Rekayasa Gamifikasi Ojol: Memaksa Mitra Bekerja Lebih Lama & Giat, Bikin Sengsara Level Terendah, dan Memecah Solidaritas

12 menit
Sejumlah pengemudi ojek online menanti pemesanan penumpang di kawasan Stasiun Lempuyangan, Yogyakarta. (Project M/Dhoni Setiawan)

Gamifikasi atau sistem pelevelan ojek online membuat para pengemudi terkotak-kotak. Sistem tersebut juga merusak perekonomian para pengemudi karena pendapatan turun drastis bagi yang berada pada level paling rendah.


Eko tertidur pulas saat waktu masih menunjukkan pukul 10.30. Lalu lalang kendaraan yang melintasi jalanan di kawasan Kecamatan Depok, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) seolah sama sekali tak mengganggu tidurnya.

Ketika bangun, ia bolak-balik mengecek gawainya. Sejak pukul 09.00 ia sudah mengaktifkan aplikasi ojek onlinenya, namun tak ada satupun orderan yang masuk dari pelanggan alias anyep.

“Biasane angel semampir, saiki malah semampir terus (biasanya susah beristirahat, sekarang malah banyak istirahatnya),” kata Eko ditemui pada 15 Juni 2023.

Pangkal dari sepinya orderan itu karena akun GoJek Eko hanya level basic atau paling dasar, sehingga persentase mendapatkan konsumen lebih sedikit. Akun basic kalah dengan level silver, gold, dan platinum. Meski demikian, ada pula level basic yang pendapatnya dalam sehari bisa lebih dari 10 pelanggan, jika mujur.

Selain GoJek, Grab juga membuat pemeringkatan serupa. Grab memakai istilah yang dimulai dari anggota, pejuang, satria, dan jawara sebagai level teratas.

Eko sudah menjadi pengemudi ojol sejak tahun 2017. Saat itu GoJek baru setahun ada di Yogyakarta. Itu adalah masa kejayaan ojol. Pendapatan dan bonus yang fantastis membuat banyak orang tergiur menjadi ojol. Eko sempat merasakan masa kejayaan itu, pendapatannya kala itu ia sebut lebih dari cukup untuk menghidupi istri dan seorang anak. Eko tak ragu menjadikan ojol sebagai sumber penghasilan utama.

Tiga pengemudi ojek online melintas di kawasan Tugu, Yogyakarta.(Project M/Dhoni Setiawan)

Kondisi berubah tiga tahun terakhir. Saat pandemi aktivitas ojol nyaris mati, dan kini model pelevelan ojol mengubah nasibnya 180 derajat, orderannya benar-benar sepi. Bahkan untuk sekadar mendapat uang ongkos BBM dan operasional saat keluar rumah pun ia menyebut cukup berat.

Eko menggunakan dua aplikasi di gawainya; GoJek dan Grab. Dua aplikasi itu ia tunggui berjam-jam tak kunjung mendapatkan penumpang. Saking sepinya, Eko hanya memilih layanan tertentu yang diaktifkan.

“(Layanan) yang saya hidupkan cuma GoRide dan GoSend, kalau GoFood nggak saya hidupkan. Milih yang tarifnya (konsumennya) lumayan,” kata dia.

Ia hanya memilih layanan tertentu berdasar nominal tarif yang harus dibayar pelanggannya. Ia merasa tarif GoRide dan GoSend lebih masuk akal. Biasanya Rp8 ribu hingga di atas Rp10 ribu per pelanggan. Eko menjadi besaran tarif itu sebagai patokannya setiap akan berangkat bekerja. Dengan hitungan itu ia berharap bisa menutupi ongkos membeli BBM, makan di luar, dan belanja dapur rumahnya di hari itu juga.

“Kalau ibaratnya ya keluar itu bisa buat beli bensin, biaya di luar, sama blonjo (belanja kebutuhan dapur),” kata lelaki 37 tahun itu.

Meski sudah dikalkulasi dengan baik, pendapatan Eko masih terbilang mepet. Sampai suatu ketika Eko terpaksa menggadaikan akun GoJek. Ia mencari orang yang bersedia menjadi tempat menggadaikan akun GoJek miliknya. Ia menyebut orang tersebut dipilih karena kenal dekat dan bisa dipercaya. Setelah berunding ia sukses menggadaikan akunnya sebesar Rp2 juta untuk masa gadai 4 bulan.

Baginya, saat itu tak ada cara lain selain menggadaikan akun. Ia sepenuhnya menyadari risiko menggadaikan akun itu. Apalagi bila ia salah pilih orang sebagai tempat menggadai, bukan tak mungkin akunnya akan disalahgunakan, dan berujung sanksi pemutusan mitra oleh pihak aplikasi.

“Tapi saat itu memang tidak ada pilihan. Memang sedang butuh duit jadi akun (GoJek) saya gadaikan,” ungkapnya.

Saat akun tersebut digadaikan, Eko ikut temannya mengerjakan sebuah proyek. Ia merasa proyek itu lebih realistis secara pendapatan untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Selain itu, pendapatan rupiah yang diperoleh bisa dipakai menebus akunnya.

“Saya nebus akun baru saja sebulan lalu. Ya karena proyek sama temen itu sudah selesai,” tuturnya.

Pengemudi ojek online berpenumpang melintas di kawasan Stasiun Lempuyangan, Yogyakarta. (Project M/Dhoni Setiawan)

Orderan yang sepi ini bikin Eko dan keluarga harus hidup serba menghemat dengan pendapatan yang berkisar Rp3,8 juta per bulan dengan rincian:

      • Biaya makan

Makan tiga kali sehari dengan nasi dan lauk berganti-ganti. Tempe, tahu, telur, sayur-mayur, ayam, dan berbagai jenis bumbu dapur; biaya sebulan Rp1.050.000. Beras Rp120 ribu/bulan dengan harga Rp12 ribu per kilogram, untuk makan sekeluarga sebanyak 3 orang. Belanja air minum Rp100 ribu/bulan (harga per galon Rp20 ribu). Total pengeluaran sebulan untuk makan sebesar Rp1.270.000.

      • Biaya sekolah dan jajan anak Rp500 ribu/bulan
      • Bensin Membeli pertalite untuk mobilitas Rp300 ribu/bulan
      • Biaya token listrik sekitar Rp250 ribu/bulan
      • BPJS kelas 3 (Rp35 ribu per orang) totalnya Rp105 ribu/bulan

Utang:

      • Angsuran pembelian sepeda motor Rp1 juta

Lain-lain:

      • Biaya pulsa dan paket internet dan kebutuhan lain Rp300 ribu/bulan
      • Uang tersisa untuk kebutuhan lain-lain sebesar Rp75 ribu

Bila penghasilan menurun, ia biasanya mencari pinjaman. Walaupun pendapatan bisa menutup kebutuhan pokok, namun terkadang ada pengeluaran mendadak untuk menyumbang ketika ada acara pernikahan atau tetangga maupun keluarga sakit, dan juga kegiatan di kampung. Bila ada kondisi demikian, Eko akan menggali lubang utang lagi.

“Jadi driver ojol saiki ra iso dicagerke. Nek biyen iso nggo pokok, iso dadi sampingan (menjadi pengemudi ojol sekarang tidak bisa jadi pegangan utama. Kalau dulu bisa jadi pekerjaan utama, bisa juga sampingan),” kata dia.

Di sekitar tempat Eko menunggu calon pelanggan, ada sejumlah pengemudi mengeluh pendapatannya anjlok. Ada yang sudah menghidupkan akun sejak pukul 08.00 hingga pukul 14.00, namun baru mendapatkan dua orderan. Nilai bayaran yang ia dapatkan hanya Rp16 ribu.

Seorang pengemudi ojek online menanti pemesanan penumpang di Gejayan, Yogyakarta. (Project M/Dhoni Setiawan)

Rifky, juga pengemudi GoJek, merasakan hal serupa. Ia menjadi pengemudi ojol sejak 2016, dan baru kali ini ia merasakan sistem pelevelan pengemudi yang membuatnya harus menyediakan waktu lebih banyak untuk narik ojol.

Biasanya ia keluar rumah sejak pukul 09.00 pagi, lalu mencari tempat strategis yang sekiranya bisa mudah dijangkau pemesan layanan GoJek. “Saya nongkrongnya paling di sekitar (Kecamatan) Danurejan (Kota Yogyakarta) sini aja,” kata Rifky yang berusia 29 tahun.

Rifky menghitung, untuk menaikan level dari basic ke silver paling tidak harus bekerja 10 jam perhari bahkan lebih, dengan jumlah pelanggan yang dilayani sekitar 10 hingga 15.

Dengan cara itu akun GoJek-nya naik ke level silver. Pada level tersebut orderan cukup banyak, terutama pada awal bulan. Rata-rata saban harinya sekitar 15 orderan, kadang lebih dari itu.

“Pas posisi itu ada semacam evaluasi. Dilihatnya dari trip melayani pelanggan yang dilakukan, maksudnya yang saya jalankan,” ungkapnya.

Ia memperkirakan level silver itu hanya bertahan sebulan, setelah itu akun GoJek-nya turun kembali menjadi basic. “Sebulan silver itu akhir 2022 kemarin, (jumlah pelanggan) frekuensinya makin sedikit. Di bawah 10. Bulan berikutnya kembali ke basic,” ujarnya.

Ia merasa sistem ini sangat sulit dan cenderung membuat pendapatan menurun. Ia membandingkan pada masa awal jadi pengemudi pada 2016. Ia mengingat pernah mendapatkan hasil Rp6 juta dalam sebulan. Sekarang, dapat setengahnya saja sudah bersyukur, terkadang malah kurang dari itu.

“Selama tiga bulan berturut-turut pendapatan saya menurun 50 persen habis [penurunan level silver ke basic] itu,” kata dia.

Untuk menaikkan level driver harus bisa mengumpulkan ribuan poin. Poin tersebut didapat dari setiap pengemudi mengantar penumpang maupun pesanan. Besaran poin sekali perjalanan sekitar 15 hingga 20 poin.

“Kalau level basic target poinnya 2.000 poin sebulan. Sebelumnya 1.800. Kalau level di atasnya, ya lebih tinggi lagi. Sejak awal tahun belum pernah naik posisi akun saya,” katanya.

Menurut Rifky, para pengemudi menyiasati sepinya pesanan dengan menggunakan lebih dari satu akun ojol, termasuk dirinya yang menjadi ‘double agent’ GoJek dan Grab. Selain itu, ia juga menyebut ada kawan seprofesinya juga memakai Maxim, maupun akun aplikasi lokal, yakni JogjaKita.

“Dengan pakai multi akun kan jadi lebih ekstra. Konsep kerjanya kan sebenarnya sebagai mitra, tapi sekarang malah seperti pekerja,” ucapnya. “Kalau boleh jujur, sistem ini bisa dijalankan asal jumlah driver dibatasi. Sementara ini kan nggak. Terus jumlah konsumen juga menurun, apalagi kalau pelajar libur, sepi,” katanya lagi.

Dua pengemudi ojek online menanti pemesanan penumpang di kawasan Stasiun Lempuyangan, Yogyakarta. (Project M/Dhoni Setiawan)

Mengadu Sesama Pengemudi

Sekretaris Jenderal (Sekjend) Paguyuban GoJek Driver Jogjakarta (Pagodja), Widi Asmara menyatakan secara terbuka sangat tak menyukai sistem pelevelan itu. Ia mengatakan sistem pelevelan menimbulkan berbagai problem, termasuk penurunan pendapatan secara umum karena hal itu memperkecil pemasukan dari bonus, belum lagi persaingan antar ojol dari platform lain.

“Kalau driver kami nggak mau sebenarnya pelevelan seperti itu. Kami maunya sama, kelasnya sama. Tinggal siapa yang rajin, dan akunnya lebih bagus,” kata Widi.

Widi mengatakan operator mengatur akun tertentu saja yang banyak mendapatkan pesanan. Akun itu tentu yang berada pada level silver hingga platinum. Sementara, akun driver ojol yang level paling bawah lebih sepi pelanggan.

Menurut dia, sistem pelevelan ini seperti game yang harus dipecahkan para driver. Siapa driver yang mampu meraup banyak pelanggan peringkatnya akan terus naik. Atau, ia juga mengibaratkan sebagai sebuah kompetisi. Celakanya, ramainya pelanggan ini hanya berlaku pada titik-titik tertentu.

“Kalau pertanyaan pendapatan banyak (atau) nggak, lebih ke akunnya masing-masing. Sayangnya sistemnya yang brengsek, yang saya nggak suka. Oke kompetisi. Jangan terlalu keras kayak gini lah. Kalau akunnya sudah (di) bawah munggahe abot (naiknya berat) banget,” katanya.

Ada sisi positif dan negatif dari sistem pelevelan ini di mata Widi. Dari sisi pola kerja, ia menyebut lebih enak sebelum penerapan sistem pelevelan ini. Di sisi lain, menurut dia, sistem ini driver yang melayani jasa GoFood yang perjalanannya tidak lancar biasanya memperoleh bonus.

Widi mengklaim dengan akun basic-nya, ia bisa melayani belasan orderan setiap hari, baik dari layanan GoFood maupun mengantar penumpang. Di sisi lain, pemilik akun juga dituntut tidak banyak libur atau menghentikan pesanan, kecuali dalam situasi terpaksa.

Sistem pelevelan membuat tiap pengemudi kian individualis. Mereka akan cenderung memikirkan diri sendiri, apalagi jika terus memperoleh orderan. Banyaknya orderan yang nyangkut dari gawai pengemudi ini diatur oleh sistem aplikator.

Seorang pengemudi ojek online menerima pembayaran tunai dari penumpang di kawasan Stasiun Tugu, Yogyakarta. (Project M/Dhoni Setiawan)

Widi sudah berulang kali menyampaikan situasi ini kepada pengelola aplikator di daerah, bahkan sejak rencana pemberlakuan sistem pelevelan. Ia merasa kasihan dengan para pengemudi yang sepi pelanggan.

“Seringkali saya sampaikan ke kantor GoJek terus seperti itu. Memang ada beberapa kali, ada yang tertulis dan rapi. Tapi ya hanya diterima gitu saja,” ujarnya.

Widi sempat menceritakan beberapa nasib miris driver ojol. Beberapa di antaranya memiliki riwayat penyakit dan akhirnya jatuh sakit akibat memaksakan diri bekerja. Bahkan, kata Widi, ada yang akhirnya meninggal dunia. “Kalau ada riwayat jantung, penyakit-penyakit, harus hati-hati. Ya itu cara kami menyerang aplikator,” kata lelaki yang memiliki dua anak ini.

Ia sudah meminta agar aplikator tak mengiming-imingi bonus dengan syarat bekerja lebih dari 8 jam sehari. Apesnya, meski standby hingga belasan jam, tidak lantas membuat orderan banyak, apalagi mendapat bonus.

“Pernah ke Disnaker, buat bantu menyampaikan, drivermu ojo kon kerjo terus, ojo kerjo kakean, ojo diiming-imingi (jangan disuruh kerja terus menerus. Jangan diiming-imingi). Bahasa gak tertulisnya, kalau narik lebih 20 kali sehari akunmu bagus terus. Mungkin dari pemahaman seperti itu menjadi temen-temen takut akunnya nggak lancar nariknya dan sebagainya,” tuturnya.

Ia mengharapkan pihak aplikator mengevaluasi sistem pelevelan driver ojol itu. Ia mengibaratkan persaingan antar ojol diwasiti oleh aplikator. Sebagai aplikator, kata dia, sebaiknya bertindak adil dengan memperlakukan sebuah fairplay kepada mitranya.

“Jadi aplikator itu sebagai wasit. Kami yang bertanding. Berkompetisi sesama teman. Aplikator menjadi wasit yang adil, seperti sepak bola di Eropa. Sebuah klub tidak bisa menghabiskan uang semaunya. Dia akan kena aturan financial fair play. Aturannya semestinya seperti itu,” kata dia.

Di sisi lain, sistem pelevelan tersebut cenderung membuat ojol kian tak peduli dengan teman seprofesinya. Ojol yang terus memperoleh pesanan, bahkan hingga di atas 20 per hari, tak akan peduli dengan ojol dengan minim pesanan.

“Memang misalnya kalau demo banyak yang ikut, tapi pasti akan ada yang milih narik karena kan pesaingnya sedikit. Kalau yang tetap narik pas demo mungkin bisa jadi karena selama ini sepi order,” ungkapnya.

Penyedia Jasa Lari dari Tanggung Jawab

Peneliti Institut Pemerintahan dan Urusan Publik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Gadjah Mada (UGM), Arif Novianto juga menyebut pelevelan akun ojol telah dibikin layaknya game. Akun mana yang banyak memperoleh order akan lancar diberikan orderan oleh operator. Akun juga otomatis memperoleh poin sehingga memperbesar peluang akunnya naik level.

“Ketika berhasil mencapai target itu akan mendapatkan insentif, privilese, atau diprioritaskan. Ketika mereka gagal mereka kayak semacam kena sanksi,” ucap Arif.

Akun ojol dengan level tertinggi, kata dia, akan cenderung diprioritaskan memperoleh konsumen. Akun ojol yang tak bisa memecahkan game akan cenderung sepi konsumen meski aktif berjam-jam.

Seorang pengemudi ojek online menanti pemesanan penumpang di kawasan Malioboro, Yogyakarta. (Project M/Dhoni Setiawan)

Arif pernah melakukan survei pada awal penerapan pelevelan akun ojol, yakni medio 2020. Survei tersebut mengambil 290 responden. Hasilnya menunjukkan lebih dari 50 persen pengemudi ojol anjlok pendapatannya, bahkan banyak yang pendapatannya di bawah Rp50 ribu per hari.

“Sementara masih ada yang akunnya gacor/prioritas, di mana pendapatannya lebih dari Rp200 ribu/hari, jumlahnya hanya sekitar 10%. Jadi dari (proporsinya) 1 Ojol yang gacor, ada 5 Ojol yang sepi order,” kata dia.

Arif menerangkan, sistem pelevelan tersebut juga mendepolitisasi para pengemudi ojol dan menancapkan narasi individualisme liberal. Pasalnya, jika pengemudi tidak mendapatkan bayaran layak atau pendapatan besar, maka yang disalahkan individu pengemudi itu sendiri. Mereka dianggap tak bekerja keras, tak bisa memecahkan game atau pelevelan tersebut. Penyedia jasa aplikasi seolah tak bisa disalahkan bila pengemudi ojol tak dapat penghasilan.

“Sehingga temen-temen (pengemudi ojol) ada yang menyebut akunnya harus diterapi, harus bekerja lebih dari 14 jam dan sebagainya,” jelasnya.

Sistem gamifikasi juga dituding cenderung eksploitatif karena tidak layak, bahkan tak adil. Pendapatan pengemudi ojol yang sepi order cenderung sulit untuk memenuhi kebutuhan hidup, bahkan untuk sekadar merawat mesin kendaraan ke bengkel.

Arif tak ragu menyebut sistem pelevelan sama juga sistem memecah belah. Para pengemudi ojol dikendalikan melalui sistem dan dipaksa mengikuti aturan main perusahaan. Iming-iming dalam sistem gamifikasi tersebut membuat ojol tidak sebagai kelas sosial, tapi sebagai individu-individu yang saling bersaing.

“Inti sistem gamifikasi adalah menciptakan persaingan di antara para kelas pekerja ini. Dalam perspektif umum, kayak driver ojol ini itukan memiliki kesamaan nasib atau dampak dari perusahaan sehingga memunculkan ikatan bersama untuk menuntut sebuah keadilan atau kondisi kerja yang lebih baik. Tujuan gamifikasi untuk memecah solidaritas sosial itu. Maka mereka dikompetisikan,” ucapnya.

Arif mencontohkan, saat kelompok ojol berdemonstrasi menuntut sistem kerja yang baik pasti akan ada yang memilih tidak ikut mogok. Dengan tidak mogok, pengemudi ojol tersebut jadi lebih banyak memperoleh kesempatan dapat pelanggan dan memperbaiki levelnya.

“Nah orderan akan melimpah. Ada yang memanfaatkan seperti itu. Artinya sebuah kompetisi mengadu domba terhadap pengemudi itu,” tuturnya.


Editor: Mawa Kresna

Tulisan ini adalah bagian dari serial reportase #SekrupKecil di Mesin ‘Big Tech’.

Terima kasih sudah membaca laporan dari Project Multatuli. Jika kamu senang membaca laporan kami, jadilah Kawan M untuk mendukung kerja jurnalisme publik agar tetap bisa telaten dan independen. Menjadi Kawan M juga memungkinkan kamu untuk mengetahui proses kerja tim Project Multatuli dan bahkan memberikan ide dan masukan tentang laporan kami. Klik di sini untuk Jadi Kawan M!

Liputan Terkait
12 menit