dibuka perusahaan sebagai akses alat berat untuk membabat hutan. Jalan-jalan seperti ini sekaligus membentuk blok-blok kebun sawit. (Project M/Asrida Elisabeth)

Berdikari Menantang Dominasi Laki-laki

Di Namblong, setiap marga memiliki pemimpinnya masing-masing yang dikenal dengan sebutan Iram, Tekai, dan Dunenskingwouw. Mereka terkoordinasi dalam wadah DAS Namblong, yang menjadi bagian dari Dewan Adat Papua (DAP) sebagai hasil Kongres Rakyat Papua pada tahun 2000.

ORPA Namblong menjadi satu-satunya organisasi perempuan adat Papua di bawah koordinasi langsung DAS di Papua.

Sebelum ORPA, sempat berdiri satu organisasi perempuan bernama Kingali, yang dalam bahasa Namblong berarti perempuan hebat, perempuan pemberani, pintar dan menguasai banyak hal. Organisasi ini ada di Kampung Benyom dan dipimpin Hana Bano.

Kingali dibentuk untuk memberikan pelatihan tentang gender yang didukung sebuah lembaga non-profit yang berfokus pada isu perempuan di Papua. Dengan Kingali, mereka mulai mengorganisir perempuan lewat berbagai kegiatan budaya, di antaranya kegiatan anyam noken.

“Rangkul perempuan di Kampung sambil jalan bicara tentang perempuan. Bahwa kitorang bukan hanya kerja urus makan, urus keluarga saja, tapi perempuan juga bisa berperan aktif jadi pemimpin,” kata Dina Kekri, istri kepala kampung Benyom saat itu, yang turut menggagas Kingali.

Tapi, Kingali tidak bertahan lama. Pemerintah Kabupaten Jayapura melalui Badan Pemberdayaan Perempuan meminta Kingali dilebur ke dalam kelompok kerja perempuan yang dibentuk institusi tersebut.

Nama Kingali juga diganti karena terkesan meninggikan diri perempuan. Para penggagas menolak dan memutuskan agar organisasi ini dibubarkan.

Ketua DAS Namblong, Matius Sawa, kemudian menyarankan para pengurus Kingali untuk membentuk organisasi yang menjadi wadah bagi semua perempuan di wilayah Suku Namblong.

Saran itu yang kemudian mendorong Dina bersama Rosita bersama-sama perempuan adat dan DAS mendirikan ORPA Namblong pada 2015.

Anggota ORPA umumnya ibu rumah tangga. Mereka berkebun dan berjualan. Di sela-sela berbagai kegiatan, mereka terus berupaya menghidupkan organisasi ini. Salah satu program kerja mereka adalah pendampingan korban kekerasan terhadap perempuan.

Meski organisasi ini membawahi satu suku besar, anggota aktifnya tidak banyak. Hingga saat ini, penggerak aktif ORPA hanya sekitar enam orang. Perempuan-perempuan anggota lainnya kerap datang dan pergi.

“Tantangan banyak. Tantangan pertama datang dari keluarga. Kalau perempuan sudah kawin, suami adalah tantangan pertama,” cerita Rosita.

Rosita mengenang saat awal membangun organisasi. Salah satu anggotanya diadang di tengah jalan dan dipukul oleh suami saat pulang kegiatan. Pengalaman yang hampir sama dialami anggota lainnya. Berorganisasi dinilai tidak mendatangkan keuntungan ekonomi untuk keluarga.

Terjebak Kekerabatan Patrilineal

Suku Namblong menganut sistem kekerabatan patrilineal dengan keturunan yang mengikuti garis laki-laki. Anak-anak yang lahir dari satu perkawinan mengikuti marga ayahnya. Begitupun pewarisan tanah.

Alexander Griapon, penulis asal Namblong, dalam bukunya berjudul Jauh Dekat Hulu Sungai Grime menyebutkan apabila keluarga pihak laki-laki kekurangan tanah, maka keluarga pihak perempuan bisa memberikannya untuk menghidupi keluarga baru itu. Pada tulisannya yang lain, ia menyebutnya sebagai hak pakai.

Meski perempuan yang sudah menikah masih bisa memanfaatkan tanah orang tua atau marga asalnya, tetapi haknya tidak penuh seperti saudara laki-laki. Para perempuan kerap dianggap akan mendapat hak dari tanah suami.

Akan tetapi, bagi kelompok marga suami, perempuan sering dianggap sebagai orang luar.

Pengalaman ini dialami Regina Bay, salah satu anggota ORPA yang bergabung pada 2018. Di wilayah marga suaminya, ibu lima anak ini pernah menegur para pemuda yang menangkap ikan menggunakan setrum listrik. Melihat itu, Regina menegur mereka. Suaminya balik menegur.

Ko perempuan, ko tidak punya hak. Tidak boleh larang. Saya yang punya hak bicara,” Regina menirukan pernyataan suaminya kala itu.

Ungkapan-ungkapan yang sama muncul selama mereka secara terbuka menolak pelepasan hak ulayat kepada PT PMN.

Bagi Rosita, tantangan itu muncul dari saudara-saudaranya. Apalagi di marganya, sebagian laki-laki setuju menerima perusahaan.

“Saudara yang jaga tanah, dia mendukung. Kalau saudara terbiasa jual-jual tanah, dia tidak akan mendukung kami lakukan aksi protes. Diancam. Kamu perempuan, kamu tidak punya hak, kami akan lihat. Saya tidak mau menanggapi. Saya melihat bahwa dia tidak mengerti,” kata Rosita.

“Banyak tantangan yang saya rasakan. Saya tidak pernah bicara. Saya cuma menangis dan ketika malam saya berdoa, Tuhan kasi saya kekuatan, kasi saya hikmat setiap hari baru, supaya ketika saya mendapat tantangan, Tuhan kasi hikmat melihat orang, supaya saya bisa jalan jaga diri, jaga perempuan dan jaga tanah.”

Rosita Tecuari dan anggota Orpa Namblong lainnya menyampaikan sikap penolakan terhadap PT. Permata Nusa Mandiri di Kantor Kepala Bidang Perkebunan, Dinas Pertanian dan Tanaman Pangan Provinsi Papua. (Project M/Asrida Elisabeth)

Terus Memperkuat Masyarakat Adat

Perjuangan masyarakat Lembah Grime Nawa untuk mengambil kembali hak atas tanah adat mungkin masih sangat panjang. Tetapi, masa-masa perjuangan ini pelan-pelan menjadi momentum bagi masyarakat adat untuk kembali melihat haknya, memperkuat diri untuk memperjuangkannya.

ORPA Namblong sedikit demi sedikit membuktikan, perempuan bisa mengambil kendali ruang adat, menggunakannya untuk untuk memperjuangkan hak, bukan hanya hak perempuan, tetapi hak seluruh masyarakat adat.

ORPA tak menolak pembangunan. Tetapi pembangunan menurut mereka seharusnya tak merampas tanah dan merusak hutan.

Pada masa lalu, pembangunan seperti itu pernah ada di wilayah Lembah Grime Nawa yang dulu dikenal sebagai Nimboran.

Pada 1946, Pemerintah Belanda menjadikannya sebagai pusat pertanian. Sebuah koperasi dengan nama Yawa Datum menjadi pusat perdagangan, tempat masyarakat membeli kebutuhan dan menjual hasil pertanian mereka. Menurutnya, program ekonomi seperti itu yang harusnya dibuat oleh pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

“Kenapa sekarang tidak bisa? Kenapa kami diperkecil ruang geraknya?” tutup Rosita.


Tulisan ini adalah bagian dari serial reportase #MasyarakatAdat

Catatan redaksi: Artikel ini telah direvisi dengan mengubah keterangan terkait pertemuan rombongan warga dengan pejabat daerah setempat. 

Terima kasih sudah membaca laporan dari Project Multatuli. Jika kamu senang membaca laporan kami, jadilah Kawan M untuk mendukung kerja jurnalisme publik agar tetap bisa telaten dan independen. Menjadi Kawan M juga memungkinkan kamu untuk mengetahui proses kerja tim Project Multatuli dan bahkan memberikan ide dan masukan tentang laporan kami. Klik di sini untuk Jadi Kawan M!

Liputan Terkait
Ronna Nirmala
11 menit