Saat ini banyak orang sedang berjuang sempadan hidup dan mati: antara mati lapar atau mati karena wabah. Sementara di dunianya sendiri, para tuan bersilat lidah memaksakan tafsir atas kata “gotong royong”: belilah vaksin dan obat cacing, mungkin kalian bakal selamat…
Sebaiknya Presiden Joko Widodo umumkan kegentingan, jangan menyangkal. Pengakuan ini penting untuk membangun sense of emergency hingga level terbawah sehingga semua turut ambil langkah extraordinary, termasuk jika perlu minta bantuan internasional. Kenapa genting? Mari lihat data.
Pada Kamis, 15 Juli 2021, penambahan kasus Covid-19 nasional kembali memecahkan rekor tertinggi, yaitu 56.757 kasus baru. Sedangkan kematian bertambah 982 orang. Sementara itu, jumlah kasus aktif mencapai 480.199 orang atau ada penambahan 36.726 pasien yang butuh perawatan dalam sehari. Jika dari 20 persen dari penambahan kasus aktif ini membutuhkan perawatan rumah sakit, artinya dibutuhkan penambahan tempat tidur pasien sebanyak 7.345 unit dalam sehari.
Dari jumlah ini, kasus aktif di Jakarta sudah 109.276 orang atau bertambah 9.525 per hari. Jika kita ambil angka 20 persennya saja, minimal butuh tambahan tempat tidur di rumah sakit 1.905 sehari. Padahal, Gubernur Jakarta Anies Baswedan pekan lalu mengatakan dari semua kasus aktif di Jakarta 40 persennya bergejala sedang hingga berat sehingga membutuhkan perawatan. Apa mungkin terpenuhi? Jelas tidak.
Data resmi DKI, keterisian RS 92 persen untuk ruang rawat dan 95 persen untuk ICU. Faktanya, untuk pasien Covid-19 sudah lebih dari 100 persen, ya karena tidak semua rumah sakit bisa dijadikan perawatan Covid-19. Bahkan, kalau semua jadi perawatan Covid-19 pun tetap tidak cukup. Rasio tempat tidur rumah sakit per populasi di Jakarta pada 2020 hanya sekitar 2,7. Dengan penduduk sebesar 10 juta, berarti jumlah tempat tidur rumah sakit hanya 27.000.
Masih menurut info di Dinas Kesehatan DKI, setidaknya ada 3.400-an orang sakit yang tidak tertampung di rumah sakit, 1.900-an tertahan di IGD menunggu kamar dan 1.400-an antre masuk ke IGD, mereka ada di selasar RS, tenda darurat, puskesmas, hingga di rumah. Dampaknya? Kematian pasien isoman melonjak, rata-rata 45 orang per hari di DKI saja.
Data LaporCovid-19 per Jumat, 16 Juli, pagi ini, sudah ada 625 pasien isoman meninggal dunia. Laporan terbanyak di Jawa Barat, disusul Yogyakarta, Jawa Tengah, Banten, Jawa Timur baru Jakarta. Ini berarti, daerah lain di Jawa sebenarnya bisa jadi situasi fasilitas kesehatannya (faskes) lebih parah atau setidaknya separah Jakarta.
Nah ini baru defisit tempat tidur rumah sakit, belum lagi defisit oksigen, obat-obatan, hingga tenaga kesehatan atau nakes. Kematian nakes di pertengahan bulan Juli ini saja sudah 180 orang, melebihi rekor selama bulan Januari. Belum lagi sebagian nakes mengundurkan diri karena insentif yang seret dan kelelahan.
Pemerintah mesti jujur umumkan, berapa banyak defisit oksigen dibandingkan kebutuhan? Lepas dari soal manajemen distribusi yang bermasalah, produksi oksigen kita juga susah mengejar permintaan, pasti kelangkaan oksigen akan terus membesar. Perlu terobosan.
Masalah lain, lonjakan kasus juga mulai terjadi di luar Jawa. Laporan WHO pada 14 Juli 2021, sepekan terakhir, secara rata-rata nasional telah terjadi peningkatan kasus sebesar 44 persen dan peningkatan kematian mencapai 69 persen. Sebanyak 15 provinsi mengalami peningkatan 50 persen atau lebih. Bahkan, ada lima provinsi dengan peningkatan lebih dari 100 persen, yaitu Nusa Tenggara Barat (200 persen), Gorontalo (194 persen), Maluku (169 persen), Sulawesi Utara (139 persen) dan Kalimantan Utara (107 persen).
Data LaporCovid-19 menunjukkan, kematian pasien isoman mulai terjadi di luar Jawa. Beberapa daerah yang tersebut di antaranya Riau, Lampung, Nusa Tenggara Timur, Kalimantan Timur, Kepulauan Riau, Kalimantan Barat, Sumatera Barat, Kepulauan Bangka Belitung, dan Nusa Tenggara Barat. Ini sejalan dengan laporan krisis faskes dan oksigen di beberapa daerah, termasuk Jayapura.
Jika wabah ini meledak di luar Jawa, yang faskesnya lebih minim, sementara di Jawa sendiri kolaps, maka bencana lebih besar bakal terjadi. Maka, apakah ini belum dianggap genting? Perlu diingat, jangan hanya melihat laporan jumlah kasus dan kematian resmi, karena itu sangat underreported. Untuk angka kematian minimal kali lima, jadi estimasi sudah 5.000 orang per hari.
Kembali kenapa perlu pernyataan dan langkah darurat. Ini sangat dibutuhkan untuk mendorong semua pihak yang bertanggung jawab, dari pusat hingga level rukun tetangga, agar lebih siaga dan melakukan langkah ekstra. Minimal, hal ini mendorong para pejabat tinggi untuk lebih empati, tidak lagi pamer jalan-jalan di luar negeri atau posting di Twitter apa tontonan sinetronnya, atau unggah foto diri dan mengajari masyarakat agar memperjuangkan hidupnya.
Selain itu, ini bisa membuka peluang permintaan uluran bantuan dari negara-negara lain. Bagi masyarakat, hal ini bisa membangun sense of crisis, agar tidak lagi menyangkal risiko Covid-19 dan termakan toxic positivity sehingga lebih taat pada protokol kesehatan.
Pak Presiden Joko Widodo anggap saja ini permintaan terakhir sebelum benar-benar end game….
Penulis adalah jurnalis Kompas dan salah satu pendiri Project Multatuli. Tulisan ini, yang telah mengalami suntingan minor, diambil dari Facebook dan Twitter Ahmad Arif atas seizin penulis. #KamiSesakNapas #DiabaikanNegara