Revisi Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan masih tersandera. Sandungan perubahan ini salah satunya kerap dikaitkan dengan kondisi petani tembakau di Indonesia.
Pengetatan aturan pengendalian tembakau itu dituding bisa jadi salah satu biang kerok sebab harga panen tembakau anjlok. Padahal problem kesejahteraan petani tembakau terutama bersumber pada buruknya tata niaga.
Akan tetapi, setiap kali regulasi pengendalian produk olahan tembakau muncul, tak jarang perdebatan terpolarisasi sebatas kelompok protembakau dan antitembakau. Jadi, isu kesejahteraan petani sering dihadap-hadapkan dengan isu kesehatan, seolah keduanya berlawanan. Substansi masalah pun bergeser.
Ihwal perlindungan kesehatan dan petani justru terlupakan. Revisi PP 109/2012 untuk membentengi kesehatan warga dan anak-anak dari zat adiktif tak kunjung tercapai, payung hukum perlindungan petani tembakau pun tetap kosong; harga tembakau tetap tak pasti, sebagian petani dibayangi utang, juga panen yang merugi.
Industri rokok skala besar dituding jadi pihak yang paling diuntungkan dari kekosongan kebijakan yang terjadi secara serempak ini; mulai dari cukai yang tak naik, tata niaga yang buruk; petani yang sengaja tak dilindungi.
SIYAMIN sedang berpikir untuk menanam senerek—sejenis kacang-kacangan, setelah panen tembakau tahun keduanya kandas. Hidup harus terus dilanjutkan.
“Untuk bertahan hidup. Yang penting muter saja. Dari tembakau, ada modal sedikit, ya udah untuk senerek sama membayar tenaga,” ucap bapak empat bocah ini mengutarakan rencana.
Senerek bisa dipanen dalam tiga bulan. Selanjutnya, ia akan menanam jagung yang dipanen April. Lalu akan kembali menanam tembakau seraya berharap hasil panen bakal membaik.
Panen tembakau Oktober tahun ini sudah tak menyenangkan. Siyamin merasa, dua tahun belakangan jadi waktu yang sangat buruk bagi petani tembakau sepertinya.
“Kami dihajar habis-habisan, sehingga mau berbuat apa-apa itu juga nggak bisa,” ungkap Siyamin menggambarkan kondisinya.
Sudah dihantam cuaca yang tak mendukung karena kemarau basah, datang lagi isu tahunan soal kenaikan cukai, masih pula diperparah dengan pandemi Covid-19.
Tengkulak pun makin punya “alasan” untuk menggencet harga panen tembakaunya.
Yamin—begitu ia biasa dipanggil—puluhan tahun menanam tembakau di Kecamatan Bulu, Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah. Ia bertani di lahan seluas kurang dari satu hektare.
Ketika panen, ia akan mendapatkan rata-rata 18 keranjang. Satu keranjangnya di kisaran 40-50 kilogram tembakau kering. Meski dari segi kuantitas dan kualitas tembakaunya tak turun-turun amat, tapi harganya kini anjlok luar biasa.
“Faktor cuaca dijadikan alasan pihak pabrikan untuk menekan harga tembakau. Kedua, isu kenaikan cukai yang menjadi isu tahunan juga jadi alasan untuk menekan harga,” cerita petani yang sudah puluhan tahun menanam tembakau tersebut.
“Ditambah lagi kan, pandemi ini,” lanjut dia.
Penentuan harga tembakau didasarkan pada grade mulai dari A hingga F. Grade A adalah kualitas terendah, grade B di tingkat kedua, dan seterusnya hingga F yang tertinggi. Kata Yamin, bila grade A dibanderol di kisaran Rp17.000-Rp20.000, maka grade B akan berlaku dua kali lipatnya. Begitu seterusnya hingga grade F.
Sementara tembakaunya yang seharusnya ada di grade F, tahun ini hanya dibanderol seharga grade C. Bisa tinggal separuh harga atau turun lebih dari 50 persen.
“Waduh, harga itu sudah hancur-hancuran sekarang. Saya kasih contoh begini, sekarang (tembakau) sudah masuk grade E-F, mestinya sudah lebih dari Rp100 ribu. Tapi harganya tetep di kisaran Rp40-50 ribu, ini kan nggak bener juga,” keluh Yamin.
Hasil petani itu pun masih harus dipotong tengkulak. Itu sebab saat tiba panen, jangankan untung, modal saja kini tak kembali. Yamin justru tombok.
“Karena modal yang dikeluarkan untuk petani seperti saya saja itu, lumayan juga. Sehingga modal saja kan nggak balik. Sekarang taroh kata, modal keluar 15 juta, kok balik saja 10 juta. Kan masih rugi,” ungkapnya.
“Itu pun tenaga petaninya sendiri tidak dihitung. Makanya sekarang mau menanam selain tembakau, bisa jagung, atau sayuran, paling modal seadanya dulu,” tambah dia.
Karena itu tak jarang petani berutang dulu ke tengkulak untuk bisa menanam lagi. “Kalau saya pribadi nggak sampai ke arah situ, cuma kan sebagian besar seperti itu.”
Meski dua tahun terakhir terbilang waktu yang sangat remuk bagi Yamin, ketidakpastian harga sudah dialaminya tahun-tahun sebelum ini. Petani usia 49 ini mengingat, tembakau mulai redup sekitar tahun 2013.
Kala itu tiba-tiba hasil panennya mulai mendapat penolakan dari gudang-gudang pabrik rokok. Ia tak tahu sebabnya. Yang ia dengar, dari para tengkulak, pabrik tak mau lagi menerima tembakaunya karena gudang sudah penuh.
Alasan lain yang juga kerap disampaikan padanya, pabrik kehabisan uang untuk membeli tembakau. Tapi kebenarannya, sampai sekarang pun tak pernah ia mengerti, mengapa tembakaunya ditolak.
“Katanya duit sudah habis, katanya ada impor tembakau, katanya gudang sudah penuh, macam-macam lah, tapi kebenarannya bagaimana ya petani tidak tahu,” tutur Yamin.Click To Tweet“Yang kami tahu hanya tembakaunya tidak laku, atau harganya jadi dibeli murah,” kata dia lagi.
Petani tembakau di Temanggung, seperti halnya di beberapa daerah lain, tidak bisa langsung menjual hasil tanamnya ke pabrik. Mereka harus melalui rantai panjang yang disebut “tata niaga” yang terdiri dari perantara seperti pedagang besar, pedagang kecil, grader, baru kemudian tembakau mereka bisa sampai ke pabrik.
Riset Muhamadiyah Tobbaco Control Center Unimma dan CHED ITB AD tentang opini tembakau dan pemerintah daerah tentang regulasi pertanian di Temanggung salah satunya mendapati bahwa regulasi tata niaga tembakau menjadi keresahan petani di kabupaten ini.
Revisi PP 109/2012, Antara Kesehatan dan Nasib Petani Tembakau
Sementara ratusan kilometer dari tempat Yamin menanam tembakau di Temanggung, di ibu kota Jakarta, surat-surat silih ganti datang untuk Presiden Joko Widodo soal revisi Peraturan Pemerintah No. 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan.
Jumlahnya menumpuk hingga puluhan. Sebagian dari kelompok yang mendukung pembahasan revisi itu segera disetujui, sebagian lagi dari mereka yang menentang.
Yang menentang—beberapa di antaranya mengatasnamakan petani tembakau—berpendapat, perubahan PP ini akan berdampak negatif pada industri hasil tembakau. Sedangkan para pendukung revisi beralasan, penting melindungi kesehatan warga utamanya anak-anak dari bahaya konsumsi rokok—yang merupakan produk olahan tembakau.
Desakan itu sudah lama. Pasalnya lima tahun setelah regulasi yang memuat 65 pasal itu terbit pada 2012, prevalensi merokok tak kunjung turun, justru perokok anak dan remaja meningkat.
Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013-2018 mencatat peningkatan prevalensi perokok usia 10-18 tahun. Dari yang semula 7,2 persen pada 2013, menjadi 8,8 persen pada 2016 dan 9,1 persen pada 2018. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024 menargetkan prevalensi merokok pada anak dan remaja ini turun dari 9,1 menjadi 8,7 persen.
Itu sebabnya sejumlah kelompok sipil yang tergabung dalam Jaringan Koalisi Pengendalian Tembakau atau Indonesia Tobacco Control Network getol mendorong revisi PP 109/2012 dengan pengetatan pembatasan. Mereka menganggap, regulasi yang berjalan kurang galak sehingga prevalensi merokok pada anak meningkat.
Ketua Tobacco Control Support Center Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (TCSC IAKMI) yang juga bagian dari jaringan koalisi pengendalian tembakau, Sumarjati Arjoso menjelaskan perlu penambahan beberapa poin di antaranya soal peningkatan persentase peringatan kesehatan bergambar atau Pictorial Health Warning (PHW) dan pelarangan iklan.
“Dulu kan belum ngomong soal rokok elektronik, kemudian iklan masih dibatasi dan kami ingin di-banned. Kemudian kenaikan cukai kan masih jadi polemik,” tutur Sumarjati yang bertahun-tahun mengadvokasi pengendalian tembakau.
“PHW juga masih 40% padahal Indonesia menjual ke negara lain sudah 90%. Itu kan masak kita jual ke negara lain sudah 90%, di Indonesia masih 40%. Banyak hal yang semestinya direvisi, kalau visinya presiden, SDM unggul Indonesia maju,” sambung dia.
Hasil survei lembaganya pada 2017 tentang efektivitas ukuran peringatan kesehatan bergambar mendapati mayoritas masyarakat, yakni 80,9% (dari 5.349 sampel), mendukung peningkatan peringatan kesehatan bergambar menjadi 90%.
Menurut survei ini, masyarakat merasa, semakin besar ukuran peringatan kesehatan bergambar maka akan kian tinggi pula efek perasaan takut akan bahaya rokok terhadap kesehatan.
Sumarjati mengatakan kelompok pengendalian tembakau tidak melulu mengutamakan aspek kesehatan dan abai aspek-aspek lain. Menurut dia, apa yang ia suarakan lebih dari itu, yakni soal dampak bagi kualitas SDM Indonesia. Dan ia meyakini pelbagai pengetatan pengendalian rokok akan menurunkan prevalensi perokok anak dan melindungi generasi muda.
“Merokok ini bukan hanya soal kesehatan, tetapi soal kualitas SDM. Anak-anak yang merokok, pembelajarannya pasti berkurang, nanti membuat penyakit maka produktifitas berkurang. Jadi kapan kita menjadi SDM unggul,” kata dia.
Sementara aspek lain ihwal kesejahteraan petani tembakau, menurut Sumarjati, masalahnya bukan pada keberadaan PP 109/2012 atau revisinya, melainkan pada tata niaga yang buruk. Walapun menyinggung soal tata niaga yang perlu diatur, tapi bagi dia, problem kesejahteraan petani tembakau bisa diselesaikan dengan alih tanam yang disubsidi pemerintah.
“Sebetulnya, petani tembakau yang sekarang juga tidak sejahtera … dan kalau melihat kondisi yang ada, sekarang ini sudah mulai banyak yang diversifikasi, tembakaunya diselingi yang lain atau ganti dari pertanian tembakau ke komoditas lain,” ucap mantan anggota DPR tersebut.
“Kalau Indonesia ingin kedaulatan pangan misalnya, tidak usah banyak impor sayuran dan sebagainya, alangkah baiknya petani tembakau yang mau beralih tanam itu disubsidi dengan benih-benih pemerintah untuk sayur atau hortikultura lain. Sehingga mereka beralih tanam tapi tetap menguntungkan dan sejahtera,” lanjut Sumarjati lagi.
Itu barangkali yang tak mudah bagi Yamin.
“Mereka harus bertanggung jawab, harus beralih ke apa, terus diajari cara menanamnya, setelah panen itu penjualannya bagaimana, harus dituntun seperti itu. Tapi yang terjadi kan hanya wacana-wacana saja,” begitu jawaban Yamin ketika ditanya soal kemungkinan diversifikasi.
Keresahan Petani yang Belum Terjawab
Yamin sempat mengutarakan, mau-mau saja beralih tanam, toh selama setahun ia juga tak sepenuhnya menanam tembakau. Ia bercerita, di Temanggung memang sudah ada yang sebagian yang beralih—meski tak sepenuhnya.
Tanaman selingan itu menurutnya merupakan siasat para petani manakala panen tembakau mereka hancur. “Saya juga mau mencoba tanaman lain, alpukat, cuma untuk pinggiran-pinggiran.”
Namun problemnya sekarang, ketika kemarau tiba, satu-satunya komoditas yang mungkin ditanam adalah tembakau. Dan untuk hal itu, sejak bertahun lamanya belum ada peraturan yang melindungi petani tembakau.
“Petani ini kan mengharapkan dari hulu sampai hilir itu ada kepastian. Sehingga petani bisa mendapat kepastian soal, harga. Lalu ada perlindungan, katakanlah itu, ada asuransi buat petani. Sehingga manakala ada kegagalan dan lain sebagainya, ya minimal petani mendapatkan asuransi lah,” Yamin berangan-angan.
Organisasi tempat Yamin bernaung, Dewan Pengurus Nasional Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (DPN APTI) adalah salah satu yang menyurati Jokowi menyatakan penolakan revisi PP 109/2012. Asosiasi beranggotakan lebih dari 3 juta petani dan buruh tani di belasan provinsi ini menilai revisi akan mendatangkan lebih banyak dampak negatif dan membatasi ruang gerak industri hasil tembakau.
Yamin sejak lama mendengar soal rencana revisi PP 109/2012. Walaupun tak semua petani tembakau mendengar gonjang-ganjing revisi PP 109/2012 seperti Yamin.
Ia pun mengaku tak paham betul, detail isinya saja belum sempat dibacanya. Hanya saja karena aktif di organisasi APTI Temanggung, ia tahu, revisi peraturan itu disebut-sebut salah satu yang akan membuat tembakau tak laku.
Kecemasan Yamin masuk akal.
Hasil kajian Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (Lakpesdam) PBNU mengenai dampak kebijakan pelaksanaan PP 109/2012 di Rembang, Lombok dan Madura menemukan bahwa regulasi ini dijadikan alasan tengkulak untuk membeli tembakau dengan harga murah. Temuan lain, tembakau menumpuk karena beredar isu adanya pembatasan pembelian akibat larangan-larangan yang diatur dalam PP 109/2012 dan penjualan tembakau pun turun diikuti penurunan harga.
Pakar hukum di Firma Hukum dan Kebijakan Strategis HICON yang juga konsultan hukum Lakpesdam PBNU, Hifdzil Alim menyoroti adanya ketimpangan regulasi, sebab sebatas mengatur perlindungan kesehatan sementara perlindungan petani tembakau tak dibahas.
Revisi PP 109/2012, lanjut Hifdzil, boleh jadi bisa menjawab masalah kesehatan. Tapi ia mengingatkan, perubahan itu tak bisa menjawab masalah lain yang berpotensi muncul akibat kehadiran regulasi tersebut—salah satunya dampaknya pada petani tembakau.
“Kalau menurut teori, penyusunan undang-undang, kan ini menjadi tidak fair karena ada bagian yang kemudian dihilangkan. Nah ketika bagian itu dihilangkan, maka regulasi itu menjadi pincang,” terang Dosen Hukum dan Tata Negara di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta tersebut.
“Karena Anda hanya bisa mengatasi satu masalah, padahal Anda dihadapkan pada 10 masalah. Nah masalah 2 sampai 10 bagaimana mengatasi?” lanjut Hifdzil retorik.
Tapi menurut Hifdzil, kecemasan petani tembakau bisa terjawab asalkan ada regulasi lain yang mengatur perlindungan petani dan perbaikan tata niaga tembakau. Misalnya, disusun dalam bentuk peraturan pemerintah soal perlindungan terhadap zat adiktif, perlindungan petani tembakau, dan perbaikan tata niaga tembakau.
“Ketiga PP ini berjalan selaras. Perlindungan terhadap budidaya tembakau di pertanian, soal perindustrian khususnya perlindungan terhadap petaninya, lalu kesehatannya tetap. Anda mau membatasi orang merokok, diatur saja tidak masalah,” kata Hifdzil.
“Soal industri, bisa mengatur pembatasan impor. Lalu atur juga perlindungan petani tembakau, jaring pengaman petani tembakau. Saya pikir itu akan menjadi win-win untuk semua, dan akan lebih fair. Jadi helicopter view-nya dapat,” usulnya.
Sebab Mengapa PP 109/2012 Alot Dirombak
Tanaman tembakau yang diatur dalam peraturan pemerintah ini merupakan komoditas pertanian yang menguntungkan dan mendatangkan pendapatan yang tinggi untuk negara. Karena itu dalam pengaturannya pun melibatkan lintas kementerian, mulai dari Kementerian Pertanian, Kementerian Kesehatan, Kementerian Keuangan, Kementerian Perdagangan dan, Kementerian Perindustrian.
Sejumlah narasumber baik dari kementerian maupun kelompok sipil senada menyebut tarik ulur kepentingan lintas kementerian membuat revisi PP ini sulit terwujud.
Selain itu, sejarah pro dan kontra penerbitan PP 109/2012 telah terekam lama sejak bertahun silam dan digambarkan dalam buku yang diangkat dari disertasi sosiolog dan budayawan Mohamad Sobary berjudul “Perlawanan Politik dan Puitik Petani Temanggung”.
Polemik terjadi sejak peraturan pemerintah itu masih berupa rancangan. Sobary menulis, sepanjang 2009 hingga memasuki 2012 Rancangan Peraturan Pemerintah—yang dalam buku ini disebut—RPP Anti-tembakau mendapat perlawanan dari petani.
Hingga kemudian pada Desember 2012, Susilo Bambang Yudhoyono yang saat itu menjabat Presiden mengesahkan RPP menjadi PP 109 Tahun 2012. Kebijakan yang meresahkan petani itu kemudian mendorong gerakan-gerakan protes dan perlawanan di berbagai daerah.
“Ada satu hal yang terasa penting untuk segera menjadi tambahan penjelasan bagian ini. Berbagai peraturan atau kebijakan seolah tidak mengancam pertanian tembakau, karena sekadar mengatur pengamanan produk olahan tembakau, berupa kretek,” tulis Sobary dalam buku terbitan 2016 ini.
“Walaupun demikian, sejak dulu petani paham bahwa bila kelestarian kretek terancam, kelestarian bahan mentah utamanya, yakni tembakau, dengan sendirinya terancam pula,” ia melanjutkan.
Karena itu ketika revisi PP 109/2012 kembali mencuat, tak ayal jika prosesnya sarat batu sandungan sehingga berkepanjangan.
Wacana revisi regulasi tersebut sesungguhnya sudah muncul sejak 2018. Rencana perubahannya bahkan diamanatkan melalui Keputusan Presiden No. 9 Tahun 2018 tentang Program Penyusunan PP Tahun 2018.
Namun beberapa kali pertemuan antar-kementerian tak kunjung menemui sepakat, revisi pun tak rampung. Hingga kemudian tahun ini, perubahan PP 109/2012 tak lagi masuk daftar PP prioritas yang dibahas.
Kementerian Kesehatan lantas pada Mei 2021 melayangkan surat permohonan persetujuan penyusunan rancangan PP 109/2021 ke Presiden Jokowi. Budi Gunadi Sadikin yang baru lima bulan menjabat Menteri Kesehatan menempuh mekanisme izin prakarsa.
Peningkatan prevalensi perokok pemula dan munculnya berbagai produk adiktif seperti rokok elektronik jadi alasan permohonan persetujuan penyusunan rancangan PP.
“Bahwa tiap tahun terjadi peningkatan prevalensi perokok pemula usia 10-18 tahun yaitu sebesar 9,1 % pada tahun 2018, hal ini apabila tidak diatasi akan membebani Jaminan Kesehatan Nasional (beban negara) dan juga mempengaruhi produktivitas,” tulis surat tertanggal 6 Mei 2021 yang salinannya diterima Project Multatuli.
“Serta berpotensi tidak tercapainya kembali indikator target RPJMN 2020-2024. Peningkatan tersebut terjadi karena maraknya iklan dan promosi rokok, kemudahan akses membeli dan harga rokok yang cukup murah,” lanjut poin pertama tersebut.
Surat yang ditandatangani Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin dan ditembuskan ke Menko PMK Muhadjir Effendi serta Menteri Sekretaris Negara Pratikno meminta Presien Joko Widodo untuk menyetujui penyusunan rancangan PP 109/2012.
Adapun substansi perubahan di antaranya soal perbesaran PHW, penguatan pengawasan peredaran—termasuk larangan penjualan rokok eceran atau Batangan, dan pengaturan terhadap berbagai jenis produk tembakau.
Kemenkes semula menargetkan pembahasan rampung Agustus 2021, tapi molor lagi. Karena pada bulan-bulan itu kasus Covid-19 melonjak. Pemerintah pun memusatkan perhatian pada penanganan pandemi.
Deputi Bidang Koordinasi Peningkatan Kualitas Kesehatan Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK) Agus Suprapto mengatakan perkembangan revisi ini masih menunggu arahan dari Sekretariat Kabinet (Setkab). Hingga kini belum ada kejelasan mengenai kelanjutan revisi peraturan pemerintah tersebut.
Sementara Kepala Bidang Perencanaan Pembangunan Fiskal dan Pengendalian Aset, Kedeputian Bidang Perekonomian Setkab, Trikawan Jati Iswono mengatakan pemerintah belum berencana merevisi PP 109/2012. Trikawan berdalih perlu kehati-hatian dan independen untuk memutus kebijakan dengan aspek yang kompleks tersebut.
Sampai saat ini, kata dia, belum ada persetujuan terkait revisi PP 109/2012. Ia beralasan penentuan kebijakan ini bukan hanya menyoal aspek kesehatan melainkan juga mempertimbangkan dampak sosial ekonomi mengingat industri dan pertanian tembakau berperan strategis, hingga aspek kultural sosiologis.
“Bukan kemudian pemerintah tidak konsisten atas sesuatu yang sudah ditargetkan (di RPJMN soal penurunan prevalensi merokok), tapi juga melihat kondisi di lapangan khususnya terkait peran strategis dan cukai hasil tembakau,” papar Trikawan dalam webinar ‘Mengupas Proses Pembentukan Kebijakan dalam Menentukan Langkah Strategis Pemerintah, Studi Kasus Urgensi Revisi PP 109/2012’, Kamis (21/10).
Siapa yang Diuntungkan dari Kebuntuan Ini?
Deputi Koordinator Peningkatan Kesehatan Kemenko PMK Agus Suprapto yang mengkoordinasikan lintas kementerian/lembaga untuk isu ini menyadari pro-kontra revisi PP 109/2012 akan terus terjadi, karena memang ada banyak kepentingan di dalamnya.
Ia bahkan merasa pembahasan regulasi pengendalian tembakau kerapkali mentok pada perdebatan tak berujung antara kesehatan dan ekonomi. Dan kebuntuan ini justru membuat substansi masalah tak terjawab.
Regulasi mengenai perlindungan kesehatan tak kunjung tercapai, sementara perlindungan petani dan tata niaga tembakau tetap diabaikan.
Agus menambahkan, posisi kementeriannya sudah terang menyatakan bahwa revisi PP 109/2012 ini urgen demi melindungi anak-anak dan remaja serta tercapainya SDM yang berkualitas. Tapi menurutnya kebijakan itu harus diikuti regulasi yang melindungi petani tembakau dan merombak tata niaga.
Jika tidak, perdebatan akan terus mengalami kebuntuan. Ia bahkan menduga selama ini petani tembakau “diperdayai” untuk menolak PP 109/2012, tapi kepentingan perlindungan terhadap petani malah tak pernah disinggung.
“Jangan sampai petani kita itu di—maaf ini bahasa saya—diperdayai mindsetnya,” ucap dia.
Agus melanjutkan, terus menolak perbaikan PP 109/2012 tanpa memberikan payung hukum perlindungan dan perbaikan tata niaga tembakau, sama saja dengan membiarkan petani kembali dipermainkan tengkulak dan berada dalam posisi lemah.
Itu sebab ia mengusulkan ke sejumlah kementerian terkait untuk mengajukan regulasi perlindungan petani tembakau dan perbaikan tata niaga.
“Kemarin baru saya tanda tangani nota dinas kepada Pak Menko tentang hal itu (usulan regulasi untuk perlindungan petani tembakau dan perbaikan tata niaga) supaya disampaikan ke Kementan dan Kemenperin atau Kemendag. Yang jelas sesmenkonya Kemenperekonomian sudah saya informasikan (secara informal),” ungkap Agus.
“Karena tidak bisa para petani kita digituin, kan dibiarkan supaya protes saja, bertahun-tahun gayanya begitu. Tapi tidak ada jalan keluarnya,” tukas dia.
Menanggapi kebuntuan revisi PP 109/2012, dalam kesempatan berbeda Pakar Kebijakan Publik Riant Nugroho mengingatkan bahwa secara teori esensi sebuah kebijakan publik yang paling utama adalah mampu bertanggung jawab pada publik. Karena itu penyusunan kebijakan pun harus jujur. Bila ditemukan ada banyak masalah, maka tak bisa yang diselesaikan hanya satu masalah saja.
Demikian juga pada masalah pertanian tembakau dan dampaknya bagi kesehatan. Itu sebab ia menyarankan pemerintah untuk kembali ke titik awal, melakukan riset, memetakan masalah dan menyusun kebijakan yang komprehensif.
“Rekomendasi saya, back to zero, nolkan dulu. Baru kemudian dipikir, jadi kita cek dulu, research, apa sebenarnya masalah kita, kita berada di mana, mau ke mana kita? Kebijakan publik bukan masalah saya punya kewenangan di bidang kesehatan, atau di bidang lain,” terang dia dalam webinar daring bertema ‘Urgensi Revisi PP 109 Tahun 2012’.
Pakar hukum yang juga tergabung dalam Jaringan Koalisi Pengendalian Tembakau, Julius Ibrani mengungkapkan pihak yang paling diuntungkan dari berlarutnya kekosongan kebijakan lintas sektor ini adalah industri rokok skala besar. Indikasi itu berdasarkan analisisnya membaca pola kebijakan yang ditempuh pelbagai kementerian.
“Adanya kekosongan-kekosongan hukum yang mengatur, ini semua kompak dan serempak lho,” tukas Julius yang bertahun-tahun fokus di isu pengendalian tembakau.
“Di Kementerian Keuangan, cukai nggak dinaikkin dan DBHCHT (Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau) dimainkan. Di Kementerian Kesehatan PP 109/2012 nggak direvisi, dia pertahankan yang lama. Di Kementerian Pertanian, nggak ada aturan yang melindungi petani, menetapkan harga dan segala macam,” urai Sekjen Perhimpunan Bantuan Hukum Indoensia (PBHI) tersebut.
Ketua Umum Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI) Henry Najoan tidak menjawab telepon dan tak membalas pesan melalui aplikasi WhatsApp hingga berita ini diturunkan.
Isu pengendalian tembakau menurut Julius, selama ini digunakan kelompok tertentu untuk mereguk untung dengan memanfaatkan dan mengatasnamakan petani tembakau.
“Sudah jelas, yang untung adalah industri besar. Mulai dari cukainya nggak dinaikkin, sistem layer yang tidak disimplifikasi, petani yang sengaja tidak dilindungi buat jadi alasan apa-apa—nanti tinggal dibilang petani miskin, padahal mereka (industri besar) juga nggak pernah peduli (petani),” ucap Julius.
Itu sebab menurutnya, jawaban dari kesejahteraan petani tembakau adalah perbaikan tata niaga, bukan mempertentangkan dengan revisi PP 109/2012. Ia paham, regulasi ini memang tak mengatur ihwal perlindungan petani dan hanya mengatur soal kesehatan.
Namun yang juga ia tekankan, Indonesia sebenarnya memiliki UU No. 19/2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani yang bisa dijadikan pijakan untuk menyusun peraturan perlindungan bagi petani tembakau.
“Ini kan selalu jadi pertanyaan, industri rokok dengan keuntungan terbesar dibanding industri beras atau tomat. Mengapa tata niaga tembakaunya justru ditiadakan? Siapa yang memanfaatkan ini tetap nggak ada? Ini jadi ada satu sikap sistemik untuk mematikan tata niaga,” beber Julius.
Tapi sayangnya, penyusunan regulasi untuk menjawab problem kesejahteraan petani justru tak dilakukan. Yang terjadi malah membenturkan petani tembakau dengan revisi PP 109/2012.
“Hegemoni yang diciptakan, pokoknya kalau PP 109/2012 lalu cukai naik, berarti yang rugi itu petani. Itu mitos. Persoalan yang dihadapi petani adalah tata niaga. Berapa harga grading tembakau? Siapa yang meng-grading itu? Apa tata ukur yang jadi indikator grading nilai? Kan nggak ada,” tukas Julius.
Di Temanggung, Yamin—barangkali juga petani tembakau lainnya—sedang memutar otak menyiapkan musim tanam berikutnya. Setelah tembakau dipanen, lahannya harus ditanami kembali. Kehidupan mereka terus berjalan dan duit hasil panen perlu diputar.
Seperti yang diutarakan Yamin, ia juga mungkin kawan-kawannya di lahan belum sempat detail membaca isi PP 109/2012.
Yang mereka pikirkan saat ini, bagaimana musim tanam berikutnya. Yang mereka pikirkan, jika panen ini kali rugi maka dari mana dapat modal menanam lagi. Yang mereka pikirkan, bagaimana hasil panennya kelak laku dijual. Lalu menanam lagi.
“Untuk menanam lagi kan juga butuh modal. Sementara harapan tembakau bisa baik itu, tidak sesuai harapan. Sehingga petani hanya bisa, yah, pasrah saja, nrimo. Yang penting usaha, itu saja,” ucap Yamin.
“Kalau saya bilang, komunitas yang paling nerimo se-Indonesia adalah petani. Petani apapun,” seloroh Yamin diikuti tawa.
Kalaupun ada harapan ihwal penyusunan aturan, keinginan Yamin sederhana dan masih itu-itu saja; seperti halnya petani pada komoditas pertanian lain, dia ingin kepastian harga, panennya laku dan tak rugi, syukur-syukur jika ada asuransi ketika gagal panen.
Tulisan ini merupakan tulisan pertama dari serial #TobaccoDeadlock yang ingin memeriksa mengapa diskusi dan kebijakan tentang pengendalian tembakau kerap menghadapi jalan buntu. Serial ini didukung oleh dana hibah dari Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia. Dana hibah tidak mempengaruhi independensi redaksi Project Multatuli.