Monica (30) dan Rosita (44) sama-sama tinggal di Tanah Papua, tetapi terpaut jarak sekitar 520 km. Monic tinggal di Muting, Kabupaten Merauke. Rosita tinggal di Namblong, Kabupaten Jayapura. Di ajang konferensi Solidaritas Merauke pada 11-14 Maret 2025 di Merauke, keduanya bertemu.
Rosita punya pengalaman panjang menghadapi perusahaan sawit yang menggusur hutan di kampung halamannya. Ia merasakan langsung bagaimana pembangunan sepihak tidak membuat dirinya berdaya sebagai seorang manusia. Ruang hidupnya dirampas. Bapaknya dicap bagian dari Organisasi Papua Merdeka dan dihilangkan oleh tentara Indonesia.
(Kisah lengkap perjuangan Rosita sebagai bagian dari organisasi perempuan adat ditulis oleh Asrida Elisabeth dalam “Mama-Mama Lembah Grime Jaga Tanah Adat dari Gempuran Sawit”.)
Sementara, bagi Monic, ini adalah babak mula perjuangannya. Tanah seluas 2,6 juta hektare di Merauke akan diubah menjadi lokasi proyek pangan dan energi, atau dalam istilah negara sebagai ‘proyek strategis nasional’ food estate. Distrik Muting, tempat Monic tinggal, menjadi target pembangunan proyek cetak sawah baru seluas 1 juta ha.
Tulisan ini merangkum percakapan antara Monic dan Rosita. Monic ingin belajar dari pengalaman Rosita. Rosita antusias mau berbagi. Keduanya sepakat bahwa masyarakat adat di Tanah Papua punya hubungan erat dengan hutan. Hutan yang ditebang ibarat jantung yang berhenti berdetak.
Di sela-sela percakapan, saya ikut bertanya kepada Rosita dan Monic untuk melengkapi informasi.
Rosita: Teman, saya punya nama Rosita Tecuari, saya dari Kabupaten Jayapura. Saya dari organisasi perempuan adat (ORPA) Suku Namblong. Kalau kau pu nama siapa?
Monic: Saya punya nama Monica Ndiken. Saya dari Kampung Muting, Suku Malind.
Rosita: Kalau Kampung Muting Suku Malind itu ada di daerah mana? Kan ini Papua sudah terbagi-bagi jadi daerah otonomi baru, toh?
Monic: Ada di Distrik Muting, Kabupaten Merauke, Provinsi Papua Selatan.
Rosita: Saya mau tanya Monic. Kira-kira di tempat Monic itu seperti bagaimana? Mungkin ada masalah, kah? Atau aman-aman saja, kah? Karena sa pu tempat ada masalah.
Monic: Kami saat ini sedang dilanda persoalan. Ada perusahaan sawit yang sedang mau perluasan lahan, menambah area, dengan cara mereka mau mengambil tanah kami.
Rosita: Perusahaan apa, ya?
Monic: Perusahaan itu namanya PT Agriprima Cipta Persada. Mereka yang sementara sedang kejar-kejar kami. Kejar-kejar untuk bagaimana caranya kitong harus lepas kitong punya lahan.
Rosita: Sekarang perusahaan belum masuk, toh?
Monic: Dari semua tempat (di Distrik Muting), hanya hutan di daerah saya yang masih utuh. Sementara anggota-anggota marga lain sudah serahkan hutan ke perusahaan. Kami masih bisa ambil dari hutan, seperti kayu untuk bikin rumah, semacam papan dan balok. Juga untuk atap rumah dari daun sagu.

Apakah perusahaan ini bagian dari PSN food estate?
Monic: Mereka bukan PSN. Tapi, melalui perusahaan yang sudah ada di sana (PT Agriprima Cipta Persada), PSN itu masuk.
Jadi makanya sa dekati Kakak Rosita karena Kakak Rosita sudah banyak pengalaman melawan perusahaan. Melawan perusahaan yang menggusur hutan berhektare-hektare.
(Laporan Greenpeace pada 2018 menunjukkan PT Agriprima Cipta Persada adalah bagian dari GAMA Group yang dimiliki konglomerat sawit Martua Sitorus dan Ganda Sitorus. Martua Sitorus adalah salah satu pendiri Wilmar International.
Dalam laporan itu Greenpeace menemukan GAMA Group telah menghancurkan hutan seluas 3.600 ha melalui PT Agriprima Cipta Persada dan 3.291 hektare melalui PT Agrinusa Persada Mulia di Kabupaten Merauke sepanjang 2015-2018.
Kini Martua Sitorus mengelola PSN food estate di Merauke. Laporan Yayasan PUSAKA pada 2024 menyebutkan Martua Sitorus adalah satu dari tiga pemilik modal terbesar PSN food estate tebu dan bioetanol di Merauke. Mengendalikan 10 perusahaan yang tergabung dalam konsorsium PT Global Papua Abadi.

Meski konsesi sawit di Distrik Muting punya kaitan dengan Martua Sitorus, proyek food estate di Distrik Muting adalah proyek cetak sawah yang dikelola oleh Andi Syamsuddin Arsyad alias Isam. PSN food estate di Merauke terdiri dari tiga proyek: optimalisasi lahan (oplah) pertanian, cetak sawah baru, dan pengembangan perkebunan tebu dan bioetanol.
Proyek cetak sawah Isam mencakup pembangunan infrastruktur jalan menghubungkan Kampung Selauw di Distrik Muting dengan Kampung Wanam di Distrik Ilwayab sepanjang 135,5 km. Total, Isam bersama Kementerian Pertahanan dan Kementerian Pertanian mengelola proyek cetak sawah seluas 1 juta ha.)

Rosita: Saya ingin berbagi dengan sa punya tempat di Kabupaten Jayapura.
Kabupaten Jayapura itu ada 9 suku. Saya punya suku itu Suku Namblong. Suku Namblong terdiri dari tiga distrik: Nimboran, Nimbokrang, dan Namblong. Tiga distrik ini seperti Monic di tempat juga, ada perusahaan yang masuk. Perusahaan itu sudah mendapatkan izin sampai sudah ada HGU-nya. Itu seluas 16 ribu ha.
Tapi kitong di tahun 2022 lakukan aksi untuk tolak perusahaan tersebut, karena kitong perempuan-perempuan merasa kitong akan dapat kerugian. Biasa kitong pergi ke hutan di situ, mencari makan di situ. Ambil sayur, kayu bakar dari hutan. Kitong juga biasa ambil obat-obat untuk sakit dari hutan sebelum ke rumah sakit. Di tempat itu kan juga ada kebun-kebun.
Masyarakat Suku Namblong itu … bergantung hidup ke hutan. Seperti tadi Monic bilang Monic pu tempat, ada masyarakat pergi ambil daun sagu untuk bikin rumah, sampai dengan gabah atau pelepah-pelepah sagu juga dong ambil di hutan.
Kitong kalau bergantung ke hutan tidak kasi keluar uang. Kitong cuma pergi ke hutan, kitong ambil barang yang kitong suka. Jadi kitong perempuan menganggap hutan itu supermarket. Gudang penyimpan harta kekayaan yang sangat besar.
Jadi, kitong perempuan-perempuan itu merasa bahwa ketika hutan ini, PT Permata Nusa Mandiri ambil, diganti dengan sawit, maka kitong tidak mungkin hidup bergantung di hutan.
Kalau misalnya perusahaan ambil tanah, hutan, diganti dengan sawit, saya juga bertanya-tanya: kira-kira kebun sawit bisa kitong belah-belah jadi balok untuk bikin rumah, kah? Atau dia punya daun, itu bisa jadi pengganti daun sagu, kah? Tidak bisa. Jadi itu yang kitong berpikir untuk tolak.
Bagaimana Monic pu tempat dengan situasi kampung, apakah dorang terima perusahaan masuk atau tidak?
Monic: Menurut penglihatan saya, situasi di kampung malah enak seperti sekarang. Hutan utuh. Apa-apa yang kami perlu kami bisa ambil di hutan. Dibanding kalau hutan sudah habis, seperti kakak punya pengalaman tadi kakak cerita, berarti kita tidak akan punya apa-apa lagi. Rupanya kita harus menolak perusahaan sawit ini.

Rosita: Orangtua Monic ada atau tidak? Punya berapa saudara?
Monic: Bapak sudah meninggal dari tahun 2022. Kalau Mama masih ada. Saya punya lima bersaudara. Tiga perempuan, dua laki-laki.
Rosita: Saya tanya tidak apa-apa, toh? Kira-kira Monic punya bapak dengan mama pekerjaan sehari-hari apa, terus apa yang dong ajar buat Monic?
Monic: Pekerjaan sehari-hari bapak itu nelayan. Kalau mama, ibu rumah tangga. Jadi, tiap hari itu waktu kami masih kecil-kecil, bapak suka pergi menjaring bawa pulang ikan, lalu kami jual. Itu biasanya sa yang jual.
Bapak dulu itu pergi menjaring tidak jauh. Dekat saja, sudah bisa bawa pulang ikan 5-6 tusuk. Kami jual, kami belikan mecin, bawang, minyak tanah. Dulu kami masih pakai minyak tanah.
Lalu, biasa bapak dan mama bawa kami ke hutan. Ketika ada pohon sagu, di situ nanti kami lihat bapak dan mama kerja dorong (menebang) sagu, potong, sampai dengan nanti mama kupas pelepah sagu. Jadi hal-hal seperti itu yang dulu kami kecil diajarkan orangtua.
Rosita: Sikap bapak seperti bagaimana saat perusahaan datang?
Monic: Orang pertama yang lawan perusahaan di Muting itu bapak. Bahkan sampai berlawanan dengan sejumlah marga yang menerima perusahaan. Bahkan ada kata-kata hinaan dari orang marga yang menerima perusahaan kepada bapak.
Selama bapak bicara menolak perusahaan itu, hutan kami masih utuh. Tidak ada satu perusahaan yang bapak terima. Karena bapak waktu masih hidup itu adalah ketua marga. Jadi ketika bapak bicara untuk menolak perusahaan, semua anggota marga ikut.
Rosita: Saya juga ingin berbagi ke Monic. Kakak ada lima bersaudara, tapi yang satu meninggal. Anak pertama, perempuan. Tinggal kami empat orang. Tiga laki-laki, satu perempuan. Kalau Monic pu bapak baru saja meninggal, tapi kalau kakak, ketika umur 8 tahun, pu bapak sudah tidak sama-sama dengan kami.
Kakak pu bapak seorang aktivis lingkungan di tahun 1970-an sampai 80-an. Dorang memperjuangkan tanah wilayah adat. Mendukung orangtuanya untuk tidak kasih tanah itu ke perusahaan.
Di tempat kakak tahun 70-an itu ada perusahaan yang masuk mau tanam cengkeh. Tanah seluas 9.000 ha itu perusahaan ambil. Tapi karena tanah itu tidak cocok untuk cengkeh, dong kasih masuk transmigrasi. Di tahun 80-an di Kabupaten Jayapura, khususnya Lembah Grime, itu sudah ada transmigrasi.
Kakak pu bapak dengan sejumlah anak-anak muda berusaha melindungi orang-orang tua untuk tidak kasih dong punya tempat itu. Tapi negara gunakan tentara untuk paksa orang-orang tua, para pemimpin marga, untuk tanda tangan surat pelepasan. Tentara pukul bapak-bapak para pemimpin marga, aniaya, siksa.
Lalu, bapak dan anak-anak muda merasa tidak terima. Kenapa orang tua diperlakukan begitu? Dorang melakukan aksi protes kepada tentara.
Tapi setelah melakukan aksi protes, bapak deng teman-teman dianggap sebagai pemuda yang melawan negara. Mereka dianggap separatis atau ‘gerakan pengacau keamanan’.
Saya dapat cerita dari mama. Bapak dikejar. Satu-satunya jalan bapak dan teman-teman itu lari ke hutan. Lalu bapak dicap OPM. Sampai, kalau yang sudah berkeluarga, istrinya juga jadi sasaran tentara. Ada istri-istri yang diperkosa. Ada anak-anak yang diperkosa.
Seiring berjalan waktu, pada 80-an, sa pu bapak memutuskan untuk keluar dari hutan. Karena pada waktu itu saya baru lahir. Lahirnya di hutan lagi. Selanjutnya bapak mengabdi ke negara. Dia bekerja sebagai buruh untuk pembangunan transmigrasi. Lalu dia disuruh ikut bersama dengan tentara ke hutan untuk membantu melakukan operasi militer.
Tapi, waktu bapak sering dibawa pergi ke hutan oleh tentara, banyak siksaan. Kadang-kadang bapak dipukul. Kadang-kadang dianiaya. Sampai pernah satu kali mama bercerita bahwa bapak itu hampir dikebiri. Kelaminnya diikat dengan benang. Ini cara-cara yang tentara buat ke sa pu bapak.
Pada 1988, tentara ambil bapak pergi dengan tujuan mau melakukan operasi militer. Sampai saat ini bapak tidak pulang.
Saya tidak tahu TNI (saat itu masih bernama ABRI) bawa dia pergi ke mana. Kami tidak tahu. Yang kami tahu bapak sementara bekerja untuk negara. Saya punya bapak mengabdi untuk negara, sampai hari ini dia belum pulang. Jadi, negara harus bertanggung jawab.

Bagaimana hubungan Rosita dan Monic dengan hutan?
Rosita: Dari kecil cuma hutan dengan tanahnya yang kasih makan saya. Bukan negara. Karena kehidupan saya, saya merasa seperti saya tidak punya bapak, saya tidak punya siapa-siapa. Yang saya punya cuma mama.
Karena mama hidup sendiri, dia bergantung ke hutan sepenuhnya. Cari kayu bakar, sayur, sagu. Mama bertahan hidup untuk menghidupi kami sampai kasih kami sekolah itu dengan cara seperti begitu. Saya merasa, dari kecil, cuma hutan yang bisa jaga saya.
Saya cuma merasa nyaman ketika saya ada di dekat pohon. Duduk, tidur, atau berlindung sejenak di bawah pohon. Saya merasa pohon itu adalah sosok yang bisa menenangkan saya. Mungkin dia bapak saya.
Pohon apa saja. Tanaman juga. Bunga. Sayur-sayuran. Saya akan berbagi cerita dengan mereka. Ketika saya rasa berat dengan masalah pekerjaan, masalah dalam rumah, saya akan pergi berbagi. Saya cangkul tanah. Saya tanam tanaman. Saya berbagi cerita saya kepada tanaman. Saya merasa bahwa mereka itu satu-satunya yang bisa mendengar apa yang saya alami. Dan itu kebiasaan saya dari kecil.
Kalau saya melihat pohon ditebang, saya menangis. Karena saya merasa ada sosok yang hilang dari saya. Bagi saya, pohon adalah tempat perlindungan saya. Orang akan berpikir, Ih, pohon kan bukan Tuhan. Iya. Tapi saya merasa lega ketika saya duduk menyanyi, memuji Tuhan, di bawah pohon.
Monic: Apa yang diceritakan Kakak Rosita, saya juga rasakan. Saya merasa nyaman ketika di hutan. Kami itu orang Papua misalnya ada sakit seperti flu, ketika kami sampai di hutan, hirup udara yang ada di hutan, tubuh kami menjadi ringan. Ketika kami pulang ke rumah, kami merasa penyakit kami itu sudah tinggal di hutan.
Rosita: Tertinggal di hutan.
Monic: Iya. Ada perbedaan antara suasana di kampung dengan di hutan. Seperti tadi Kak Rosita bilang apa yang kakak rasa beban dalam hidup, itu kita bawa sampai ke hutan, berbagi dengan alam, alam itu yang mengeluarkan kita punya beban. Itu memang benar.
Kalau saya di sana, Kakak Ros, saya biasa bicara dengan burung. Jadi, ketika ada burung bersuara, saya sambung. “Bagaimana? Apa kabar? Jaga saya, ya. Kasih saya rezeki.” Tong jawab. Begitu. Jadi memang kita punya satu… apa ya?
Rosita: Kedekatan khusus.
Monic: Kedekatan khusus dengan hutan, dengan alam. Bahkan, tidak hanya dengan tumbuhan. Dengan binatang juga. Jadi hubungan kita manusia Papua ini dengan alam itu sangat erat.
Bahkan, contohnya, kakak. Waktu itu saya dan mama sedang di hutan. Ada ular berbisa menghalangi jalan. Tidak mau geser. Mama bicara dengan dia, ‘Kami ini mau lewat. Kasih jauh (pergi) saja. Jangan di depan kami. Terima kasih kalau kau memang mau kasih tanda. Tapi kami tidak bikin apa-apa. Kami mau pulang.” Ular itu langsung pergi.
Makanya, ketika hutan itu habis, kita pikir dua kali lipat. Beda dengan orang yang hidupnya tidak dengan hutan, tidak dengan alam. Jadi memang yang Kak Rosita bilang itu betul. Kami akan pertahankan hutan kami. Itu pasti.

Rosita: Kakak mungkin ingin sampaikan sedikit perasaan kakak sebagai perempuan Papua. Mungkin bukan juga perempuan Papua, tapi perempuan adat.
Bagi kami, tanah itu seperti seorang ibu yang merawat sebuah kehidupan. Karena dari tanah kami akan bercocok tanam untuk mendapatkan makanan sehari-hari. Tanah juga yang kemudian akan menyimpan jasad kita ketika kita meninggal.
Monic: Dari tanah, kembali ke tanah.
Rosita: Terus, kalau hari ini kita jual tanah sampai habis, di mana tempat kita bisa merawat kehidupan? Ibarat seorang ibu yang melahirkan, menyusui, membesarkan, dan mendidik anak sampai dia menjadi orang yang berguna bagi sesama, bagi saya hutan itu adalah sebuah kehidupan.
Seperti jantung yang berdenyut, setiap denyutannya memberikan kehidupan yang luar biasa. Ketika saya melihat hutan itu ditebang, rasanya seperti jantung saya mau berhenti.
Cuma hutan, tanah, dan satwa adalah teman yang baik. Orangtua yang baik. Yang baik bukan negara. Yang baik bukan food estate. Yang baik cuma Tuhan dan ciptaannya yang terus saling menjaga. Hutan sudah menjaga kami dengan memberikan kehidupan. Terus apa balasan kami kepada hutan?
Monic: Sebenarnya saya takut. Ketika kita jual hutan ke perusahaan, bukan hanya nanti anak cucu yang susah. Hutan itu, kan, Tuhan yang ciptakan. Kita tidak bantu Tuhan Allah bikin tanah. Kita tidak bisa. Ketika kita kasih jual ke orang lain, itu jadi dosa besar yang kita buat.
Rosita: Mungkin ini sa berbagi sa punya pengalaman, toh? Mungkin nanti Monic pulang. Monic sampaikan ke bapak-bapak dorang, jangan sampai kitong dapat tipu. Karena pasti nanti dong (perusahaan) tipu.
Sebelum PT Permata Nusa Mandiri, sudah ada perusahaan sawit lain di tempat kami. Orang-orang tua kami dulu dapat tipu: nanti dibikinkan rumah bagus, anak-anak kitong dikasih sekolah sampai jadi sarjana. Tapi, ternyata orang-orang tua harus kerja dulu jadi buruh sawit untuk bisa kasih anak sekolah.
Sedangkan mereka sendiri tidak punya kebiasaan untuk pergi apel pagi, kerja sampai sore, pulang malam. Mereka punya anak-anak tidak sekolah karena perusahaan memecat mereka. Bilang mereka orang malas.
Jadi sa berpikir kalau perusahaan janji mau kasih sekolah anak-anak dengan cara kitong bekerja dulu, itu sama saja kitong bukan pemilik tanah. Makanya perusahaan di Namblong kitong tolak.
Saya dengar di Merauke itu paling banyak pasukan tentara yang diturunkan. Dorang yang pegang alat untuk kerja di lapangan. Kalau ada perlakuan dari tentara untuk mengambil paksa, Monic punya hak untuk melapor.
Karena saya takut apa yang terjadi di Namblong pada 70-an terjadi di Muting sekarang. Militer yang paksa pemimpin-pemimpin marga untuk kasih tanda tangan sebagai bukti pelepasan.
Pemimpin-pemimpin marga itu dipukul. Ada beberapa orang itu mulutnya dikasih masuk ujung senjata, disuruh gigit kuat-kuat, lalu senjata ditarik sampai semua gigi rontok. Ini hal-hal yang pernah terjadi pada 70-an.
Terus, tentara juga pakai perempuan, menjadikan perempuan itu… budak seks. Perempuan menjadi korban pelecehan seksual. Diperkosa. Anak-anak perempuan diperkosa. Saya tidak kasih tahu Monic untuk saya kasih takut-takut Monic. Itu situasi yang pernah terjadi di tempat kami.
Jadi ini pengalaman yang saya bagi. Jangan tunggu sampai terjadi kekerasan fisik. Tindakan pemaksaan tanda tangan itu pun sudah masuk sebagai kekerasan. Apalagi kalau sudah teror-teror perempuan.

Apakah Rosita dan Monic punya pesan ke satu sama lain?
Rosita: Monic harus kuat. Monic harus melakukan gerakan kecil di kampung. Monic harus punya teman-teman perempuan yang punya pemikiran sama seperti Monic.
Selain perempuan, Monic juga butuh pemuda yang bisa bersama-sama bersuara. Tapi, perempuan-perempuan yang dewasa jangan sampai Monic tinggalkan. Harus ada perempuan-perempuan dewasa yang nanti memberikan dukungan dan penguatan kepada Monic.
Monic harus selalu menyampaikan berulang-ulang (meyakinkan masyarakat untuk mempertahankan tanah), tapi jangan Monic yang bicara. Kalau bapak atau mama itu suka makan pinang, ajak bercerita saja, sambil mendengarkan kira-kira dia punya pikiran bagaimana tentang kehidupan hari ini. Tentang perusahaan. Pancing-pancing cerita.
Melakukan konsolidasi itu sangat penting untuk kitong tahu punya kekuatan.
Monic juga harus punya cara bagaimana mendekati para pemimpin marga. Monic jangan takut ketika dapat penolakan. Ketika kitong datang ke rumah pemimpin marga, berbicara, lalu dia bilang, “Saya tidak butuh kau anak kecil untuk bicara sama saya.” Tidak apa-apa. Itu hal biasa. Pasti dia akan duduk dan merenungkan sendiri. Ketika dorang mendengar, itu sudah lebih dari cukup.
Kira-kira, dengan kitong berdua tadi cerita, Monic punya harapan atau tidak?
Monic: Harapan saya setelah dari tempat ini, saya akan pulang dan saya akan laksanakan apa yang sudah dibagikan oleh Kakak Rosita. Tolak perusahaan. Itu komitmen saya.
Mereka masuk itu menganggap dorang yang berkuasa, dorang yang punya tempat, punya tanah, jadi apa pun yang dong buat untuk kita itu tetap dong akan berbuat semena-mena.
Rosita: Jadi penguasa.
Monic: Begitu. Hanya itu saja satu. Saya sebagai perempuan, apalagi tadi Kak Rosita pesan, kita harus kuat. Dan kita harus rendah hati. Bukan berarti kita diremehkan, tapi kita berpatokan kepada firman Tuhan, kepada Injil, kepada Yesus, untuk rendah hati.
Rosita: Saya juga punya harapan. Sebenarnya bukan kita tidak mau pembangunan. Saya dengan Monic bicara-bicara jangan sampai pemerintah berpikir bahwa, Oh, ternyata ini orang-orang yang anti-pembangunan.
Padahal kitong mau pembangunan. Semua orang pasti mau pembangunan. Tapi saya mau pembangunan yang betul-betul diterima oleh masyarakat, ramah lingkungan, dan melihat keberlanjutan untuk generasi yang akan datang.
Ketika saya bertemu dengan Monic dan beberapa perempuan dari tempat-tempat lain, saya berharap mereka menjadi perempuan-perempuan yang hebat dan tangguh. Persoalan yang kita hadapi ini bukan persoalan kecil.
Saya berdoa selalu ke Tuhan agar Tuhan kasih perempuan-perempuan kekuatan untuk menjaga wilayah adat mereka. Jika suatu saat Tuhan membawa saya pergi, ada perempuan-perempuan lain yang muncul untuk membela masyarakat adat.
Saya yakin, di setiap kampung, kami ada. Itu doa saya.
Di pengujung acara Solidaritas Merauke, Monic berdiri di depan panggung membacakan “Deklarasi Solidaritas Merauke”. Di sisi kiri dan kanannya berdiri para masyarakat adat terdampak proyek Strategis nasional dan proyek-proyek pembangunan pemerintah Indonesia dari Tanah Papua maupun berbagai wilayah lain di Indonesia.

Deklarasi Solidaritas Merauke
Deklarasi ini adalah hasil kerja bersama kami gerakan Solidaritas Merauke. Naskah ini dirumuskan setelah kami saling berbagi cerita tentang derita dan trauma kolektif yang disebabkan kejahatan negara-korporasi, terutama atas nama Proyek Strategis Nasional, yang menduduki dan merampas ruang hidup serta menistakan apa-apa yang kami sucikan.
Kerusakan dan kepunahan kehidupan, sistem pengetahuan, dan spiritualitas asli kami terus meluas. Kami kehilangan jati diri, ingatan menyejarah siapa kami, tempat-tempat suci kami, kekerabatan kami dengan tanah dan alam. Begitu juga sumber pangan, sumber obat-obatan, sumber mata pencaharian dan kemandirian pekerjaan. Di atas itu semua, kami mengalami diskriminasi, kerja paksa, kekerasan fisik, intimidasi dan kriminalisasi. Malapetaka ini patut disebut sebagai keadaan darurat bagi keselamatan rakyat.
Jelas sekali bahwa derita dan malapetaka berkelanjutan ini adalah cerminan dari penjajahan yang hanya dipoles permukaannya lewat tambal sulam peraturan perundang-undangan. Ironis sekali bahwa di hadapan perampokan kekayaan rakyat, pemaksaan dan penggunaan kekuatan hukum, kekuasaan politik, ekonomi, dan militer, janji-janji palsu kemakmuran, perusakan tubuh manusia dan penghisapan manusia atas manusia, rakyat hendak dihibur dengan “makan bergizi gratis”.
Kami, Solidaritas Merauke, menyatakan menolak sepenuhnya akal bulus perampasan kekayaan rakyat lewat pembaruan kebijakan. Kami menuntut penghentian total Proyek Strategis Nasional serta proyek-proyek atas nama kepentingan nasional lainnya yang jelas-jelas mengorbankan rakyat. Pelaku kejahatan-negara-korporasi wajib mengembalikan semua kekayaan rakyat yang dicuri dan segera memulihkan kesehatan dan ruang hidup rakyat di seluruh wilayah yang dikorbankan atas nama kepentingan nasional.
Tidak ada pulau yang terlalu besar atau terlalu kecil untuk rusak bentang alamnya. Apabila tanda-tanda mencolok atas malapetaka ini diremehkan, sudah pasti akan ada percepatan pembesaran kekacauan sosial-ekologis yang belum pernah terjadi di sepanjang sejarah kepulauan dari Papua sampai Sumatera.
Satu Kekuatan! Satu Perjuangan! Rawat Kehidupan!
Baca cerita lainnya dalam serial yang sama: Doa untuk Mama di Merauke: “Ketika Mama Menangis, Kami juga Menangis.”