Sikap ‘Netral’ Pejabat Tak Lindungi Petani Tembakau

Maria Hartiningsih
10 menit
Tembakau
Pengunjuk rasa menuntut regulasi yang memihak petani tembakau. (Project M/Zain Firmansyah)

PERSOALAN tembakau kerap membuat pihak pemerintah gamang dan dilematis sehingga tidak mampu bersikap tegas melindungi kepentingan petani. Sikap ‘netral’ pejabat tidak memberikan jawaban atas kesulitan yang terus dihadapi petani tembakau.

Kepala Dinas Ketahanan Pangan Pertanian dan Perikanan Kabupaten Temanggung di Jawa Tengah, Joko Budi Nuryanto, mengatakan tugasnya hanya meningkatkan hasil produksi petani lantaran secara teknis, tugas kelembagaan hanya membina dan mendampingi mereka.

Pihaknya tidak dapat membuat kebijakan, apalagi mengatur harga tembakau. Joko bilang, harga tembakau tidak bisa diseragamkan, harus sesuai grade. 

“Pemerintah hanya bisa intervensi, enggak bisa menjamin harga,” katanya.

“Monopoli harga itu sebenarnya enggak ada, tetapi kalau di pasar, sebelas dua belas lah. Tembakau itu banyak budayanya, enggak hanya bisnis,” Joko menambahkan.

Pemerintah setempat juga tidak mampu mengintervensi penjualan tembakau dengan sistem kartu tanda anggota (KTA) yang menjadi kebijakan pabrik rokok.

“Intervensi kita di tata niaga enggak akan sampai ke situ,” ucapnya, seraya melanjutkan, “kalau misalnya saya intervensi, enggak boleh sistem KTA, lalu pihak pabrik bilang silakan saja, terus petani mau jual ke mana? Kita tidak bisa memikirkan satu sisi saja.”

Joko berkilah, kesejahteraan petani tidak bisa dilihat hanya dari hasil tembakau.

Kabupaten Temanggung mempunyai lahan garapan seluas 18.615 hektare, tersebar pada 20 kecamatan, dengan jumlah petani antara 55.000-65.000 orang. Dari total itu, terdapat 14 kecamatan yang lahannya ditanami tembakau.

“Tidak hanya petani tembakau, karena dalam setahun lahannya tak hanya ditanami tembakau. Bisa sayur juga,” kata Joko.

Penelitian berjudul “Politik Ekonomi Pertembakauan di Kabupaten Temanggung” yang disusun akademisi Universitas Diponegoro di Semarang, Teguh Yuwono dan Kharisma Melati pada tahun 2020, menyebutkan angka produksi tembakau yang dihasilkan di Temanggung pada 2018, setara dengan 31 persen produksi tembakau di Jawa Tengah atau 26 persen dari total produksi tembakau nasional.

Kabupaten Temanggung memiliki jumlah penduduk sebanyak 83.257.000 jiwa yang tersebar di 266 desa dengan angka kemiskinan berkisar 0,09 persen dari total populasi di sana, sebut Ketua Komisi C DPRD Kabupaten Temanggung, Slamet Raharjo.

Tembakau
Petani memetik daun tembakau di Temanggung, Jawa Tengah. (Project M/Zain Firmansyah)

Belum Ada Regulasi

Lalu, adakah usaha untuk membantu petani?

Asisten Perencanaan Ekonomi dan Pembangunan Sekretaris Daerah Kabupaten Temanggung, Ripto Susilo Tenoyo, mengakui hingga saat ini belum ada regulasi bagi perlindungan petani.

“Hanya setiap tahun dibentuk Gugus Pertembakauan yang bersifat ad hoc,” katanya.

Gugus pertembakauan bertugas melakukan komunikasi antara pihak pabrik, pedagang, bakul kecil, perajin dan petani, kata Ripto.

Meski begitu, petani tetap bertahan mengandalkan tembakau sebagai komoditas utama. Mereka, kata Ripto, seperti terikat oleh tradisi betapa pun besar risikonya.

“Walaupun harga tembakau belum sepenuhnya memuaskan petani,” kata Ripto.

Joko, Kadis di Temanggung, menambahkan, tahun ini pihaknya bermitra dengan petani yang memiliki lahan seluas total 1.300 hektare. Dalam kemitraan itu, pemerintah menyediakan bantuan bibit dan pupuk untuk pengelolaan lahan. Tidak ada paksaan dalam bermitra. Apabila petani sudah memiliki pupuk dan bibit sendiri, mereka tetap bisa melanjutkan usaha.

“Kalau petani yang tidak mau bermitra, ya memilih mandiri,” kata Joko. “Atau sama tengkulak dengan sistem ijon, tetapi ada pula pedagang tembakau yang meminjami modal.”

Pihaknya juga tidak bisa berbuat banyak terhadap harga potongan tembakau petani yang diambil pabrik. Potongan berat tembakau yang dijual ke pabrik, katanya, dilakukan berdasarkan kesepakatan.

“Setiap tahun, suatu pabrik rokok besar membuat kesepakatan berapa kilogram potongan per keranjang. Mau lewat orang dalam manapun potongannya segitu dan itu sudah dihitung,” ujarnya.

Potongan itu berkaitan dengan risiko yang ditanggung pabrik. Jika tembakau disimpan dalam waktu yang lama, kadar air akan berkurang dan berat tembakau otomatis akan berkurang.

“Kalau untuk menghilangkan itu saya gak berani. Karena itu ada berat kotor berat bersih,” kata Joko.

Sekretaris Komisi B DPRD Jawa Tengah Muhammad Ngainirrichadl menambahkan, sudah empat tahun terakhir petani tembakau selalu merugi. Sebab, harga tembakau tidak sesuai dengan harapan sehingga modalnya tidak kembali. Tapi, memilih untuk tidak menanam juga berisiko.

“Kalau tidak tanam tembakau, jangan-jangan nanti harganya mahal, jadinya getun,” kata Ngainirrichadl.

“Tembakau masih menjadi komoditas unggulan bagi sebagian besar petani di Temanggung, khususnya di lereng Sindoro-Sumbing, Kedu, dan Jumo, dengan harapan bisa untuk memperbaiki nasib petani.”

Tembakau
Buruh tani menggotong hasil panen tembakau di Desa Baran, Temanggung. (Project M/Felix Jody Kinarwan).

Tidak Terlindungi

Sirkulasi uang dalam bisnis tembakau yang beredar sejak Agustus, September, Oktober dan awal November 2021, mencapai Rp2 triliun, sedangkan APBD di Kabupaten Temanggung hanya Rp2,1 triliun.

“Pertanyaannya, uang yang dinikmati petani berapa persen?” tutur Ketua Dewan Pimpinan Cabang (DPC) Asosiasi Petani Tembakau (APTI) Temanggung, Siamin.

Regulasi yang ada tidak memihak petani tembakau. Salah satunya cukai yang naik tiap tahun. Hal ini berdampak kepada pabrikan yang mengurangi biaya pembelian bahan bakuClick To Tweet

Kalau sudah begitu, Siamin melanjutkan, petani jadi tak punya pilihan. Supaya hasil panennya habis, mereka mau tak mau harus menerima harga jualnya menjadi hancur-hancuran akibat tekanan pasar.

Siamin juga menyinggung dana bagi hasil cukai yang tidak tepat sasaran. Seharusnya dinas tekait memiliki data jumlah kelompok tani penerima bantuan dana dari hasil cukai, selain peta jalan yang jelas dan hasilnya.

“Dana bagi hasil cukai di Temanggung mencapai sekitar Rp30 miliar. Dari dana itu, seharusnya 50 persen kembali ke petani, 25 persen untuk kesehatan dan 25 persen untuk penegakan hukum. Namun, hanya 15 persen atau Rp6 miliar yang ke petani. Dari enam miliar itu mestinya bisa terdistribusi ke petani dengan model giliran sehingga keadaan menjadi lebih baik,” terangnya.

Pihaknya menduga banyak bantuan dari bagi hasil cukai yang menumpuk pada orang atau kelompok tertentu yang dekat dengan kekuasaan.

Lalu bagaimana APTI Temanggung melindungi petani?

Siamin mengatakan, sebagai pengurus baru di organisasi itu, pihaknya siap melakukan penataan kelembagaan terlebih dahulu. Kepengurusan akan dibentuk di tiap desa di 14 kecamatan.

“Pengurus KTA sekarang, terutama ketua dan sekretaris tidak boleh punya KTA, kecuali pengurus yang dulu, yang sudah punya KTA. Kami murni petani. Takutnya ada penyalahgunaan. APTI tidak boleh berpolitik praktis. Kami hanya memperjuangan petani agar sejahtera,” kata Siamin.

Setelah itu, ia akan memaksimalkan kelompok tani. Hal itu mulai dari melakukan edukasi ke petani. Subsistem budidaya pertanian atau on farm, dibenahi dulu sehingga kualitas tembakau bagus.

“Kami mengedukasi petani untuk melakukan pemurnian kualitas tembakau sehingga memiliki posisi tawar dengan pabrik. Setelah itu baru mencoba bekerja sama dengan pabrikan,” katanya.

Dalam tata niaga tembakau itu, ia menilai akan lebih baik jika peran Badan Usaha Milik Desa atau BUMDes dimaksimalkan. Hasil pertanian akan ditampung dan dikelola di BUMDes, kemudian baru memanggil pabrik. Siamin juga mendorong pemerintah kabupaten dan legislatif membuat perda tentang perlindungan produk unggulan Temanggung.

“Dengan demikian, keberadaan petani tembakau terlindungi secara hukum, terutama di sisi tata niaga,” katanya.

Untuk menunjang pembentukan peraturan daerah, pihaknya telah berdiskusi dengan pengurus APTI daerah lain dan anggota Komisi D DPRD Temanggung.

Siamin menambahkan, pihaknya telah meminta draf perda dari Pamekasan Madura dan Lombok untuk dipelajari. Keberadaan perda sangat penting untuk memutus mata rantai tata niaga tembakau yang selama ini terlalu panjang, terstruktur dan masif, sehingga banyak merugikan petani.

Siamin juga mendorong Pemkab Temanggung segera mewujudkan pembentukan Sentral Industri Hasil Tembakau yang kajiannya sudah dilakukan Pemkab Temanggung dan Pemerintah Provinsi Jawa Tengah.

“Kini tinggal political will dari pemerintah. Sebab, selama ini yang masuk ke Temanggung baru dua pabrik besar. Kalau ada pesaing lain kan jadi bagus,” katanya.

Dengan berbagai upaya itu, ia berharap petani tembakau menjadi lebih sejahtera seperti dulu. Ia mengenang kala duduk di bangku SMP tahun 1987, hasil berjualan satu keranjang tembakau bisa digunakan untuk membeli mobil jenis Colt T seharga Rp3.250.000.

Sampai menjelang akhir tahun 1980-an, kondisi petani Temanggung masih sejahtera karena harga tembakau masih tinggi. Pada era itu, petani masih menikmati momentum booming-nya produksi rokok kretek di Kudus dan Kediri yang dimulai sekitar satu dekade sebelumnya.

Mukani dan Isdiyoso dalam Monograf Balittas Nomor 5 tahun 2000 mengungkap, pada tahun 1976, harga tembakau Srinthil pernah mencapai Rp120.000. Kalau satu keranjang berisi 40 kilogram, maka pendapatannya mencapai Rp4,8 juta, yang saat itu senilai Jeep Toyota Baru.

Kondisi petani mulai terpuruk pada tahun 1990-an akibat ketimpangan tata niaga dan kosongnya perlindungan regulasi.

Tembakau
Buruh tani beristirahat di samping keranjang berisi tumpukan daun tembakau di Desa Legoksari, Temanggung. (Project M/Felix Jody Kinarwan)

“Kulonuwun” Kepada Bumi

Bumi, bagi petani tembakau di Temanggung adalah sakral. Semua bibit tembakau yang hendak ditanam ‘dititipkan’ supaya lancar sampai musim panen tiba. Itu sebabnya, musim tanam selalu didahului dengan ritual, sebagai simbol minta ijin atau ‘kulonuwun’ kepada Bumi.

Sebelum bercocok tanam, beberapa petani menyiapkan ubo rampe untuk upacara ritual itu. Berbagai keperluan disiapkan, memulai dengan memilih hari yang baik untuk memulai bertanam hingga sesajen yang akan disajikan dalam ritual itu.

“Sebelum menanam, kami kulonuwun dulu kepada Bumi. Istilahnya nyecel atau peletakan batu pertama. Ini wujud rasa syukur kami,” ujar Sutopo, petani tembakau, yang ditemui di rumahnya di Dusun Lamuk Legok, Desa Legoksari, Kecamatan Tlogomulyo, Senin, 6 Desember 2021.

Ritual dilakukan dalam setiap tahapan proses.

“Sebab, selama setahun lalu, satu musim tanam, kami sudah menikmati hasil bumi dan seyogyanya kami berterima kasih kepada bumi,” lanjut Sutopo, petani tembakau di Lamuk yang juga anggota APTI.

“Niat ingsun nyeblokake wit mbako, titip ana ing gegering bumi. Iki engko arep tak gujeng.”

(Aku berniat menanam pohon tembakau, menitipkan di punggung Bumi. Ini nanti akan saya pegang..)

Selain ritual, petani juga memperhitungkan pranata mangsa, yakni pengetahuan tentang kalender ‘waktu tanam’ tradisional, sebagai acuan dalam kegiatan pertanian, mulai dari menanam dan menggunakan komoditas tertentu sampai panen.

Hal itu yang dipegang teguh para petani di Lamuk, daerah yang selama ini dianggap menghasilkan tembakau dengan kualitas paling istimewa.

“Dengan berbagai cara, kualitas tembakau Temanggung masih dipertahankan, seperti tembakau Srintil milik Mbak Prayit yang rumahnya di dekat sini,” kata Sutopo.

Mbah Prayit, dikenal sebagai petani ber-‘merek’. Karena berhasil menjaga kualitasnya dengan pupuk organik. Tahun ini saja, tembakau Strintilnya laku hingga Rp700.000 per kilogram. Maka tak aneh apabila tembakau milik Mbah Prayit itu menjadi parameter harga di Temanggung. Jika tembakau Mbah Prayit sudah dijual, maka harga tembakau lain dipastikan akan turun.

Tembakau
Petani menjemur rajangan tembakau dengan latar belakang Gunung Sumbing. (Project M/Zain Firmansyah)

Menurut Sutopo, kunci menanam tembakau bukan semata karena keinginan mendapat harga tinggi, melainkan supaya semua selamat.

Musim kemarau adalah waktu yang tepat bagi mereka menanam tembakau. Pada saat itu, hamparan hijau tembakau melingkupi  Kabupaten Temanggung dengan lahan seluas sekitar 18.615 hektare di dataran dengan ketinggian 400–1.500 meter di atas permukaan laut (mdpl).

Dia mengotak-atik hari yang dinilai baik untuk menggelar ritual mengacu pada perhitungan kalender Jawa “Aboge” (Alif-Rabo-Wage). Kemudian dia juga memperhitungkan hari kematian anggota keluarganya.

“Itu hari-hari yang tidak digunakan untuk ritual nyecel. Kemudian, kami juga melihat perhitungan lain, yakni berdasarkan suku, watu, gajah, buto. Kami ambil yang gajah, karena gajah itu besar dan kuat,” kata Sutopo.

Perhitungan itu kemudian dikomparasikan dengan hari pasaran. Tak kalah penting, doa petani juga diwujudkan dalam bentuk simbol yang dibawa dalam ritual, yakni sego bakar (nasi bakar), kecambah (biji-bijian yang merambat), gereh pethek lanang (ikan asin).

Tradisi itu, menurut Sutopo, masih lestari di dusun tempat dia tinggal, namun mungkin telah memudar di daerah lain.


Tulisan ini merupakan hasil kolaborasi bersama Serat.id dan menjadi artikel kelima dari serial #TobaccoDeadlock yang ingin memeriksa mengapa diskusi dan kebijakan tentang pengendalian tembakau kerap menghadapi jalan buntu.

Serial didukung dana hibah dari Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia dan tidak memengaruhi independensi redaksi Project Multatuli.

Terima kasih sudah membaca laporan dari Project Multatuli. Jika kamu senang membaca laporan kami, jadilah Kawan M untuk mendukung kerja jurnalisme publik agar tetap bisa telaten dan independen. Menjadi Kawan M juga memungkinkan kamu untuk mengetahui proses kerja tim Project Multatuli dan bahkan memberikan ide dan masukan tentang laporan kami. Klik di sini untuk Jadi Kawan M!

Liputan Terkait
Maria Hartiningsih
10 menit