Riski Agung Sulaiman terpikat dengan iming-iming gaji besar saat temannya menawarinya bekerja sebagai awak kapal. Si teman mengontaknya via Facebook pada awal 2018. Maka, pria 27 tahun asal Cikampek, Jawa Barat ini berangkat menumpang bus menuju Pemalang, sebuah kota di pantai utara Jawa Tengah. Tujuannya adalah kantor PT Puncak Jaya Samudra, perusahaan penyalur anak buah kapal yang kemudian membawa Riski ke Han Rong 363, kapal penangkap ikan berbendera China yang mengarungi Laut Arab.
Namun, selama bekerja di atas kapal selama 24 bulan sejak April 2018, Riski hanya digaji 6 bulan. Ketika kontrak kerjanya berakhir, kapten melarang Riski pulang dengan alasan dunia dilanda Covid-19, memaksanya memperpanjang kerja selama dua bulan.
Pada 19 Mei 2020, Riski menyaksikan Daroni, ABK berusia 23 tahun asal Brebes, meninggal dunia di kapal yang sama. Riski kemudian meminta bantuan Kedutaan Besar Republik Indonesia di Sri Lanka agar bisa dipulangkan.
Setelah pulang, Riski menuntut PT Puncak Jaya Samudra (PJS) membayar haknya. Seharusnya ia berhak mendapatkan upah AS$350 per bulan, dengan rincian $100 untuk deposit, $200 untuk keluarga (biasa disebut uang delegasi), dan $50 upah di atas kapal (upah on boat).
Namun, PT PJS hanya membayar sisa gaji delegasi selama 1,5 tahun kepada Riski sesuai kontrak kerjanya.
Alasannya, “agen Indonesia tidak bertanggung jawab atas gaji on boat, yang harus diselesaikan ABK langsung ketika masih berada di atas kapal,” dalih Direktur PT Puncak Jaya Samudra, Herman Suprayogi, saat dikonfirmasi Tim Kolaborasi Project Multatuli dan Tirto.id.
Sampai sekarang Riski masih berharap PT PJS membayarkan gaji on boat dia selama 1,5 tahun. “Kalau dirupiahkan sekitar Rp14 juta,” kata Riski.
Saat rekannya Daroni meninggal di atas di kapal Han Rong 363, PT PJS mendatangi rumah keluarga itu. Menyampaikan kabar duka kematian anaknya dengan alasan sakit.
Tapi, keluarga Daroni tak percaya begitu saja. “Tidak ada informasi apa pun dari pihak PT PJS tentang kondisi anak saya di atas kapal, tahu-tahu dapat kabar sudah meninggal,” kata ibu Daroni.
Tanpa seizin keluarganya, Daroni dilarungkan ke laut pada 29 Juli 2020. Ayah Daroni, yang dikontak Tim Kolaborasi, sampai sekarang masih enggan bercerita karena “masih sedih” saat diungkit lagi kematian anaknya.
Di kapal yang berbeda, bernama Han Rong 368, dua ABK yang disalurkan perusahaan terafiliasi dengan PT PJS juga berakhir tinggal nama.
Riswan, ABK asal Sulawesi, meregang nyawa dengan kondisi tubuh membengkak dan muncul bintik-bintik di kulit. Dari mulutnya, keluar cairan busa putih keabuan. Riswan meninggal pada 22 Juni 2020. Dan sama dengan Daroni, dilarungkan tanpa izin keluarganya.
Sementara teman satu kapalnya, Akhmad Wahid, ABK berusia 20 tahun asal Cirebon, meninggal dengan kondisi tubuh membengkak dan gangguan nafas, enam hari setelah kematian Riswan, juga dilarungkan tanpa izin keluarganya.
Diduga kapten kapal Han Rong 368 menolak menepikan kapal saat kedua ABK itu tengah sakit, tidak segera membawa ke tempat penanganan medis di pelabuhan atau ke rumah sakit terdekat.
PT Puncak Jaya Samudra, yang memberangkatkan keempat ABK itu, mungkin sekarang adalah manning agency terbesar di Indonesia, bahkan di Asia. Perusahaan mengklaim memasok kru kapal yang beroperasi di perairan Fiji, Hawaii, Afrika Selatan, Trinidad, Mauritius, Tonga, Samoa, Amerika Selatan, dan sebagainya.
“Kalau kondisinya normal tidak ada Covid-19, kami mampu memberangkatkan sekitar 600-800 ABK setiap tahun. Ada yang ke Asia, ada yang ke Eropa,” klaim Direktur PT PJS, Herman Suprayogi.
Afiliasi Sukim dan Keluarga PT Puncak Jaya Samudra
Bos PT Puncak Jaya Samudra bernama Sukim. Ia mantan ABK yang sudah belasan tahun makan asam garam di kapal ikan lokal dan internasional. Pengalamannya yang sudah menyelami seluk beluk dunia pelaut dipakai Sukim bersama rekan sesama ABK merintis PT Seva Jaya Bahari, sekitar sepuluh tahun lalu. Pada 2014, perusahaan ini bubar karena konflik antar-pemilik. Sukim kemudian mendirikan PT Puncak Jaya Samudra.
Bisnis penyaluran ABK milik Sukim tergolong pionir. Langkahnya diikuti perusahaan-perusahaan lain, yang kini menjamur dan terkonsentrasi di pesisir utara dan selatan Jawa. Saat itu belum ada regulasi penempatan ABK di kapal asing. Aturan perusahaan wajib memegang apa yang disebut surat izin usaha perekrutan dan penempatan awak kapal atau SIUPPAK baru dibuat Kementerian Perhubungan pada 2013.
Kini Sukim maupun PT PJS setidaknya terkoneksi dengan empat perusahaan penyalur ABK yang lain, meliputi PT Ocean Jaya Samudra, PT Baruna Jaya Sentosa, PT Duta Samudra Bahari, dan PT Mega Pratama Samudra; semuanya berbasis di Pemalang. Perusahaan-perusahaan ini tergabung dalam Himpunan Pengawakan Kapal Internasional Indonesia, yang diketuai oleh Direktur PT PJS, Herman Suprayogi.
Direktur PT Mega Pratama Samudra, Susilo, menyebut ada enam perusahaan dalam perhimpunan tersebut. “Mereka adalah keluarga PT PJS lah,” katanya. (PT Mega Pratama Samudra adalah manning agency yang memberangkatkan Riswan, ABK yang meninggal di laut.)
Herman berkata perhimpunan itu dibuat “untuk mendorong tiap-tiap anggotanya menjadi profesional.” Menyediakan infrastruktur yang layak bagi operasional kantor, mematuhi setiap prosedur izin perekrutan, hingga apa yang disebutnya “mensejahterakan para ABK.”
Ia sangsi atas banyak perusahaan penyalur ABK, yang modalnya cuma rumah dua lantai di gang sempit, dengan spanduk seadanya dipasang di pohon, bisa dianggap beres merekrut para ABK.
“Tujuan perhimpunan supaya kita diakui sebagai organisasi yang disetujui secara sah menyalurkan kru kapal,” kata Herman.
Sukim sendiri menolak permintaan wawancara Tim Kolaborasi Project Multatuli dan Tirto.id mengenai relasi dan afiliasinya dengan perusahaan-perusahaan dalam perhimpunan. Ia mengarahkan Tim Kolaborasi untuk bertanya langsung ke Herman.
‘Menalangi’ Kebutuhan ABK
Beralamat di Jl. H.O.S. Cokroaminoto, Lingkar Selatan, Lawangrejo, kompleks PT Puncak Jaya Samudra bak pabrik seluas sekitar setengah hektare. Di dalamnya, selain kantor pegawai, ada gedung lembaga pelatihan kerja, ada lapangan olahraga, aula, mes penampungan ABK, dua lusinan toilet, dan dapur umum.
Perusahan merekrut ABK biasanya dengan memasang iklan di website, selain lewat media sosial seperti Facebook, pesan berantai di WhatsApp, hingga melalui calo atau sponsor.
Di Facebook, iklannya sederhana saja. Mereka mencari ABK non-pengalaman maupun yang sudah berpengalaman, dengan iming-iming gaji AS$450-$500 per bulan, dan mencantumkan persyaratan dokumen. Para ABK itu minimal lulusan SMP.
PT PJS juga bisa menalangi calon ABK untuk mengurusi berbagai dokumen. Herman menyebut mayoritas calon ABK–99% dia bilang–minta ditalangi pihak kantor. “Tidak ada penjeratan utang,” klaimnya. Perusahaan biasanya membantu mereka mengurus paspor, Buku Pelaut, sertifikat Basic Safety Training (BST), dan pemeriksaan medis.
“Biayanya yang reguler sekitar Rp2,4 juta,” kata Herman. “Ini sudah termasuk asrama, asuransi, makan, dan Buku Pelaut.”
Selagi para calon ABK menunggu keberangkatan, PT PJS menyediakan mereka mes penampungan, yang biayanya termasuk dalam dana talangan.
“Nanti bakal dikenai pemotongan gaji selama bekerja di kapal ikan asing. Nilai potongannya beragam, sesuai jumlah utang yang ditanggung ABK pada perusahaan,” kata Herman.
Selain biaya dokumen, perusahaan juga memberikan pinjaman kepada calon ABK, misalnya, untuk keperluan tiket bagi ABK yang ingin pulang ke kampung halaman.
“Kita manusia, tapi kami juga tidak lupa bahwa kami adalah pengusaha,” kata Herman.
Menolak Membayar Hak Gaji ABK, Memakai Ormas
Muhammad Chadziq adalah ABK yang diberangkatkan PT Astrindo Artha Samudra, perusahaan yang terafiliasi dengan Sukim. Mulanya ia dikenalkan teman, lalu bertemu calo perusahaan, kemudian mengurus berbagai keperluan di perusahaan itu, yang sama-sama beralamat di Pekalongan.
Pada 16 November 2017, Chadziq diterbangkankan menuju Uruguay, tiba di Montevideo lalu dijemput ke pelabuhan. Setelahnya ia menaiki kapal Fu Yuan Yu 880, kapal cumi berbendera China.
Selama di atas kapal, Chadziq harus bekerja lebih dari 12 jam dalam sehari. Ia harus makan makanan tidak layak, minum air hasil sulingan, dan kerap menerima kekerasan verbal dari kapten kapal.
Pada 27 Juli 2019, ia pulang ke Indonesia. Ia bekerja selama 20 bulan, tapi masih ada sekitar Rp20 juta gajinya yang belum dibayar perusahaan.
Seharusnya Chadziq berhak mendapatkan gaji $300, rinciannya $250 gaji delegasi dan $50 gaji on boat. Tapi, ia hanya menerima gaji Rp25 juta.
Chadziq mendatangi perusahaan beberapa kali, bertemu langsung dengan Andi Sumarwanto, Direktur PT Astrindo Artha Samudra. Tapi, bos perusahaan itu justru melemparkan tanggung jawab ke agensi Taiwan, ujar Chadziq kepada Tim Kolaborasi.
Selain itu, Andi malah mengancamnya, dengan memakai posisinya sebagai Ketua Laskar Merah Putih di Pekalongan, bahkan mengerahkan anak buahnya.
“Aku bodo amat, aku minta hak-hak aku,” kata Chadziq.
Dalam akta PT Astrindo Artha Samudra, selain Andi Sumarwanto, ada nama Sukim sebagai komisaris; keduanya menanam 125 lembar seham senilai Rp375 juta.
Tim Kolaborasi mengontak Sukim untuk menanyakan hak gaji yang belum dibayarkan PT Astrindo kepada Chadziq, tapi Sukim berkata perusahaan ini bukan urusannya lagi. Sukim berdalih sudah dua tahun tidak berkontak dengan Andi.
“Itu sudah lama, saya tidak tahu,” kata Sukim. Ia berkata ada semacam kontrak dia dengan PT Astrindo selama empat tahun. “Sekarang sudah lebih dari 5 tahun. Kami membentuk PT Astrindo sejak 2015.”
Andi sendiri tidak bisa dihubungi oleh Tim Kolaborasi.
Zaenudin, Ketua Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) Tegal, menyebut andil ormas di perusahaan-perusahaan penyalur ABK bukan barang baru.
“Di asosiasi perusahaan memang ada keterlibatan ormas,” kata Zae, mantan ABK yang pernah direkrut PT PJS dan mengalami perbudakan di kapal ikan China Zhong Da pada 2017.
Zae turut mendampingi ABK yang menuntut hak gaji kepada PT Astrindo Artha Samudra.
“Kami bahkan sampai disekap oleh ormas Laskar Merah Putih saat menuntut hak gaji ABK,” katanya saat membantu Julkifli Soumena, ABK asal Ambon. Soumena kini ditampung di sekretariat SBMI Tegal selagi hak gajinya masih ditahan oleh perusahaan penyalur ABK bernama PT Bahari Kru Manajemen.
Dipaksa Damai, Dibiarkan Mangkrak
Dalam catatan SBMI dan Greenpeace Indonesia, ada 22 kasus kerja paksa ABK di kapal ikan asing yang terkait dengan PT Puncak Jaya Samudra. Kasus-kasus ini meliputi ABK dipaksa bekerja di luar kontrak kerja, kekerasan fisik dari kapten kapal, konsumsi makanan dan minuman tidak layak, pengisolasian, melanggengkan jerat utang, hingga tidak ada hari libur.
Herman berkilah soal kasus-kasus yang dialamatkan kepada perusahaannya. “Secara persentase sebenarnya sangat kecil,” katanya. “Kami seakan menjadi bulan-bulanan, tapi ketika ada kesuksesan, kami tidak pernah di-blow up.”
Erni Hikmah, Sekretaris SBMI Tegal, yang setiap tahun terus menerima pengaduan dari ABK, berkata tak jarang kasus-kasus ini diselesaikan secara paksa oleh perusahaan dengan ancaman.
“Hak-hak ABK tidak dipenuhi tapi terpaksa menerima karena perusahan mengancam akan menahan dokumen ABK,” ujarnya.
Muhammad Chadziq mengurus kasusnya sampai ke kepolisian. Ia melaporkan Andi Sumarwanto, Direktur PT Astrindo Artha Samudra ke Polres Pekalongan Kota. Dibantu Erni, mereka memberikan sejumlah data seperti surat perjanjian kontrak sebagai bukti pendukung ke polisi.
Polisi sudah memanggil pihak perusahaan, tapi tidak direspons. Penyidik bahkan sudah meminta keterangan Chadziq. Sampai sekarang, prosesnya tanpa kejelasan.
“Walaupun kita lapor ke aparat, kasus saya dan ABK lainnya enggak ada kelanjutan,” ucapnya.*
Laporan ini adalah serial #PerbudakanABK yang didukung oleh Greenpeace Indonesia