Perempuan Pekerja Migran dan Perangkap Narkotika Berujung Eksekusi Mati

Ronna Nirmala
20 menit
Ilustrasi ancaman eksekusi mati Merry Utami. (Project M/Herra Frimawati - di bawah lisensi Creative Commons BY-NC-ND 2)

DUA telepon genggamku berbunyi tanpa jeda sejak subuh pada satu hari di bulan Juli, enam tahun silam. Aku berniat mengabaikannya. Panggilan itu muncul pada hari Minggu, waktu untuk beristirahat bersama keluarga, waktu untuk aku bangun lebih siang dari biasanya.

Dering yang tak kunjung berhenti membuatku akhirnya beranjak keluar kamar, berjalan ke arah ruang keluarga, dan mengangkat telepon yang masuk. Telepon pertama datang dari salah satu petugas di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Tangerang yang cukup dekat dengan Mama.

“Sudah dapat info dari Ibu Tuti?” tanyanya lewat sambungan telepon dengan suara yang bergetar dan patah-patah. Ibu Tuti adalah Kepala Lapas. Aku menjawab belum.

Masih dengan suara bergetar, ia membalas, “Oh, Ibu Tuti aja deh nanti yang ngabarin.”

Selepas perbincangan itu, aku kembali menerima panggilan pada telepon lainnya. Kali ini dari salah satu temanku. Tanpa basa-basi, ia langsung memintaku menyalakan televisi, “Dev, lihat TV deh sekarang!”

Tubuhku seketika lemas melihat ada Mama di salah satu tayangan berita di televisi. Banyak kata-kata muncul di layar yang tak mampu untuk langsung aku cerna. “Ratu heroin Merry Utami dipindahkan ke NK“, “regu eksekusi“, hingga “daftar eksekusi jilid III”.

NK adalah Nusa Kambangan, penjara dengan pengamanan ekstra ketat di salah satu pulau di selatan Cilacap, Jawa Tengah, yang juga biasa menjadi lokasi hukuman mati bagi narapidana dengan kejahatan ‘kelas kakap’.

Aku membatin. Apa itu eksekusi jilid III? Jilid satu dan dua saja, tak pernah aku ikuti.

Segalanya langsung terasa kabur. Tubuhku melemas sembari duduk memandangi layar televisi dan berpikir, “Mama sudah tak ada. Mama sudah dieksekusi”. Apalagi, aku tak pernah benar-benar memahami secara utuh apa yang selama ini terjadi pada Mama.

* * *

Bagiku, ingatan soal Mama layaknya bermain puzzle. Aku hanya mampu mengingat serpihan memori bersama Mama sewaktu kecil.

Mama bernama Cahyawati. Di keluarga, maupun di kampung di Sukoharjo, Jawa Tengah, Mama akrab dipanggil Menul. Aku anak keduanya. Namaku Devy Christa.

Salah satu memori yang paling teringat adalah saat Mama menggowes sepedanya sembari membonceng aku di bagian depan sepeda dan Mas Yossi Agaestyanto, kakakku, di kursi belakang. Saat itu, kami diajak Mama mengantarkan telur asin buatannya untuk dijual di warung dekat rumah.

Ingatan lainnya adalah Mama orang yang tegas. Ia tak suka bila aku dan Mas Yossi kotor dan bermain hujan-hujannya.

Memori lainnya? Atau bagaimana keseharian mama? Aku lupa.

Tak banyak yang ku ingat karena waktu yang aku habiskan bersama Mama sewaktu kecil tak banyak. Tahun 1998, saat aku memasuki usia 7 tahun, Mama harus pergi mencari uang untuk pengobatan jantung Mas Yossi.

Saat itu, Mama dan Bapak perlu mengumpulkan sedikitnya Rp90 juta untuk biaya operasi jantung demi memperpanjang usia Mas Yossi, setidaknya hingga usia 20 tahun. Mas Yossi kala itu berusia 9 tahun.

Sulit untuk mengumpulkan uang dalam jumlah tersebut bila hanya mengandalkan penghasilan Bapak yang seorang guru dan Mama dengan kerja serabutannya, mulai dari potong rambut hingga menjual telur asin.

Mama kemudian memutuskan untuk pergi meninggalkan kampung. Bapak bilang kalau Mama hendak bekerja di Sidoarjo, Jawa Timur.

Kami bertiga sempat mengunjungi Mama di tempat kerjanya kala itu, di Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesia (PJTKI). Saat kami temui, tampilan Mama sudah berbeda. Mama yang biasanya memiliki rambut panjang terikat, kini rambutnya pendek. Perbincangan kami cukup singkat, Mama, salah satunya, menanyakan perkembangan sekolahku dan Mas Yossi.

Ternyata Mama tak seterusnya berada di Sidoarjo. Bapak menjelaskan Mama berada di sana hanya untuk mengikuti pelatihan selama tiga bulan. Setelahnya Mama pergi jauh, hingga ke Taiwan.

Awal-awal ketibaannya di Taiwan, komunikasi kami dengan Mama berjalan sangat lancar. Meski jauh, aku selalu merasa Mama ada untukku. Setiap bulan, Mama pasti menelepon ke rumah. Mama juga sering mengirimkan surat untuk kami. Biasanya, Mama mengirimkan dua surat terpisah. Satu surat untuk Bapak, satu surat untuk aku dan Mas Yossi.

Hal yang tak pernah absen ia tanyakan baik lewat telepon maupun surat adalah perihal kabar sekolah dan menyemangati untuk terus belajar. Di luar dari itu, Mama juga sering menyampaikan ke aku dan Mas Yossi agar tetap akur satu sama lain, dan tidak nakal. Surat-surat dari mama aku kumpulkan dan simpan dengan baik.

Namun, entah apa yang terjadi, tahun 2001, Mama tiba-tiba berhenti mengirimkan surat dan telepon. Ketika itu, aku sudah duduk di kelas empat sekolah dasar (SD). Seringkali selepas pulang sekolah, aku duduk di samping telepon rumah, berharap benda itu berdering, dan berharap orang yang berada di ujung telepon satu laginya adalah Mama.

Selepas beberapa bulan berjalan tanpa adanya komunikasi, aku tak lagi memandangi telepon selepas pulang sekolah. Aku memilih bermain dengan teman-teman sekitar rumah. Ada pula hari-hari aku langsung menonton televisi selepas pulang sekolah.

Hingga pada suatu siang, acara menonton televisi di rumah tiba-tiba berakhir dengan suasana berbeda. Ketika itu ada Bapak, Mas Yossi, adik sepupu, hingga Mbah Kung dan Mbah Uti. Di tengah acara, muncul berita mengenai perempuan bernama “Merry Utami”. Aku sempat memandangi perempuan itu di layar, dan entah mengapa, perawakannya sekilas mirip dengan Mama.

Tanpa sempat untuk melihat beritanya secara utuh, aku, Mas, dan adik sepupu langsung dibawa Bapak ke kamar. Kami tak memahami apa yang terjadi dan tak berani untuk menanyakannya meski aku sempat melihat Mbah Uti tiba-tiba menangis. Kejadian itu berlalu begitu saja tanpa ada yang benar-benar membahasnya kembali.

Akan tetapi, tak berselang lama, Mama kembali menelepon. Hanya saja jalinan komunikasi itu tak lagi sama. Surat-surat tetap tidak pernah hadir lagi. Setelahnya, telepon menjadi jarang. Kalaupun ada, pembicaraan antara kami hanya akan berlangsung sangat singkat.

Saat memasuki awal sekolah menengah pertama (SMP), aku menemukan potongan koran di laci Bapak yang mengisahkan kronologi kasus “Ratu Heroin, Merry Utami”. Aku tak begitu paham mengenai apa kasusnya, tetapi ada beberapa hal yang pahami saat itu: Merry Utami adalah Mama; Mama memiliki pacar baru; Mama jahat.

Lagi-lagi, dengan posisi keluarga kami yang tak pernah membahas masalah yang terjadi, aku memendam pemikiranku mengenai Mama. Aku tak pernah mengonfirmasi apa yang sebetulnya terjadi, pun mengisahkannya ke sembarang orang. Apalagi, hubungan Mama dan Bapak sudah tak lagi harmonis.

Aku marah ke Mama. Bagiku semua sudah terungkap, ia tak lagi sering memberi kabar karena sudah memiliki laki-laki baru.

* * *

November tahun 2004, Bapak tiba-tiba mengajak aku dan Mas Yossi menjenguk Mama. Katanya, Mama sudah pulang dari Taiwan dan kini bekerja di Jakarta. Sebelum sempat menjenguk Mama, Mas Yossi meninggal pada Desember 2004.

Cita-cita awal Mama untuk pergi dan bekerja di luar negeri sebagai pekerja migran untuk membiayai operasi jantung Mas Yossi tak pernah benar-benar terjadi. Mama juga tak menghadiri upacara kematian Mas Yossi.

Ketidakhadiran Mama membuatku tumbuh menjadi anak yang tertutup dan penyendiri. Kesendirian itu semakin menjadi sejak kepergian Mas Yossi. Tak ada teman cerita mengenai masalah yang kuhadapi di sekolah. Tak ada orang yang mengajarkanku mengenai bagaimana cara menghadapi hari pertama menstruasi.

Kepergian Mas Yossi juga membuat Bapak semakin terpuruk. Aku merasa selama ini Mas Yossi adalah anak kesayangannya. Semua permintaannya selalu dituruti yang tak jarang membuatku begitu iri. Tapi kemudian aku sadar, Bapak ingin memberikan segalanya karena tahu Mas Yossi tak bisa memiliki umur yang panjang.

Beberapa bulan selepas kepergian Mas, aku menagih janji kepada Bapak untuk menemui Mama.

Sekitar bulan Maret atau April 2005, Bapak menepati janjinya. Suasana yang Bapak sampaikan sebagai tempat Mama bekerja terasa sangat tidak nyaman dan mencekam. Di bagian depan gedungnya tertulis “Lembaga Pemasyarakatan”, nama yang betul-betul asing bagiku.

Di ruang tunggu berjejer orang-orang yang juga tengah menunggu bertemu kerabat mereka. Dari kejauhan, aku melihat ada seorang perempuan melihat ke arahku sembari menangis.

Aku bertanya pada Bapak, “Itu siapa, kok menangis?”

“Ya, itu ibumu,” balasnya singkat.

Aku sama sekali tak mengenali wajah Mama. Terakhir kali aku melihat wajah Mama adalah tujuh tahun yang lalu. Mama menghampiri dan langsung memelukku. Selepas itu, ia menanyakan, “Bagaimana sekolah?”

Entah mengapa, aku merasa mati rasa saat itu. Tak ada lagi chemistry sebagaimana yang kubayangkan bisa terjadi saat anak dan ibu saling bertemu setelah terpisah lama.

Aku hanya membalas pertanyaan-pertanyaan Mama saja, tanpa berbalik menanyakan apa pun. Di situ aku hanya merasa bingung, apa yang perlu aku sampaikan? Apa yang perlu aku tanyakan? Apa yang perlu aku ketahui? Aku tak sanggup menuangkan segala dugaanku tentang Mama.

Selang beberapa tahun kemudian, kepingan informasi mengenai Mama semakin banyak terkumpul. Aku mulai memahami bahwa lembaga pemasyarakatan adalah penjara, dan Mama harus mendekam di sana. Aku juga tersadar saat komunikasi dengan Mama mulai terputus, berarti Mama sudah berada dalam tahanan. Aku juga menyadari momen Mama mulai menelepon kami lagi karena adanya akses komunikasi terbatas yang disediakan di lapas.

Sekalipun, aku tetap tak memahami apa yang sebetulnya terjadi pada Mama, apa yang menyeretnya ke penjara. Aku pun tak berani untuk membuka percakapan ke siapa pun mengenai itu.

Memasuki sekolah menengah akhir (SMA), aku semakin sering mengunjungi Mama sendirian dengan menggunakan kereta. Aku juga semakin terbuka ke Mama mengenai keseharianku, aktivitasku di sekolah. Namun, keterbukaan itu tetap tidak membuat Mama mau bercerita perihal kasusnya.

Sejak duduk di SD, sebetulnya aku sudah mengalami perundungan, baik oleh teman seangkatanku maupun orang-orang dewasa di sekitar rumah. Perundungan yang terjadi sering berkaitan dengan kondisi keluarga, termasuk Mama. Namun, aku belum memahami apa yang benar-benar terjadi.

Semakin dewasa, aku menyadari bahwa orang-orang di kampung juga mengetahui kondisi Mama yang dipenjara. Beberapa di antara mereka tak segan menghina Mama dan keluargaku. Kondisi itu membuatku menjadi remaja yang penuh emosi terpendam.

Tahun 2009, ibunya Mama meninggal dunia. Mama tak mendapat izin untuk bisa menghadiri pemakamannya. Pada saat yang sama, aku menyadari bahwa Mama banyak melewatkan momen-momen terakhir dengan orang-orang terdekatnya, termasuk di antaranya anak dan ibunya sendiri.

Tersusunnya Teka-Teki Kisah Mama

Pukul 07.00, Juli, 2016. Dalam keadaan tubuhku yang masih lemas di sebelah kulkas sambil memandangi berita di televisi terkait eksekusi Mama, telepon kembali berdering. Kali ini dari Kejaksaan Negeri (Kejari) Kota Tangerang.

Mereka mengatakan Mama sedang dalam perjalanan menuju Nusa Kambangan untuk persiapan eksekusi dan meminta pihak keluarga untuk berangkat ke Cilacap.

Aku tak pernah mengetahui bahwa ternyata selama ini Mama terseret masalah penyelundupan narkotika. Aku pun tak pernah mengetahui bahwa selama ini vonis yang Mama dapatkan adalah hukuman mati.

Kok bisa-bisanya Mama menyimpan semua informasi ini selama  bertahun-tahun dari kami? Dari aku? Aku, satu-satunya orang yang sering mengunjungi Mama?

Tak sempat untuk benar-benar mempertanyakan segalanya, aku langsung menyampaikan permintaan Kejari ke salah satu anggota keluargaku. Aku memintanya ikut berangkat ke Cilacap, untuk menemani sambil membantu menjaga dua anakku yang masih berusia empat tahun dan dua bulan.

Sekitar pukul 9 pagi, kami melaju menggunakan mobil ke arah Cilacap. Kami pergi tanpa benar-benar mengetahui tujuan kami. Pokoknya yang terpenting kita sampai ke Cilacap terlebih dahulu.

Kami menginap di salah satu hotel kecil di Cilacap. Aku hanya ingin sesegera mungkin bertemu Mama di titik itu.

Malam itu, banyak sekali pihak yang menemui kami, salah satunya perwakilan Komisi Nasional (Komnas) Perempuan. Ketika itu kami baru tahu kalau Mama sebetulnya memiliki pengacara.

Selang beberapa waktu kemudian, perwakilan Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM) menemuiku dan menawarkan pendampingan untuk Mama secara gratis. Akan tetapi, kami perlu mendapatkan persetujuan terkait peralihan advokasi dari pengacara lamanya.

Dari perbincangan dengan LBHM, aku baru mengetahui apa yang sebetulnya terjadi pada Mama. Segala serpihan puzzle yang hilang selama belasan tahun seolah langsung terkumpul membentuk gambaran yang lebih utuh.

Kronologi kasus pun terungkap. Semula Mama berangkat ke Taiwan untuk menjadi pelayan seorang lanjut usia (lansia) di sana. Ketika lansia itu meninggal dunia, Mama beralih profesi menjadi koki.

Dua tahun bekerja di Taiwan, Mama dan Bapak berselisih.Salah satunya lantaran uang hasil kerja yang dikirimkan Mama disalahgunakan Bapak. Mama dan Bapak memutuskan berpisah.

Tahun 2001, kontrak kerja Mama nyaris berakhir. Akan tetapi, Mama masih ingin mencari nafkah di Taiwan. Agen penyalur menyarankan Mama untuk mengganti namanya menjadi Merry Utami untuk mempermudah proses administrasi. Di situ lah Mama bersepakat mengganti namanya dari Cahyawati menjadi Merry Utami.

Di tengah proses pergantian nama itu, Mama bertemu seorang laki-laki bernama Jerry yang mengaku berasal dari Kanada. Jerry menjanjikan Mama banyak hal, termasuk kehidupan yang lebih baik. Secara perlahan, Mama pun dibuat bergantung secara finansial kepada Jerry, hingga akhirnya mereka membangun relasi romantis.

Jerry mengajak Mama untuk berlibur ke Nepal. Keterbatasan finansial membuat Mama banyak bergantung pada Jerry. Hingga saatnya Jerry mengaku bahwa dirinya perlu berangkat ke Jakarta untuk keperluan bisnis. Ia meminta Mama untuk ikut, tetapi menyusul pada hari yang berbeda.

Ketika hendak berangkat, Jerry meminta Mama untuk turut serta membawakan tas yang dititipkan kenalannya ke Jakarta. Kenalannya bernama Muhammad dan Badru. Mama sempat menanyakan mengapa tasnya berat. Namun, Mama justru dibalas dengan, “Ini itu bukan tas berat, tetapi tas bagus. Kamu itu nggak pernah pakai tas bagus sih”.

Oktober 2001, Mama tiba di Bandara Internasional Soekarno-Hatta, Tangerang, dengan turut membawa tas tersebut. Petaka terjadi saat tas melintasi mesin X-Ray. Tas itu yang kemudian membuat petugas menahan Mama. Mereka menunjukkan di hadapan Mama bahwa tas itu berisi bubuk putih alias heroin dengan berat hingga 1,1 kilogram.

Ilustrasi Merry Utami diperdaya sindikat narkotika. (Project M/Herra Frimawati – di bawah lisensi Creative Commons BY-NC-ND 2)

* * *

Mama diduga mengalami sejumlah penyiksaan dalam proses interogasi dan pemeriksaan oleh kepolisian, seperti yang juga disampaikan Komnas Perempuan. Ia diduga dipukul, dilecehkan, hingga diancam diperkosa. Dalam keadaan yang tertekan secara psikologis, Mama menandatangani berita acara pemeriksaan (BAP) tanpa benar-benar memahami dokumennya secara detail.

Sejak itu, Mama langsung diproses hukum karena kepemilikan narkotika.

Pada 20 Mei 2002, pengadilan memvonis Mama dengan hukuman mati. Mama kemudian mengajukan kasasi karena putusan banding ditolak Pengadilan Tinggi Bandung pada 18 Juli 2003. Akan tetapi, Mahkamah Agung juga menolak kasasinya.

Tak puas, Mama akhirnya mengajukan Peninjauan Kembali (PK) ke Pengadilan Negeri Tangerang pada Oktober 2013. Upayanya tetap gagal. Agustus 2014, pengadilan menolak PK tersebut.

Namun, Mama baru menerima salinan putusan PK pada 25 Juli 2016, beberapa hari jelang eksekusinya.

Rangkaian kronologi ini membuatku meyakini satu hal tentang Mama: ia orang yang sangat kuat.

Bagaimana bisa seorang manusia bertahan di balik jeruji penjara selama belasan tahun dengan mengetahui bahwa dirinya akan dieksekusi? Bagaimana bisa Mama memendam masalah sebesar itu hanya pada dirinya sendiri? Bagaimana Mama mampu memendam segala masalah itu, tanpa meminta tolong ke keluarganya yang tersisa, ke aku?

Tekadku untuk menemui Mama semakin kuat.

Kami akhirnya menyeberang ke Nusa Kambangan. Pengamanan yang ekstra ketat membuat kami harus diperiksa dalam keadaan telanjang. Setelahnya, aku diminta menandatangani surat pernyataan dari keluarga yang menyetujui eksekusi terhadap Mama.

Hari-hari itu, aku tak berhenti menangis. Segala sesuatu di sekitarku rasanya tak benar-benar nyata. Satu hal yang terngiang di kepalaku hanyalah aku ingin bertemu Mama sebelum eksekusi berjalan.

Percakapan Terakhir Sebelum ‘Eksekusi’

Kami semua duduk di aula yang sangat besar.

Di sisi kiri kami ada Freddy Budiman, gembong narkotika yang divonis mati karena kepemilikan 1,4 juta pil ekstasi yang diselundupkan dari China. Ia duduk bersama keluarganya. Di sisi seberang kami adalah Zulfiqar Ali, warga negara Pakistan yang juga divonis mati karena kepemilikan 300 gram heroine.

Sementara tepat di hadapanku, ada Mama yang duduk dengan tenang dan tersenyum ke arah anak-anakku. Mama mengambil bayiku yang berusia dua bulan dan memangkunya. Tak ada kata-kata yang mampu keluar dari mulutku. Air mata pun tak berhenti mengalir.

“Sudah sih, Vi, nggak usah nangis. Mama saja bangga loh, bahagia, mau ketemu Tuhan,” ujar Mama menenangkanku.

Mama memang sosok yang sangat religius. Keimanannya kuat. Ia percaya akan mukjizat. Mungkin itu juga yang membuatnya menjadi seorang ibu kuat dan tangguh.

“Malu tuh sama anakmu, dia aja nggak nangis,” ujar Mama sembari bercanda denganku.

Mama begitu senang memangku bayiku. Rasanya, ujar Mama, seperti memangku anaknya sendiri, Mas Yossi. Apalagi, wajah anakku memang mirip dengan almarhum.

Pada hari itu, Mama melepas kami dengan ikhlas meski aku tak kunjung berhenti menangis. Sepanjang pertemuan itu, aku merasa seperti Mama sudah tak ada.

Mama hadir di tidurku malam itu. Ia muncul dalam bentuk bayangan. Kemudian, seperti ada cahaya silau dari belakangnya yang menarik Mama untuk menjauh dariku. Lagi-lagi aku terbangun dengan perasaan bahwa Mama sudah tak ada.

Hari berikutnya, aku berencana menyiapkan pemakaman untuk Mama. Tanpa diduga, ternyata keluarga menolak untuk menerima jenazah Mama dengan alasan kepercayaan dan kasus Mama. Hanya ada satu keluarga Mama yang kerap memberikan dukungan atas situasi ini.

Pada waktu yang bersamaan, pihak keluarga yang lain juga menelepon. Ia marah karena banyak wartawan yang datang ke rumahnya untuk menanyakan seputar kasus Mama.

“Vi, bilang ya sama mamamu, bisa gak nggak ngerepotin keluarga, nggak bikin malu keluarga? Itu lihat di rumah, banyak banget wartawan. Gimana coba ngusirnya?” ujarnya lewat sambungan telepon.

Aku tak lagi punya energi membalas kemarahan keluarga. Ketika itu, aku hanya berfokus untuk mencari lokasi alternatif pemakaman di dekat rumah.

Di titik itu, aku menyadari bahwa Mama memang benar-benar sendiri. Tak ada siapa pun yang Mama miliki selain aku. Sementara, aku pun merasa tersesat sendirian.

Eksekusi dijadwalkan berlangsung pada hari Jumat, 29 Juli 2016. Sebelum pelaksanaannya, keluarga masih diberi kesempatan untuk bertemu dengan Mama. Dalam pertemuan itu, Mama memberikan kertas yang berisikan lima permintaan terakhir.

Mama minta dibelikan kutek dan lipstik. Mama juga ternyata sudah menyiapkan gaun putih untuk kematiannya. Kemudian, salah satu permintaannya yang membuatku menangis semakin deras adalah Mama minta agar mayatnya dikremasi. Saat membacanya, aku marah dan langsung meremas kertasnya. Tradisi di keluarga kami adalah dikuburkan, bukan dikremasi.

“Nggak apa-apa, daripada kamu repot, kan kamu punya bayi,” jelas Mama dengan tenang.

Aku meyakinkan Mama bahwa pemakamannya bukanlah hal yang merepotkan bagiku. Sekali pun ia ditolak oleh kampung dan keluarga, aku tetap akan mencarikan ruang untuk Mama.

“Sudah cukup, Vi. Mama nggak mau ngerepotin kamu. Mama udah cukup bikin kamu malu,” ujarnya.

Mukjizat itu Datang

Eksekusi direncanakan berlangsung malam hari.

Sore itu, aku, Romo, dan pendamping hukum Mama, diperbolehkan untuk memasuki kamar isolasinya selama di Nusa Kambangan. Ruangannya sangat luas dengan ventilasi besar. Angin laut terasa masuk ke dalam ruangan dengan sangat kencang.

Aku tak mampu untuk membayangkan betapa dinginnya ruangan ini pada malam hari. Kamar mandinya pendek sehingga jika berdiri, bisa melihat ke kamar lainnya yang berada di seberang jeruji.

Di samping kasur Mama tergeletak beberapa perlengkapan ibadah, seperti Alkitab dan rosario. Di kolong tempat tidurnya, terdapat dua kotak makanan yang tak dimakan sama sekali. Ternyata Mama berpuasa di hari eksekusinya.

Aku tak mungkin memungkiri apa yang ada di dalam hatinya. Mungkin saja Mama juga merasakan takut. Namun, Mama terlihat seperti pada hari-hari lainnya, tegas, tenang, dan ikhlas. Meski Mama berjalan ke arah ajal, mengetahui dirinya akan dieksekusi oleh Negara.

Pada saat yang bersamaan, hal lain terjadi di Istana Negara, Jakarta. Presiden Joko “Jokowi” Widodo mengumumkan sepuluh terpidana mati yang dibatalkan keputusan eksekusinya. Nama Mama ada di dalam daftar itu.

Pembatalan eksekusi dilakukan karena pengajuan grasi telah dilakukan oleh pengacara, tiga hari sebelumnya. Sehingga, tidak bisa dilakukan eksekusi sebelum putusan atas pengajuan grasi diumumkan.

Namun, hingga hari ini, Jokowi belum juga menerbitkan surat pengabulan grasi untuk Merry Utami.

Pola Kekerasan Perempuan Pekerja Migran

Perempuan pekerja migran menjadi salah satu pihak yang rentan menerima vonis hukuman mati, baik saat ia bekerja di luar negeri, sebagaimana yang terjadi pada Tuti Tursilawati di Arab Saudi, maupun yang terjadi pada Merry Utami di Indonesia.

Data Amnesty International Indonesia tahun 2021 menunjukkan setidaknya 70 persen dari 649 pekerja migran Indonesia yang menghadapi hukuman mati di negara lain dalam periode sepuluh tahun terakhir.

Sekitar 67 persen dari semua kasus melibatkan perempuan yang terjebak oleh sindikat narkotika, khususnya yang dianggap sebagai kurir, sebagaimana yang terjadi pada Merry.

Tingginya angka hukuman mati bagi pekerja migran perempuan asal Indonesia menjadi pola kekerasan yang berlangsung secara struktural, demikian menurut Komisioner Komnas Perempuan, Tiasri Wiandani.

“Hukuman mati adalah puncak tertinggi dari kekerasan berbasis gender dan dikaitkan dengan pekerja migran. Ini adalah bagaimana siklus kekerasan yang berlapis terhadap perempuan dan pekerja migran,” kata Tiasri saat dihubungi pada Sabtu (15/1/2022).

Tiasri mengatakan hampir semua perempuan pekerja migran yang terseret masalah narkotika dan hukuman mati menjalankan hidup dalam lingkaran kekerasan. Mayoritas dari mereka berasal dari latar belakang ekonomi rendah, memiliki keterbatasan untuk akses pekerjaan, hingga mendapatkan kekerasan dalam rumah tangganya. Hal tersebut yang kemudian mendorong mereka menjadi pekerja migran.

Kendati demikian, di luar negeri, kondisi mereka justru semakin rentan. Ketika menghadapi masalah, upaya mencari perlindungan menjadi sulit dan terbatas. Ketika posisinya terpojok, seperti kehilangan pekerjaan atau menjadi korban kekerasan seksual, daya tawarnya menjadi sangat rendah. Kerentanan posisi mereka pun kerap kali membuat mereka dijebak dalam sindikat perdagangan manusia.

“Mereka bermigrasi, mencari pekerjaan di negara lain, tetapi malah terjebak oleh sindikat narkotika, dan mereka dipaksa untuk membawa barang yang mereka tidak ketahui. Nah, ini di mana pola-pola sindikat narkotika, modus-modusnya, itu menjerat mereka sebagai kelompok rentan yaitu pekerja migran untuk ikut,” kata Tiasri.

Sayangnya, aparat penegak hukum Indonesia belum mampu melihat lapisan manipulasi, hingga kekerasan yang terjadi. Akhirnya, siapa saja yang memiliki atau membawa narkotika, langsung dianggap sebagai pihak yang bersalah dan ancaman hukuman mati semakin di dekat mata.

“Jadi bagaimana aparat penegak hukum kita ini, dalam kasus kekerasan berbasis gender, perspektifnya tidak melihat itu. Jadi kerentanan perempuan korban kekerasan berbasis gender untuk dipidana mati itu menjadi sangat tinggi. Itu kita lihat dari kasus Merry Utami dan Mary Jane,” kata Tiasri.

Mary Jane, warga negara Filipina, ditangkap di Bandara Adi Sutjipto, Yogyakarta, karena membawa lebih dari 2,6 kilogram heroine pada April 2010. Mary sempat mengajukan grasi kepada Jokowi tetapi upaya itu ditolak melalui Keputusan Presiden pada Oktober 2014. Sama seperti Merry Utami, kasusnya hingga kini masih menggantung.

Ilustrasi Merry Utami diinterogasi polisi. (Project M/Herra Frimawati – di bawah lisensi Creative Commons BY-NC-ND 2)

Penelitian Komnas Perempuan mencatat beberapa poin permasalahan yang berkaitan dengan dampak hukuman mati bagi pekerja migran perempuan. Pertama, hukuman mati bukan hanya menghilangkan hak hidup yang seharusnya dilindungi oleh negara, melainkan juga memiliki meliputi proses hukum yang kejam.

Penelitian itu menyebutkan, sebelum terjadi eksekusi, terpidana mati kerap mengalami penyiksaan fisik, psikis hingga seksual. Bahkan, kematian yang terjadwal itu kerap membuat perempuan terpidana mati menjadi depresi sehingga tak jarang yang mengalami gangguan kesehatan hingga percobaan bunuh diri.

Kedua, negara tak hanya menghukum satu orang saja saat menjalankan hukuman mati. Negara juga menghukum dan menyiksa keluarga terpidana mati.

Pada 2015, pemerintah memberlakukan moratorium pengiriman tenaga kerja Indonesia ke 21 negara di Timur Tengah, termasuk Arab Saudi, Qatar, Mesir, dan Bahrain.

Moratorium dilakukan merujuk serangkaian dugaan kasus penyiksaan dan masalah hukum, termasuk eksekusi mati dua perempuan pekerja migran oleh pemerintah Arab Saudi pada 2015, yaitu Siti Zaenab karena perkara pembunuhan majikannya pada 1999, dan Karni binti Medi Tarsim yang membunuh anak majikannya pada 2012.

Pemerintah kala itu juga mendorong negara-negara di Timur Tengah menyusun dan/atau memperbaiki tata kelola perlindungan pekerja migran.

Koordinator Riset dan Hubungan Internasional dari Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI), Dina Nuriyati, jika negara memang serius mau memberikan perlindungan, maka tak bisa hanya melakukan moratorium.

“Moratorium tanpa dibarengi peningkatan kesejahteraan dalam negeri, itu (keberangkatan pekerja) akan tetap terus terjadi karena orang secara alamiah bermigrasi, secara naluri mencari tempat baru untuk bisa memenuhi kebutuhannya. Misalnya, ketika ada perbedaan gaji di sini berapa, di luar berapa, atau bertaruh nasib,” kata Dina saat dihubungi pada Selasa (25/1/2022).

“Dan yang penting sebetulnya itu bukan moratorium ya, tapi upaya pemerintah melakukan diplomasi dengan negara tujuan yang membutuhkan pekerja,” kata Dina, melanjutkan.

Dina juga mendorong pemerintah Indonesia untuk menghapus keberadaan hukuman mati. Hal tersebut penting untuk meningkatkan daya tawar diplomasi saat mendampingi para pekerja migran yang terjerat hukuman mati di negara lain.

“Kita sulit mendesak negara lain, sementara negara kita masih menganut, masih memberlakukan hukuman mati,” katanya.


Sebagian kisah ini ditulis berdasarkan cerita yang dilisankan oleh anak kedua dari Merry Utami, Devy Christa, kepada kontributor kami, Fadiyah Alaidrus, dalam pertemuan mereka di Madiun, Jawa Timur, pada Kamis, 27 Januari 2022. Devy telah memberi Fadiyah izin untuk menuliskan kisah ini menggunakan sudut pandangnya.

Liputan ini didukung oleh fellowship dari Better Engagement Between East & Southeast Asia (BEBESEA)

Petisi daring untuk mendesak Presiden Joko Widodo memberikan Grasi pada Merry Utami: https://www.change.org/p/joko-widodo-grasi-untuk-merry-utami-selamatkan-merry-dari-ketidakadilan

Terima kasih sudah membaca laporan dari Project Multatuli. Jika kamu senang membaca laporan kami, jadilah Kawan M untuk mendukung kerja jurnalisme publik agar tetap bisa telaten dan independen. Menjadi Kawan M juga memungkinkan kamu untuk mengetahui proses kerja tim Project Multatuli dan bahkan memberikan ide dan masukan tentang laporan kami. Klik di sini untuk Jadi Kawan M!

Liputan Terkait
Ronna Nirmala
20 menit