Skema Kemitraan, Ilusi Keadilan

Maria Hartiningsih
10 menit
Petani dan pedagang tembakau, Sojo, sedang memeriksa tumpukan tembakau di gudang penyimpanan di Karangjati, Ngawi. (Project M/Nurika Manan)

Skema “kemitraan” antara perusahaan dan petani dipandang ideal dalam tata niaga tembakau. Namun skema itu mengandaikan adanya kesetaraan antara para pihak yang terlibat di dalamnya.

Pertanyaannya: bagaimana kesetaraan bisa terwujud kalau salah satu pihak ditempatkan dalam posisi subordinat? Bagaimana petani bisa sejahtera kalau kerugian mengepung dari segenap sisi? Bagaimana kalau negara tidak memahami bahkan tidak mengakui kerentanan dan penderitaan petani?


PAGI itu di rumahnya yang nyaman, Sojo, petani Karangjati di Kabupaten Ngawi, menceritakan kejadian empat tahun lalu. Nada bicaranya dipadati sisa-sisa kekesalan. Ia bicara sambil mengantuk-antukkan korek api ke meja kayu, setiap kali memberi penekanan pada kata-kata tertentu.

“Kemarahan saya waktu itu memuncak. Ketika saya lihat, wah ini ndak bener, saya sudah mentok, tidak ada lagi pintu nego, saya naik konveyor, saya pencet itu, saya matikan listrik,” kenang Sojo mengenai peristiwa tahun 2017.

Hari itu, Sojo berdiri di antara ratusan petani yang sedang menunggu giliran grading tembakau di pabrik milik PT SA —sebuah perusahaan pemasok daun tembakau untuk produsen rokok yang beroperasi di wilayah Ngawi, Jawa Timur. PT SA adalah satu-satunya perusahaan yang menjalin “kemitraan” dengan petani tembakau di Kabupaten Ngawi sejak tahun 2005. Setelah 15 tahun, perusahaan pemasok tembakau ini memutuskan mengakhiri kemitraan pada 2020 lalu.

Grading, adalah proses penilaian kualitas tembakau. Petugas grader, yang ditunjuk perusahaan, memeriksa berbal-bal tembakau yang disetor petani, kemudian menggolongkan mutu sekaligus menentukan harga, lalu menimbangnya.

Sojo tak sanggup lagi menahan geram. Tubuh kecilnya melompat. Dan dalam sekejap sepasang kakinya berada di atas konveyor tembakau. Matanya mencari-cari tombol power off dan buru-buru meraihnya. Setengah berteriak, ia meminta proses pembelian tembakau dihentikan.

Pangkal kemarahan Sojo adalah mekanisme “kemitraan” tak memberikan kepastian harga, sehingga harga dengan mudah dipermainkan. “Pabrik yang kendalikan harga. Kami tidak bisa menghargai komoditi kami sendiri,” protes Sojo.

Dengan skema “kemitraan”, umumnya ada kontrak tertulis antara petani dan industri rokok. Dengan skema itu petani bisa mendapatkan pendampingan, juga pinjaman modal di antaranya berupa bibit, pupuk ataupun, kebutuhan alat pertanian lain. Utang ini biasanya dibayar ketika panen tiba.

Sementara perusahaan menentukan target produksi dan membeli hasil panen petani tembakau dengan harga yang sudah ditentukan, meski belum tentu juga semuanya bakal diserap. Jika perusahaan menganggap kualitas tembakau petani tak sesuai keinginan mereka, produk bisa saja ditolak masuk gudang.

Di sinilah persoalannya.

“Yang terjadi, sudah tidak pantas. Misalnya, ada (grader) yang mengatakan, ‘oh ini nggak masuk, nggak sesuai kriteria’. Kalau sudah begitu, petani tidak bisa apa-apa,” lanjutnya.

Penilaian grade dan penentuan harga tembakau selama puluhan tahun dilakukan atas dasar subjektivitas grader.  Posisi grader sebagai penentu kualitas sangat berkuasa, dan petani menjadi pihak yang dirugikan karena ketiadaan standar sebagai patokan penentuan mutu.

“Tembakau yang saya bawa masuk (ke pabrik), di-reject, tetapi melalui tangan orang lain, tembakau yang sama, ternyata laku,” keluh Sojo, menyiratkan kekesalan.

Pembelian dengan PT IDS di Lumajang, Jawa Timur, juga menggunakan sistem kemitraan. Pola yang ia harapkan lebih memberikan kepastian–dari segi harga dan penyerapan panen–nyatanya juga tak semulus konsep di atas kertas.

“Yang ngegrade kan manusia. Manusia kan bisa main-main juga. Yang harusnya (grade) 1, karena alasan gini-gini, bisa masuk dua. Padahal ya, kadang sama-sama saja itu. Kami sering bertengkar soal itu,” ujar Ismail Hidayat, petani tembakau dari Desa Tumpeng, Kecamatan Candipuro, Kabupaten Lumajang. “Tapi yang menang ya jelas perusahaan.”

Salah satu contoh tembakau di gudang penyimpanan milik Sojo. (Project M/Nurika Manan)

Seperti Kentut

Tidak jelas berapa jumlah kuota yang ditetapkan oleh pabrik, tetapi pabrik membatasi jadwal pembelian tembakau ketika panen melimpah. Akibatnya banyak petani yang tak kebagian jadwal setor karena gudang tembakau keburu tutup. Alhasil, berkoli-koli tembakau terparkir di rumah-rumah petani. Lebih parah lagi, kadang pabrik kemudian urung menyerapnya.

Tembakau yang ditolak masuk gudang adalah santapan empuk para tengkulak. Penolakan pabrik akan dimanfaatkan untuk membeli tembakau petani dengan harga semurah-murahnya.

“Sudah ada itu yang menunggu di luar (gudang). Tembakau yang ditolak dibeli (tengkulak) Rp7.000 – Rp8.000 (per kilogram), terjun bebas dari Rp25.000. Padahal untuk bisa menutup biaya produksi, menurut hitungan sederhana saja, tembakau itu harus laku di kisaran Rp20.000,” ungkap Sojo.

Sojo menduga, tengkulak itu menyetorkan tembakau-tembakau yang dibeli dengan harga murah itu ke pabrik. Dari situlah mereka menangguk untung.

“Itulah yang saya katakan mafia tembakau. Mafia itu kayak kentut: ada baunya, tetapi enggak bisa dibuktikan,” ucapnya mengibaratkan.Click To Tweet

Keputusan sepihak dari pihak perusahaan itu membuat pola kemitraan yang ada tidak menyelesaikan masalah secara tuntas.

Setelah 15 tahun, perusahaan pemasok tembakau di Ngawi, PT SA, memutuskan mengakhiri kemitraan pada 2020 lalu.

“Banyak perusahaan yang tiba-tiba meninggalkan kabupaten tertentu. Di Lumajang, ada dua perusahaan yang meninggalkan Lumajang,” ujar Mudi, petani dari Lumajang, yang juga Ketua Asosiasi Petani Indonesia (APTI) Jawa Timur, menjelaskan kondisi di daerah itu, setahun terakhir.

Menurut Mudi, di Kabupaten Lumajang semula ada tiga perusahaan yang bermitra dengan petani tembakau yakni PT IDS, PT SA dan PT AOI. Akan tetapi satu per satu tanggal. Sampai kemudian pada 2021 hanya tersisa PT IDS.

Untung dan Buntung

Dari kursi kereta rute Bojonegoro-Surabaya, pada November 2021, beberapa petak lahan masih menyisakan tanaman tembakau—komoditas perkebunan yang menempati urutan kedua terbesar di Jawa Timur, setelah tebu, diikuti kopi dan kakao. Pemandangan itu bisa dilihat dari kejauhan, karena warna cokelat daun tembakau yang kontras di antara hijau padi juga jagung.

“Akhir Oktober dan awal November itu hujan luar biasa, jadi tanaman tembakau petani sekitar 30-50 persen habis kena hujan. Enggak bisa dipanen semua,” ujar Mudi, Ketua Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) Jawa Timur, yang menjelaskan kondisi setahun terakhir.

Cuaca buruk pula membuat Mudi memutuskan untuk rehat menanam tembakau tahun ini. Ia rugi. Pada 2020 lalu, Mudi masih bertani tembakau. Tapi hanya 50 persen tanamannya yang bisa dipanen dari lahan seluas 1 hektare.

Tahun ini, Sojo juga menanam tembakau di lahan seluas 1 hektare. Tapi faktor cuaca membuat tanamannya hanya bisa dipanen 70 persen. Itu pun dengan kualitas buruk.

“Dihitung pakai kalkulator merek apapun enggak ketemu hasilnya,” kata Sojo menggambarkan kerugian hasil panen tembakaunya.

Meski hal yang sama banyak dialami petani tembakau dari Jawa Timur, provinsi terluas di Pulau Jawa itu merupakan penghasil tembakau terbesar di Indonesia. Data dari Kementrian Pertanian tahun 2020 mencatat, produksi tembakau di Jawa Timur mencapai sekitar 85 ribu ton pada tahun 2020, dengan jumlah petani mencapai 370 ribu orang. Jawa Tengah menempati posisi kedua dengan 48,3 ribu ton dan NTB 46 ribu ton.

Tanaman tembakau di Indonesia sebagian besar adalah jenis tembakau musim kemarau atau Voor-Oogst (VO), di antaranya, tembakau Virginia, tembakau asli, tembakau White Burley, tembakau Srinthil, tembakau Deli, yang kualitasnya tinggi.

Memasuki musim hujan, tanaman tembakau membusuk di salah satu lahan di Bojonegoro, Jawa Timur. (Project M/Nurika Manan)

Kepada wartawan pada bulan September 2021, Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan Jawa Timur (Jatim) Dr. Ir. Drajat Irawan SE., SH., MT Jawa Timur menyatakan,  berdasarkan data per tahun 2020, kontribusi Jatim terhadap penerimaan cukai negara sebesar Rp101,09 triliun atau sebesar 59,83 persen dari total penerimaan cukai nasional.

Kendati sumbangan produk tembakau secara nasional besar, regulasi perlindungan petani tembakau tak kunjung dibuat. Padahal panjangnya rantai tata niaga tembakau masih menjadi masalah tahunan. Menurut Mudi, pengawasan pemerintah baru sebatas pada kepatuhan perusahaan terhadap aturan cukai, tetapi tidak ada pengawasan kepada perusahaan yang memakai tangan-tangan tengkulak atau pengepul untuk mendapatkan tembakau petani dengan harga murah.

“Tata niaga tembakau di Indonesia mata rantainya panjang, mulai dari pedagang kecil, atau pengepul, pedagang besar, baru ke grader,” ungkap Mudi. “Rata-rata seperti itu, paling tidak empat sampai lima kali lah harga (tembakau) itu bergeser. Jadi harga yang harusnya dinikmati petani jadi terpotong. Misalnya kalau pabrik mematok Rp30 ribu, yang sampai ke petani hanya Rp25 ribu.”

Ia menegaskan, “kalau pola kemitraan itu kan harusnya sama-sama untung. Jangan yang sebelah untung, tapi yang sebelah buntung.”

Gabungan Perusahaan Rokok (Gapero) Jawa Timur menolak disebut tidak adil dalam urusan harga pembelian tembakau petani. Ketua Jatim Sulami Bahar menyebut industri rokok telah mematok harga yang layak untuk tembakau petani.

Namun ia tak mau disalahkan jika ada tembakau yang dibeli dengan harga murah. Ia menduga hal itu terjadi karena ulah pelaku di lini tengah tata niaga tembakau.

“Seakan-akan petani ini dikuyo-kuyo. Kalau harganya ditekan sepihak, kasarnya dibuat murah-murah, itu tidak benar!” Sulami membantah, “Industri rokok tidak sejahat itu. Walaupun belinya ke pihak ketiga, industri rokok juga tahu, kalau harga tembakau mahal ya akan dibeli mahal. Jadi nggak ada, industri minta harga yang kecil.”

Sulami berdalih, perusahaan rokok tak pernah berinteraksi langsung dengan petani, melainkan menggunakan pihak ketiga. Tapi bagaimanapun, ia tak menampik, perusahaan rokok selektif dalam memilih mutu tembakau petani karena ini berkaitan dengan kualitas produk rokok yang dijual.

“Harga murah atau mahal, enggak adil kalau yang disalahkan industrinya. Karena sekali lagi, mata rantainya pasar tembakau seperti itu. Pabrik jarang berinteraksi langsung dengan petani, tetapi melalui pihak ketiga,” tutur Sulami.

Oleh sebab itu, seperti ditegaskan Mudi, problem mendasar pertanian tembakau harus diurai dengan perbaikan tata niaga dan jaminan perlindungan bagi petani. Pasalnya skema kemitraan yang ditawarkan menjadi jalan tengah, terbukti bukan solusi tepat dan justru menimbulkan masalah baru.

Dua Sistem

Sistem tata niaga di daerah tembakau tidak seragam modelnya. Di Jawa Timur, mengutip buku Strategi Peningkatan Kesejahteraan Petani Tembakau, Petani Tembakau dan Pekerja Rokok di Indonesia (2021) dilakukan dengan dua skema kemitraan, dengan gudang dan langsung melalui tengkulak.

Di Jember, misalnya, ada tiga perusahaan yang menjadi gudang, kisaran harganya antara Rp2,6 juta-Rp4,5 juta per kuintal. Kalau melalui tengkulak, petani umumnya memperoleh 80 persen dari harga jual gudang.

Meski demikian, petani lebih suka menjual pada tengkulak karena bisa medapatkan uang langsung setelah transaksi, tidak harus menunggu seperti pada skema kemitraan.

Dua sistem itu digunakan secara bersama oleh petani yang juga menjadi pedagang atau tengkulak.

Sojo, misalnya. Sudah 10 tahun terakhir ini ia merangkap menjadi pedagang tembakau karena kerap menjumpai petani yang mengiba agar tembakau mereka dibeli, meski dengan harga yang sangat murah, asal tembakau mereka laku dijual.

“Kalau saya, semurah-murahnya, ada beban moral. Karena selain pedagang, saya juga petani, saya menghitung biaya tanam tembakau,” ujarnya.

Sebanyak 15 ton tembakau masih tersimpan di gudang yang disewa Sojo. (Project M/Nurika Manan)

Tanpa menyebut nominal, ia menekankan tetap membeli tembakau petani dengan harga layak. Saat pertama kali memulai berdagang tembakau tahun 2011, dalam sehari ia bisa mengantongi Rp10 juta dari hasil membeli 10 ton tembakau petani dan menyetornya ke tengkulak besar suatu pabrik rokok terkemuka.

“Pernah sehari dapat Rp25 juta, tetapi pernah juga tiga bulan enggak dapat apa-apa.”

Saat didapuk menjadi Ketua Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) Kabupaten Ngawi pada 2013, Sojo merasa memiliki tanggung jawab moral ke ribuan anggotanya. Alhasil, bila masih ada tembakau petani yang tidak diserap pabrik, ia yang akan mengambil.

Saat ini masih ada sekitar 15 ton tembakau tersimpan di gudang yang ia sewa. Menyimpan tembakau dalam jumlah besar juga butuh biaya dan tenaga. Tumpukan tembakau harus dibongkar dan dipindahkan, satu atau dua bulan sekali, agar kualitasnya terjaga. Untuk itu juga dibutuhkan tenaga kerja.

Belum lagi beberapa bal tembakau yang juga ia simpan di gudang kecil di sebelahnya.

Tapi apa daya, statusnya sebagai pengayom perhimpunan petani membuat Sojo tidak bisa meraup untung dari pasokan yang ada.

“Kalau saya, suruh untung buanyak, ya nggak bisa,” tutur Sojo.***


Tulisan ini merupakan tulisan kedua dari serial #TobaccoDeadlock yang ingin memeriksa mengapa diskusi dan kebijakan tentang pengendalian tembakau kerap menghadapi jalan buntu. Serial ini didukung oleh dana hibah dari Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia. Dana hibah tidak mempengaruhi independensi redaksi Project Multatuli.

Terima kasih sudah membaca laporan dari Project Multatuli. Jika kamu senang membaca laporan kami, jadilah Kawan M untuk mendukung kerja jurnalisme publik agar tetap bisa telaten dan independen. Menjadi Kawan M juga memungkinkan kamu untuk mengetahui proses kerja tim Project Multatuli dan bahkan memberikan ide dan masukan tentang laporan kami. Klik di sini untuk Jadi Kawan M!

Liputan Terkait
Maria Hartiningsih
10 menit