‘Memuliakan’ Sekolah Rakyat, Mengorbankan Siswa dengan Disabilitas

Virliya Putricantika
Ronna Nirmala
19 menit
Murid tunanetra berjalan bersama saat pulang sekolah di SLB B Cicendo Bandung yang belum dilengkapi jalur pemandu. Murid SLB A Pajajaran terpaksa pindah ke SLB B Cicendo setelah gedung sekolah diambil alih untuk proyek Sekolah Rakyat rezim Prabowo. Mereka kehilangan lingkungan dan kesempatan untuk belajar kemandirian. (Project M/Virliya Putricantika)

Sekolah Luar Biasa Negeri (SLBN) A Pajajaran Kota Bandung adalah SLB tertua di Asia Tenggara. Berawal dari Bandoengsche Blinden Instituut (Rumah Buta Bandung) yang berdiri pada 1901, kemudian menjadi Sekolah Rakyat Istimewa pada 1947, SLB Pajajaran memberikan layanan pendidikan bagi anak-anak disabilitas dengan keberagamannya.

Dalam perjalanannya, sekolah yang menjadi pelopor pendidikan inklusi ini kerap mendapat tantangan untuk mempertahankan eksistensinya. Terakhir, hambatan itu berupa pengambilalihan dua gedung sekolah oleh Kementerian Sosial (Kemensos) untuk program Presiden Prabowo Subianto, Sekolah Rakyat.

Mendadak Diusir

Pak Prabowo, Presiden kami, kami mendukung sekolah rakyat, tapi jangan usir kami. Jangan hancurkan masa depan kami. Jangan bongkar sekolah kami. Kami ingin anak kami belajar, berkarya, dan bermain. Tolong bantu kami, Pak.”

Permintaan yang diwarnai kesedihan itu disampaikan orangtua dan siswa SLB Pajajaran dalam video berdurasi 2 menit 10 detik. Secara bergantian, mereka memohon agar gedung tempat anak-anak berkebutuhan khusus bersekolah, tidak dibongkar. Video direkam dengan latar belakang bangunan sekolah yang sebagian sudah hancur.

Perintah pembongkaran dua gedung SLB Pajajaran muncul dalam surat bertanggal 2 Mei 2025 yang dikeluarkan Kementerian Sosial Direktorat Jenderal Rehabilitasi Sosial.

Bangunan yang harus dikosongkan adalah Gedung C dan D yang selama ini digunakan sebagai ruang kelas jenjang SD hingga SMP SLB Pajajaran di komplek Sentra Wyata Guna. 

“Maka dengan ini, kami sampaikan bahwa mulai pertengahan Mei 2025 akan dilakukan renovasi bangunan kelas SLBN A oleh Kementerian PUPR. Sehubungan dengan hal tersebut, maka dimohon kerja samanya untuk dapat mengosongkan bangunan dimaksud,” tulis surat yang ditandatangani Kepala Sentra, Sri Harijati.

Kabar itu memicu keresahan dan kepanikan. Panik lantaran para orangtua tidak mendapat kejelasan bagaimana nasib pendidikan anak-anak ke depannya. Resah karena situasi itu terjadi menjelang masa ujian akhir tahun ajaran.

“Anak-anak pada panik, kenapa harus dibereskan? Saya bilang, kelasnya besok mau dibongkar. Anak-anak kaget,” kata Mirawati, orangtua siswa.

Para guru juga bergegas mengangkut barang-barang dari Gedung C dan D ke dalam mobil kontainer.  Sebagian barang-barang itu dipindahkan ke Dinas Pendidikan Jawa Barat.

Mirawati melihat ruang kelas di Gedung C dan D telah kosong. Beberapa ruang kelas di Gedung D malah sudah dihancurkan.

“Tidak ada pemberitahuan ke orangtua siswa, dari sekolah juga tidak ada informasi. Langsung main bongkar saja,” ucap Mirawati kesal.

Belakangan, orangtua baru mengetahui bahwa pengosongan gedung itu ditujukan untuk Sekolah Rakyat, program Prabowo yang diklaim memutus rantai kemiskinan melalui pendidikan gratis untuk masyarakat miskin.

Kementerian Sosial memerintahkan pengosongan dua gedung yang selama ini digunakan sebagai ruang kelas siswa-siswi jenjang SD hingga SMP, yakni Gedung C dan D, di tengah persiapan siswa SLB A Pajajaran menghadapi Penilaian Sumatif Akhir Jenjang tanpa disertai solusi atau alternatif ruang kelas pengganti. (Project M/Virliya Putricantika)

Video yang bermunculan di media sosial adalah inisiatif para orangtua yang ditujukan Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi serta Presiden Prabowo Subianto. Video dengan cepat bergulir viral hingga ditonton ratusan ribu orang. 

“Kami sengaja memposting video itu supaya viral. Soalnya di (negara) kita ini, kalau gak viral, gak ada aksi,” kata Nunik Haerani, orangtua siswa.

Video itu berhasil memantik respons Kemensos yang kemudian membantah melakukan penggusuran. Rencana pengambilalihan Gedung C dibatalkan. Sementara, Gedung D tetap diambil dan dibongkar.

Kendati ada pembatalan, nyatanya proses pengambilalihan masih terjadi. Kemensos juga mengambil alih Gedung A yang selama ini digunakan untuk ruang kepala sekolah dan tata usaha. Sedangkan untuk mengganti Gedung D yang sudah terlanjur dibongkar, Kemensos memberikan Gedung E, dengan luas bangunannya lebih kecil.

Kondisi Gedung E tidak sebanding dengan Gedung D yang sejak awal sudah dilengkapi fasilitas penunjang kebutuhan pelajar. Selama ini, Gedung D difungsikan sebagai ruang kelas bagi siswa Multiple Disabilities with Visual Impairment (MDVI) atau disabilitas ganda. Di gedung itu terdapat ruang untuk melatih kemandirian dan keterampilan hidup seperti dapur, toilet, dan area cuci baju. Semua fasilitas telah dirancang untuk anak-anak berkebutuhan khusus.

Kemal Rizki Ramana, putra bungsu Nunik yang juga salah satu anak di video tersebut, meminta Prabowo menyelamatkan sekolahnya. Ia sudah bersekolah di sana sejak taman kanak-kanak. Kemal adalah salah satu siswa MDVI. Selain mengalami kebutaan di mata kanan, dan penglihatan terbatas dengan jarak pandang sekitar 20 sentimeter di mata kiri, remaja berusia 13 tahun itu juga mengalami autis ringan, cerebral palsy, dan kelainan di kaki kiri.

Kehilangan ruang kelas di Gedung D, membuat Nunik khawatir anak bungsunya itu mengalami kemunduran.

“Di rumah kan pakai dispenser. Jadi biar anak-anak tahu caranya, [karena] di sekolah juga diajarkan. Dari rumah bawa sereal seduh, nanti dia seduh sendiri. Bawa buah, bikin jus sendiri, Nanti harus tahu nih nyalainnya gimana. Nah sekarang gak ada ruangan itu,” keluh Nunik.

Gedung D yang diambil alih untuk asrama siswa dan guru Sekolah Rakyat Wyata Guna. Berdasarkan dokumen SK Gubernur Jawa Barat Tahun 1986, lahan Sentra Wyata Guna dinyatakan secara eksplisit untuk digunakan sebagai pusat pelayanan bagi tunanetra. (Project M/Virliya Putricantika)

Tadinya Nunik berharap, Kemal bisa terampil memasang kancing baju, melepas celana, dan memasang ritsleting sendiri pada akhir tahun ajaran ini. Cerebral palsy yang diidapnya membuat tangan Kemal tidak bisa berfungsi dengan normal. 

“Selama situasinya crowded gini, pelajaran (kemandirian) ini gak ada. Jadi gurunya juga sibuk. Yang penting anak-anak ujian dulu, (pelajaran) yang lain-lainnya dipikirkan nanti,” kata ibu dua anak ini. 

Di samping itu, perintah pengosongan dua gedung juga terjadi saat siswa SLB memasuki masa Penilaian Sumatif Akhir Jenjang (PSAJ). Instruksi itu awalnya tanpa disertai solusi atau alternatif ruang kelas pengganti.

“Kami sih tidak menyebutkan kami digusur yah. Kami tidak pernah menarasikan seperti itu. Tapi logika umum saja, ketika harus mengosongkan, kami tidak tahu pindah ke mana karena dari Kementerian Sosial tidak memberikan solusi,” kata Wakil Komite SLB Pajajaran, Tri Bagio.

Komite dan sekolah sempat mengajukan penangguhan pembongkaran gedung dalam surat tertanggal 8 Mei 2025, dengan pertimbangan pelaksanaan PSAJ yang membutuhkan sedikitnya tujuh ruangan selama 14-23 Mei 2025.

“Tapi permohonan itu ditolak. Gedung tetap harus dikosongkan,” kata Tri.

Menumpang di Sekolah Lain

Meski Gedung C batal dibongkar, tetapi kondisinya sudah tua dan rusak, tidak layak dipakai belajar. Atapnya yang lapuk bisa membahayakan guru dan siswa. Selain itu, ruang kelas yang tersisa tidak mampu menampung jumlah siswa yang ada. 

Gedung C memiliki sepuluh kelas untuk siswa single disabilitas. Gedung D memiliki lima kelas untuk siswa disabilitas ganda atau MDVI. Pada tiap-tiap gedung juga dilengkapi toilet yang mudah diakses oleh siswa MDVI.

Kebutuhan ruang kelas semakin mendesak menjelang pelaksanaan PSAJ.

Pihak sekolah memutuskan menumpang di SLBN B Cicendo, sekolah khusus disabilitas bisu tuli yang berjarak kurang lebih satu kilometer dari SLB Pajajaran. Bagi siswa disabilitas netra, proses pemindahan lokasi sekolah tidaklah mudah. Mereka perlu mempelajari orientasi dan mobilitas di lingkungan baru. SLB B Cicendo juga belum dilengkapi fasilitas bagi disabilitas netra, seperti guiding block dan hand railing.

Kemal mengalami kesulitan itu. Dengan kondisi disabilitas ganda, pindah ke lingkungan baru bukan perkara gampang. 

“Waktu dipindahkan ke Cicendo kan orangtua gak boleh ikut, mereka dengan guru, yah, keringat dingin anak saya … Kasihan juga gurunya,” ungkap Nunik.

Pada hari pertama sekolah di SLB B Cicendo, Kemal enggan melepas tas ranselnya. Situasi kelas yang asing membuatnya takut. Meski didampingi guru, siswa SMP itu merasa gelisah. Ia tidak bisa mengikuti pelajaran.

“Di hari kedua, anak saya mogok sekolah. Bunda gak mau sekolah, gak mau lagi ke Cicendo. Takut gak dibawa pulang lagi sama Bunda,” ucap Nunik menirukan perkataan Kemal.

Kemal penyandang disabilitas ganda berusia 13 tahun berlatih atletik bersama kawan netra dan tuli di GOR Pajajaran Bandung. (Project M/Virliya Putricantika)

Sementara Mira Weya menghadapi traumanya kembali, saat memasuki lingkungan yang berbeda. Siswa jenjang SMA ini teringat peristiwa yang menyebabkan mata kanannya buta total dan mata kirinya berpenglihatan terbatas. 

Mira terlahir dengan kondisi mata awas (sebutan bagi nondisabilitas netra). Gadis 19 tahun itu mengalami kebutaan di mata kanannya akibat terbentur kursi saat SMP. Keadaan SLB Cicendo yang baru dikenalnya serta kurang aksesibel bagi penyandang tunanetra menyulitkan mobilitas Mira.

“Saya takut terbentur tiang atau apa, terus mata kiri saya yang low vision jadi buta total,” kata Mira

Saat giliran bersekolah di SLB Cicendo, tapi pelajaran berikutnya Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK), Mira terpaksa kembali ke SLB Pajajaran. Hal ini lantaran, fasilitas komputer dengan fitur suara ada di Pajajaran. Meski jarak ke SLB Pajajaran bisa ditempuh sekitar 10 menit, namun Mira memerlukan waktu lebih lama sehingga terlambat mengikuti pelajaran.

“Jadi saya hanya belajar 30 menit yang harusnya satu jam,” sebut Mira.

Tidak hanya murid, guru pun pontang-panting mengajar di dua tempat. Proses kegiatan belajar mengajar menjadi tidak efektif, kata Uke Suharsono, guru agama Kristen dan Seni Budaya dan Keterampilan.

“Pontang-panting. Kalau mengajarnya pagi sampai pukul 09.00, kemudian pukul 09.30 mengajar lagi.  Ya mau gak mau si gurunya kembali ke Pajajaran dengan waktu yang tinggal sedikit,” kisah Uke.

Akhirnya, durasi KBM menjadi berkurang. Selain terpotong perjalanan ke SLB Cicendo, guru juga harus membimbing siswa menuju kelasnya masing-masing.

Pemasangan jalur pemandu (guiding block) di SLB B Cicendo Bandung untuk memenuhi kebutuhan murid tunanetra dari SLB A Pajajaran. Bagi mereka, proses pemindahan lokasi sekolah tidaklah mudah karena perlu mempelajari orientasi dan mobilitas di lingkungan baru yang kurang aksesibel untuk penyandang netra. (Project M/Virliya Putricantika)

“Gedung SLB Cicendo kurang akses untuk tunanetra karena dirancang bukan untuk tunanetra. Jadi mereka harus dituntun dulu, dicarikan kelasnya. Itu kan mengurangi waktu pembelajaran,” urai Uke.

Uke yang merupakan penyandang tunanetra juga mengalami kesulitan mobilitas. Bahkan, Uke sempat tersesat saat hendak kembali ke kelas, usai dari toilet.

“Saya juga pernah mau ke air [toilet]. Perginya diantar, tapi pas pulangnya gak bisa kembali. Dari kamar mandi mau kembali ke kelas sampai muter-muter, nyasar, karena gak ada guiding block. Jadi kalau mau ke air, mending saya tahan saja, nunggu kembali ke Pajajaran,” ucapnya.

Tahun Ajaran Baru, Gedung Berkurang Satu

Senin, 14 Juli 2025. Tahun ajaran baru dimulai. Hujan tak menghentikan semangat murid SD SLB Pajajaran memulai hari pertama sekolah. Didampingi guru dan orangtua, anak-anak berkebutuhan khusus itu melangkah riang menuju kelasnya masing-masing di Gedung C.

“Kelas aku di mana?” tanya seorang siswi berseragam putih merah sambil melangkah dengan berpegangan pada handrail yang terpasang di sepanjang dinding luar sekolah.

“Gak tahu,” sahut siswi yang berjalan tepat di belakang dengan tangan kanan berpegangan pada temannya itu. Mereka adalah penyandang disabilitas netra. 

Suasana hari pertama diwarnai kebingungan, setelah Gedung D dialihfungsikan untuk Sekolah Rakyat.

Seorang guru segera menghampiri, lalu membimbing mereka ke kelasnya. Di kelas itu, mereka akan belajar dengan murid kelas lain.

“Dampak alih fungsi Gedung D menjadi sekolah rakyat terhadap siswa SLB, terdapat pengurangan ruangan kelas sehingga kami harus mengoptimalkan gedung yang kami miliki,” kata PLH Kepala Sekolah SLB Pajajaran, Rian Ahmad Gumilar, saat ditemui di ruang kerjanya.

Pengambilalihan gedung untuk Sekolah Rakyat menyisakan satu ruangan Gedung C digunakan untuk dua kelas dan tidak mampu menampung jumlah murid SLB A Pajajaran. Murid dan guru terpaksa pontang-panting belajar dan mengajar di dua tempat, SLB A Pajajaran dan SLB B Cicendo. (Project M/Virliya Putricantika)

Per 1 Juli 2025, jumlah siswa SLB Pajajaran mencapai 114 orang. Sementara, kelas yang tersedia hanya 15 ruangan untuk jenjang TK hingga SMA. Dengan keterbatasan ruang kelas, Rian mengatakan, pihaknya terpaksa menggabungkan dua hingga lima rombongan belajar (rombel) dalam satu ruangan kelas.

“Tentunya kondisi ini akan mengakibatkan distraksi, terlebih lagi anak-anak kita sebagian besar adalah anak dengan hambatan penglihatan, maka saluran utamanya adalah pendengaran. Ketika riuh tentunya akan mengganggu proses pembelajaran,” beber Rian yang mengaku prihatin dengan kebijakan alih fungsi gedung D, tanpa disiapkan terlebih dulu alternatif pengganti kelasnya.

Di hari pertama, sebagian besar siswa mengikuti kegiatan Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah (MPLS). Sebagian lagi masuk ke kelas masing-masing untuk mengikuti pembelajaran. Dalam satu ruangan kelas memang terlihat bangku belajar diatur untuk lebih dari satu rombel. Ada yang disekat oleh papan atau lemari, ada yang hanya dipisahkan jarak beberapa meter.

Seperti di ruang kelas C10, terdapat dua rombel dengan jumlah siswa lima orang yang kategori siswanya disabilitas mental. Satu rombel berisi tiga siswa kelas 2 SD ditangani satu orang guru. Satu rombel lagi berisi dua siswa kelas 4 dan 6 SD yang juga ditangani seorang guru. 

Wenni Herawati, guru kelas 4 dan 6 SD, mengatakan penggabungan pelajar dengan beragam disabilitas menyulitkan guru untuk memaksimalkan KBM. 

“Itu kan ada yang autis yah. Sementara autis itu mudah teralihkan, fokusnya kurang. Jadi membutuhkan ruangan yang memang tersendiri,” kata Wenni.

Ruang kelas khusus juga menjadi kebutuhan siswa disabilitas netra atau disebut Louise Braille yang mudah terdistraksi oleh suara. Nenny Kurniasih, orangtua siswa, berharap, Pemprov Jabar segera merenovasi gedung SLB Pajajaran sehingga siswa bisa belajar dengan nyaman.

“Kami penginnya nyaman lah. Kalau mau ada pembangunan lagi, mohon disegerakan saja. Kami kan butuh fasilitas untuk belajar mengajar itu nyaman, aman, sehingga  anak-anak spesial kami belajarnya fokus,” kata perempuan 47 tahun ini.

Di tengah konflik, SLB Pajajaran menerima 28 murid di tahun ajaran baru. SLB Pajajaran bermula dari Rumah Buta Bandung yang didirikan dr. C.H.A. Westhoff pada 1901 di atas tanah seluas 3 hektar dihibahkan Wongso Taruna, sahabatnya. (Project M/Virliya Putricantika)

Komite Sekolah SLB Pajajaran sedang mendorong proses hibah lahan agar maksimal membangun fasilitas sekolah. Tri mengungkapkan, pengajuan hibah sebetulnya sudah berulang kali dilakukan sejak kepemimpinan Gubernur Jawa Barat, Ahmad Heryawan hingga Ridwan Kamil. Kedua gubernur itu juga telah melayangkan pengajuan hibah ke Kementerian Sosial. Ketika Tri Rismaharini menjabat Menteri Sosial, pernah dilakukan survei dan pengukuran tanah.

“Menteri Sosial, Risma pernah janji mau menghibahkan dan SLBN Pajajaran akan diberikan status secara hukum, tapi sampai sekarang tidak terbukti. Sekarang yang perlu dikawal itu kelanjutan proses hibah dari gubernur ke Kemensos supaya memberikan status yang jelas kepada SLBN Pajajaran sehingga tidak digusur-gusur terus,” kata Tri.

Jika menilik sejarahnya, SLB Pajajaran berawal dari didirikannya Rumah Buta Bandung pada 1901 yang diprakarsai dr. C.H.A Westhoff, seorang dokter mata berkebangsaan Belanda. Tujuannya untuk memberikan pelayanan pendidikan dan rehabilitasi kepada para tunanetra di Indonesia.

Wongso Taruna, teman Westhoff, yang peduli terhadap penyandang tunanetra, menghibahkan tanah miliknya kurang lebih 3 ha, bagi kepentingan pembangunan Rumah Buta Bandung. Selanjutnya, pengelolaan tanah diambil alih Departemen Sosial pada 1988.  

Ketika Sekolah Rakyat Hadir

Sebanyak 50 siswa Sekolah Rakyat Menengah Pertama (SRMP) 9 Kota Bandung tampak semangat memulai hari pertama sekolah di kawasan Sentra Wyata Guna. Gedung D yang sebelumnya dipakai siswa SLB telah direnovasi menjadi beberapa ruang kelas, ruang guru dan kepala sekolah, laboratorium, dan toilet. Peralatan dan perlengkapan di dalamnya serba baru.

Di seberang gedung tersebut, terdapat asrama bagi peserta didik laki-laki. Setiap kamar diisi peralatan yang juga baru, seperti lemari pakaian, meja belajar, dan tempat tidur. Di belakang asrama, terdapat bangunan yang difungsikan sebagai ruang makan dan dapur.

“Kami ingin memuliakan mereka, anak-anak dari kelompok miskin,” kata Setia Nugraha, Kepala Sekolah SRMP 9 Kota Bandung.

Bangunan-bangunan itu berdampingan dengan Gedung C yang digunakan sebagai ruang kelas siswa SLB Pajajaran. Kondisinya berbanding terbalik dengan keadaan bangunan SRMP 9 Kota Bandung. Di antara bangunan kedua sekolah itu terpasang pagar besi sebagai pemisah.

“Itu ruang kelas itu (Gedung D) bukan milik SLB. Dari Kemensos, khususnya Sentra Wyata Guna, kami disiapkan titik-titik yang memang sudah layak untuk beroperasi.”

“[SLB dan sekolah rakyat] sama saja tetanggaan. Sama-sama direnovasi,” imbuh Setia.

Agus Jabo Priyono, Wakil Menteri Sosial, membantah memberi perlakuan yang berbeda terhadap SLB Pajajaran. Ia berdalih, sekolah rakyat dan SLB merupakan tanggung jawab dari Kemensos dan saat ini keduanya dalam proses revitalisasi.

“Sekarang kita fokuskan dulu untuk persiapan sekolah rakyat, kemudian yang di Bandung untuk SLB-nya kita sesuaikan dengan kebutuhan siswanya yang ada di sana,” kata Agus saat meninjau sekolah rakyat Politeknik Kesejahteraan Sosial Bandung, 12 Juli 2025.

Peta Sekolah Rakyat di Wiyata Guna Bandung. Pada 1988, pengelolaan tanah Rumah Buta Bandung diambil alih oleh Departemen Sosial RI. Komite SLB Pajajaran sudah mendorong hibah lahan dari Kementerian Sosial agar pembangunan fasilitas sekolah bisa maksimal dan tidak digusur terus. (Project M/Virliya Putricantika)

Agus menegaskan, semua pihak tidak perlu khawatir sebab salah satu tugas Kementerian Sosial adalah melindungi orang-orang dengan disabilitas.

“Ya masa kemudian kita tega siswa-siswa yang sekolah di sana kita telantarkan. Ya, enggak mungkin. Semuanya sedang berproses dan saya jamin tidak akan ada masalah karena memang salah satu tugas Kemensos mengurusi rehabilitas sosial, salah satunya anak-anak disabilitas,” tegas Agus.

Pemerintah mengalokasikan dana sebesar Rp322 miliar untuk pekerjaan renovasi sekolah rakyat di 65 titik lokasi di 24 provinsi.  Khusus di Kota Bandung, terdapat dua sekolah rakyat, yakni di Komplek Sentra Wyata Guna dan Politeknik Kesejahteraan Sosial Bandung.

Di lain kesempatan, Herman Suryatman, Sekda Jabar, mengatakan SLB Pajajaran akan menjalani perbaikan ringan untuk menunjang kenyamanan siswa pada tahun ini. Pembangunan akan berlanjut tahun depan dengan rencana membangun gedung baru dua lantai sebagai bagian dari peningkatan fasilitas pendidikan.

“Saat ini ada delapan ruang kelas. Insyaallah tahun depan akan dibangun dua lantai sehingga kapasitasnya meningkat menjadi 16 kelas. Ini bagian dari komitmen kami untuk terus meningkatkan kualitas pembelajaran bagi anak-anak difabel,” kata Herman saat meninjau SLB Pajajaran, akhir Juli.

SLB Bukan Sekadar Inklusif

Ada berbagai faktor yang menguatkan eksistensi SLBN Pajajaran. Di samping sejarah dan legalitas yang kuat, Tri menyebutkan, sekolah yang berusia ratusan tahun ini telah berkontribusi dalam segi sosial dan lingkungan. 

“Dari sisi akademis, menghasilkan output tiga doktor di Indonesia,” kata Tri. 

Salah satunya adalah Didi Tarsidi. Didi mulai menempuh pendidikan di SLBN Pajajaran pada usia 9 tahun setelah mengalami kebutaan akibat infeksi di usia 5 tahun. Pria yang lahir di 1 Juni 1951 ini bersekolah di SLB Pajajaran hingga jenjang SMP, lalu melanjutkan ke sekolah pendidikan guru (SPG). 

Setelah tamat SPG, Didi kuliah di Universitas Pendidikan Indonesia (UPI, dulu bernama IKIP Bandung) hingga meraih gelar doktor pada 2008. Riset Didi, baik dalam meraih gelar master, maupun doktor, selalu mengambil subjek tunanetra.

Didi mengakui pendidikan di SLBN Pajajaran berperan penting dalam upayanya meraih gelar doktor. Meski telah lulus pendidikan dasar dan menengah, namun Didi baru keluar dari lingkungan Sentra Wyata Guna beberapa tahun kemudian.

“Saya meninggalkan SLB itu mungkin 40 tahunan lalu, sekitar tahun 1979. Dulu suasananya  masih berbeda. Waktu itu masih nyaman sekali. Kami bahkan merasa diperlakukan sangat baik. Selama 20 tahun saya di SLB,” tutur Didi yang turut merintis pendidikan terpadu bagi anak-anak tunanetra di Indonesia.

Didi Tarsidi (74 tahun), salah satu alumnus SLB A Pajajaran yang meraih gelar doktor. (Project M/Virliya Putricantika)

Didi yang kini telah berusia 74 tahun ini mengenangkan masa-masa menyenangkan sekolah di SLB Pajajaran. Kendati sempat mengalami masa sulit saat terjadi Gerakan 30 September, tapi mantan Lektor Kepala Departemen Pendidikan Khusus UPI ini tetap merasakan kenyamanan bersekolah di sana.

“Menyenangkan. Sekolah itu sudah dibuat begitu aksesibel. Punya banyak teman yang bernasib sama. Jadi merasa sama seperti orang lain,” kata Didi, yang masih aktif menerbitkan makalah ilmiah tentang pendidikan khusus. 

Perasaan senang juga dirasakan Jasmine, siswi SMP yang baru setengah tahun bergabung di sekolah tersebut. Ibunda Jasmine, Nurlinda Lamadi menuturkan, anaknya yang didiagnosa tunagrahita, tidak lagi mengalami perundungan seperti ketika menempuh pendidikan di sekolah umum.

“Alhamdulillah anak saya merasa nyaman sekolah di sini. Jasmine nyaman, saya juga merasa nyaman. Anak saya tidak sendiri, tidak berbeda dengan lingkungannya,” ucap Nurlinda.

Tidak hanya merasa nyaman, Jasmine bahkan mampu menorehkan prestasi. Ia meraih juara tiga dalam lomba lari antar tunagrahita di Pekan Paralimpik Pelajar Kota (Peparpelkot) Bandung 2025.

“Saya melihat dia merasa terharu ke diri dia sendiri, bisa membanggakan diri dia sendiri. Dan saya merasa setelah dipanggil gitu, ternyata anak saya bisa juga seperti anak yang lain. Walaupun dia ada kekurangan, tapi pasti kan ada kelebihannya juga,” kata Nurlinda.

Jasmine hanya satu dari sekian banyak siswa SLB Pajajaran yang berprestasi. Di bidang olahraga, belasan siswa meraih medali di berbagai kejuaraan. Di cabang olahraga atletik misalnya, Nur Azzalia Asyifa Fadhilah memperoleh tiga medali emas. Allegra Theovanny Anamira dikalungi medali emas dan perak. Kemal Rizki Ramana meraih emas dan perak.  

“Anak saya walaupun (kakinya) jinjit, dia atlit lari. Kemarin di lari 100 meter dapat medali emas, yang 400 meter dapat perak. Anak-anak itu berprestasi, walaupun (kondisi) mereka (disabilitas) seperti itu,” kata Nunik, ibunda Kemal.

Medali atletik milik Kemal. SLB A Pajajaran selama ini menjadi ruang aman bagi murid untuk tumbuh dan bisa berprestasi. (Project M/Virliya Putricantika)

Nenny, Ibunda Allegra, mengatakan prestasi yang diraih siswa SLB Pajajaran, termasuk anaknya, juga tidak lepas dari posisi sekolah yang berseberangan dengan GOR Pajajaran. Lokasi yang strategis dan berdekatan tersebut mendorong anak-anak semangat berlatih.

“Meskipun sudah lelah belajar juga, gak terlalu capek di jalannya,” kata Nenny.

Nenny dan para orangtua siswa lainnya berharap SLB Pajajaran tetap berada di Komplek Sentra Wyata Guna. Alasannya karena lokasi strategis dan cukup terjangkau oleh siswa yang domisilinya di luar Kota Bandung. serta fasilitas di sekitarnya mendukung prestasi siswa. 

Hak Pakai Lahan yang Sah

Upaya pengambilalihan ruang belajar SLB Pajajaran bukan pertama kali terjadi. Tri mengatakan, pada 2011, upaya serupa pertama kali terjadi. Kemudian berulang pada 2019, terjadi penggusuran asrama yang dihuni 60 siswa dan mahasiswa tunanetra.

“Kalau itu benar-benar (digusur). Sampai (mereka) tidur di trotoar. Itu pernah kejadian,” kata Tri.

Sisa barang-barang yang dikeluarkan dari Gedung D Wyata Guna. (Project M/Virliya Putricantika)

Padahal, SLB Pajajaran memiliki dasar hukum yang kuat dan sahih dalam konteks peruntukan lahan dan hak pakai lahan seluas 3,9 ha itu berdasarkan Surat Keputusan (SK) Gubernur Jawa Barat Tahun 1986. SK mengamanatkan lahan Sentra Wyata Guna diperuntukkan sebagai pusat pelayanan bagi tunanetra. Hak pakai lahan berlaku selama fasilitas seperti masjid, gereja, SLBN A, dan  asrama siswa, tetap berdiri.

“Kalau fungsi (lahannya) diubah, SK Gubernur Jabar Tahun 1986 itu bisa dicabut. Kalau Gubernur Jabar mencabut SK tersebut, otomatis Kemensos tidak punya hak keseluruhan karena batal. Makanya, SLBN A tetap ada di situ, sampai kiamat juga gak mungkin bisa diusir karena dasar hukumnya ada,” kata Tri, seraya menambahkan Kemensos mensertifikatkan komplek Wyata Guna tidak dengan proses tukar guling atau membeli.

Tri juga mempertanyakan tindakan Kemensos yang mengambil alih Gedung D dan A yang selama ini juga digunakan sebagai sarana pembelajaran. Padahal, masih ada sekitar 30 gedung dan lahan kosong di komplek tersebut. 

“Kenapa yang dipilih itu gedung SLB yang sedang aktif digunakan. Gedung lain itu banyak, tanah kosong masih luas. Kenapa bukan itu yang dipakai?” tanya Tri.

Mengalihfungsikan gedung SLB untuk program sekolah rakyat bukan hanya bertentangan dengan SK Gubernur Jabar, tetapi juga telah mengganggu keberlangsungan layanan pendidikan khusus yang telah berlangsung lama. Dengan mempersempit ruang gerak SLB Pajajaran, negara dianggap abai terhadap pemenuhan hak pendidikan bagi kelompok rentan, tegas Tri.

Kendati demikian, Tri mengatakan, orangtua dan siswa mendukung program sekolah rakyat.

“Intinya, kalau di situ ditetapkan ada sekolah rakyat, kami siap menerima, siap kolaborasi, tetapi harapannya tidak mengurangi ruang-ruang yang selama ini digunakan oleh SLB,” tukas Tri.

Terima kasih sudah membaca laporan dari Project Multatuli. Jika kamu senang membaca laporan kami, jadilah Kawan M untuk mendukung kerja jurnalisme publik agar tetap bisa telaten dan independen. Menjadi Kawan M juga memungkinkan kamu untuk mengetahui proses kerja tim Project Multatuli dan bahkan memberikan ide dan masukan tentang laporan kami. Klik di sini untuk Jadi Kawan M!

Liputan Terkait
Virliya Putricantika
Ronna Nirmala
19 menit