Pembangkit Listrik Bambu Mentawai yang Mati Selamanya

Ronna Nirmala
21 menit
Keadaan Unit PLTBm Saliguma berkapasitas 250kW. Atap bangunan sudah hilang, komponen mesin banyak dicuri. Cuma tersisa konstruksi baja ringan. Sisa bahan baku seperti cincangan bambu dan kayu melembab dan lapuk. (Project M/Yose Hendra)

Rencana pemerintah mengaliri Pulau Siberut dengan listrik 24 jam menggunakan bahan bakar bambu gagal total. Pembangkit listrik yang diklaim ramah lingkungan itu hanya bertahan tak sampai hitungan tahun. Bangunan pembangkit mangkrak dan dijarah, bibit bambu berubah jadi benalu.

HAWA lengas dan kabut tipis menyelimuti bangunan Pembangkit Listrik Tenaga Biomassa (PLTBm) di Desa Matotonan, permukiman di pedalaman Pulau Siberut, Kabupaten Kepulauan Mentawai, Sumatra Barat. 

Bangunan di Dusun Matektek yang dulu menjanjikan harapan terang bagi warga itu, kini tampak porak-poranda. Komponen dan sirkuitnya sudah dijarah, atapnya tercerabut, hanya menyisakan kerangka baja yang kusam. Steam boiler yang seharusnya tegak kini tergeletak tak berdaya.

Karung-karung komponen diletakkan di tubir sungai, hendak dibawa ke hilir, melayari Sungai Rereiket menuju Desa Madobak, dan selanjutnya diangkut kendaraan roda empat menuju nun Muara Siberut, pintu gerbang Pulau Siberut.

“Jangan diliput yah. Saya juga ikut mengambilnya. Saya ambil salah satu motor mesinnya,” teriak salah seorang warga yang tengah merajut keranjang rotan dengan santai, tak begitu jauh dari lokasi PLTBm Matotonan.

Kapolsek Siberut AKP Wilmar Sianturi mengatakan pada Agustus, pihaknya mengamankan barang yang diduga komponen PLTBm dari Matotonan di pinggir jalan Desa Madobak.

 “Penadah sudah kita kantongi namanya. Informasinya langsung dikirim ke Padang. Penadah bisa dikenakan Pasal 480 dengan ancaman 4 tahun penjara,” ungkap Wilmar. Saat ini, barang yang diamankan berada di Markas Polsek Siberut.

Desa Madobak adalah tetangga Desa Matotonan, sama-sama masuk ke wilayah Kecamatan Siberut Selatan. Kedua desa ini terletak di pinggir Sungai Rereiket dan terhubung oleh pongpong (sampan) tradisional yang berlayar mengikuti arus Sungai Rereiket.

Di dua desa terdapat pembangkit setrum berbahan bakar bambu (PLTBm). Selain di sana, ada juga di Desa Saliguma, Kecamatan Siberut Tengah. 

Keberadaan pembangkit listrik di pedalaman Siberut adalah bagian dari program Jelajah Mentawai Terang yang bersumber dari dana hibah Millennium Challenge Corporation Compact (MCC) bekerja sama dengan Pemerintah Indonesia, melalui Millennium Challenge Account Indonesia (MCA-I). Adapun nilai proyeknya mencapai USD12,4 juta, dan dikerjakan oleh kontraktor seperti PT Charta Putra Indonesia, PT IKPT, dan PT Ekologika.

Usai peresmian pada September 2019, PLTBm diserahkan ke Pemkab Mentawai dan menjadi aset pemda setempat. Setahun kemudian, Bupati Mentawai saat itu, Yudas Sabaggalet, menugaskan Perumda Kemakmuran sebagai pihak yang bertanggung jawab atas pemeliharaan, serta penjualan hasil produksi.

PLTBm dibangun pada 2017, ditargetkan menghasilkan energi listrik 700 kW untuk menggantikan Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD) yang telah beroperasi di Pulau Siberut dengan kapasitas 1.300 kW.  Proyek yang diklaim energi listrik berbahan bambu pertama di Asia Pasifik ini akan mampu melayani 1.181 rumah tangga di 3 desa, dengan rata-rata 450 watt untuk tiap-tiap rumah.

PLTBm Saliguma memiliki kapasitas 250kW, PLTBm Madobak memiliki kapasitas 300kW, dan PLTBm Matotonan memiliki kapasitas 150kW.

**

Ironinya, setrum dari PLTBm hanya sempat dinikmati sesaat. 

Theofilus Sauddeinu, Kepala Kelistrikan di PLTBm Madobak mengatakan, jika ditotal, PLTBm hanya menyala sekitar 6 bulan, dalam rentang tahun 2019 hingga 2020.

Akhir 2020, PLTBm mengalami kerusakan mesin sehingga tak bisa digunakan lagi. PLN kemudian mengambil alih dengan mengoperasikan mesin diesel berbahan bakar solar punya sendiri, bukan 2 mesin yang ada di PLTBm.

Namun, masalah baru muncul pada Maret 2022, ketika PLTBm harus ditutup karena adanya sengketa lahan dengan Suku Tasiliottoi, lanjut Theofilus. Lokasi pembangkit PLTBm tersebut dulunya memang dihibahkan, tetapi setelah kepala suku meninggal, masalah kepemilikan tanah mulai mencuat.

Sejak penutupan itu, aksi penjarahan dan perusakan di tiga unit PLTBm masif terjadi. 

Pelaksana Tugas Sekretaris Dinas Koperindag Kabupaten Kepulauan Mentawai Ananias, menyampaikan pihaknya mencatat ada sekitar 200 orang terlibat aksi penjarahan dan perusakan di tiga unit PLTBm.

Tindakan penjarahan dan perusakan aset sudah mencapai tingkat yang serius, dan pihaknya merasa tidak sanggup menangani situasi tersebut. “Kami menangkap orang, namun tidak sanggup memberi makan,” tambahnya.

Ketika ditanya soal kerugian, Ananias menyatakan bahwa perhitungan kerugian belum selesai dilakukan. “Namun, melihat kondisi saat ini, kerugian yang dialami mencapai 50-70 persen dari anggaran pembangunan,” pungkasnya.

Kondisi PLTBm Mentawai di tiga desa di Pulau Siberut adalah ironi. Secara gamblang, komponen PLTBm dibongkar dan dijarah, seolah barang rongsokan. 

“Saya anggap PLTBm ini sebagai aset negara yang dititipkan ke Desa Madobak. Tapi sejak satu tahun terakhir, PLTBm ini mati dan mulai dipreteli oleh oknum yang tidak bertanggung jawab. Saya sudah melaporkan, tapi belum ada tindakan,” ungkap Kepala Desa Madobak Yohanes Tasirikeru.

Kepala Dusun Onga, Desa Matotonan Ridwan mengatakan, pihaknya sudah berusaha mencegah, berbicara langsung dengan warga. “Kita memberitahukan bahwa PLTBm itu adalah milik negara, bukan untuk diambil atau ditimbang seperti barang bekas,” ujarnya.

Namun, imbauan itu tak mampu menahan hasrat warga yang melihat kesempatan di antara sisa-sisa PLTBm yang kini terbengkalai.

Atap bangunan unit pembangkit pada ketiga PLTBm juga sudah tanggal. Hanya tersisa konstruksi baja ringan. Komponen  yang masih tersisa, sebagian sudah menjadi bangkai, mulai berkarat, dan sisi lain sisa bahan baku seperti cincangan bambu dan kayu pun sudah lembab dan melapuk.

Tumpukan kayu berwajah bambu 

September 2019, Menteri/Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro, tiba di Desa Saliguma dengan helikopter. Secara simbolis ia meresmikan pengoperasian PLTBm. Secara prinsip, PLTBm menghasilkan listrik dengan bahan bakar bambu, yang kemudian dinarasikan sebagai energi baru dan terbarukan (EBT). 

Saat peresmian, Menteri Bambang menyampaikan bahwa PLTBm di Mentawai menjadi model “Participatory Renewable Energy Development,” melibatkan berbagai pihak dalam pembiayaan, pembangunan, dan operasionalnya. Ia mengungkapkan, penghematan dari PLTBm dibandingkan PLTD mencapai Rp14 miliar per tahun, dan pendapatan masyarakat meningkat dengan penjualan bambu, mencapai Rp2 miliar per tahun.

Pembangunan tiga PLTBm mengusung konsep “Three in One Development,” yakni menyediakan listrik untuk daerah yang belum teraliri, mengembangkan energi biomassa, dan mendukung pembangunan daerah 3T (Tertinggal, Terdepan, dan Terluar).

F.X. Sutijastoto, Dirjen Energi Baru, Terbarukan dan Konservasi Energi saat itu, juga menjanjikan setiap kepala keluarga mendapat 100 bibit bambu yang dalam waktu 5 tahun, 1 bibit akan menghasilkan 100 batang. Hasilnya akan dijual untuk mendukung pembangkit listrik.

Namun, kepingan bambu yang didemonstrasikan sebagai bahan pemanggang untuk melahirkan energi saat peresmian di Saliguma, hanya contoh barang saja. 

“Saat peresmian, kayu (cincang) yang sebelumnya sudah ada di feedstock, ditimpa oleh potongan kecil-kecil bambu. Sehingga yang terlihat adalah gundukan bambu,” ungkap Kepala Desa Saliguma, Laurianus Salabok.

Selama beroperasi, PLTBm di Saliguma nyatanya tetap menggunakan bahan baku kayu. Di Saliguma, masyarakat jarang menanam bambu dalam jumlah banyak sehingga suplainya harus didatangkan dari Matotonan dengan menggunakan sampan.

Bahan bakar unit PLTBm Matotonan menggunakan bambu untuk beroperasi. PLTBm tak lagi beroperasi, menyisakan gunungan bambu yang telah dipotong kecil pada feedstock PLTBm Matotonan. (Project M/Yose Hendra)

Jejak kayu itu masih terhampar di PLTBm Saliguma. Potongan kecil kayu yang menggunung di feedstock dirundung lembab akibat diterjang air hujan berkepanjangan. Tak ada lagi atap untuk penudung isi bangunan PLTBm.

Laurianus mengatakan, kayu yang digunakan punya nama lokal, Pulai. Awalnya, masyarakat mengolah kayu Pulai dalam bentuk balok dan gelondongan yang kemudian dijual ke Perumda Kemakmuran Mentawai dengan harga Rp300 per kilogram. Namun, dalam beberapa bulan, harapan itu mulai pudar. 

Pengolahan kayu ternyata menimbulkan kerugian besar bagi perusahaan, terutama karena banyak bagian kayu yang tidak bisa digunakan. Sehingga masyarakat diminta mencincang ulang kayu tersebut, dan menjemurnya hingga kering. “Tak banyak warga tertarik untuk mengerjakan ini,” tukas Laurianus.

Mesin rusak, suku cadang tak ada 

Bukan hanya sumber energi PLTBm yang tidak sepenuhnya dari bambu, mesin generator yang diimpor dari India juga jadi salah satu masalah yang harus dihadapi Perumda. 

“Mesin-mesin kami berasal dari India, dan suku cadangnya sulit didapatkan di Indonesia. Ketika salah satu komponen penting rusak pada 2020, kami terpaksa beralih sepenuhnya ke solar,” kata Direktur Utama Perumda Kemakmuran Mentawai, Hendrikus Erik.

Mantan Wakil Bupati Mentawai 2017-2022, Kortanius, turut mengungkapkan kekesalannya terhadap mesin yang tidak efisien itu. 

“Sebagai daerah yang membutuhkan listrik, apalagi dengan bahan baku yang bisa disediakan oleh masyarakat, kita sangat menyambut baik proyek ini. Namun, sayangnya, mesin yang diberikan ini tidak efisien dan suku cadangnya sulit ditemukan. Mesin ini bahkan belum pernah diuji coba di Indonesia,” kata Kortanius.

Theofilus yang bekerja untuk urusan teknis di PLTBm Madobak, menilai suplai bambu bukan persoalan utama dalam operasional pembangkit, tetapi kerusakan mesin yang terus menerus menjadi penghambat. Suku cadang pengganti dari Jerman pun tidak cocok dengan mesin yang ada.

Theofilus dan beberapa tokoh masyarakat telah mencoba berbagai upaya untuk menyelamatkan proyek ini. Koordinasi dengan pihak pemerintah, laporan pencurian ke pihak berwajib, hingga permintaan agar PLN mengambil alih pengelolaan listrik di Madobak, semuanya seakan tak berbuah hasil.

 “Pemerintah tak peduli sama sekali,” keluhnya.

PLTBm Matotonan pada akhir tahun 2020, mengalami kerusakan mesin sehingga tak lagi bisa digunakan. PLTBm akhirnya ditutup karena masalah konflik lahan dengan warga pada bulan Maret 2022. (Project M/Yose Hendra)

Energi setengah hati 

Sebagai pihak yang bertanggung jawab atas pemeliharaan dan penjualan produksi PLTBm, Perumda Kemakmuran mendapatkan dukungan subsidi pendanaan dari anggaran daerah. 

Plt. Sekretaris Dinas Koperindag Kabupaten Kepulauan Mentawai, Ananias mengatakan, subsidi yang digelontorkan dari APBD Mentawai untuk operasional PLTBm hanya berjalan dua tahun, 2020 dan 2021. Pada 2020, dana subsidi yang dicairkan sebesar Rp3 miliar. Lalu 2021, menyusut menjadi Rp1,9 miliar.

“Anggaran itu peruntukannya beli solar, gaji karyawan, ATK, dan operasional kantor lainnya, termasuk pemeliharaan mesin,” kata Ananias.

Pada masanya, Perumda berhasil menjalankan pembangkit tersebut dengan sembilan orang karyawan. 

“Kami melihat sendiri, listrik bisa hidup dari bambu. Namun, ada tantangan teknis yang tidak bisa diabaikan. Residu gas yang dihasilkan bambu dalam proses pembakaran menghasilkan tar. Jika tidak dibersihkan, tar itu akan menyumbat pipa, sehingga kami harus sering melakukan bongkar pasang,” jelas Hendrikus, mantan Dirut Perumda Mentawai.

Tidak hanya itu, ada juga persoalan rantai pasok bambu yang ternyata tidak semudah yang dibayangkan. “Bambu bisa tumbuh, tapi semuanya tergantung pada keberlangsungan pembangkit. Jika listrik mati, siapa yang mau merawat bambu?” ujar Hendrikus. 

Berbagai persoalan teknis berpadu dengan anggaran pengelolaan, membuat Perumda Mentawai hanya sanggup mengelola PLTBm hingga Januari 2022. 

“Kami memulai dengan harapan besar, mengelola pembangkit listrik dengan bambu sebagai bahan bakar utamanya. Namun, kendala birokrasi membuat kami harus menyerah,” ujar Hendrikus.

Dikutip dari mentawaikita.com, sejumlah fraksi di DPRD Kepulauan Mentawai menolak pemberian belanja subsidi sebesar Rp1,26 miliar dari APBD 2022 kepada PLTBm di Pulau Siberut. Fraksi menolak di antaranya berargumen dengan dua alasan; biaya operasional adalah tanggung jawab Perumda Kemakmuran dan anggaran itu lebih tepat dialokasikan untuk kebutuhan yang lebih prioritas.

“Perdebatan kita dengan dewan soal untung-rugi. Padahal, masyarakat sangat butuh listrik,” tegas Yudas. 

Menurutnya, listrik tak hanya untuk kebutuhan rumah tangga, tapi juga mendukung destinasi wisata seperti aliran listrik di kawasan Rereiket yang terkenal sebagai sentra kerajinan bambu.

Yudas menyoroti kurangnya kesinambungan dalam proyek ini setelah masa jabatannya berakhir. Menurutnya, penggantinya saat ini kurang berani dalam melanjutkan upaya tersebut. 

“Jika ada komitmen, pasti akan ada jalan keluar. Tugas bupati kan untuk mencari solusi, berkoordinasi dengan pihak terkait,” ucapnya.

Yudas terakhir kali pulang ke kampungnya di Madobak tahun lalu, saat kakaknya meninggal. Saat itu, ia sudah tahu ada pencurian di unit PLTBm, tapi masih sebatas kabel.

 “Proyek ini pernah berjalan, setidaknya setahun. Ada harapan, tapi sayangnya tak ada keberlanjutan,” tutup Yudas dengan nada kecewa.

Hingga tulisan ini dirampungkan, Pj. Bupati Kepulauan Mentawai Fernando Jongguran Simanjuntak yang dihubungi untuk wawancara tak merespons.

Antara janji dan realita

Di Mentawai, penggunaan bambu pada PLTBm dijanjikan akan mendukung energi berkelanjutan. Namun, Manajer Program Biomassa Trend Asia, Amalya Oktaviani, apa yang terjadi di lapangan jauh dari harapan. 

Awalnya, bambu lokal Mentawai diharapkan menjadi solusi. Sayangnya, bambu yang ada terlalu tebal dan keras, sehingga sulit terbakar. 

“Akhirnya masyarakat didorong menebang kayu untuk bahan bakar sementara,” kata Amalya.

Dengan kata lain, PLTBm dapat mengancam keberadaan hutan alam yang selama ini menjadi penopang ekosistem lokal. “Sumber energi lain seperti Pembangkit Listrik Tenaga Mikrohidro (PLTMH) sebenarnya lebih cocok dan lebih ramah lingkungan karena tidak mengandalkan pembakaran,” bilang Amalya.

Laporan Trend Asia menyebut Kepulauan Mentawai memiliki tutupan hutan alam seluas 444 ribu hektare. Terdapat 7.265 hektare hutan adat yang terdiri dari 9 komunitas masyarakat adat yang sudah diakui sebagai wilayah adat melalui SK Bupati. Masih ada 18.839 hektare wilayah adat yang menunggu pengakuan.

Sisi lain, sekitar 30 ribu hektare hutan alam terancam oleh konsesi PBPH PT Biomass Andalan Energi (BAE) dan PT Sumber Permata Sipora.

Potensi energi terbarukan di Sumatera Barat di antaranya energi surya sebesar 5.898 MW, potensi mikrohidro 1.353 MW dan potensi air 1.100 MW. Pengembangan bioenergi di tengah melimpahnya potensi sumber energi lain, dapat dikatakan mencurigakan, karena potensinya hanya sebesar 923,1 MW.

Sementara itu, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Padang yang cukup lama menyoroti PLTBm Mentawai di Siberut, menilai PLTBm tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Berdasarkan temuan mereka, masyarakat kesulitan membayar iuran listrik karena terbiasa menggunakan energi dari alam dan memiliki pola hidup berbeda dari masyarakat Sumatera Barat daratan.

“Masyarakat Mentawai tidak menginginkan PLTBm. Mereka tidak memiliki banyak perangkat elektronik seperti di Padang, dan kehadiran PLTBm justru memunculkan masalah baru terkait biaya,” ujar Direktur LBH Padang Indira Suryani. 

Bahkan, contoh kasus solar panel di Siberut Utara menunjukkan masyarakat kesulitan membayar biaya perawatan sebesar Rp20 ribu per bulan.

Desa Matotonan, pemukiman paling hulu di aliran Sungai Rereiket yang bermuara di Muara Siberut. Hunian di Matotonan umumnya didominasi rumah berkonstruksi kayu, dan masih banyak dijumpai uma, rumah adat tradisional Mentawai. (Project M/Yose Hendra)

Indira menegaskan, masyarakat Mentawai lebih membutuhkan peningkatan kualitas pendidikan dan keterlibatan dalam pengambilan keputusan penting di kampung mereka. Banyak proyek, termasuk PLTBm, dinilai tidak relevan, bahkan beberapa warga sampai menjual solar panel yang diberikan oleh dinas terkait.

Indira juga melihat, aksi penjarahan di PLTBm menandakan bahwa proyek itu dianggap tak penting oleh masyarakat. “Karena PLTBm berfungsinya hanya beberapa bulan. Sangat singkat dan masyarakat merasa tak ada pengaruh signifikan atas kehadiran PLTBm,” ujar Indira.

Hal ini menabalkan hal yang diungkap dalam buku Berebut Hutan Siberut karya Darmanto dan Abidah B. Setyowati, bahwa sejak 1970-an, hampir semua proyek pembangunan dan konservasi di Siberut gagal mencapai tujuannya.

Tak hanya memengaruhi lingkungan, proyek ini juga mengubah cara hidup masyarakat lokal. Sehari-hari, mereka biasanya berkebun, berburu, dan meramu untuk kebutuhan sehari-hari. Namun, dengan adanya proyek PLTBm, masyarakat harus menghabiskan waktu mereka untuk mendukung operasional pembangkit ini, meninggalkan aktivitas tradisional mereka.

Janji listrik 24 jam dari PLTBm juga jauh dari kenyataan. Sebelum proyek ini berjalan, masyarakat sudah menggunakan tenaga surya (PLTS), tetapi banyak yang menjual modul tenaga surya mereka dengan harapan mendapatkan pasokan listrik yang lebih stabil dari PLTBm. 

Amalya mengatakan, klaim bahwa penanaman di lahan kritis bisa sekaligus menghentikan deforestasi juga patut dipertanyakan. Dari 31 konsesi/perizinan hutan tanaman energi di Indonesia, kenyataannya proyek ini justru menebang hutan alam untuk dijadikan kebun kayu. 

”Jika jadi dieksekusi untuk PLTBm juga, maka akan menghancurkan hutan alam sepertiga hutan Siberut demi kebutuhan 10 MW,” ungkap Amalya. 

Padahal Pulau Siberut bagian integral Kepulauan Mentawai adalah pulau-pulau kecil yang harusnya perspektif pengelolaan ruang disandarkan kepada undang-undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. Terutama dalam hal ekstraksi sumber daya. 

Bambu PLTBm jadi benalu

MINGGU PAGI awal September 2024, jelang pergi ibadah ke gereja, Kepala Desa Madobak Yohanes Tasirikeru bersama istrinya, beranjak ke kebun, sekira 1 km dari rumahnya di Dusun Ugai. Meski seorang pejabat, namun bertani adalah entitas dirinya sebagai orang Mentawai.

Hari itu, Yohanes membawa lading, dengan tujuan merambah bambu-bambu yang tumbuh semakin liar. Lading tajam itu cukup kewalahan mengerat bambu dengan tekstur daging tebal. Yohanes mengaku sudah sering membabat bambu yang tumbuh memilin tanaman berharga di kebunnya. Bahkan sudah dikerat di bagian rumpunnya, namun tetap tumbuh kembali. Ia jadi bingung bagaimana cara menghabisi bambu yang berubah menjadi gulma ini. Apalagi bambu itu kini tak lagi berarti seiring matinya PLTBm.

Masyarakat Madobak diberikan bibit bambu untuk ditanam di lahan mereka dengan tujuan menyediakan bahan baku untuk PLTBm. Namun, bambu yang ditanam tidak hanya gagal memberikan hasil yang diharapkan, tetapi juga merusak tanaman lain di sekitarnya.

“Bambu yang ditanam merusak tanaman yang ada di kebun. Pisang, pinang, dan tanaman lain tidak bisa tumbuh dengan baik karena terimpit oleh bambu. Lahan kami terbatas, jadi ini menjadi masalah besar bagi kami,” jelas Yohanes.

“Sebenarnya, kalau pengelolaannya baik, bisa berhasil. Sebelum mulai, kami sudah diberi video panduan. Tapi masalahnya, penanamannya tidak teratur, tidak di satu hamparan.”

Awalnya, kontraktor pernah menyarankan bambu di lahan kosong di sepanjang Sungai Rereiket, seberang permukiman. Namun, wilayah itu adalah area ternak babi milik warga. 

“Babi-babi dilepas bebas, dan mereka suka memakan tunas bambu yang masih muda,” lanjutnya.

Menurutnya, penanaman bambu di lokasi itu sebenarnya cocok untuk mencegah erosi di pinggir sungai. Ia mengusulkan untuk memasang pagar yang membentang dari hulu ke hilir sungai agar babi tidak merusak tanaman. 

“Pagar itu bisa menggunakan kayu atau besi, tapi katanya biayanya terlalu besar,” ujarnya. 

Bibit bambu diberikan sebanyak dua kali. Pada masa PLTBm, 200 polybag pertama ditanam, kemudian pada tahun 2023, 40 polybag tambahan kembali diberikan untuk ditanam di seberang sungai. Soal angka pemberian bibit ada beragam versi; mulai dari 100 bibit/polybag hingga 200 bibit/polybag. 

“Waktu itu, dari 200 bibit yang saya tanam di ladang, akhirnya terpaksa saya hancurkan karena merusak tanaman lain. Kami tak tahu kapan bambu ini akan bisa dimanfaatkan. Tanah jadi rusak. Pinang tumbuh kerdil, dan pisang yang saya tanam tak berkembang. Di lahan yang berawa-rawa, tanahnya menjadi keras, dan tanaman pinang tumbuh kurus,” keluhnya.

Bambu juga memiliki peran dalam budaya masyarakat Mentawai. Mereka memanfaatkannya sebagai bahan pembuatan tiang pondok, kandang babi, anyaman, wadah sagu, hingga komponen spiritualitas. Namun, keberadaan bambu yang ditanam secara massal justru merusak tanah dan membuat tanaman lain tidak tumbuh optimal. 

Yohanes tak sendirian. Nyaris semua mereka yang dapat bibit bambu di tiga desa yakni Madobak, Matotonan, dan Saliguma, menebangi bambu yang sudah tumbuh besar dan liar. Alasannya sama: bambu itu sekarang tak bernilai, malah menjadi gulma atau hama bagi tanaman lain.

Martinus Sagoilok (69), seorang sikerei di Desa Matotonan, Pulau Siberut, memotong bambu hasil hibah paket PLTBm yang ditanam di kebunnya di Jiajiat, Matotonan. Bambu yang tumbuh menjadi gulma bagi tanaman yang menjadi sumber penghasilan warga seperti durian, pinang, dan cengkih. (Project M/Yose Hendra)

Salah seorang yang merasakan demikian adalah sikerei, pemimpin spiritual dan dukun pengobatan, di Matotonan, Martinus Sagoilok (69). Ia punya lahan setengah hektare yang sudah berisi pohon durian, rambutan, langsat. Sama dengan warga lain, ia pun dapat 200 polybag bibit bambu. Lalu dikasih uang Rp400 ribu untuk menanamnya.

Dalam prosesnya, bambu tumbuh dengan rumpun mencengkeram dengan dahan yang mengembang. Ini yang membuat bambu kemudian menghantam tanaman yang sudah ada.

“Ditebang, muncul lagi tunasnya, hidup lagi. Ini sudah jadi hama. Dijual pun gak ada yang beli,” kata Martinus, seraya mengatakan dalam tiap penebangan tak jarang ia terluka, karena bibir potongannya tajam.

Kemauan masyarakat tiga desa di Siberut untuk menanam bambu dalam jumlah banyak karena dijanjikan nilai komersil pada saat beroperasinya PLTBm. Kala itu, bambu yang dihargai Rp700 per kg dalam bentuk cincangan, merupakan bambu yang telah tumbuh lama di kebun. Bukan bibit bambu yang diberi dalam skema hibah PLTBm.

Levi Tasiriguruk (50), seorang warga di Madobak, pernah memasok bambu untuk PLTBm Unit Madobak sekali waktu. 

“Saya pernah mengantarkan satu karung bambu seberat 20 kg dan mendapatkan Rp140 ribu,” cerita Levi. 

Namun, usaha tersebut tak bertahan lama. Pasalnya, pasokan bambu tak semudah yang dibayangkan, “Bambu bukan sembarangan bisa didapatkan, kami harus mencarinya jauh di ladang, bahkan sampai ke Mangorut Bat Atbabot, hilir Rogdok. Perjalanan kaki bisa memakan waktu satu jam.”

Menyiapkan satu karung bambu seberat 20 kg juga memerlukan waktu hingga satu minggu. Bambu harus ditebang, dijemur, dibelah, dan dicincang hingga kering sebelum bisa diantar ke PLTBm. 

“Tidak mungkin menjadikannya mata pencaharian. Nilai jualnya terlalu rendah dibandingkan dengan usaha yang dikeluarkan,” kata Levi dengan nada getir.

Di tanah subur Madobak, bambu tumbuh dengan cepat dalam satu tahun, meluas dan menyebar hingga tak terkontrol.

**

Pembangunan PLTBM di Pulau Siberut, Kepulauan Mentawai, berangkat dari kajian akademis kerja sama Bappeda Kabupaten Kepulauan Mentawai dengan Universitas Andalas.

Pemanfaatan bambu untuk bahan bakar PLTBm, dari sisi potensi lahan dan kecocokan agroklimat, pertumbuhan bambu di Siberut dipandang rasional. Dalam naskah akademik dituliskan, hasil pemetaan terdapat 68 persen lahan potensial untuk ditanami bambu di Kabupaten Kepulauan Mentawai. 

Namun, kajian ini menyumirkan tata ruang dan sistem kelola lahan di Mentawai. Peradaban orang-orang Mentawai tumbuh dalam silvikultur yang berbasis kebutuhan akan pangan, apotek hidup, dan ekosistem terpenting dalam ritus Arat Sabulungan. 

“Masyarakat berarti harus membuka lahan, dan ini tidak sederhana,” kata Juniator Tulius, seorang antropolog asal Mentawai yang kini bekerja di lembaga The Earth Observatory of Singapore (EOS).

Direktur Yayasan Citra Mandiri Mentawai (YCMM) Rifai mengatakan, kajian soal PLTBm tak mempertimbangkan soal soal kelayakan dan keberlanjutan seperti, apakah pasokan bambu di Mentawai mencukupi untuk menghasilkan daya listrik yang stabil setiap hari.

YCCMM mencurigai adanya agenda tersembunyi dalam proyek ini, terutama terkait distribusi bibit bambu unggul yang diduga dikuasai oleh perusahaan pemenang tender. “Ada kemungkinan proyek ini bukan hanya soal listrik, tetapi juga bisnis bibit bambu,” kata Rifai. 

Dikatakan Rifai, nyaris tak ada tanah kosong yang terbilang luas di Mentawai. Semuanya sudah terisi. Lebih jauh ke gunung (perbukitan), rimbun oleh rimba raya. Sementara dekat pemukiman atau kampung, lahan sudah menjadi parak dengan tanaman tua seperti durian, pinang, cengkih, hingga tanaman muda seperti pisang, keladi. Menang di antaranya ada bambu, tapi tidak menghegemoni. 

Menurut Rifai, dampak lingkungan juga perlu diperhatikan. Penanaman bambu dalam skala besar akan menciptakan monokultur, menggantikan tanaman asli yang selama ini menjadi sumber pangan dan obat-obatan bagi masyarakat.

Di Mentawai, kata Juniator, hampir setiap lahan yang tidak tertutup hutan belantara atau semak belukar pasti sudah dimanfaatkan oleh masyarakat untuk menanam berbagai tanaman. Mereka sudah memiliki ‘mone,’ ladang tradisional yang berisi tanaman tua seperti durian, kelapa, pinang, hingga pisang.

“Dulu bambu memang ada di sekitar sungai atau kaki bukit, tetapi tidak pernah ditanam dalam skala luas seperti ratusan hektare,” ungkap Juniator.

Ia pun mempertanyakan seberapa serius kajian tentang kesesuaian PLTBm dengan kondisi di Mentawai. “Jika benar-benar dikaji dengan seksama, kita akan melihat bahwa Mentawai sebenarnya tidak cocok untuk PLTBm berbahan baku bambu,” ujarnya. 

 Tarida Hernawati, antropolog dari YCMM, menyoroti bahwa bambu tidak hanya sebuah komoditas baru, tetapi juga menimbulkan dampak ekologis dan sosial di masyarakat. 

“Bambu mungkin baik sebagai sumber energi, tetapi tidak ada manfaat sosialnya. Bambu ini dipaksakan masuk sebagai tanaman monokultur,” katanya. 

Tarida juga menunjukkan bahwa bambu menjadi sarang ular dan menjauhkan satwa endemik seperti monyet dan trenggiling, yang biasanya berkeliaran di ladang masyarakat.

Tarida mengatakan, etos kerja masyarakat Mentawai juga menjadi salah satu hambatan dalam keberhasilan program ini. Mereka terbiasa dengan pekerjaan fisik yang berat, tetapi tidak dengan pekerjaan yang rumit seperti memotong dan mencacah bambu kering.

Kini, setelah PLTBm tidak lagi beroperasi secara maksimal, desa-desa di Mentawai seperti Madobak dan Matotonan harus mengandalkan listrik dari PLN mobile. 

Tarida mengatakan, masyarakat Mentawai memiliki hubungan yang dalam dengan lahan dan tanaman mereka. Mereka tidak mau bertaruh pada sesuatu yang tidak pasti. 

“Orang Mentawai menanam tanaman sesuai kebutuhan mereka, baik untuk ekonomi maupun sosial. Jika bambu mengganggu, mereka akan potong. Mereka sudah cukup bijak untuk memilih apa yang terbaik bagi kehidupan mereka,” pungkasnya.

Asa terang Mentawai ke depan

Warga berbelanja di sebuah warung kecil di Dusun Malelet, Desa Madobak, Kecamatan Siberut Selatan, Kepulauan Mentawai. Kegagalan proyek PLTBm dengan janji listrik 24 jam jauh dari kenyataan. Saat ini warga menikmati aliran listrik mulai pukul 5 sore, dan padam pada pukul 12 malam. (Project M/Yose Hendra)

September 2024, Gubernur Sumbar, Mahyeldi Ansharullah menyebutkan Rasio Elektrifikasi Sumatera Barat saat ini sudah berada di angka 99,9 persen. “Capaian ini mengindikasikan hampir tidak ada lagi desa atau nagari di Sumatera Barat yang tidak teraliri listrik,” ujar Mahyeldi.

Untuk wilayah Kabupaten Kepulauan Mentawai, rasio elektrifikasi per bulan Juni 2024 diklaim mencapai 99,77 persen. Namun, angka itu ditopang oleh PLTD. 

Rasio Elektrifikasi itu tidak selaras dengan fakta di lapangan. Temuan di lapangan, untuk desa-desa di pedalaman Mentawai seperti di Pulau Siberut, Sipora, dan Pagai, listrik nyala lebih banyak 6 jam, dari pukul 5 sore sampai 12 malam. 

“Listrik yang nyala 24 jam itu hanya di Tuapeijat di Pulau Sipora, Muara Siberut dan Sikabaluan di Pulau Siberut, dan Sikakap untuk Pulau Pagai,” kata Yudas Sabaggalet, mantan Bupati Kepulauan Mentawai.

“Dicurigai, perhitungan rasio elektrifikasi didasarkan pada terbangunnya proyek pembangkit listrik, bukan kondisi eksisting tersedianya akses listrik bagi masyarakat,” ujar Amalya dari Trend Asia.

Manager Komunikasi dan TJSL PLN UID Sumbar Yesi Yuliani mengatakan, ada beberapa tantangan yang ditemui dalam upaya PLN mendistribusikan listrik ke seluruh daerah di Sumatra Barat. Akses dan perizinan menuju dusun-dusun yang belum berlistrik, dan yang masuk dalam kawasan hutan, adalah beberapa tantangan yang dihadapinya. 

Saat ini, PLTS menjadi salah satu solusi alternatif energi yang merupakan energi bersih yang dapat menggantikan daerah-daerah yang saat ini masih menggunakan PLTD. 

Untuk tiga desa yang ada unit PLTBm, PLN memanfaatkan jaringan kabel listriknya. Sementara untuk mesin bersumber dari PLTD. Namun PLTD jangkauannya terbatas, karena untuk operasionalnya membutuhkan suplai bahan bakar minyak (BBM) yang ketersediaannya sangat bergantung pada keadaan cuaca dan kondisi alam.

“Suplai listrik di daerah Madobak (eks PLTBm) akan menjadi sama dengan di daerah Puro (Muara Siberut) atau menjadi full 24 jam, setelah pembangunan jaringan listrik tersebut selesai dan dapat beroperasi,” kata Yesi.

Berbekal dari pengalaman ini, Kepala Desa Madobak Yohanes justru berencana untuk mencari alternatif lain dalam penyediaan listrik bagi masyarakatnya. Salah satu opsinya adalah bekerja sama dengan Universitas Andalas (Unand) untuk mengembangkan Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH) yang memanfaatkan aliran Sungai Ugai. 

Dengan konsep mutualisme, yakni masyarakat dapat tetap menjaga hutan mereka sekaligus mendapatkan energi, sehingga dapat mewujudkan energi terbarukan yang benar-benar ramah lingkungan.

“Kami ingin memastikan bahwa masyarakat bisa menikmati listrik yang stabil, tanpa harus bergantung pada proyek yang gagal,” pungkasnya.

Apakah ini akan menjadi harapan baru bagi Madobak, dan kampung-kampung di pedalaman Mentawai? Hanya waktu yang akan menjawab. 

Terima kasih sudah membaca laporan dari Project Multatuli. Jika kamu senang membaca laporan kami, jadilah Kawan M untuk mendukung kerja jurnalisme publik agar tetap bisa telaten dan independen. Menjadi Kawan M juga memungkinkan kamu untuk mengetahui proses kerja tim Project Multatuli dan bahkan memberikan ide dan masukan tentang laporan kami. Klik di sini untuk Jadi Kawan M!

Liputan Terkait
Ronna Nirmala
21 menit