Ketimbang terus-menerus mengatakan situasi bahwa kita berada dalam penyempitan ruang sipil, sebaiknya kita perlu lebih sering membangun narasi kontra bertumpu pada kemenangan dan harapan bersama.
DARURAT demokrasi di Indonesia bukan hanya keruntuhan pranata demokrasi prosedural, melainkan tercermin dalam penyempitan ruang sipil. Pembubaran diskusi, pengerahan kekuatan kepolisian yang semena-mena, serangan fisik dan digital, pembatasan berserikat, kriminalisasi dengan UU ITE, dan pasal-pasal karet lainnya hanya secuil ilustrasi yang sering muncul di permukaan.
Demokratisasi yang stagnan pada pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, lalu bergerak mundur di era Jokowi telah mengakibatkan penyempitan ruang sipil yang kronis (Power dan Warburton, Democracy in Indonesia, 2020). Padahal, ruang sipil yang bebas dan masyarakat sipil yang dianggap conditio sine qua non adalah prasyarat penting demi menjaga demokrasi tetap berada pada jalurnya. Tanpanya, pemilu, partai politik, lembaga perwakilan, lembaga hukum, dan lembaga kuasi-negara akan terus dibajak oleh kekuatan oligarkis.
Tidak kurang dari 600 aktivis perwakilan organisasi masyarakat sipil dari berbagai sektor dan generasi melakukan konsultasi berjenjang dalam Indonesia Civil Society Forum (ICSF) pada Juli-September 2024. Forum telah memvalidasi meningkatnya pembatasan ekspresi dan ruang gerak yang merata dialami oleh aktor dan sektor gerakan di nasional maupun berbagai wilayah. Disadari pula, dalam forum itu, selain pemetaan faktor penyebab dan akar persoalan, aktivis gerakan perlu membangun narasi kontra penyempitan ruang sipil.
Dengan maksud memperkuat pencapaian ICSF, saya berpendapat bahwa upaya menarasikan perjuangan masyarakat sipil memerlukan cara-cara baru. Dengan begitu, mengulang-ulang narasi penyempitan ruang sipil, lebih merugikan daripada memberdayakan. Terlalu banyak kemurungan dan potensi apologi yang dapat menutupi prestasi dan solusi konkret yang telah dihasilkan dan dicapai gerakan masyarakat sipil.
Populisme Post-Truth
Kita berada dalam dunia di mana informasi yang menarik secara emosi dan yang didasarkan pada keyakinan lebih berpengaruh daripada argumen berbasis bukti dan penalaran (Foroughi, Leadership in a post-truth era: A new narrative disorder?, 2019). Padahal ruang publik yang dipenuhi sensasi dan cekcok digital (flaming) telah sedemikian rupa mengaburkan perhatian kita dari persoalan yang sebenarnya.
Dalam konteks demokratisasi di Indonesia, post-truth atau pasca-kebenaran berguna untuk menjelaskan hilangnya publik yang waras di mana masyarakat bisa merawat negara dan perekonomian yang “sakit”. Otoritarianisme merebak bukan hanya karena dominasi elite anti-reformasi, tapi juga bergantung pada ada-tidaknya tekanan publik untuk meredam ambisi illiberal.
Sayangnya, publik telah berubah menjadi simpatisan ekstrem yang terpolarisasi untuk mendukung idola masing-masing. Tidak pernah sebelumnya, para pejuang demokrasi harus menghadapi kepungan populisme ragam aliran melalui perantaraan pendengung dan pemengaruh di ranah media sosial.
Sentimen publik telah dimanipulasi oleh (calon) pemimpin untuk memenangkan kontestasi elektoral dan mengatrol legitimasi publik selama berkuasa. Publik digiring ke dalam wacana yang lebih mengedepankan retorika daripada nalar dan data. Narasi-narasi populis mendevaluasi kebenaran demi dukungan figur populis daripada meninjau rekam jejak dan kebijakannya yang merugikan.
Jokowi dan Prabowo telah beradu narasi populis sejak awal rivalitas hingga kerja sama di antara mereka menuju kursi kepresidenan. Pemilu 2014 menyaksikan “Jokowi adalah Kita” sebagai narasi rakyat kebanyakan mengalahkan kemapanan elite oligarkis. Lalu slogan “Ekonomi Indonesia Maju” pada Pemilu 2019 adalah cara fabrikasi mementaskan Jokowi sebagai hero yang ambisi pembangunannya lewat Proyek Strategis Nasional harus didukung dengan segala pengorbanan.
Sementara itu Prabowo mengulang-ulang momok geopolitik dan kekuatan ekonomi asing sebagai narasi populisnya. Ancaman mana akan membahayakan kelangsungan (aset) negara dan kesejahteraan rakyat sehingga disimpulkan Indonesia perlu pemimpin yang tegas dan bisa memberi perlindungan. Tidak jarang pula tim kampanye Prabowo menyelipkan sentimen primordial, baik dalam Pilpres maupun dalam Pilkada bagi jagoan pilihannya, untuk menunjukkan keberpihakan populisme identitas tertentu.
Jokowi dan Prabowo dalam kerangka ini jadi lebih mirip di balik perbedaan gaya dan latar belakang. Celakanya, publik lebih senang melihat diri tercermin pada pemimpin populis daripada dalam diri masyarakat sipil yang memperjuangkan nasib mereka.
Narasi Subordinasi
Disadari maupun tidak, narasi penyempitan ruang sipil selama ini ditempatkan dalam medan pengaruh narasi besar kekuasaan populis. Dalam relasi subordinasi naratif, meminjam Thomas Coombes (Instead of shrinking space, let’s talk about humanity’s shared future, 2020), masyarakat sipil hanya jadi karakter dalam kisah tokoh populis, di mana yang pertama sedang jatuh, dan yang terakhir justru menanjak. Padahal orang kebanyakan jarang mau mendukung pihak yang kalah.
Demi menundukkan kekuatan di luar negara, narasi populis beroperasi pada dua level. Pada tingkatan akar rumput, narasi populis berusaha memberi dilema kepada publik dalam mengantagoniskan diri. Bagaimana mungkin publik dapat membenci presiden yang adalah “kami” sendiri; adalah hero bagi kami?
Pada level gerakan, telah bekerja narasi penyempitan ruang sipil yang menimpa organisasi gerakan sipil, mahasiswa, pers, perempuan, buruh, dan kelompok sipil lainnya. Antara lain, aktivis diburukkan citranya sebagai musuh negara atau “pemecah belah bangsa” dan penghambat laju pertumbuhan yang tengah digenjot pemerintahan sehingga harus diisolasi dari publik.
Narasi tersebut pada mulanya berguna untuk menyoroti serangan dan kekangan terhadap aktor sipil yang memperjuangkan keselamatan ekologi, demokrasi, HAM dan seterusnya. Akan tetapi, narasi yang sama kemudian membelenggu karena menyiratkan kekalahan yang membuat masyarakat sipil tidak lagi menarik dan musuh-musuhnya semakin percaya diri
Singkatnya, narasi penyempitan ruang sipil lebih banyak memicu pertanyaan daripada dukungan.
Jika sudah sekian lama terjadi tanpa dapat diatasi, lama-lama muncul delusi bahwa memang ada yang salah pada diri masyarakat sipil. Parahnya lagi, publik pun apriori bahwa mereka yang melawan kekuasaan akan selalu dibungkam dan kalah.
Kontra-Narasi
Masyarakat sipil sudah saatnya melepaskan diri dari belitan narasi besar kaum populis. Publik hanya tergerak untuk mendukung aktor sipil, jika mereka mampu menempatkan diri dalam sepatu para aktivis, dan itu harus dimulai dengan organisasi masyarakat sipil mengubah narasi dari dalam diri sendiri.
Aktivis tidak cukup hanya berkegiatan, dia harus menjadi narasi itu sendiri. Ada tiga langkah yang dapat ditempuh untuk mengubah narasi lama dan memenangkan hati publik.
Pertama, penting sekali untuk mengubah eksposisi konteks secara tekun dengan menyajikan kondisi rakyat, negara, atau bumi yang sebenarnya. Dari sana baru kita bisa menarasikan nilai-nilai, hasil, dan dampak dari perjuangan masyarakat sipil.
Sebagai contoh, advokasi tambang dan hilirisasi, diletakkan dalam konteks perekonomian yang bertumpu pada industri ekstraktif yang kotor, padat modal, dan kolutif sehingga mengancam kesehatan, jalinan sosial, dan penghidupan warga selama ini.
Perjuangan litigasi yang memenangkan gugatan warga di pengadilan melawan perusahaan tambang seperti di Manggarai Timur, misalnya, harus diangkat dan dirangkai dengan kisah-kisah lain untuk membentuk narasi harapan.
Selanjutnya, siapa yang dibela dan untuk siapa perubahan harus didefinisikan ulang. Dalam derasnya digitalisasi, orang terperangkap dalam jerat ojol dan pinjol dan judol. Kita tidak bisa membiarkan eksploitasi oleh berbagai platform digital hanya karena merasa mereka sudah menyediakan lapangan kerja yang justru gagal disediakan oleh negara. Jutaan pengendara ojol adalah korban HAM akibat digitalisasi ekonomi yang tidak terurus.
Terakhir, namun tidak kalah beratnya, perubahan narasi mengandaikan tekad besar untuk menggeser paradigma kerja konvensional dari sebatas pemenuhan logframe ke orientasi pencapaian tujuan-tujuan bersama. Implikasi dari cara pandang ini berupa akuntabilitas kerja-kerja organisasi masyarakat sipil bukan lagi kepada donor, tapi justru kepada warga pemegang hak yang menjadi raison d’etre program.
Memulai Ulang
Sudah cukup lama organisasi masyarakat sipil melebur dalam teknokrasi pembangunan dengan berkedok ahli dan penjaga institusi-prosedural. Saatnya mengeset ulang agenda gerakan masyarakat sipil untuk menjadi kekuatan independen melawan penyalahgunaan kekuasaan, kekerasan, marginalisasi, dan ketidakadilan.
Di masa Orde Baru dan Reformasi tidak kurang peran organisasi masyarakat sipil sebagai katalisator perubahan dan suara bagi mereka yang terpinggirkan. Di saat genting, aktivis bergerak bersama mahasiswa dan rakyat untuk menumbangkan penguasa tiran.
Bahkan menapaki pasca-Reformasi, masyarakat sipil terus memperbaiki tatanan institusional, seperti pelarangan pernikahan dini, UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual, pengakuan terhadap aliran kepercayaan, maupun kuota perempuan pada jabatan publik. Hal-hasil ini menjadi bahan baku bagi pembentukan narasi tanding yang lebih hidup.
Di tengah suburnya populisme sektarian dan agenda politik konservatif, sudah semestinya kita mengedepankan efikasi masyarakat sipil. Gerakan prodemokrasi pun ditantang untuk mampu menarasikan perjuangan dalam mengatasi permasalahan riil warga akar rumput melebihi gegap gempita tata kelola dan isu-isu lain yang lebih berorientasi kelas menengah.
Kegelisahan dan perdebatan sengit untuk merumuskan narasi baru yang kokoh jauh lebih berfaedah daripada bersikap defensif dan memelihara narasi lama hanya karena menguntungkan dapur sendiri.
Ilham B Saenong, Manager Yayasan Humanis untuk Kebebasan Sipil di Era Digital