Setelah Api Protes Redup, Polisi Memburu Orang-Orang Biasa

Fahri Salam
16 menit
Saiful dan Laras dikriminalisasi polisi dengan tuduhan penghasutan setelah mengkritik kebrutalan polisi merespons massa aksi yang menelan korban. (Project M/Abdul Malik Amirullah)

Jalanan mulai sepi dari aksi demonstrasi setelah sepanjang sepekan pada akhir Agustus 2025 menjadi mimbar bebas publik mengutarakan pendapat. Namun, di balik itu, polisi menangkap ribuan orang, menahan ratusan, dan menetapkan puluhan tersangka. Polisi memburu mahasiswa, pelajar, warga biasa, seniman, pekerja kantoran, bahkan anak di bawah umur. 

Kami memotret secuil saja kisah tentang bagaimana polisi menangkap, menahan, dan memburu orang-orang biasa. Skala represi paling luas dan ugal-ugalan sejak reformasi 1998. 

Penangkapan Orang Biasa

“Laras bukan seorang influencer. Bukan seorang politikus. Bukan seorang demonstran. Bukan seorang buzzer. Ia hanya orang biasa,” tegas Dodi, paman dari tersangka Laras Faizati Khairunnisa, kepada wartawan di Gedung Bareskrim Polri, 9 September 2025.

Laras, 26 tahun, pemilik akun Instagram larasfaizati, ditetapkan tersangka oleh kepolisian dengan tuduhan menghasut massa aksi di media sosial untuk membakar gedung Mabes Polri; sesuatu yang tidak pernah terjadi.

“Mungkin dia hanya salah posting, yang kemudian direspons akun-akun tidak jelas,” lanjut Dodi.

Laras mendekam di penjara Bareskrim Polri sejak 1 September. Kepada Dhea, sepupunya, ia berkata kangen berkumpul dengan ibu dan adiknya.

“Saat kunjunganku yang terakhir, Laras bilang sudah mulai bosan. Sudah mulai memimpikan orang-orang rumah. Mimpi lagi kerja dan lain-lain. Tapi kondisi fisiknya sangat baik,” ujar Dhea.

Kisah pemidanaan Laras bermula pada 29 Agustus 2025, satu hari setelah pengojek online Affan Kurniawan meninggal dilindas mobil rantis Brimob Polri. Laras, sebagaimana publik marah kala itu, ikut merespons situasi tersebut.

Melalui akun Instagram pribadi, Laras mengungkapkan kemarahan atas kinerja buruk dan tindakan brutal kepolisian dalam merespons massa aksi.

Laras mengunggah ulang video kematian Affan dan menambahkan komentar, “Institusi yang paling bangkrut secara moral,” tulisnya dalam Bahasa Inggris.

“Kalau kantormu tepat di sebelah Mabes Polri. Tolong bakar gedung ini dan bawa mereka semua,” tulis Laras dalam unggahan lainnya.

Pengacara Laras, Abdul Gafur Sangadji, bilang unggahan itu dibuat Laras secara spontan dan tanpa tendensi untuk menghasut massa aksi. Bahkan Laras tidak memiliki kuasa untuk sampai menggerakan massa membakar gedung Mabes Polri.

“Ada kemarahan luar biasa. Hanya itu saja motivasinya. Bukan untuk memperkeruh suasana,” ujar Gafur.

Nahas, polisi mengartikan ekspresi Laras sebagai upaya memprovokasi.

Pada 1 September, sekitar pukul 17.30, tim polisi dari kesatuan siber menangkap paksa Laras di rumah orangtuanya. Penangkapan itu berdasarkan laporan model B atau atas pengaduan dari masyarakat dengan nomor LP/B/422/VII/202/SPKT Bareskrim tanggal 31 Agustus 2025.

Pihak keluarga sempat menanyakan kepada penyidik perihal sosok pelapor. Namun polisi masih menutupi.

“Belum dibuka sampai sekarang. Masih rahasia,” kata Gafur.

Polisi menjerat Laras dengan Pasal 48 ayat 1 Jo. Pasal 32 ayat 1, Pasal 45A ayat 2 Jo. Pasal 28 ayat 2 UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), serta Pasal 160 dan Pasal 161 ayat 1 KUHP. Ia diancam pidana penjara maksimal 8 tahun.

Gafur menilai penggunaan pasal penghasutan tidak tepat untuk mempidanakan kliennya. Sebab putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 7/PUU-VII/2009, telah mengubah Pasal 160 KUHP dari delik formil menjadi delik materiil. Sehingga pelaku penghasutan tidak dapat dipidana jika tidak ada dampak atau akibat dari hasutannya.

“Faktanya unggahan Laras tidak ditindaklanjuti dengan aksi kriminalitas. Tidak ditindaklanjuti dengan mobilisasi massa. Tidak ada dampak dari postingan Laras tersebut,” ujar Gafur.

Pihak keluarga Laras telah mengirimkan surat permohonan restorative justice kepada Kepala Bareskrim Polri Komjen Syahardiantono dan Dirtipidsiber Bareskrim Polri Brigjen Himawan Bayu Aji pada 9 September 2025. Mereka berharap kepolisian menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) sebelum masa penahanan Laras usai.

“Laras ini anak yatim, ayahnya sudah tiada. Ia tulang punggung keluarga. Ibunya sedang sakit. Maka dari itu kami mengajukan restorative justice agar perkaranya bisa di-SP3,” ujar Dodi. 

Seorang polisi berjaga di sisi rantis dari balik pagar Polda Metro Jaya yang ditempeli poster mengecam kekerasan aparat. Aliansi Perempuan Indonesia menuntut pembebasan aktivis dan pegiat media sosial yang dikriminalisasi selepas aksi protes 25-31 Agustus 2025. (Project M/Eka Nickmatulhuda]

Laras tidak hanya ditetapkan sebagai tersangka oleh kepolisian. Tetapi ia juga mengalami perundungan siber dan doksing dari banyak akun Instagram pada hari penangkapan.

Project Multatuli menelusuri beberapa akun Instagram dan menemukan akun-akun tersebut milik anggota kepolisian.

Salah satunya akun Instagram dengan nama pengguna miketumorang. Ia mengunggah beberapa tangkapan layar dari Instastory Laras, termasuk foto Laras yang diambil dari situs tempatnya bekerja, dan kemudian disertai tudingan bahwa Laras telah melakukan ujaran kebencian dan provokasi.

Akun itu juga menandai beberapa akun resmi kepolisian, seperti Divisi Humas Polri dan Gegana, serta akun tempat Laras bekerja, aipa.secretariat, dan meminta mereka menindak Laras.

Akibatnya, Majelis Antar-Parlemen ASEAN (ASEAN Inter-Parliamentary Assembly/AIPA), tempat Laras bekerja sebagai pegawai kontrak, memecat Laras.

Setelah ditelusuri, pemilik akun miketumorang merupakan perwira pertama kepolisian bernama Mikael Situmorang dengan pangkat Inspektur polisi dua (Ipda) dan diduga bertugas di Mabes Polri.

Di kolom komentar unggahan akun miketumorang, bermunculan akun milik anggota polisi lainnya. Salah satunya akun dengan nama pengguna hellodolly29. Ia menyebarkan data pribadi Laras seperti nama orangtua, alamat rumah, NIK, bulan dan tahun kelahiran. Mengancam dengan kalimat “See you in INP Office” dan “NIK blm berubah, kan?”

Pemilik akun hellodolly29 juga merupakan anggota kepolisian bernama Dolly Hello dengan pangkat ajun inspektur polisi dua (Aipda) dan diduga bertugas di divisi hubungan internasional Polri.

Masih dari kolom komentar akun yang sama, muncul komentar bernada ancaman dari akun pancawatibawanto. Akun itu berkomentar, “coba kalau di balik keadaan tempat tinggal Mbak, kami foto terus kami share dengan kata-kata provokatif, kira-kira gimana? Jangan FOMO, Mbak.”

Setelah ditelusuri pemilik akun merupakan seseorang bernama Panca Agung. Ia adalah Ketua Bhayangkari Pasaman Barat sekaligus istri dari Kapolres Pasaman Barat AKBP Agung Tribawanto.

Unggahan akun miketumorang juga diunggah ulang oleh akun-akun anonim, seperti akun dengan nama pengguna calon.mayit_, 404_notfound___, dan errorrr404notfound. Akun-akun anonim ini turut menyebarkan data pribadi Laras.

Perihal serangan siber dan doksing terhadap Laras, pihak keluarga menyerahkan sepenuhnya kepada kepolisian untuk memproses akun-akun itu.

“Untuk itu kami nggak fokus ke situ,” ujar Gafur.

Pegiat Komunitas Dituding Provokator

Saiful Amin, 29 tahun, pegiat komunitas dari Kota Kediri, menjadi tersangka atas tuduhan menghasut massa aksi. Dari balik penjara, pria dengan sapaan Sam Umar ini menuliskan selembar surat yang menjelaskan kondisinya baik-baik saja.

“Ada teman-teman lain yang tertangkap yang lebih menyedihkan daripada yang saya alami. Sebagian karena pelemparan Polres, terbawa suasana dan mencuri motor, molotov, yang saya yakini terbawa oleh keadaan hidup kita yang tidak wajar, tidak adil,” tulis Saiful pada 8 September.

Saiful Amin sehari-hari mengelola kedai kopi, di samping aktif dalam sebuah komunitas yang kerap mengadakan diskusi politik dan perbukuan di Kota Kediri.

Pada pukul 1 malam, 2 September, sekitar lima anggota dari Polres Kediri Kota mendatangi rumahnya dan menangkapnya. Polisi menuduh Saiful sebagai “biang kerusuhan” pada aksi protes 30 Agustus 2025.

“Apa harus malam ini, Pak?” tanya Saiful seperti diceritakan ulang oleh kuasa hukumnya, Taufik Dwi Kusuma, kepada Project Multatuli.

“Iya,” jawab salah satu polisi.

“Nggak bisa besok saja?”

“Nggak.”

Saiful ditangkap berdasarkan laporan model A atau laporan yang dibuat oleh anggota kepolisian.

Begitu sampai di kantor polisi, Saiful tidak langsung diperiksa. Penyidik kepolisian memintanya untuk beristirahat. Pemeriksaan Saiful baru dilakukan esok hari pada pukul 8.00-13.30.

Awalnya, ketika penangkapan, status Saiful sebatas saksi. Namun, setelah selesai pemeriksaan, statusnya dinaikkan polisi jadi tersangka. Polisi menjerat Saiful dengan pasal 160 KUHP tentang penghasutan, dengan ancaman penjara maksimal enam tahun.

“Saiful tentu mengelak (dituduh sebagai penghasut). Sudah ia jelaskan di BAP,” ujar Taufik. 

Para aktivis dari berbagai elemen masyarakat sipil membuat pernyataan sikap di Polda Metro Jaya, Jakarta, Rabu (17/9/2025). Mereka menuntut pembebasan aktivis muda dan pegiat media sosial seperti Delpedro Marhaen, Syahdan Hussein, Laras Faizati dan puluhan orang biasa yang dikriminalisasi selepas aksi protes 25-31 Agustus 2025. (Project M/Eka Nickmatulhuda)

Penetapan pasal penghasutan itu berkenaan dengan orasi Saiful di agenda Aksi Konsolidasi Kerakyatan di depan Taman Sekartaji dan Polres Kota Kediri pada petang hari 30 Agustus.

Ketika itu Saiful secara lantang mengkritik kebrutalan polisi terhadap massa aksi di Jakarta. Saiful dan massa aksi memulai kegiatan sekitar pukul 4 sore dan selesai pukul 5. Selanjutnya Saiful meminta massa membubarkan diri dan kembali keesokan hari untuk melanjutkan aksi di DPRD Kota Kediri.

“Saiful memutari Polresta Kediri menghimbau massa untuk pulang. Jam 17.15 semua massa sudah balik kanan,” ujar Taufik.

Beberapa saat kemudian terjadi kericuhan di beberapa titik, seperti di Mapolres Kota Kediri, DPRD Kota Kediri, DPRD Kabupaten Kediri, dan Pemkab Kediri. Massa melakukan perusakan, pembakaran, dan penjarahan. Menurut Taufik, kepolisian berusaha mengaitkan tindakan onar itu dengan orasi Saiful Amin. 

“Kalau akibatnya ada kerusuhan dan pembakaran itu bukan semata-mata atas hasutan Saiful Amin. Saya lihat ini dikait-kaitkan antara Aksi Konsolidasi Kerakyataan dengan kerusuhan. Nggak bisa ini dikait-kaitkan,” ujar Taufik.

“Ketika seorang demonstran menyampaikan aspirasinya dianggap menghasut. Itu naif sekali.”

Sehingga, Taufik menilai, penggunaan pasal penghasutan terhadap Saiful terlalu mengada-ada dan terkesan dipaksakan.

Untuk itu tim kuasa hukum mengajukan penangguhan penahanan ke Polres Kota Kediri pada 10 September 2025. Terdapat pula 70 orang dari berbagai kalangan: akademisi, profesional, aktivis, hingga tokoh pondok pesantren, untuk menjamin kebebasan terhadap Saiful Amin.

“Sekarang represifnya lebih halus dengan menggunakan pasal penghasutan,” tambah Taufik.

Kurator Seni Diburu Intel

Jumarup hidup dalam perburuan. Demi keamanan, ia terpaksa berpindah-pindah tempat. Ia pernah diancam seseorang tidak dikenal yang akan membunuh atau menculiknya. Data pribadinya disebar akun tidak jelas di media sosial. Geraknya kini menjadi terbatas dan pekerjaannya terbengkalai.

Pangkal ketegangan itu, karena Jumarup merekam dan membagikan foto seseorang saat aksi protes di Jalan Basuki Rahmat, Tegalsari, Surabaya, pada 29 Agustus 2025.

Hal yang paling membuatnya cemas, Jumarup tidak tahu kapan dan bagaimana semua ini akan berakhir.

“Menurut Kontras. Kalau ini kepentingan polisi, secara prosedural dan legal adalah meminta keterangan berdasarkan barang bukti yang ada. Karena aku punya data. Levelku menjadi saksi,” ujar Jumarup, bukan nama sebenarnya, kepada Project Multatuli.

“Tapi dengan situasi politik yang tidak menentu begini. Bisa saja aku naik menjadi tersangka.”

Jumarup diburu polisi dan mengungsi setelah membagikan foto sosok dengan helm, masker, kacamata, kemeja PDL, celana kargo dan ransel serba hitam serta memakai jaket Gojek baru dan sepatu Adidas Terrex yang melakukan pembakaran spanduk di Jl. Basuki Rahmat, Surabaya. (Project M/Abdul Malik Amirullah)

Jumarup, 34 tahun, berprofesi sebagai kurator seni di Jawa Timur. Ia tidak pernah terlibat demonstrasi sama sekali. Tapi, brutalitas polisi membubarkan massa aksi di DPR pada 28 Agustus, termasuk menewaskan ojol Affan Kurniawan, memantik kemarahan publik lebih luas. Target aksi protes kemudian tak cuma gedung dewan tapi juga kantor-kantor polisi di seluruh daerah. Jumarup tergerak untuk menjadi bagian dari aksi protes tersebut.

Pada 29 Agustus, waktu petang, Jumarup mendatangi titik aksi di sekitar Polsek Tegalsari, Surabaya. Bagi Jumarup turun ke jalan adalah upaya memahami isu secara paripurna. Ia merasa tidak cukup hanya dengan memantau perkembangan situasi dari layar media sosial. 

“Sehingga kalau aku harus bersuara tentang isu ini, ya aku tahu betul rasanya kayak bagaimana; punya pengalaman tubuh yang konkret,” ujar Jumarup.

Pengujung petang massa aksi masih memadati Jalan Basuki Rahmat. Jumarup merekam dan memotret mereka. Massa yang marah mulai menumpuk pembatas jalan dan spanduk di tengah jalan untuk mereka bakar. Tapi api tidak kunjung menyala. Jumarup meragukan kemampuan massa.

“Mereka cuma bawa korek untuk ngrokok. Untuk menyalakan api awalan saja nggak mempan,” ujar Jumarup.

Jumarup melihat massa mulai putus asa. Salah satu dari mereka bahkan mengompori untuk membeli bensin, tapi massa yang lain menolak.

“Yang lain teriak ‘mending beli gorengan’. Itu momen yang lucu, ketika orang marah mau membakar tapi sebenarnya nggak mampu,” ujarnya.

“Massa kayak ogah-ogahan.”

Sampai tiba seseorang dengan jaket Gojek membakar tumpukan dengan mudah. Perhatian Jumarup langsung menuju ke orang itu. Ia merasa janggal karena penampilannya yang mentereng daripada kebanyakan massa aksi.

Menurut kesaksian Jumarup, orang itu tampil dengan wajah tertutup helm, kacamata, dan masker yang serba hitam. Jaket Gojeknya tampak masih baru. Di dalam jaket, ia menggunakan kemeja hitam yang mirip pakaian dinas lapangan (PDL). Celananya kargo hitam panjang. Ia mengenakan sepatu adidas Terrex. Dan membawa tas ransel hitam.

Gerak-gerik orang itu juga kontras dengan massa aksi. Ia berseliweran dengan tenang di tengah massa yang antara marah dan takut. Bahkan saat membakar tumpukan spanduk dan pembatas jalan pun, ia tampak santai. Seperti penuh persiapan.

“Dia membakar banner pakai torch yang pakai gas. Prepared banget. Dan api segera membesar. Tentu massa yang penuh amarah ketika itu mengelilingi api,” ujar Jumarup.

“Karena merasa ada yang janggal, aku merekam orang ini.”

Tidak lama kemudian keadaan memanas, polisi menembakkan gas air mata dan massa aksi kocar-kacir. Jumarup kehilangan orang berjaket Gojek itu dan memilih untuk pulang. Itulah terakhir kali Jumarup mengikuti aksi protes.

Keesokan hari Jumarup melanjutkan aktivitas. Ia sibuk dengan urusan pameran seni. Pada hari yang sama, tepatnya waktu malam, tersiar berita Gedung Negara Grahadi Surabaya terbakar. Narasi media sosial dan media massa menyebut dugaan pembakaran dilakukan oleh massa aksi.

Jumarup ragu pembakar Gedung Grahadi dilakukan massa aksi. Ia menulis opini tentang massa aksi berdasarkan pengalamannya. Lalu ia unggah di Instagram pribadi.

Poin pertama Jumarup, massa tidak punya kapasitas sejauh itu untuk membakar gedung bahkan membakar spanduk saja mereka kesulitan. Poin kedua, ia menceritakan sekaligus membagikan foto sosok berjaket Gojek dan bersepatu adidas Terrex tersebut.

“Untuk menakar kapasitas massa membakar Gedung Grahadi, menurut pengalamanku, itu agak susah dilalap. Karena dalam situasi marah yang sedemikian pun massa tidak well prepared. Kemarahannya juga sangat spontan dan tidak terorganisir,” jelas Jumarup.

Seorang kawan Jumarup di Instagram, membagikan ulang opini itu. Dan, tidak ada yang menyangka opini itu viral di media sosial, bahkan menjadi rujukan pemberitaan oleh banyak media konvensional dan homeless media.

Sayangnya, mereka tidak secara komplet mengutip opini Jumarup.

“Ada pergeseran narasi karena story yang disebar tidak lengkap. Di media-media daring kadang bikin framing sendiri. Seolah sosok itu pembakar Grahadi,” ujar Jumarup.

Sejumlah aktiivis berbicara dengan seorang polisi saat hendak menemui Delpedro Marhaen yang ditahan di Polda Metro Jaya, Jakarta, Rabu (17/9/2025). Mereka menuntut pembebasan para aktivis muda dan pegiat media sosial pasca aksi protes 25-31 Agustus 2025. (Project M/Eka Nickmatulhuda)

Sejak viral, kehidupan Jumarup mulai banyak yang mengusik.

Serangan siber dan doksing mengarah ke Jumarup selama periode 31 Agustus-3 September. Nomor WhatsApp tidak dikenal mengancam akan membunuh dan menculiknya. Data pribadinya seperti alamat rumah, alamat mertua, dan email disebar akun Instagram anonim di media sosial. 

“Aku abaikan semua pesan itu. Aku hapus. Aku merasa nggak memprovokasi apa-apa dengan story itu. Aku hanya menceritakan massa aksi tanpa menyebut soal polisi dan intel,” ujarnya.

Akan tetapi eskalasi teror terhadap Jumarup naik tingkat menjadi teror fisik.

Pada 4 September, ketika berada di kantor, Jumarup ditelepon Ketua RT di lingkungan rumahnya. Ketua RT bilang ada tiga orang mengaku anggota kepolisian mencari dan mendatangi kediaman Jumarup. Tiga orang itu datang tanpa membawa surat apapun, hanya mengenakan kaos bertuliskan Polda D.I. Yogyakarta, dan membawa pistol di pinggang. 

Belakangan tetangga Jumarup menyatakan sempat melihat tiga orang yang sama berkeliaran di depan rumah Jumarup pada hari sebelumnya.

“Warga tidak kenal dengan orang-orang itu. Concern warga soal maling,” ujar Jumarup.

Jumarup mulai waspada. Sebab tiap kali ia berada di satu tempat, selalu ada orang-orang mencurigakan seolah mengintainya. Kadang orang itu hanya mengamati Jumarup dari kejauhan, tapi lain waktu orang itu memotretnya dan pergi begitu saja.

Kini Jumarup menetap di perasingan; situasi yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya.

“Sekarang risikonya jadi sama: sendiri atau bersama banyak orang tetap ada risiko aku ditangkap paksa. Lokasi ketahuan bisa terjadi kapan pun. Jadi daripada aku ketangkap saat sendiri, mending disaksikan banyak orang,” kata Jumarup.

Serampangan

Peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Iqbal M. Nurfahmi, menilai proses penangkapan dan penetapan tersangka pada banyak orang pasca aksi protes Agustus-September sebagai tindakan kepolisian yang represif. Terlebih lagi pasal yang polisi pakai, seperti pasal penghasutan, terkesan dipaksakan.

Tindakan kepolisian demikian, menurut Iqbal, seolah menyebarkan ketakutan semata terhadap orang-orang yang resah dan berani bersuara.

“Dalam kejadian ini, kepolisian cenderung memfokuskan perhatian mencari-cari orang untuk ‘membangun kasus’ kemudian dilakukan pemidanaan. Seharusnya penegakan hukum didahului pencarian fakta yang komprehensif,” ujar Iqbal.

Menurut Iqbal, proses penegakan hukum yang ugal-ugalan adalah cerminan dari melimpahnya kewenangan kepolisian tanpa pengawasan yang mumpuni.

“Prosedur KUHAP yang saat ini berlaku memudahkan penyidik melakukan upaya paksa penangkapan, penahanan, dan lain-lain secara serampangan. Kita lihat pola yang sama terjadi kepada beberapa orang yang ditetapkan tersangka saat ini,” ujar Iqbal. 

Sebuah surat ditujukan untuk rakyat Indonesia, presiden, dan DPR ditandatangani 16 aktivis muda yang dikriminalisasi terkait brutalitas polisi merespon demonstrasi pada akhir Agustus 2025. Mereka melakukan aksi mogok makan dengan tuntutan segera dibebaskan. (Project M/Permata Adinda)

Selain Laras Faizati Khairunnisa dan Saiful Amin yang menjadi tersangka, polisi menangkap banyak orang dan menetapkan mereka tersangka dengan tuduhan serupa, di antaranya:

  1. Direktur Lokataru Foundation, Delpedro Marhaen
  2. Admin akun Blok Politik Pelajar, Muzaffar Salim
  3. Pegiat media sosial Gejayan Memanggil, Syahdan Husein
  4. Pemilik akun Aliansi Mahasiswa Penggugat, Khariq Anhar
  5. Pemilik akun Tik Tok @tmg, Figha Lesmana
  6. Pemilik akun Instagram @rap, RAP
  7. Pemilik akun @bekasi_menggugat, WH
  8. Pemilik akun TikTok @cecepmunich, CS
  9. Pemilik akun Tiktok @hs02775, IS
  10. Pemilik akun Facebook Nannu, SB
  11. Pemilik akun Facebook Bambu Runcing, G

Menurut catatan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), brutalitas polisi atas aksi protes 25-31 Agustus menyebabkan 3.337 orang ditangkap dan 1.042 luka-luka. Dari aksi protes itu 10 orang meninggal dan per 17 September ada dua orang masih hilang.

Dari data Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), kedua orang hilang itu adalah Reno Syahputradewo, yang hilang sejak 30 Agustus dengan lokasi terakhir di sekitar Mako Brimob Kwitang; dan Muhammad Farhan Hamid, hilang sejak 31 Agustus dengan lokasi terakhir di sekitar Mako Brimob Kwitang.

Sedangkan menurut pengakuan kepolisian, jumlah orang yang mereka tangkap sebanyak 5.444 orang dari berbagai daerah: Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, Makassar, dan Medan. Sebanyak 583 orang sudah ditetapkan sebagai tersangka dan sisanya sudah dibebaskan.

“Ke-583 tersangka diproses hukum lebih lanjut untuk mencari aktor intelektual hingga penyandang dana aksi demonstrasi,” ujar Wakapolri Komjen Dedi Prasetyo.

Sampai sekarang kepolisian masih melakukan perburuan di sejumlah daerah. Salah satunya di Kota Bandung. Pada 16 September, kepolisian menetapkan 42 orang sebagai tersangka terkait aksi protes di Kota Bandung.

Mereka yang ditetapkan sebagai tersangka merupakan mahasiswa, pelajar, pekerja swasta, hingga admin media Instagram blackbloczone.

Polisi menuduh mereka sebagai kelompok anarko yang merencanakan dan melakukan perusakan fasilitas umum dan kantor pemerintah.

“Para pelaku tidak hanya turun ke jalan, tetapi juga merakit bom molotov, bom pipa, hingga melakukan uji coba ledakan. Ada pula yang berperan menyebarkan propaganda dan provokasi melalui media sosial untuk mengajak masyarakat melakukan kekerasan,” ujar Kapolda Jawa Barat Irjen Rudi Setiawan dalam konferensi pers. 

Aktivis Aliansi Perempuan Indonesia menggelar aksi simbolik tabur bunga di Polda Metro Jaya, Jakarta, Rabu (17/9/2025). Mereka menuntut pembebasan puluhan aktivis muda dan pegiat media sosial pasca aksi protes 25-31 Agustus 2025. (Project M/Eka Nickmatulhuda)

Tim Advokasi Untuk Demokrasi (TAUD) menduga polisi masih akan terus melakukan penangkapan. Sebab tim patroli siber kepolisian sudah bekerja memantau percakapan di media sosial.

TAUD mencatat 92 kasus pelanggaran hak digital selama 25 Agustus-8 September. Pelanggaran meliputi kriminalisasi para admin media sosial dan warganet yang kritis, spam call, doksing, peretasan, fake order, pembatasan internet, dan moderasi berlebihan yang membuat konten kritis menghilang.

Menurut Balqis Zakiyyah, analis hukum dan kebijakan divisi kebebasan berekspresi SAFEnet (bagian dari TAUD), operasi polisi siber berpotensi melanggar hak digital karena mengancam ruang privasi masyarakat sipil.

“Polisi siber yang dikerahkan tidak jelas batas-batas kewenangannya. Ini sangat mengkhawatirkan akan berujung pada pengawasan massal terhadap masyarakat,” ujar Balqis dalam keterangan pers.

Terima kasih sudah membaca laporan dari Project Multatuli. Jika kamu senang membaca laporan kami, jadilah Kawan M untuk mendukung kerja jurnalisme publik agar tetap bisa telaten dan independen. Menjadi Kawan M juga memungkinkan kamu untuk mengetahui proses kerja tim Project Multatuli dan bahkan memberikan ide dan masukan tentang laporan kami. Klik di sini untuk Jadi Kawan M!

Liputan Terkait
Fahri Salam
16 menit