‘Saya Tak Mau Mati Di Sini’: Perampasan Lahan di Sirkuit Mandalika

23 menit
Foto udara Sirkuit Mandalika dari Pantai Seger. Sirkuit dengan 17 tikungan berstandar internasional itu digadang-gadang menjadi daya tarik utama pariwisata di Mandalika. (Project M/Adi Renaldi)

Kawasan Ekonomi Khusus Mandalika menjadi satu dari lima proyek ambisius pembangunan destinasi wisata di luar Bali. Namun ambisi tak berbarengan dengan hak asasi. Warga terusir tanpa jaminan masa depan yang jelas. 


LOMBOK TENGAH, periode tahun 60-an. Mandalika masih berupa hutan. Sekelilingnya bukit-bukit hamparan sabana. Penduduknya hanya segelintir, mayoritas dari Suku Sasak yang menggantungkan hidup dari laut dan pertanian. 

Tahun-tahun itu adalah waktu yang sulit bagi Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Barat. Kelaparan dan gizi buruk menjadi wabah. Tak kurang dari 10 ribu warga meninggal dunia, sekitar 20 ribu keluarga hidup dalam kesulitan pangan yang berat. 

Di tengah kesulitan, warga mencoba memperbaiki hidup. Masyarakat lokal maupun pendatang mulai membuka lahan di areal yang sekarang dikenal sebagai Mandalika. Mereka membangun permukiman dan menanam bermacam sayur-mayur, buah-buahan, dan palawija. Untuk menentukan batas kepemilikan, lahan pertanian ditandai patok tradisional yang disebut sawik, berupa tanaman keras. 

Sebagai formalitas, warga mendaftarkan petak-petak tanah ke kantor desa dan mengantongi surat pengakuan kepemilikan, semacam girik. Lantaran minim informasi dan infrastruktur pendukung yang tak memadai, banyak warga enggan menaikkan status kepemilikan lahan itu ke sertifikat hak milik. 

Pertengahan 1980-an, perusahaan milik pengusaha Peter Sondakh, PT Rajawali Wira Bhakti Utama, melirik potensi pariwisata di Lombok Tengah, seiring niat pemerintah membangun bandara bertaraf internasional. 

Perusahaan melakukan pembebasan lahan lewat calo-calo tanah hingga mengakumulasi total 600 hektare di Desa Kuta dan Desa Sengkol di Mandalika, selama lima tahun. Tanah-tanah dibeli dengan sangat murah, antara Rp150.000-Rp250.000 per 100 m² (setara Rp3 juta mengacu inflasi sekarang). 

Warga tak punya banyak pilihan saat melepas lahan. Sebab, proses akuisisi lahan sarat intimidasi, teror, paksaan, dan manipulasi. Beberapa warga yang menjual lahannya tak mendapat bayaran penuh. Sebagian besar hanya berupa uang muka. Sebagian lagi hanya mendapat unit televisi atau radio. Mereka tak tahu harus mengadu ke mana. 

Meski proses akuisisi lahan berjalan penuh teror, berdasarkan dokumen Akta Pelepasan Hak Atas Tanah (APHAT) yang dianalisis Koalisi Pemantau Pembangunan Infrastruktur Indonesia (KPPII), secara administratif PT Rajawali Wira Bhakti Utama sudah melaksanakan pembebasan lahan sesuai prosedur, sehingga sulit bagi masyarakat menuntut haknya.

Di tengah jalan, ambisi PT Rajawali kandas. Proyeknya mangkrak. Lahan yang diakuisisi itu seolah kembali tak bertuan. Sebagian warga lantas kembali menduduki lahan itu untuk bercocok tanam.

Awal 1990-an, lahan mangkrak PT Rajawali diambil alih Pemprov NTB melalui PT Lombok Tourism Development Corporation (LTDC). Selain menguasai lahan 600 ha dari PT Rajawali, LTDC menambah 650 ha lahan baru melalui skema hak pengelolaan lahan (HPL). Rakyat pun kembali diteror dan diintimidasi. Mereka kembali terusir.

Masuk tahun milenium, penguasaan lahan di Lombok Tengah kembali berpindah tangan, mulai dari PT Emars, PT Bali Tourism Development Corporation (BTDC), hingga terakhir PT Indonesia Tourism Development Corporation (ITDC), perusahaan pelat merah yang mengembangkan sektor pariwisata Mandalika sejak 2018. 

Bukannya membaik, nasib masyarakat Lombok Tengah justru semakin terkatung, seiring ambisi pemerintah mengembangkan pariwisata kelas dunia lewat Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Mandalika. 

I — Bayar Murah

AMAK SALEH* duduk merenung di balai-balai depan warungnya di Pantai Seger, Kecamatan Pujut, Lombok Tengah. Warung sekaligus tempat tinggalnya adalah bangunan sederhana terbuat dari tripleks dengan dua balai-balai untuk para pengunjung. 

Di depan warung, tergantung sederet kandang burung kicau peliharaannya. Ada jalak kebo, jelantik, sampai kepodang. Di sepetak lahan belakang warung, Amak Saleh menanam ubi dan memelihara ayam. 

Dua tahun belakangan Amak Saleh dan istri hanya tinggal berdua di rumah itu. Anak-anaknya sudah membangun keluarga di desa lain. 

Selain berdagang kelapa muda dan bermacam jajanan dan minuman kemasan, Amak Saleh menjaga pintu masuk pantai dan Bukit Seger. Pantai itu termasuk tujuan wisata primadona di Lombok Tengah. Tempat itu jadi lokasi ritual tahunan Bau Nyale, tradisi menangkap cacing laut yang diadakan setiap Februari-Maret untuk menghormati Putri Mandalika.

Untuk menuju ke pantai, pengunjung harus mendaki bukit lumayan terjal, yang bisa ditempuh menggunakan mobil dengan ongkos Rp40.000, sedangkan sepeda motor Rp15.000. Dari situlah Amak Saleh punya penghasilan tambahan. 

Letak warung Amak Saleh tak jauh dari Sirkuit Mandalika, gelanggang kebanggaan pemerintahan Joko Widodo yang menjadi lokasi balap motor kelas internasional, MotoGP dan Superbike World Championship (WorldSBK).

Namun, bagi warga setempat seperti Amak Saleh, sirkuit dan agenda internasional itu tidak membawa imbas positif. Warungnya tetap tak ramai. Wisatawan juga tak datang ke Pantai Seger. Pasalnya, satu-satunya akses menuju pantai yang letaknya bersebelahan dengan sirkuit justru ditutup oleh panitia sirkuit. 

Buat akses keluar-masuk kampung, warga di sekitaran sirkuit diberikan satu kartu akses yang berlaku untuk satu keluarga. Kartu hanya boleh digunakan satu kali bepergian dalam sehari. 

“Ya, jadi repot,” kata Amak Saleh, yang hobi memakai topi anyaman bambu. “Penghasilan tak ada. Mau keluar rumah juga jadi sulit karena dibatasi.”

Foto udara Bukit Seger, salah satu pantai primadona Lombok Tengah yang ramai dikunjungi wisatawan setiap tahun saat tradisi Bau Nyale, sebuah tradisi mencari cacing laut yang dilakukan turun temurun demi menghormati Putri Mandalika. (Project M/Adi Renaldi)

Amak Saleh besar di desa yang kini telah menjadi Sirkuit Mandalika. Bapaknya meninggal saatia masih tiga tahun. Di usia yang belia, Amak Saleh sudah bekerja membantu ibunya di kebun, menanam jagung, kacang, pisang, dan kelapa. 

Ia juga kerap melaut, menangkap ikan, kerang, dan cumi. Hasil laut itu kadang dijual ke tetangga, kadang untuk konsumsi keluarga. Meski hidup dalam impitan ekonomi, Amak Saleh tak mengeluh. Semua pekerjaan dilakoninya sepenuh hati hingga mampu membangun keluarga dan membesarkan anak-anaknya sendiri. 

Tak bisa dimungkiri, warga biasa seperti Amak Saleh adalah rantai terlemah dalam ambisi pembangunan pariwisata di Lombok Tengah, yang polanya terjadi  lewat penggusuran demi penggusuran. 

Amak Saleh masih mengingat dengan samar ketika calo tanah dan pihak yang mengaku dari Indonesia Tourism Development Corporation (ITDC) datang dengan maksud membeli tanah keluarganya. Tanah seluas 3.600 m² itu ditawar Rp1 juta per are (100 m²). Harga itu jauh di bawah nilai pasaran, merujuk temuan koalisi organisasi masyarakat. 

Tak ada ruang buat negosiasi, kata Amak Saleh. Pilihannya cuma terima uang ganti rugi atau digusur paksa. 

“Kalau enggak mau [terima], digusur paksa. Jalanan nanti ditutup, ‘Kalau kamu tidak punya pesawat terbang mau lewat mana?’” kata pria berusia 50-an itu, menirukan ucapan si calo tanah. 

“Mau tidak mau saya terima. Di situ ada pemaksaan.”

Rendahnya nilai kompensasi membuat banyak warga tak mampu membeli tanah baru seluas tanah yang telah dijual. Juga banyak warga yang pindah dan membeli tanah yang jauh dari tempat tinggal asal, katanya. Situasi ini mengancam masa depan karena kebun yang selama ini menjadi tumpuan ekonomi keluarga semakin sempit dan bahkan menghilang. 

Seperti halnya Amak Saleh, dua tahun sejak tanahnya dijual, ia tak lagi berkebun. Sebab, tak ada lagi lahan untuk digarap. Penghasilannya menurun. 

“Kalau dibandingkan, jelas lebih enak dulu,” katanya.

“Kalau dulu ada kebun. Tiap bulan ada hasil kebun, macam kelapa. Sehari paling enggak Rp200 ribu-Rp500 ribu. Sekarang mana dapat segitu? Cuma menunggu [pantai] ini saja dapatnya Rp30 ribu-Rp50 ribu per hari,” kata Amak Saleh.

Lantaran situasi itu, banyak warga terjerat lintah darat demi menyambung hidup, termasuk keluarganya. Siang itu lima orang rentenir tengah duduk sejenak di salah satu balai-balai. Mungkin hendak menagih utang ke rumah-rumah warga, termasuk Amak Saleh. Istrinya mendatangi mereka. Setelah berbincang sebentar, istrinya kembali masuk ke warung. 

Pinjaman ke rentenir bervariasi, dari Rp1 juta hingga Rp3 juta, dicicil per minggu. Amak Saleh terpaksa berutang ke rentenir untuk modal usaha dan bertahan hidup sehari-hari. Fakta ini selaras dengan temuan KPPII yang menyebut 79 persen responden memiliki utang yang meningkat sebab kehilangan mata pencaharian di darat dan di laut. 

Meski begitu, di tengah situasi sulit itu, Amak masih suka menertawakan kehidupan. Ia gemar melempar pantun lucu dalam bahasa Sasak di hampir tiap kesempatan. 

Jalak dait jelantik

mun menuni salak 

jari penyakit

Artinya, burung jalak dan jelantik, kalau salah omong, bisa jadi penyakit.Ia terkekeh. 

II — Rampas Lahannya

Sejak 2010, pemerintah berambisi membangun destinasi wisata prioritas berkelas dunia buat menyaingi Bali demi mendongkrak perekonomian. Dalihnya, 41% pemasukan ekonomi dari pariwisata masih bertumpu pada Bali. Rancangan soal destinasi pariwisata prioritas termaktub dalam rencana induk pembangunan kepariwisataan nasional tahun 2010-2025 yang diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 50 Tahun 2011. 

Lebih jauh, destinasi pariwisata prioritas itu masuk dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024, yang memproyeksikan peningkatan kontribusi PDB sebesar 5,5%, 30 miliar dolar AS devisa, dan 22,3 juta kunjungan wisatawan mancanegara, atau naik sekitar 29-30% dibandingkan angka kunjungan sekitar 16 juta pada 2019. 

Mandalika ditetapkan menjadi KEK pada 2014 lewat PP No. 52 dengan luas lahan 1.175 ha dan panjang garis pantai sejauh 16 km. Ada empat desa yang masuk dalam kawasan: Mertak, Sengkol, Kuta, dan Sukadana.

Dalam rancangan induknya, KEK Mandalika akan dilengkapi 20 ribu kamar akomodasi dan 325 ribu m² ruang komersial, yang bakal dilengkapi lapangan golf, taman hiburan, taman laut, dan seterusnya. Sementara total investasi diproyeksikan mencapai Rp40 triliun. Durasi pembangunannya dari 2016 hingga 2039.

Biaya pembangunannya tak murah. Pembangunan infrastruktur dasar dan aset produktif hingga 2026, membutuhkan dana Rp9,25 triliun. Dari total pendanaan, sebanyak Rp750 miliar merupakan uang negara melalui Penyertaan Modal Negara (PMN), yang dicairkan pada 2015 dan 2020. 

Sisanya berasal dari investasi dan utang, salah satunya Asian Infrastructure Investment Bank (AIIB), lembaga keuangan multilateral asal China, yang setuju mengucurkan pinjaman 248,4 juta dolar AS atau setara Rp3,8 triliun pada Desember 2018. Utang itu dibebankan selama 35 tahun, yang dapat dicairkan hingga 2024.

Deretan resor dan hotel mewah di Mandalika. Dalam rancangan induknya, KEK Mandalika akan dilengkapi dengan 20.000 kamar akomodasi, ruang komersial, lapangan golf, taman hiburan, taman laut, dsb. Sementara total investasi diproyeksikan akan mencapai Rp40 triliun. (Project M/Adi Renaldi)

Jika melihat masterplan dan fitur dan atraksi yang ditawarkan, KEK Mandalika jelas tidak menyasar masyarakat lokal sebagai pangsa pasar utamanya. 

Bagi Amak Sai*, ingar bingar mesin motor 1.000cc yang beradu di sirkuit dan mewahnya hotel bintang lima di pinggir pantai jelas bukanlah untuk rakyat jelata seperti dirinya. Pria kelahiran 1947 itu cuma tahu bagaimana cara yang tepat agar hasil panen dan lautnya cukup untuk menghidupi keluarga.

Amak Sai termasuk orang pertama yang membuka lahan di Desa Mertak pada 1970-an. Ia adalah pekerja keras. Tak cuma menanam jagung, padi, kacang, dan pisang, Amak Sai juga beternak sapi, mengolah rumput laut, dan menangkap ikan. Dari situ ia mampu menghidupi istri dan empat anaknya. 

Pria sepuh itu kini tinggal di Dusun Denong. Pendengarannya sudah berkurang akibat terlalu sering menyelam tanpa peralatan memadai untuk mencari lobster saat masih muda. Rumahnya sederhana, lantai plester semen dengan tembok kusam. Di depan rumahnya terdapat kandang sapi dengan sederet jemuran rumput laut. 

Memasuki rumah Amak Sai seperti masuk ke lorong waktu, sebab alih-alih foto Joko Widodo, poster lusuh mantan Presiden Sukarno justru masih terpampang di teras depan rumahnya. Mungkin saja karena Amak Sai kerap berkonflik dengan pemerintah sejak Sukarno lengser. 

Sepanjang Orde Baru berkuasa dan mempelopori ambisi pembangunan, Amak Sai sudah kenyang dengan teror dan intimidasi. Sejak masa PT Rajawali hingga era ITDC, lahan milik Amak Sai tak pernah luput dari sengketa. 

Amak Sai punya lahan seluas 4,8 ha yang bersengketa dengan pemerintah. “Sudah ada mediasi dengan pihak ITDC, tapi tidak ada solusi,” katanya. “Mereka berkeras bahwa lahan itu sudah HPL. Bagaimana bisa HPL kalau proses pembebasan lahan saja tidak ada?”

Pada 2020, kata Amak Sai, pihak ITDC membangun jalan beton di atas lahan milik beberapa warga di desa itu. Warga mencoba menghalangi pembangunan itu tapi justru berakhir di kantor polisi. 

Sepanjang sengketa itu pula, kedua belah pihak terlibat dalam aksi kucing-kucingan. Sudah berulang kali Amak Sai dan anaknya memasang pagar pembatas di lahannya sebagai penanda kepemilikan, tapi keesokannya dicabut pihak ITDC. Begitu seterusnya. 

Semangat perlawanan Amak Sai untuk mempertahankan haknya tak muncul begitu saja dari ruang hampa. Semangat itu ditempa sejak Soeharto berkuasa. Ia masih ingat bagaimana preman bayaran dan aparat dikerahkan untuk meneror warga agar mau angkat kaki dari tanah mereka atas nama “kepentingan nasional”. 

Teror itu bermacam, mulai dari ‘ninja’ yang menyambangi rumahnya sampai todongan senjata api di siang bolong. 

“Dari rampok yang tiap malam datang sampai rumah yang dibakar,” kata Amak Sai. Namun, ia bergeming. Lantaran sikap perlawanannya itu, ia sering masuk-keluar sel tahanan.

Sengkarut lahan ini muncul karena sistem administrasi pertanahan yang centang perenang sejak negara ini berdiri. 

Dalam sebuah kertas kerja yang dirilis Asian Development Bank Institute (ADBI), rezim represif Orde Baru lewat kekuatan aparat keamanan bisa secara leluasa menyerobot lahan atas nama “kepentingan nasional”. 

Ditambah lagi ada tumpang tindih peraturan agraria saat berbicara tanah ulayat versus kepentingan investasi, yang baru dibenahi ketika Susilo Bambang Yudhoyono berkuasa dengan mengesahkan UU No.2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Lahan Bagi Kepentingan Umum. 

Dalam kisah Amak Sai, satu aspek persoalan lain juga muncul akibat sistem pendaftaran administrasi tanah yang karut marut. Amak Sai hanya mengantongi semacam surat izin menggarap lahan dari kantor desa. Ia tak sanggup meningkatkan status tanahnya menjadi hak milik lantaran terkendala jarak dan biaya, serta minimnya informasi. Diduga pula ada manipulasi dari pihak desa dan kantor pertanahan yang tanpa izin menyertakan lahannya dalam skema HPL saat PT Lombok Tourism Development Corporation masuk. Manipulasi macam ini sudah lazim terjadi.

Fakta ini berbanding terbalik dengan klaim ITDC, pengelola sekarang, bahwa lahan di KEK Mandalika bebas dari sengketa. AIIB juga dituding lalai dalam menjalankan fungsinya memastikan lahan sudah benar-benar clean and clear sebelum mencairkan pinjaman. Saat ini, menurut koalisi organisasi masyarakat sipil, ada sekitar 300 ha lahan yang bersengketa ITDC di lima desa. 

“Selama ini pihak ITDC tidak transparan untuk menunjukkan keabsahan dokumen,” kata Amak Sai. “Mereka tidak berani buka data.”

Saat ini Amak Sai belum berpikir mediasi lagi dengan pihak ITDC. Yang bisa dilakukan warga hanyalah bergotong royong untuk terus bercocok tanam seperti biasa di lahan yang diklaim ITDC sebagai bentuk land reclaiming. 

“Pembangunan zaman sekarang itu sudah kayak di Jalur Gaza,” kata Amak Sai. “Banyak konflik. Tapi saya tetap akan mempertahankan dan menuntut hak.”

III – Berikan Janji Manis Tapi Jangan Libatkan Warga

Dusun hantu. Ebunut. 

Sejak proyek KEK Mandalika bergulir, mayoritas penduduk Ebunut pindah atau direlokasi ke desa lain. Hanya kurang dari 20 keluarga yang masih bertahan tanpa kejelasan nasib. Lantaran sepi penduduk, Ebunut mungkin tak layak lagi disebut dusun. 

Kampung Ebunut berada di pinggir pantai berpasir putih, hanya beberapa meter dari Bukit Seger dan cuma beberapa langkah dari pagar Sirkuit Mandalika.

Sejak lahir, Lukman* tinggal di Ebunut. Bapaknya termasuk orang pertama yang membuka lahan di sana pada awal 1950-an. Dulu akses menuju dusun itu tergolong sulit, sebab hanya hutan sejauh mata memandang, kenang Lukman. 

Tak ada listrik dan fasilitas umum. Perlahan Ebunut menjadi kampung ramai pendatang yang lantas secara administratif ditetapkan sebagai dusun. 

“Dulu jalanan hanya tanah dan masih banyak babi hutan,” lanjutnya. “Ebunut itu dulu ramai, sampai proyek sirkuit ini masuk. Sekarang kami ini hanya sisa-sisa.”

Dusun Ebunut, yang berbatasan dengan pagar Sirkuit Mandalika, dilihat dari udara. Penghuninya kini kurang dari 20 keluarga, yang masih bertahan meski akses semakin sulit. (Project M/Adi Renaldi)

Lukman adalah anak ketiga dari 12 bersaudara. Usianya 54 tahun. Ia sempat dikirim ke Yogyakarta untuk berkuliah, tapi saat semester tiga, bapaknya memintanya pulang untuk mengurus kebun.

Sejak itu hidup Lukman adalah menanam kacang tanah, ubi kayu, ketela rambat, kedelai, dan menangkap ikan di laut. Ia punya 6 ha lahan peninggalan orangtuanya. Dari hasil kebun, ia sanggup menghidupi istri dan enam anaknya. Selain mengurus kebun, Lukman membuat kerajinan kayu atau sekadar berkumpul bersama keluarga di rumah. 

Kehidupannya berubah ketika ITDC datang. Lukman berkata tak ada sosialisasi tentang KEK Mandalika. Ia baru tahu dusunnya akan digusur untuk pembangunan sirkuit pada 2019, sesaat sebelum alat berat masuk ke dusun. 

Dari 6 ha lahan miliknya, hampir separuhnya dibabat proyek sirkuit tanpa ganti rugi. Lebih dari 1 ha lahannya kini ditimpa aspal lintasan sirkuit yang dilalui Miguel Oliveira dan kawan-kawan saat gelaran MotoGP perdana Maret 2022. 

Perampasan itu bukan tanpa perlawanan. Warga sempat menolak saat alat berat masuk ke dusun. Namun, penolakan warga itu dibalas “satu pasukan besar-besaran”  yang membuat warga tak punya pilihan selain pasrah, kata Lukman. Mediasi yang difasilitasi pemerintah provinsi tak membuahkan hasil. 

“Kami sebagai rakyat jelata tidak begitu tahu masuknya [proyek ini] bagaimana? Karena sepanjang saya di sini tidak ada sosialisasi,” katanya. “Saya tidak tahu MotoGP itu apa.”

Proyek KEK Mandalika membawa sederet janji kesejahteraan bagi warga lokal. Namun, sepanjang prosesnya, tak ada pelibatan warga yang maksimal. Dalam survei Koalisi, 94% responden merasa tidak dilibatkan dalam konsultasi proyek Mandalika. 

Menurut Lukman, ITDC menebar janji bahwa sirkuit itu akan memberikan kehidupan lebih baik dan lapangan pekerjaan bagi warga lokal. Namun, hingga kini, ia tak paham kesejahteraan apa yang dimaksud. Banyak warga lokal yang menjadi buruh proyek di sirkuit, kata Lukman, namun masa depan tetap terasa samar. 

“Kehidupan kami adalah bercocok tanam dan mencari ikan. Kalau semua hilang, kami akan beralih menjadi apa? Apakah kami akan menjadi buruh selamanya?” 

Bagi Lukman, kehidupannya jadi terasa makin sulit. Saat gelaran balap motor internasional digelar, rumah-rumah warga di Ebunut, termasuk milik Lukman, jadi tempat berkumpul aparat yang bertugas mengamankan acara. Akibatnya, banyak warga merasa ketakutan.

“Kami juga jadi kesulitan kalau mau bepergian ke luar dusun sebab pergerakan kami dibatasi,” katanya. 

Tak cuma selama ajang balap motor, Dusun Ebunut seolah terisolasi dari dunia. Akses ke kota semakin jauh lantaran jalan umum sudah hilang ditelan sirkuit, yang memaksa warga mengambil jalan memutar. Fasilitas umum semakin jauh karena dipindah sekitar 5-7 km dari dusun.

“Dulu di sini lengkap. Ada fasilitas agama, pasar, pendidikan, dan pekuburan,” kata Lukman. “Mungkin itu jadi cara untuk mengusir kami, karena akses sudah semakin sulit.”

Salah satu rumah warga yang masih bertahan di Dusun Ebunut yang berdekatan dengan Sirkuit Mandalika. Warga mengalami bermacam kesulitan setelah Sirkuit Mandalika berdiri, salah satunya akses yang semakin jauh dari fasilitas umum. (Project M/Adi Renaldi)

Lukman dan beberapa tetangganya memilih bertahan di Ebunut dengan sisa-sisa lahan yang dimiliki, sebab hingga kini tak ada kejelasan dari pihak ITDC terkait nasib mereka. Ia mengaku tak punya bayangan dan rencana akan pindah ke mana, setidaknya sampai masalah lahan selesai. 

“Saya berharap akan mendapat ganti rugi yang setimpal,” kata Lukman. “Kalau memang tanah saya akan diambil untuk proyek, kami tak menolak, namun harus ada kompensasi yang transparan.”

Kini, Dusun Ebunut yang semakin sepi, dikelilingi pagar yang terbuat dari daun kelapa kering. Ada gapura kayu selebar 1,5 m Tak ada nama dusun yang terpampang. Seolah dusun itu memang tak pernah tercatat dalam sejarah.

Dari halaman rumah Lukman terlihat jelas Bukit 360 Sirkuit Mandalika, yang jadi tempat menonton balapan kelas VIP dengan sudut pandang 360 derajat seharga belasan hingga puluhan juta rupiah sekali masuk. Sebuah kemewahan yang teramat kontras dengan kehidupan di dusun. 

Jarak keduanya hanya sepelemparan batu, tapi jarak keadilannya begitu jauh. 

***

Dibandingkan sebuah perkampungan, Dusun Rangkep di Desa Kuta lebih tepat disebut barak penampungan.  Dusun Rangkep terletak sekira 200 meter dari pintu gerbang sirkuit. Di dusun ini puluhan keluarga dari Dusun Ebunut tinggal di tempat relokasi sementara.

ITDC pernah menjanjikan relokasi warga Ebunut ke tempat tinggal permanen di luar KEK Mandalika. Pada 2019, ada sekitar 150 keluarga yang diklaim ITDC menduduki lahan HPL dan akan direlokasi secara bertahap selama setahun. Jumlah warga itu bukan merupakan kalkulasi dari pihak ITDC, namun berdasarkan “informasi dari kepala dusun.”

Kenyataannya, warga yang diwajibkan pindah oleh ITDC tak serta merta menerima rumah tinggal permanen. Mereka harus tinggal di tempat relokasi sementara dan menunggu tanpa kejelasan untuk waktu yang tak ditentukan. Kala itu, bangunan tempat tinggal permanen belum rampung dibangun. 

Baru pada Desember 2022, sebanyak 61 keluarga dari total keluarga terdampak akhirnya dipindahkan ke permukiman permanen. Letaknya di Dusun Ngolang, Kecamatan Pujut, sekira 4 km dari Ebunut. 

Sisanya memilih untuk pindah jauh di luar Mandalika. Sedangkan sisanya lagi tak punya pilihan selain bertahan di tempat penampungan sementara di Rangkep.

Sudah hampir empat tahun Fadilah* tinggal di tempat relokasi sementara Dusun Rangkep. Selama itu pula perempuan berkacamata berusia 50-an tahun itu berkawan dengan kecemasan dan ketidakpastian. Fadilah tinggal sendiri di sebuah rumah kecil yang terbuat dari gipsum dengan rangka baja ringan. Di depan rumahnya ia membuka warung kecil menjual sembako. 

Fadilah sempat tinggal bersama keluarganya di Dusun Ngolang, beberapa kilometer dari Dusun Rangkep. Namun, ia memilih pindah ke kamp relokasi, dengan harapan bisa mendapatkan rumah permanen yang dijanjikan ITDC. Namun, Fadilah justru terombang-ambing.

Ia tak bisa lagi ke kebun sebab tak ada lahan yang bisa digarap. Warung kecilnya tak selalu cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Sementara tidak pula ada bantuan dari pemerintah setempat atau ITDC.

“Saya tak mau mati di sini,” kata Fadilah. Air matanya meleleh. “Di sini semua sulit. Saya hanya berharap bisa segera dipindah.”

Tempat relokasi sementara warga terdampak proyek Sirkuit Mandalika di Dusun Rangkep, sekira 200 meter dari gerbang Sirkuit Mandalika. Masih ada puluhan keluarga yang tinggal di rumah sederhana dengan fasilitas minim, menanti kepastian relokasi ke tempat tinggal permanen. (Project M/Adi Renaldi)

Saat pertama kali pindah ke tempat relokasi sementara di Rangkep, Fadilah berkata kondisinya karut marut. Banyak keluarga tinggal di tenda-tenda terpal. Perlahan, mereka mulai membangun petak-petak rumah secara swadaya, menggunakan bahan-bahan seadanya yang mudah ditemui. 

Dalam dokumen Rencana Aksi Pemukiman Kembali yang dirilis ITDC, disebutkan mayoritas keluarga terdampak mengakui tanah yang mereka duduki di Ebunut adalah milik ITDC. Lebih lanjut, saat konsultasi pada Juli 2019, disebutkan masyarakat terdampak menerima jika harus pindah ke tempat lain jika sewaktu-waktu ITDC membutuhkan lahan itu.

Namun, informasi lain seperti hak-hak yang diterima dan jangka waktu pemindahan ke tempat permanen tak pernah sampai ke telinga warga di tempat relokasi Rangkep. Tak dijelaskan pula kenapa hanya sebagian keluarga yang sudah berhasil dipindahkan ke lokasi permukiman permanen, sementara sisanya belum. 

Dalam temuan Koalisi, sekitar 87% responden tidak menerima informasi yang cukup dari ITDC tentang rencana pemukiman kembali.

“Tak ada satu pun dari mereka yang terlibat dalam desain atau pelaksanaan rencana pemukiman kembali atau dimintai masukan, juga tidak diberikan kesempatan untuk konsultasi dengan ITDC. Dan tak satu pun dari mereka diberitahu tentang hak-hak mereka selama proses pemukiman kembali,” tulis Koalisi.

Kini tersisa 59 keluarga tinggal di Dusun Rangkep. Mereka hanya bisa pasrah menunggu, seperti menanti menang lotre. Seperti menunggu Godot. 

***

Keadaan di tempat relokasi permanen juga tak serta merta menjadi lebih baik. 

Dusun Ngolang, tempat relokasi permanen warga terdampak sirkuit Mandalika, terletak di Bukit Silaq. Letaknya cukup jauh dari jalan raya utama, melewati jalanan beton sempit yang cukup curam yang baru dicor. 

Lahan permukiman permanen di Ngolang disediakan Pemerintah Kabupaten Lombok Tengah, sebagai bagian dari program relokasi keluarga terdampak sirkuit Mandalika. Ada 67 unit rumah yang dibangun kementerian. Masing-masing keluarga menerima satu unit rumah seluas 6×6 m² plus halaman seluas 20 m².

Rumah-rumah di Ngolang itu tidak gratis. Warga harus mencicil Rp300.000/bulan selama 5 tahun, atau Rp18.000.000. Hal ini sempat dikritik Koalisi sebab warga tak tahu jika rumah tersebut harus dicicil hingga satu bulan jelang pindah ke relokasi permanen. Hal lain, cicilan jelas membebani warga. 

“Keluarga-keluarga yang paling awal berpindah ke lokasi pemukiman kembali permanen semuanya percaya bahwa tempat tinggal mereka akan disediakan secara gratis, sebagai bagian dari kompensasi proyek Mandalika,” tulis Koalisi. 

Meski letaknya terpencil dan jauh dari tempat tinggal asalnya, Mahmud* mencoba untuk betah tinggal di tempat relokasi. Mahmud tinggal bersama istri dan dua anaknya. Di depan rumahnya teronggok mobil Toyota Corolla tua yang catnya mengelupas di sana-sini, dengan mesin yang mengeluarkan suara “grok, grok” ketika dinyalakan. Ada sederet tanaman obat dan sayuran dalam kantong plastik di halaman depan. 

Sejak pindah Desember 2022, Mahmud harus beradaptasi di lingkungan baru itu. Jika di Ebunut tinggal di rumah dengan kebun luas, kini ia harus mencari akal untuk bisa terus berkebun dalam lahan sempit. Salah satunya menanam tanaman dalam kantong plastik. 

“Yang penting dapat terus menanam. Kalau panen bisa untuk membuat jamu atau dimasak di rumah,” katanya.

Mahmud lahir dan besar di Ebunut. Orangtuanya sudah turun temurun tinggal di situ. Mereka bekerja sebagai petani dan peternak. Namun, sejak pindah ke tempat relokasi, Mahmud dan banyak warga lain bekerja sebagai buruh proyek sirkuit. 

Mahmud mengakui jika dulu ia tinggal di atas lahan HPL milik ITDC. Maka, ketika terjaring dalam program relokasi, dirinya tak menolak. Sebab, memang begitu adanya, katanya, malahan ia bersyukur kini dapat tinggal di tanah sendiri. 

Tempat tinggalnya kini masih jauh dari kata sempurna. Air bersih hanya mengalir selama beberapa jam setiap hari. Sebab air tandon dialirkan secara bergilir dari rumah ke rumah. Fasilitas umum pun minim. Sekolah, warung, dan fasilitas kesehatan harus ditempuh berkilo-kilometer. Sementara tak semua penduduk memiliki kendaraan bermotor. 

Beberapa warga yang masih memiliki hewan ternak seperti sapi harus terpaksa menggunakan halaman depannya untuk kandang sapi karena keterbatasan lahan.

Saat ini warga sedang membangun musala secara patungan, kata Mahmud, yang kini beralih profesi sebagai pedagang warung kecil-kecilan. Para perempuan membuat ramuan jamu kemasan dari tanaman obat di rumah masing-masing yang dipasarkan lewat koperasi petani. 

“Kami kerjakan apa yang bisa kami kerjakan,” kata Mahmud.

Salah satu rumah warga yang berada di lahan kosong dekat dengan pantai. Warga, yang mayoritas petani, peternak, dan nelayan, memutuskan pindah dari rumah relokasi permanen mereka di Dusun Ngolang karena keterbatasan lahan dan akses ke sumber penghidupan yang semakin jauh. (Project M/Adi Renaldi)

Tak semua orang mampu beradaptasi di Ngolang seperti Mahmud. 

Marto* tak punya banyak pilihan selain pindah dari rumah permanen barunya. Pria 30-an tahun itu baru beberapa bulan tinggal di rumah relokasi sebelum akhirnya memutuskan kembali ke dekat laut. Ia membawa serta keluarganya dan membangun gubuk berdinding anyaman bambu di atas lahan kosong yang dikuasai ITDC. 

Marto adalah nelayan tradisional. Ia menangkap kerang dan ikan yang dijual ke pengepul. Istrinya membuka warung di depan rumah, menjual minuman kemasan dan bermacam jajanan. 

Marto mengakui tak banyak yang bisa dilakukan di rumah permanennya. Jarak ke laut cukup jauh, jelas semakin membebani pengeluarannya. Ia tak mau ganti profesi sebab sepanjang hidupnya cuma karib dengan laut. 

Di lahan kosong ITDC itu, warga leluasa beternak. Sapi-sapi bebas berkeliaran dan merumput, tanpa khawatir akan mengganggu pekarangan dan rumah warga lain. 

“Setidaknya di sini kami tidak harus berpikir besok akan makan apa,” kata Marto.

‘Di Mana Ada KEK, Di Situlah Masyarakat Selalu Tersingkir’

Taruhan masa depan rakyat tak membuat proyek KEK Mandalika berjalan mulus. Proyek triliunan ini dibayangi utang dan kerugian. 

Dua gelaran balap motor kelas dunia yang jadi andalan Sirkuit Mandalika dilaporkan merugi Rp150 miliar, akibat minimnya sponsor, meski penjualan tiket digadang-gadang melebihi target. Pemerintah berkilah KEK Mandalika memang tidak serta-merta langsung membawa keuntungan.

InJourney, holding BUMN yang menaungi ITDC, dilaporkan merugi hingga Rp4,6 triliun. Kerugian mencakup utang ke RSUD NTB sebesar Rp7,8 miliar dan vendor-vendor MotoGP. Utang itu meliputi utang jangka pendek Rp1,2 triliun dan jangka panjang Rp3,4 triliun. Karena jeratan itu, InJourney meminta suntikan PMN lagi sebesar Rp1,19 triliun untuk membayar utang itu, yang disetujui DPR pada Juni 2023. 

Bukit 360 yang merupakan kelas VIP Sirkuit Mandalika seharga puluhan juta rupiah, dilihat dari Dusun Ebunut. (Project M/Adi Renaldi)

Kerugian itu tak termasuk dampak sosial-ekonomi-lingkungan yang belum dikalkulasi. 

Harry Sandy Ame dari Aliansi Gerakan Reforma Agraria (AGRA,) bagian dari Koalisi Pemantau Pembangunan Infrastruktur Indonesia, mengatakan proyek KEK Mandalika telah mengubah lanskap Lombok Tengah. Hamparan mangrove dan rawa hancur akibat pembangunan infrastruktur penunjang kawasan dan sirkuit.

“Mangrove dan rawa-rawa ini penting sebagai daya dukung lingkungan serta menjadi lahan mata pencaharian masyarakat,” kata Harry. 

Tak cuma kelangsungan hidup warga, mangrove dan rawa adalah perlindungan alami dari tsunami. Menurut Badan Penanggulangan Bencana Nasional (BNPB), Lombok Tengah memiliki potensi tsunami dan gempa bumi sedang hingga tinggi. Gempa bumi itu berpotensi berdampak pada 430.000 jiwa di 12 kecamatan.

Sejak awal, proyek Mandalika tidak mengedepankan konsep yang holistik karena berkutat pada paradigma pariwisata berbasis massal, kata pengamat pariwisata Prof. Azril Azahari.

“Indonesia maunya jumlah wisatawan banyak. Ini paradigma lama,” kata Azril, yang juga menjabat Ketua Ikatan Cendekiawan Pariwisata Indonesia. “Saat ini paradigma pariwisata dunia sudah bergeser, lebih mengedepankan kualitas, lama tinggal turisnya, serta berapa uang yang dikeluarkan.”

Pada akhirnya, industri pariwisata yang masif dapat menjadi bumerang jika tak memperhatikan aspek ekologis seperti daya dukung lingkungan. Azril melanjutkan bahwa setumpuk utang demi ambisi mengembangkan industri pariwisata bukanlah hal tepat, sebab penggunaan uang negara yang merupakan uang rakyat justru berbalik menjadi beban masyarakat. 

“Di mana ada KEK, di situlah masyarakat selalu tersingkir,” tutup Azril.


Liputan ini didukung oleh Pulitzer Center on Crisis Reporting

*Seluruh nama narasumber warga disamarkan untuk alasan keamanan

Editor: Ronna Nirmala

Terima kasih sudah membaca laporan dari Project Multatuli. Jika kamu senang membaca laporan kami, jadilah Kawan M untuk mendukung kerja jurnalisme publik agar tetap bisa telaten dan independen. Menjadi Kawan M juga memungkinkan kamu untuk mengetahui proses kerja tim Project Multatuli dan bahkan memberikan ide dan masukan tentang laporan kami. Klik di sini untuk Jadi Kawan M!

Liputan Terkait
23 menit