Nunuk dan Razak berusaha masuk ke sebuah ruangan dengan pintu kaca bertuliskan “Sidik Sakti Indera Waspada.” Di depan pintu itu, Hutomo juga tak melepaskan pandangannya.
Seorang pria berbadan tegap dan berkemeja rapi kemudian menegur mereka, “Kalian ini dari mana? Apa sudah dapat izin?” tanyanya.
“Silakan tunggu di luar dulu, karena belum bisa masuk ke ruangan ini tanpa izin,” lanjut salah seorang tim pemeriksa dari kepolisian.
Pada hari itu, 27 Agustus 2024, Nunuk, Razak, dan Hutomo adalah tim pendamping hukum yang tergabung dalam Koalisi Bantuan Hukum Rakyat (Kobar) Makassar. Mereka berusaha memastikan kondisi 32 massa aksi yang ditahan dan mengalami brutalitas aparat kepolisian dalam aksi peringatan darurat pada 26 Agustus lalu. Aksi demonstrasi tersebut dilakukan oleh gabungan mahasiswa se-Makassar untuk mengawal putusan Mahkamah Konstitusi (MK) dan menolak politik dinasti Joko Widodo.
Kobar adalah aliansi dari berbagai lembaga bantuan hukum yang tidak hanya memberikan bantuan hukum, tetapi juga memperjuangkan kebebasan berekspresi dan membela Hak Asasi Manusia. Kobar, yang terdiri dari LBH Makassar, PBHI Sulsel, LBH Pers, LBH APIK, PBH Peradi, dan LKBHM, bergerak secara pro bono, mendedikasikan kerja-kerja pendampingan mereka untuk para demonstran dan masyarakat yang memperjuangkan demokrasi.
“Para advokat ini terlibat dalam mendorong isu kebebasan berekspresi karena kita percaya gerakan bantuan hukum struktural seperti LBH tidak bisa bekerja secara eksklusif, harus terus memperluas gerakan ini,” ujar Muh Ismail, salah seorang anggota Kobar.
Selama aksi-aksi yang didampingi oleh Kobar, sering kali ada kendala terkait akses pendampingan hukum. Misalnya, pada penangkapan 22-26 Agustus lalu, beberapa pengacara rakyat tidak langsung diberikan akses untuk mendampingi para demonstran yang ditangkap.
“Pada tanggal 26 Agustus malam, ketika kami mencoba masuk ke Polrestabes Makassar, kami dihalangi sejak di pos depan,” ungkap Nunuk Parwati Songki. “Kami diminta menunjukkan KTP dan identitas lain, padahal kami sudah membawa surat kuasa dari para demonstran,” tambahnya dengan nada kesal.
Selama pendampingan, mereka menemukan bahwa beberapa demonstran sudah dimintai keterangan tanpa didampingi pengacara. Polisi beralasan bahwa penyidik sudah selesai piket dan tidak ada cukup penyidik yang bertugas, padahal penangkapan seharusnya dilakukan dengan memberikan hak untuk didampingi oleh pengacara.
Penghalangan akses bantuan hukum oleh polisi sudah menjadi pola yang berulang dalam setiap penangkapan massa aksi. Mereka sering menggunakan istilah “diamankan” untuk menghindari terminologi “ditangkap” yang ada dalam KUHAP, karena “penangkapan” memerlukan dugaan tindak pidana yang jelas.
Polisi juga sering kali menghalangi akses pendampingan dengan alasan administrasi atau alasan teknis lainnya. Kami selalu berusaha membuka akses dengan melibatkan lembaga-lembaga negara seperti Komnas HAM dan Kompolnas, namun tetap sering kali mengalami kendala.
Brutalitas Polisi di Bandung
Kekerasan yang dilakukan polisi terjadi di banyak daerah di Indonesia. Di Bandung, Guntur (27) bukan nama sebenarnya, menjadi korban kekerasan oleh polisi saat ikut aksi penolakan RUU Pilkada, 22 Agustus 2024.
Guntur tergerak mengikuti aksi dikarenakan dia melihat media sosial yang banyak memposting tentang peringatan darurat. “Saya bukan aktivis, saya datang sendiri, gak ada ikutan dengan kelompok apapun. Menurut saya kondisi ini sudah gak bener makanya saya berani turun aksi” ujar Guntur.
Usai aksi, ia menyambangi dua laki-laki berbaju hitam yang ia kira adalah sesama demonstran. Dengan santai ia bertanya, “A, ini teh gak ada kumpul-kumpul lagi?”
Salah seorang laki-laki menjawab, “Oh nanti jam 9 ada kumpul lagi, sini aja dulu, ngerokok dulu.”
Guntur pun turut duduk bersama mereka. Tak lama berselang, tiba-tiba lima orang polisi mendatangi Guntur dan memukulinya. Dua lelaki yang duduk di sebelahnya juga turut memukulinya. Rupanya dua lelaki itu adalah polisi yang menyamar sebagai demonstran.
“Leher saya dicekik, punggung saya diinjak dengan lutut, dan saya merasa diperlakukan dengan sangat brutal.”
Ia lalu dibawa ke gedung DPRD Jawa Barat. Sepanjang perjalanan ke sana ia dipukuli sembari dikata-katai “anjing kamu”, “bangsat kamu” dan “anjing kamu, mati kamu malam ini.” Di dalam gedung, ia didata dan difoto oleh polisi. Di sana polisi menuduh Guntur sebagai anarko. “Kamu anarko ya anjing!”
Badai (25) bukan nama sebenarnya juga pernah menjadi korban kekerasan polisi saat aksi Reformasi Dikorupsi tahun 2019 di kawasan jalan Trunojoyo. “Saya ditangkap dan dikepung oleh lima orang polisi. Mereka memukuli saya dengan kayu dan menendang saya sampai bonyok. Setelah itu, saya dibawa ke depan DPRD dan dipukuli lagi oleh polisi yang lebih muda,” ungkapnya.
Pada tahun 2019, aksi protes meluas di berbagai daerah, dengan banyak mahasiswa dan pelajar turun ke jalan. “Di Bandung, situasinya mencapai puncak kekacauan. Polisi bahkan mengepung kampus-kampus seperti Unisba dan Unpas hingga tengah malam. Penggunaan gas air mata yang kedaluwarsa dan peluru karet yang berbahaya menjadi masalah besar,” tambahnya.
Ia semakin khawatir dengan kekerasan yang dilakukan oleh polisi ini akan semakin menjadi-jadi di era presiden terpilih Prabowo Subianto. “Ada kekhawatiran bahwa dengan Prabowo sebagai pemimpin, kekuatan militer dan kepolisian akan semakin dominan dan represif. Ini mengingatkan kita pada situasi tahun 1998, di mana tindakan represif terhadap demonstran sangat mengkhawatirkan,” katanya.
Kekerasan tidak hanya terbatas pada demonstrasi besar. “Saya melihat banyak kasus salah tangkap, termasuk terhadap orang yang hanya sedang makan di jalan. Ini jelas merupakan kebodohan dari pihak kepolisian,” ucapnya.
Paramedis di Makassar Jadi Korban
Brutalitas aparat kepolisian tidak hanya dialami oleh para demonstran, tetapi juga oleh masyarakat yang memberikan pertolongan pertama bagi korban gas air mata dan kekerasan saat aksi.
“Saya sempat dua kali dipukul di kepala dengan pentungan, sekali sampai berdarah. Saya juga ditendang, termasuk di perut,” cerita Dadang, bukan nama sebenarnya.
Dadang merupakan salah satu tim dari Paramedis Jalanan Makassar, sebuah gerakan kolektif yang dibentuk untuk membantu para demonstran dan jurnalis yang terpapar gas air mata dan tindak kekerasan saat berada di lingkaran aksi jalanan. Dadang baru saja pulang dari rumah sakit saat tim Project Multatuli menemuinya.
Luka di kepalanya masih merah, meninggalkan darah yang membeku dan belum kering. Dokter bilang ada benda keras yang menghantam ubun-ubunnya. Sementara luka di punggungnya ada di dua titik, satu di bagian bawah, dan satu di sisi kiri.
Semua luka tersebut ia dapatkan saat memberikan pertolongan kepada massa aksi pada 26 Agustus lalu. Ia berusaha meminta bantuan kepada kepolisian untuk menyiapkan ambulans karena ada massa aksi yang harus segera dibawa ke rumah sakit. Namun, tak lama setelah berteriak meminta bantuan, ia justru dipukul oleh seorang polisi berseragam dengan pangkat bunga.
“Meskipun saya sudah berteriak bahwa saya adalah tim medis, pukulan dan hantaman dari berbagai arah tetap datang. Saya hanya berusaha melindungi bagian kepala dan wajah saya,” ujar Dadang. Ia nyaris dibawa ke mobil rantis Barakuda milik Polri, beruntung warga sekitar sigap melihat tanda paramedis di tas aid kit yang ia pegang.
Pada 26 Agustus lalu, eskalasi aksi demonstrasi meningkat, padahal awalnya aksi tersebut berlangsung damai sebelum akhirnya polisi mulai melakukan penangkapan dan pemukulan terhadap massa aksi. Karena mengetahui eskalasi aksi yang semakin rawan, dua hari sebelumnya para medis jalanan Makassar membuka pendaftaran sukarelawan dengan memanfaatkan media sosial sebagai platform. Mereka memperluas tim dan membagi ke beberapa titik aksi.
“Tim medis ini meliputi berbagai latar belakang akademis dan pengalaman. Mereka mau membantu dan mengisi ruang-ruang aksi yang belum banyak orang sadari,” ungkap Boni (bukan nama sebenarnya), salah satu penggerak paramedis jalanan.
Meskipun persiapan yang lebih matang dibanding aksi pada 22 Agustus, paramedis jalanan menghadapi hambatan serius pada 26 Agustus. Seperti tembakan gas air mata yang lebih canggih, karena tidak banyak mengeluarkan asap tetapi meledak dan gas yang lebih pedas.
Paramedis jalanan juga menghadapi tantangan tambahan seperti kekurangan perlengkapan dan risiko serangan yang meningkat. Namun, mereka terus memperbarui pengetahuan mereka, belajar dari pengalaman internasional seperti aksi di Hong Kong, dan menjaga komunikasi melalui media sosial dengan menggunakan tanda khusus untuk membedakan mereka dari pihak lainnya.
Meskipun mengalami luka serius, termasuk memar di kepala dan punggung, serta menghadapi ancaman dari aparat, para tenaga medis ini tetap melanjutkan misi mereka. Mereka tidak merasa trauma, meskipun marah, dan tetap berkomitmen untuk mendampingi teman-teman mereka dalam menyampaikan aspirasi masyarakat.
Mengutip prinsip paramedis jalanan, “Jika Anda percaya revolusi akan terjadi suatu saat nanti, selama mimpi itu tetap ada, kami akan selalu berada di belakangmu.”
Dalam melakukan kerjanya, para petugas sering berusaha tetap anonim. Untuk dukungan logistik dan aid kit, mereka mendapatkan bantuan donasi dari jaringan paramedis jalanan di Jakarta dan Bandung.
Menolak Kekerasan, Mendorong Reformasi Polri
Kekerasan yang dilakukan oleh polisi sudah terjadi berkali-kali tanpa ada evaluasi berarti. Setiap kekerasan yang dilakukan polisi tidak pernah ditindak jika tidak viral. “Kita sama-sama tahu sekarang kalau tidak viral, tidak akan ditindaklanjuti dan tidak ada proses evaluasi dari pihak kepolisian,” ujar Boni.
Karena itu, ia mengimbau agar masyarakat umum juga bisa merespons tindakan brutal polisi dengan cara mendokumentasikan setiap bentuk kekerasan yang dilakukan. Jika terkena tindak kekerasan, masyarakat sebaiknya segera melakukan visum dan menyebarluaskan informasi tersebut di media.
Dokumentasi ini penting sebagai bagian dari upaya untuk mendorong reformasi di tubuh polri. Represi dan kekerasan seharusnya tidak menjadi cara untuk menangani demonstrasi. Boni menilai dengan dukungan masyarakat dan kolaborasi berbagai pihak, mereka terus berkomitmen memperjuangkan kebebasan berekspresi dan hak asasi manusia, meskipun harus beroperasi di bawah bayang-bayang represi.
Hal serupa juga diungkapkan oleh Langit (bukan nama sebenarnya) korban kekerasan polisi saat aksi penolakan RUU Pilkada di Bandung. Ia berharap kekerasan yang dilakukan oleh polisi terhadap warga harus segera dihentikan.
“Salah tangkap banyak, yang penting [pakai pakaian] hitam, sampai yang lagi makan di jalan ditangkap, itu kan suatu ketololan untuk polisi sendiri,” ujar Langit dengan nada kesal.
Ia mengkritik keras praktik-praktik kasar yang dilakukan oleh aparat kepolisian dan merasa bahwa institusi kepolisian belum menunjukkan kemajuan dalam memperbaiki perilaku anggotanya. Menurutnya, tindakan semacam ini menambah ketidakpercayaan masyarakat terhadap kepolisian.
Rasanya, kritik-kritik terhadap polisi tidak pernah dijadikan ajang untuk berbenah diri. Di tengah kefrustrasian itu, ia mengusulkan agar polisi dibubarkan saja. “Jalan satu-satunya ya menurut saya pribadi adalah bubarkan polisi karena bukannya melindungi kami sebagai masyarakat tapi malah menyiksa masyarakat,” pungkas Langit.