135 orang meninggal, lebih dari 600 orang luka-luka. Cuma lima orang yang divonis bersalah dan dihukum ringan, antara 1 tahun hingga 2,5 tahun penjara.
Puluhan pemuda berkaus hitam berkumpul di depan pintu Stadion Gajayana, Malang, pada Minggu siang, 1 Oktober 2023. Mereka tergabung dalam Jaringan Solidaritas Keluarga Korban Tragedi Kanjuruhan. Sejumlah spanduk diikat dan ditata untuk dibagikan kepada keluarga korban yang hendak pawai menuju Stadion Kanjuruhan.
“Spanduk ini dibuat oleh teman-teman relawan yang sengaja disiapkan untuk memperingati setahun tragedi Kanjuruhan,” ucap Ifa, panggilan akrab Cholifatul Nur.
“Kami akan terus mencari keadilan untuk anak kami yang menjadi korban. Kami semua keluarga korban ingin para pelaku dihukum seadil-adilnya.”
Ifa kehilangan anak satu-satunya, Jovan Farellino Yuseifa Pratama Putra (15), pada 1 Oktober 2022, selepas rentetan tembakan gas air mata dilepaskan polisi-polisi Indonesia ke arah tribun stadion.
Saat itu Jovan menonton dari tribun delapan. Temannya mengabarkan kepada Ifa. Segera, pukul 11 malam, Ifa pergi menuju Stadion Kanjuruhan. “Sampai di sana, sudah banyak tembakan.”
Jovan adalah satu dari 135 suporter yang meninggal dunia, lebih dari 600 orang luka-luka, dari peristiwa mematikan yang diakibatkan brutalitas kepolisian Indonesia menghadapi massa di stadion dalam tragedi kematian massal terbesar dalam sejarah sepakbola dunia.
Hidup Ifa berubah drastis sejak kehilangan Jovan. Sebagai orangtua tunggal, Jovan menjadi harapan hidupnya. Sejak peristiwa itu, Ifa bersama keluarga korban lain mencari keadilan. Namun, perjuangan para keluarga korban menemui berbagai ancaman.
“Sempat hampir setiap hari ada mobil hitam tidak jauh dari rumah saya yang mencurigakan,” cerita Ifa. “Selain itu, saya sempat hendak ditabrak oleh pengendara berpakaian hitam, menggunakan sepeda motor. Beruntung saya lolos.”
Devi Athok kehilangan dua putrinya, Natasya Devi Ramadhani (16) dan Naila Debi Anggraini (14), dan mantan istrinya, Gebi Asta Putri Purwoko (37).
“Nyawa tidak bisa ditukar dengan uang. Kami menuntut keadilan,” kata Devi.
Devi mengajukan laporan model B ke Kepolisian Resor Malang, artinya tipe laporan masyarakat ke polisi, setelah kecewa atas proses peradilan yang dijalankan negara menuntaskan kasus kematian massal ini.
“Saya berharap, kalau bisa pelaku dihukum mati, dipecat dari kepolisian,” ungkap Devi.
“Sakit hati. Keadilan di sini harus diperjuangkan.”
Tak hanya itu, Devi menuntut manajemen Arema FC harus bertanggung jawab lantaran tidak memberikan rasa aman bagi para suporter. Ia juga menuntut tanggung jawab eks Ketua Persatuan Sepak Bola Indonesia (PSSI), Mochamad Iriawan alias Iwan Bule, pensiunan jenderal polisi bintang tiga. Iwan Bule menjabat PSSI pada November 2019 – Februari 2023.
Dalam persidangan kasus Kanjuruhan, cuma lima orang yang diadili. Mereka adalah kepala satuan keamanan dan ketertiban masyarakat, Kasat Samapta Polres Malang AKP Bambang Sidik Achmadi; Kepala Operasional Polres Malang Kompol Wahyu Setyo Pranoto; Komandan Kompi Brimob Polda Jatim Hasdarmawan; Ketua Panpel Arema FC Abdul Haris; dan kepala keamanan Arema FC Suko Sutrisno.
Sidik Achmadi dan Wahyu Pranoto sempat divonis bebas di Pengadilan Negeri Surabaya dan Pengadilan Tinggi Jawa Timur, tapi di tingkat kasasi, Sidik divonis 2 tahun penjara dan Wahyu 2,5 tahun penjara. Hasdarmawan divonis 1,5 tahun penjara. Abdul Haris divonis 2 tahun penjara di pengadilan kasasi. Suko Sutrisno divonis setahun penjara.
Organisasi masyarakat sipil seperti Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), LBH Surabaya, Kontras, Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Tim Advokasi Tragedi Kemanusiaan Kanjuruhan (TATAK), dan Lembaga Penyuluh Bantuan Hukum Nadlatul Ulama (LPBH NU), menyebut penanganan negara terhadap peristiwa yang menyedot perhatian dunia ini “melanggengkan impunitas”; mereka yang punya tanggung jawab garis komando, dari institusi polisi, Arema FC, dan PSSI, kebal hukum. Lima orang yang divonis itu pun hukumannya sangat ringan.
Imam Hidayat, koordinator Tim Advokasi Tragedi Kanjuruhan, berkata penyintas dan keluarga korban butuh waktu sangat panjang untuk bisa mendapatkan keadilan.
“Satu tahun, belum tampak keadilan bagi korban,” ujarnya.
Pekan lalu, keluarga korban melapor ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Badan Reserse Kriminal Mabes Polri, Komisi Hukum dan Hak Asasi Manusia DPR, dan Ombudsman. Langka baru ini ditempuh setelah laporan model B yang diajukan Devi Athok dihentikan penyidikannya oleh Polres Malang.
“Selain itu, kami semua meminta Komnas HAM kembali turun dan ikut serta melakukan investigasi dan penyelidikan lebih mendalam kembali serta memutuskan terjadi pelanggaran HAM berat pada Tragedi Kanjuruhan,” kata Imam.
Persidangan yang sudah digelar, menurut Imam, “penuh settingan dan kejanggalan”.
“Gelar perkara dilakukan di Polda Jawa Timur tidak melibatkan sama sekali saksi dan keluarga korban,” ujarnya.
Thufail, salah satu penyintas, berkata hukuman bagi para terdakwa sangat tidak sebanding dengan penderitaannya. Ia menuntut pimpinan kepolisian seperti Kapolres Malang AKBP Ferli Hidayat dan Kapolda Jawa Timur Irjen Nico Afinta, diajukan ke meja hijau. Keduanya dicopot dari jabatannya setelah peristiwa Kanjuruhan. Sejak April 2023, Irjen Nico menjabat Ketua Sekolah Tinggi Kepolisian, lembaga pendidikan kedinasan dan akademik Polri.
Di peringatan setahun Kanjuruhan itu, Devi Athok berkata: “Sejak kejadian ini, saya tidak akan menonton sepakbola sampai mati. Trauma.”
Artikel ini bagian dari serial #PolisiBukanPreman. Baca laporan kami yang lain tentang Kanjuruhaan:
- Polisi Hanya Menembakkan Gas Air Mata ke Tribun Rakyat Jelata
- Keadilan bagi 135 Korban Kanjuruhan
- Jalan Keadilan Seandainya Anakmu Mati karena Polisi