Wajah Suram di Balik Bandara Kertajati: Petani Terjerat Utang Bank dan Dipaksa Beralih Profesi

LBH Bandung
Ronna Nirmala
26 menit
Suhardi (55), salah seorang warga yang sawahnya telah menjadi landasan pesawat Bandar Udara International Jawa Barat (BIJB) Kertajati mencari rumput untuk ternaknya. Suhardi mengaku mengalami kesulitan membeli tanah baru dari uang ganti rugi karena harga tanah lebih tinggi daripada uang ganti rugi yang ia dapat. (Project M/Bukbis Candra Ismet Bey)

Dalam hitungan hari, Bandara Internasional Kertajati akan beroperasi sebagai satu-satunya bandara komersial di Jawa Barat. Di tengah hiruk-pikuk menyambut industrialisasi Kertajati, warga dan petani di sekitar masih tak bisa merasakan keuntungan dari proyek ambisius itu. 

SUASANA sepi menjadi pemandangan di Bandara Internasional Jawa Barat (BIJB) Kertajati pada pertengahan Agustus. Lahan parkir yang terhampar luas terlihat kosong. Tidak terdengar gemuruh pesawat atau lalu lalang calon penumpang laiknya di terminal transportasi udara. 

Hanya segelintir pekerja yang tampak beraktivitas di bandara yang memiliki rancang bangun terinspirasi dari ekor burung merak ini. Jadwal penerbangan ke luar negeri juga hanya dua kali dalam satu pekan, yakni Rabu dan Minggu, oleh maskapai Air Asia dengan rute Kertajati – Kuala Lumpur. 

Sebelum pandemi Covid-19, bandara yang diresmikan pada 2018 ini sempat ramai. Pekerja bandara sibuk melayani jadwal penerbangan domestik maupun luar negeri dari sejumlah maskapai penerbangan. Pada akhir 2021, BIJB Kertajati juga sempat membuka pelayanan penerbangan kargo. 

Namun, pandemi membuat seluruh aktivitas di bandara melandai. Periode tahun itu, sekitar 175 pekerja dirumahkan. Pelayanan penerbangan kargo juga akhirnya berhenti. 

Kendati demikian, pemerintah punya proyeksi menjadikan BJIB sebagai bandara terbesar kedua setelah Soekarno-Hatta di Tangerang. 

Dalam beberapa hari ke depan, seluruh penerbangan komersial di Jawa Barat yang semula berangkat dari Bandara Internasional Husein Sastranegara di Bandung akan dipindahkan ke BJIB. 

Proses pembangunan BJIB melewati tiga periode kepemimpinan Gubernur Jawa Barat. Studi kelayakan bandara sudah ada sejak 2003. Awalnya, Pemerintah Provinsi Jawa Barat akan membiayai pembangunan bandara dengan APBD. Sayang, pembangunan bandara terus tertunda dan baru dimulai pada 2014. 

Pemerintah pusat akhirnya turun tangan dengan mengalokasikan dana dari APBN. Bandara Kertajati kemudian masuk dalam Program Strategis Nasional (PSN) pada 2016, sebagaimana tertuang dalam Peraturan Presiden (Perpres) No. 3 tahun 2016 dan Perpres No. 56 tahun 2018.

Pembangunan bandara kemudian digenjot, meski hingga kini belum juga tuntas. BJIB saat ini baru memiliki satu landasan pacu berukuran 3.000×60 meter dan terminal penumpang seluas 9,6 hektare dengan kapasitas 5,6 juta penumpang per tahun. Pembangunannya menelan biaya hingga Rp 2,6 triliun.

Bandara Kertajati ditargetkan memiliki tiga landasan pacu dan terminal penumpang seluas 20,95 hektare dengan kapasitas 29,3 juta penumpang per tahun. Bandara ini diproyeksikan menjadi yang terbesar kedua di Indonesia, setelah Bandara Internasional Soekarno-Hatta di Banten. 

Ridwan Kamil, mantan Gubernur Jawa Barat, optimistis BIJB Kertajati sebagai bagian dari kawasan metropolitan Rebana (Cirebon-Patimban-Kertajati) akan berkembang pesat, terutama setelah tol Cisumdawu (Cileunyi-Sumedang-Dawuan) selesai dibangun. 

Namun, pembangunan bandara masih menyimpan sesak bagi masyarakat yang semula menetap dan menggantungkan hidup di lahan seluas 7.500 hektare itu. Ribuan hektare lahan itu semula berupa persawahan, perkebunan, dan permukiman tetapi terpaksa dialihfungsikan menjadi landasan pacu, Kertajati Aerocity, dan kawasan pengembangan perniagaan.

Lima desa terdampak: Desa Kertajati, Bantarjati, Sukakerta, Kertasari, dan Sukamulya. 

Kurang lebih 1.400 kepala keluarga harus tergusur dengan risiko kehilangan lahan, rumah, pekerjaan, dan seluruh kenangan di desa itu, demi mewujudkan ambisi Pemerintah Provinsi Jawa Barat memiliki bandara sendiri. 

Tak Ada Tanah yang Bisa Diklaim

Sebelas tahun lalu, negosiasi pelepasan lahan warga dimulai. 

Cartem, salah satu petani lokal mengingat kala itu, ia bersama warga lain mengurus pembayaran lahan. Ia bersama tujuh warga dibawa ke Kantor Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten Majalengka. 

Alih-alih puas dengan uang yang didapat, Cartem malah dikejutkan dengan kabar bahwa tanah warisan orangtua yang didiami bertahun-tahun tiba-tiba telah bersertifikat atas nama orang lain. 

Sepanjang ingatannya, kedua orangtuanya mulai menempati tanah itu sejak Kasman Karsoeno, seorang tokoh lokal, membuka hutan dan mempersilakan warga menggarap lahan tersebut, puluhan tahun silam.

Menurut cerita yang diwarisi warga secara turun-temurun, tanah yang mereka tempati ini merupakan bekas wilayah gerombolan pemberontak yang membubarkan diri. Kasman Karsoeno, pada sekitar tahun 1960-an, mengambil alih lahan dan membaginya kepada warga. Pembagian lahan ini yang kemudian menjadi asal mula terbentuknya Desa Sukamulya. 

Kendati demikian, warga tidak pernah mengetahui secara pasti asal-usul kepemilikan lahan itu. 

Status kepemilikan lahan yang tidak terang membuat Cartem harus menelan kenyataan pahit bahwa ia tidak berhak mendapat ganti rugi dan terancam kehilangan segalanya. 

Ia tak bisa berbuat banyak, kecuali menumpahkan seluruh emosinya. Emosi perempuan 60 tahun itu tersulut. Ia bersikeras bahwa tanah itu miliknya dan oleh karenanya, ia berhak mendapat ganti rugi penuh. 

“Kata saya, yang makan uang saya, (kena tulah) turun ke mata, tidak bisa melihat, terkena struk, tidak bisa jalan! Kata saya begitu. Saya mencak-mencak di sana,” teriak Cartem, menceritakan kejadian di BPN Majalengka kala itu. 

Bukan hanya kehilangan status kepemilikan lahan, menurutnya, dalam proses pembebasan lahan tersebut, warga tidak memiliki ruang negosiasi. Proses ganti rugi terjadi tanpa kesepakatan, uang sudah dicairkan ke pihak ketiga dan baru diberikan kepada warga. Dengan dalih sertifikat yang bukan atas namanya, Cartem hanya mendapatkan separuh dari uang ganti. 

“Ya, sayanya orang bodoh sih. Ya, duitnya karena sudah diambil. Kemudian, diberikan ke saya yang harusnya 100 juta rupiah, malah 50 juta rupiah. Jadi, saya tuh dibohongin. Harusnya 100 juta rupiah, dibebodo (dibohongin),” kata Cartem. 

Dengan uang ganti kerugian hanya Rp50 juta, Cartem kesulitan membeli lahan baru, juga membangun rumah. Terlebih lagi, sejak kabar bandara akan dibangun, harga tanah di sekitarnya melonjak tinggi.

Dengan berat hati, Cartem menggadaikan sawah miliknya yang tersisa seharga Rp21 juta demi sebidang tanah untuk ditinggali, tapi tetap saja tidak cukup untuk membangun rumah baru. Hingga akhirnya, ia memungut sisa-sisa bangunan lama untuk mendirikan rumah seadanya di Desa Mekar Mulya, tempat tinggal barunya yang berjarak sekitar 14 km dari rumahnya yang tergusur. 

Sudah kehilangan lahan, Cartem juga kehilangan penghasilan. 

Areal sawah yang menyusut menyebabkan tawaran bedugan, sebutan lain untuk buruh tani, semakin jarang. Situasi itu membuatnya kesulitan menebus sawah seluas 175 bata yang digadaikan sepuluh tahun lalu. Untuk diketahui, 1 bata setara 14 meter persegi, atau dengan kata lain luas lahan Cartem mencapai 2.450 meter persegi.

Cartem menyebut dirinya “korban bandara.”

“Kata saya, kalau masih muda, masih bisa menulis berangkat ke Arab. Luru tebusan (mencari uang untuk menebus sawah yang digadai). Berangkat ke Arab kalau masih muda. Sekarang sudah tua. Ya, boro-boro,” keluh Cartem yang hidup menjanda dan tinggal bersama anak lelaki satu-satunya. 

Petani menyirami tanaman cabai di lahan garapannya yang telah menjadi tanah BIJB Kertajati. Di latar belakang tampak Depot Pengisian Pesawat Udara (DPPU). (Project M/Bukbis Candra Ismet Bey)

***

Waslim tak pernah menduga bahwa pada suatu hari yang baik-baik saja, ia diberi tahu tanah yang diwarisi orangtuanya telah dimiliki orang lain. Kabar itu datang beriringan proses pembebasan lahan untuk bandara. Luas lahan yang dimiliki Waslim mencapai 50 bata atau 700 meter persegi. 

Waslim kebingungan. Sepengetahuannya, pada masa orangtuanya dulu memang tidak ada istilah sertifikat. Ia hanya mengenai istilah kikitir atau bukti pembayaran pajak tanah zaman dulu. Waslim mengaku memiliki kikitir tersebut.

“Namanya tanah dapat membuka lahan. Jadi kalau dulu punyanya kikitir. Wadahna oge dina bumbung (disimpan di tabung dari bambu),” kata Waslim.

Akibat ketidakjelasan surat-surat kepemilikan, Waslim hanya mendapat pembayaran kurang dari Rp200 juta untuk rumah, tanaman, dan tanah. Untuk tanah, menurut Waslim, penggantiannya hanya Rp480 ribu per bata. 

Sama seperti yang dialami Cartem, Waslim juga putus akal saat mencari lahan pengganti lantaran harga tanah di sekitar BIJB Kertajati naik drastis. Waslim yang berniat pindah ke Desa Mekar Mulya juga kaget mendapati harga tanah sudah mencapai Rp2 juta per bata. Alhasil, uang gusuran hanya bisa dibelikan tanah. 

“Ya coba saja menjual (ke pemerintah) dihargai Rp480 ribu per bata, kalau beli Rp2 juta per bata. Ya, tidak bisa menambah bagus bawa rumah dari sana, tidak bisa mendirikan rumah,” kata kakek 73 tahun ini sambil menunjukkan rumahnya yang dibangun seadanya dari sisa-sisa rumah lama.

Rumah Waslim dibangun dari papan kayu yang sudah lusuh. Cat biru yang juga sudah pudar, tak mampu menyembunyikan “borok” di papan-papan itu. Menempel pada rumah Waslim, sebuah kios terbuat dari papan dan bambu yang tampak lebih baru. Waslim menyebut kios yang menjual pulsa listrik dan data voucher itu milik anaknya yang sedang tutup karena kehabisan modal. 

Realitas usai BIJB Kertajati dibangun tak semanis janji para pejabat yang menyebut perekonomian warga sekitar akan berkembang. Kondisi yang dialami Waslim justru sebaliknya. Ia kesulitan menggarap lahan dan semakin susah mendapat pekerjaan sebagai buruh tani. Otomatis penghasilannya jauh berkurang.

Dadi boro-boro senang kah nang bandara, malah blangsak. (Jadi boro-boro senang karena ada bandara, malah jadi sengsara),” gerutu Waslim dengan bahasa lokal Majalengka.

Habis Lahan, Terbitlah Utang

Perkataan istrinya, Surniti, melalui saluran telepon masih terngiang-ngiang di kuping Casmita. Menimbulkan perasaan bersalah atas ketidakmampuan menghidupi keluarga kecilnya. Bapak dua anak ini terpaksa melepaskan istrinya bekerja di Riyadh, Arab Saudi. Setelah bekerja selama lima bulan sebagai pekerja rumah tangga, Surniti mengaku tidak betah. Sementara, kontrak kerja baru berakhir 1,5 tahun kemudian. 

“Katanya, ‘kalau bapak bisa banyak duit saya pulang.’ Istri saya bilang gitu. ‘Walaupun belum selesai kontrak, saya pulang kalau bapak banyak duit.’ Jadi beban moral juga buat saya karena ketidakmampuan saya,” kata Casmita dengan suara tercekat dan mata berkaca-kaca, saat ditemui di kediamannya pertengahan Agustus.

Jeratan utang dan kesulitan ekonomi memaksa Surniti pergi bekerja hingga ribuan kilometer dari rumahnya di Blok Padasuka Desa Sukamulya, Kecamatan Kertajati, Kabupaten Majalengka. Satu dari sekian desa yang tergusur proyek bandara. 

Hilangnya areal persawahan di Kertajati menghilangkan pula penghasilan Surniti dan Casmita. Sebagai buruh tani di areal persawahan Kertajati, Casmita bisa mendapat upah 30 karung gabah atau jika diuangkan senilai Rp6 juta setiap musim panen. Dalam setahun, sawah yang digarap Casmita bisa dua kali panen. Kini, penghasilan itu raib.

Rumah Casmita memang tidak, atau belum, tergusur. Ia juga masih memiliki lahan sepetak di Dusun Sukaresmi yang luasnya hanya 24 bata atau 336 meter persegi. Casmita juga masih bisa menggarap lahan Perhutani. Akan tetapi, menggarap lahan butuh modal tanam yang tidak sedikit di saat harga pupuk dan obat-obatan semakin mahal. Kondisi itu, mendorong Casmita kembali berutang ke Bank Rakyat Indonesia (BRI) sebesar Rp30 juta. 

Dua lahan garapannya belum sepenuhnya menutup kebutuhan hidup Casmita, apalagi melunasi utang atau bahkan memanggil Surtini pulang. Maka, ketika ada lahan bandara yang belum dibangun, Casmita ikut rebutan menggarap lahan di sekitar bandara itu. Suasana sempat kacau. Warga, korban gusuran maupun bukan, saling mengklaim lahan hingga terjadi perang mulut. 

Akhirnya, pihak bandara melalui aparat Pemerintah Kabupaten Majalengka, mengatur pembagian lahan. Tapi, menurut Casmita, tidak gratis. Di awal, ia sempat ditarik biaya sewa sebesar Rp800 ribu untuk lahan seluas 100 bata (1.400 meter persegi) dan biaya sewa tahunan sebesar Rp100 hingga 200 ribu.

“Alhamdulillah dapat, dibagi rata. Masing-masing 100 bata kalau orang sini. Kalau yang punya banyak duit bisa lebih luas lagi. Ada yang dua bahu, tiga bahu (1 bahu sama dengan 8.000 meter persegi). Ya, bisa bantu ekonomi, bisa nambah-nambah penghasilan,” tutur Casmita.

Namun, untuk menggarap lahan itu, Casmita terpaksa berutang lagi. 

“Kalau menggarap yang 100 bata, habis Rp1,5 juta. Dapat modal dari bank. Jadi, hasil panen untuk bayar bank. Menjual pun cuma menutup utang saja. Sisa padinya, buat dimakan sehari-hari. Kalau gak disiasati seperti itu, khawatirnya gak punya (beras) buat makan,” ungkap laki-laki 49 tahun ini.

Utang terlanjur menjerat Keluarga Casmita. Tak hanya ke bank pemerintah, Casmita juga berutang ke Bank Emok –sebutan untuk rentenir– yang bunganya tinggi. Tercekik jeratan utang, mau tak mau Casmita melepas Surniti berangkat ke Arab, meninggalkan ia dan dua anaknya yang masih kecil.

***

Lahan tergusur, modal tanam tinggi, penghasilan menurun, juga menjadi alasan bagi Alimah berutang ke bank. Perempuan 66 tahun ini berkata sulit menghindari utang karena desakan kebutuhan. Kondisinya berbeda saat belum tergusur bandara yang sama sekali tidak pernah berurusan dengan bank.

“Kalau dulu mah gak punya utang, biarpun nyawahnya sedikit juga, belum pernah ambil utang. Sekarang mah gak pegot (putus) sama bank,” katanya sambil tertawa. 

Alimah berkata mengambil utang untuk biaya modal perawatan bertani, mulai dari membeli pupuk hingga bahan bakar minyak. 

Nahasnya, Alimah gagal panen tahun ini. Utangnya terancam gagal dibayar. 

“Dulu mah kalau gagal panen, biarinlah. Gak apa-apalah kita rugi juga, kan gak mengandung utang. Kalau sekarang mah, yang namanya punya utang gimana, gak enak lagi. Apa lagi yang bakal dijual buat bayar utang,” keluhnya bingung.

Keluarga buruh tani menyantap bekal saat beristirahat setelah memanen pare di lahan Bandar Udara International Jawa Barat yang mereka sewa. (Project M/Bukbis Candra Ismet Bey)

Sobirin, Ketua Serikat Petani Majalengka (SPM), mengatakan petani korban gusuran bandara yang terjerat utang semakin sering ditemui. Kondisi itu dipicu pembayaran alih fungsi lahan yang tidak menguntungkan petani sehingga mereka tidak mampu membeli lahan dan terpaksa menyewa. 

Beberapa petani juga nekat menggarap lahan Perhutani meski mengetahui mereka bisa terancam dipidanakan. 

Tak hanya membutuhkan modal untuk membuka dan menggarap lahan, para petani dibayang-bayangi nilai Pajak Bumi Bangunan (PBB) yang merangkak naik. 

Pajak yang harus dibayar Alimah, misalnya. Sebelum ada bandara, ia hanya membayar PBB sebesar Rp350 ribu untuk sawah seluas 250 bata, tapi kini nilainya mencapai Rp1,5 juta.

“Ya intinya, gali lubang, tutup lubang. Semuanya juga mengalami. Secara keseluruhan, rata-rata [terjerat utang] seperti itu karena pendapatan menurun dan modal tanam yang naik,” kata Sobirin. 

Dampak proyek BIJB Kertajati terhadap penghasilan, tidak saja dirasakan langsung  petani, tapi telah dibuktikan secara ilmiah. 

Penelitian Yayat Hidayat dkk. (2017) berjudul “Dampak Konversi Lahan Pertanian terhadap Ekonomi Rumah Tangga Petani Padi (Studi Kasus di Kecamatan Kertajati Kabupaten Majalengka Jawa Barat)” menunjukkan terjadi kerugian ekonomi yang dialami petani padi sebagai dampak alih fungsi lahan pertanian menjadi BIJB Kertajati.

Riset yang dilakukan 2016 dengan melibatkan 115 responden di tiga desa terdampak itu menemukan kerugian ekonomi berupa hilangnya kesempatan kerja pertanian sebesar Rp12.205.397 per hektare per tahun, berkurangnya pendapatan usaha tani padi sebesar Rp37.999.535 per hektare per tahun, dan berkurangnya penghasilan total rumah tangga petani sebesar Rp3.999.223 per tahun.

“Melihat riilnya, kalau buruh tani yang tidak punya lahan, akan kehilangan penghasilan dari lahan usaha tani, kalau dia tidak diberi alternatif lapangan pekerjaan,” jelas Yayat, peneliti muda Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), saat diwawancara melalui sambungan telepon.

Bukan Ganti Untung, tapi Ganti Buntung

Circa 2012, Alimah menerima kabar dari tetangganya. Uang pembayaran gusuran bandara akan segera dicairkan. Ketika hari itu tiba, Alimah dan Daya, suaminya, berboncengan mengendarai sepeda motor menuju Balai Desa Bantarjati, tempat mengurus administrasi.

Sepanjang jalan, benak Alimah disesaki pertanyaan; Akankah uang yang didapat cukup untuk membeli tanah dan rumah kembali? Ke mana mereka harus pergi? Di mana mereka akan tinggal? Seberapa luas sawah yang bisa terbeli? Bagaimana kehidupan mereka nanti?

Ketakutan akan masa depan yang buram menjalari pikirannya, membuat tubuhnya tegang. 

Setiba di balai desa, warga sudah berkumpul dalam sebuah barisan. Alimah dan Daya bergegas memasuki antrean. Setelah dua jam mengantre, mereka dipanggil ke meja pertama. Di meja tersebut, kedua pasutri itu diminta menandatangani sejumlah berkas. 

“Disuruh tanda tangan di sini, di sini, di sini. Gak ngerti tanda tangan apa. Saya, kan, gak bisa baca, bapak juga sama. (Petugas) gak ngomong apa-apa, gak menjelaskan apa isinya. Cuma nyuruh tanda tangan aja. Beres tanda tangan, dikasih kertas, terus bilang, nanti pencairannya di Bank Mandiri Jatitujuh,” kata Alimah.

Selama mengurus administrasi hingga pencairan dana secara tunai di bank, Alimah dan Daya sama sekali tidak mengetahui berapa uang yang mereka terima. Pasutri itu baru tahu setelah membuka amplop setibanya di rumah. 

“Ternyata cuma dapat Rp115 juta. Hariwang teh kajadian (apa yang ditakutkan terjadi),” kata Alimah, seraya menanyakan kepada sang suami apakah uang itu cukup untuk membeli tempat tinggal baru. “Semalaman saya gak bisa tidur.” 

Alimah dan Daya hanya menerima total Rp115 juta untuk pembayaran tanah seluas 28 bata (392 meter persegi), satu rumah, dan sejumlah tanaman produktif, seperti mangga dan petai, yang tumbuh di pekarangan. Jika diperinci, tanah dibayar Rp16 juta, bangunan dibayar Rp94 juta, dan tanaman terdiri dari empat pohon mangga, nangka, petai, dan rempah-rempah yang dihargai total Rp5 juta. 

Kompensasi atas tergusurnya aset mereka jauh dari rasa keadilan, terlebih lagi tanaman yang produktivitas setahunnya melampaui harga tersebut. Nilai ganti kerugian itu pun tidak cukup untuk membayar waktu proses tanam, mulai dari benih hingga siap panen, yang bisa memakan waktu bertahun-tahun. 

“Ini bukan ganti untung, tapi ganti buntung. Ya memang sakitlah kalau diceritakan mah. Waktu hitung-hitungannya juga warga gak diajak. Pas waktu pencairan juga, ketika ditanyain masalah harga, ya, kayak modelan saling menutupi tuh. ‘Gak tahu saya cuma kerja.’ Nanya ke ini, sama, ‘gak tahu saya cuma kerja,’” timpal Sobirin, anak Daya, yang juga Ketua SPM.

Sobirin mencoba membandingkan harga yang dipatok pemerintah dengan tengkulak atau penebas untuk satu pohon mangga besar yang produktif. Dari perbandingan itu, Sobirin menilai pembayaran atas aset gusuran itu tidak adil. 

Dalam sistem kontrak, Sobirin menjelaskan penebas menghargai satu pohon mangga senilai Rp1 juta setiap tahun. Pemilik pohon mendapat uang bersih sebesar itu setiap tahun selama pohon itu dikontrak sesuai kesepakatan kedua belah pihak. 

Jika pohon mangga itu dirawat dan dipanen sendiri, Sobirin menghitung, satu pohon mangga besar bisa menghasilkan hingga 4 kuintal dalam satu kali panen atau petik. Dalam satu tahun atau musim tanam, satu pohon mangga bisa dipanen 4-5 kali.

“Kalau misalnya dalam satu tahun lima kali panen, berarti dapat sekitar 2 ton. Kalau harga sekilo Rp5 ribu saja, sudah dapat Rp10 juta,” beber Sobirin.

Bandingkan dengan harga Rp500 ribu yang dipatok pemerintah untuk mengganti kehilangan satu pohon mangga.

“Ya begitulah cara pemerintah di negara kita untuk menyejahterakan rakyatnya,” sindir Sobirin sambil tertawa sinis.

Pembatas tanah Pemerintah Provinsi Jawa Barat di Desa Sukamulya, Majalengka, Jawa Barat. (Project M/Bukbis Candra Ismet Bey)

Sebetulnya permintaan warga sederhana, ungkap Sobirin, yakni ganti kerugian dalam bentuk tanah, minimal seluas tanah yang mereka miliki. Keinginan itu seharusnya dijamin UU No.41/2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan yang menggarisbawahi bahwa lahan pertanian pangan dilindungi dan dilarang dialihfungsikan secara sewenang-wenang.

UU itu juga mengatur penyediaan lahan pengganti terhadap lahan pertanian dilakukan berdasarkan kesesuaian lahan dengan dasar, yakni paling sedikit tiga kali luas lahan dalam hal lahan yang dialihfungsikan beririgasi, atau paling sedikit satu kali luas lahan apabila lahan yang dialihfungsikan tidak beririgasi. 

Penyediaan lahan pertanian pengganti harus sudah masuk dalam RPJM dan RPJP instansi terkait pada saat alih fungsi direncanakan. 

UU No.19/2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani pun melindungi hak pemilikan petani atas tanah. Lebih lanjut, pemerintah menjamin ketersediaan lahan minimal dua hektare bagi rumah tangga petani untuk mencapai kesejahteraannya. 

Akan tetapi, Pemerintah Kabupaten Majalengka menolak permintaan warga dengan alasan prinsip dalam pembebasan tanah itu kontrak lepas. Meski, pemerintah siap memfasilitasi masyarakat yang meminta dicarikan lokasi baru.

“Tapi, kalau anda ingin difasilitasi oleh kita pindahnya ke mana, kita tunjukkan, oh, harganya misalnya dibayar Rp50 ribu, harga di sana masih Rp25 ribu. Kalau saja pemilik lahan membeli lahan dalam waktu yang tidak terlalu lama jedanya, tentu mereka akan sangat untung,” kata Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah, Penelitian dan Pengembangan (Bappedalitbang) Kabupaten Majalengka, Yayan Sumantri.

Yayan menuding kesulitan yang dialami petani disebabkan ketidakmampuan mengatur keuangan. Ia berdalih, pemerintah sudah membayar lebih tinggi dari harga pasaran dalam proses ganti rugi. 

“Jelas nih harga tanah saya berdasarkan pasaran itu misalnya kalau dinilai jatuhnya 100 juta, pemerintah akan bayar itu dengan harga 200 juta. Tidak pernah satu objek tanah yang saya pahami, harga pasarnya 100 juta dibayar 100 juta. Tidak pernah. Pemerintah selalu membayar lebih mahal. Orang boleh berbicara tanah saya dibayar lebih murah, itu mah biasa,” ujar Yayan.

Yayan menambahkan pemerintah juga tidak melakukan pemaksaan dalam proses pengambilalihan lahan. 

“Logika berpikirnya sederhana, kalau mereka menolak bisa dikonsinyasi ke pengadilan. Apakah di Kertajati banyak yang konsinyasi? Enggak ada,” kilah Yayan. 

Konsinyasi adalah uang ganti rugi yang dititipkan instansi yang memerlukan tanah kepada pengadilan ketika pemilik tanah tidak sepakat dengan besaran ganti kerugian.

Sisa bangunan “rumah hantu”, bangunan yang digunakan masyarakat Kertajati untuk mengakali ganti rugi murah dari pihak BIJB Kertajati. (Project M/Bukbis Candra Ismet Bey)

Kendati demikian, Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat sejumlah dugaan pelanggaran dalam proyek pembangunan BIJB Kertajati. Termasuk dalam hal ganti kerugian. Temuan KPA, proses musyawarah dan penghitungan ganti kerugian tidak dilaksanakan seperti yang tertera dalam Pasal 37 Ayat (1) UU No. 2 Tahun 2012. 

Selain itu, ditemukan indikasi korupsi atau kerugian uang negara pada pengurangan besaran ganti kerugian objek tanah yang melanggar Pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999. Terakhir, dugaan menaikkan dan/atau menurunkan nilai ganti kerugian pada lahan kosong, melanggar Pasal 8 UU No. 31 Tahun 1999.

Warga terdampak juga tidak diberikan pilihan bentuk ganti kerugian. Padahal dalam Pasal 36 UU No. 2 Tahun 2012 terdapat sejumlah pilihan ganti kerugian.

“Sebenarnya proses ganti rugi (dalam bentuk uang) cuma turunan. Padahal ada opsi lain, misalkan, penyertaan saham BIJB, relokasi, dan lain-lain. Karena masyarakat hanya diberi opsi ganti rugi itu, akhirnya mereka terpaksa menerima ganti rugi,” papar Benni Wijaya, Kepala Departemen Kampanye KPA.

Kalaupun masyarakat meminta ganti rugi dalam bentuk relokasi atau lahan, Benni mengatakan, itu hak warga dan dijamin undang-undang. Bahkan, undang-undang menjamin hak warga terdampak untuk memilih ganti kerugian dalam bentuk penyertaan saham di BIJB Kertajati.

“Tapi itu gak pernah dimunculkan. Munculnya hanya opsi ganti kerugian (dalam bentuk uang),” imbuh Benni.

Selain proses ganti kerugian yang tidak transparan, dugaan pelanggaran lain yang dilakukan pemerintah juga ditemukan sejak awal proyek pembangunan bandara. Dalam temuan KPA, pemerintah tidak menunjukkan upaya dalam sosialisasi langsung dan menggelar konsultasi pembangunan bandara bersama warga terdampak. 

“Persoalannya, pemerintah seringkali menutup mata untuk itu dan merasa, apalagi di zaman Jokowi ini, berbagai proyek infrastruktur ini ditarget terus,” kata Benni. 

“Akhirnya main hantam kromo saja, pakai kacamata kuda. Terserah masyarakat menolak, kami akan jalan terus. Kalau masyarakat menolak, aparat yang diturunkan. Itu akan selalu terjadi di proses-proses koruptif.” 

Nestapa di Sukamulya

RUMAH-RUMAH kosong yang rusak digerogoti waktu tampak di sepanjang jalan menuju Blok Minggu, Desa Sukamulya, Kertajati, Majalengka, pertengahan Agustus. 

Rumah yang masih terlihat sisa-sisa kemewahannya itu ditinggalkan penghuninya. Blok Minggu adalah wilayah yang menjadi kawasan pengembangan BIJB Kertajati. Beberapa rumah masih berpenghuni. Mereka adalah warga yang memilih bertahan. Sebagian karena menunggu kepastian nasibnya yang digantung pemerintah selama belasan tahun ini, sebagian lagi bersikukuh menolak penggusuran.

Dua anak bermain di rumah yang sudah ditinggalkan penghuninya di kawasan Sukamulya, Majalengka. Banyak warga sudah meninggalkan Sukamulya dengan menjual tanahnya untuk perluasan BIJB Kertajati. (Project M/Bukbis Candra Ismet Bey)

Satija, warga yang berkeras hati menolak penggusuran, tampak baru pulang menunaikan salat zuhur. Bersama istrinya, Uwas, ia bertahan menetap. Bagi Satija, Desa Sukamulya menjadi desa yang menghidupi warganya. Desa yang gemah ripah loh jinawi, sebelum proyek bandara menghancurkannya.

“Sukamulya itu kemajuannya pesat. Rumah-rumah pada bagus. Warganya sejahtera,” kenang Satija.

Desa Sukamulya resmi berdiri pada 20 Mei 1963. Memiliki luas wilayah 730,7 hektare yang 85 persennya berupa sawah produktif. Sebelum tergusur bandara, Pemerintah Desa Sukamulya mencatat luas lahan sawah produktif mencapai 630 hektare dengan rata-rata hasil produksi sawah 65 kuintal per hektare gabah kering. 

Jika mengacu pada Instruksi Presiden No. 5 tahun 2015 tentang kebijakan pengadaan gabah/beras dan penyaluran beras oleh pemerintah, penetapan harga gabah kering giling adalah Rp460.000 per kuintal. Dengan harga tersebut, Desa Sukamulya dalam satu kali masa panen padi menghasilkan sekitar Rp18,8 miliar. Belum lagi jika menghitung potensi tanaman palawija dan hortikultura.

Data BPS dan Dinas Pertanian Kabupaten Majalengka tahun 2005 mengungkapkan, produksi padi di Kecamatan Kertajati yang memiliki luas panen 9.060 hektare menghasilkan 47.428 ton padi. Kecamatan Kertajati merupakan salah satu sentra produksi padi di Kabupaten Majalengka. 

Namun, data tersebut bertolak belakang dengan data yang disusun Tim Amdal (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan) BIJB Kertajati. Dikutip dari Sikap dan Usulan Masyarakat Desa Sukamulya Terhadap Rencana Penggusuran Desa untuk Kepentingan Proyek Pembangunan Bandara Internasional Jawa Barat (BIJB) yang disusun oleh KPA dan Forum Perjuangan Rakyat Sukapura (FPRS), ada dugaan Tim Amdal merekayasa data. 

Dugaan itu mengacu pada kerangka acuan Amdal II-51 yang menyebutkan tanah di Kertajati tidak produktif, waktu tanam hanya sekali dalam setahun dengan hasil rata-rata 1 hektare sama dengan 6 kuintal gabah kering siap giling. 

“Tim AMDAL (bilang) di sini tanahnya, tanah gersang, tidak produktif. Kalau ngobrol di depan saya, saya pukul. Keterlaluan menipu,” kata Satija geram.

Beberapa warga Sukamulya berkumpul di halaman rumah salah satu warga. Mereka mengaku belum mengetahui apakah kampung mereka akan terkena perluasan BIJB Kertajati. Jika benar, mereka ingin tanah mereka dihargai layak. (Project M/Bukbis Candra Ismet Bey)

Belum hilang kesedihan Satija bila mengingat dampak dari pembangunan bandara terhadap warga desanya. 

Perjalanan membangun BIJB Kertajati diwarnai aksi penolakan, konflik antarwarga, dan bentrok warga dengan aparat keamanan. Desa Sukamulya yang berada di ujung landasan pacu, sejak awal menolak rencana pembangunan bandara, bahkan ketika survei lapangan mulai dilakukan pada 2006. 

Namun, pemerintah tetap melanjutkan rencananya. Warga berkali-kali melakukan aksi penolakan, mengadu ke wakil rakyat baik ke DPRD Jawa Barat, maupun ke DPR RI, juga ke Ombudsman RI, tapi tidak membuahkan hasil. Hingga akhirnya, terjadi represi besar pertama antara warga dan aparat keamanan pada 2014. 

Satija menjadi korban luka pada represi yang terjadi di 18 November 2014 tersebut. Saat itu, keluarga Satija sedang menggelar hajatan pernikahan salah satu kerabat. Ratusan personel Tim Gabungan dari kepolisian, TNI, Satpol PP, dan Satgas BIJB mendatangi Sukamulya untuk mengawal proses pengukuran lahan. Masyarakat Desa Sukamulya, termasuk Satija yang mendengar kabar tersebut, spontan datang ke lokasi dan bertemu dengan petugas. 

“Saya juga masih pakai pakaian adat gitu. Orang-orang pada kaget karena gak ada musyawarah, gak ada kesepakatan, tiba-tiba langsung pengukuran. Saya tadinya mau nanya, ‘Gimana sih langsung ada pengukuran aja?’ Mau musyawarah gitu,” cerita Satija.

Selasa pagi itu, kata Satija, beberapa orang warga membawa perkakas yang mereka punya, seperti kayu dan ketapel. Ada juga yang membawa cangkul karena hendak ke sawah. Warga ingin menanyakan sejumlah pertanyaan terkait pengukuran tersebut, antara lain soal surat tugas dan tidak ada pemberitahuan sebelumnya ke warga. Tak lama berselang, terdengar perintah merampas barang warga yang berupa senjata tajam, ketapel, dan lainnya. 

“Disangka polisi, warga mau nyerang,” kata Satija, yang kala itu ikut jadi sasaran pemukulan polisi. “Sebelas jahitan, kalau gak salah.”

Tidak hanya Satija, mengutip catatan KPA dan FPRS, banyak pula warga yang terluka karena dipukul, diinjak, diseret dan ditembak peluru karet dan gas air mata. Lima warga ditangkap, antara lain Andi, Hadun, Nana, dan dua orang lainnya warga Sukakerta. 

Satija (55), salah seorang warga Sukamulya yang melakukan penolakan pengukuran tanah di daerahnya untuk BIJB Kertajati. Akibat pukulan aparat kepolisian pada 2016, kepalanya robek sehingga harus menerima 11 jahitan. (Project M/Bukbis Candra Ismet Bey)

Tepat dua tahun kemudian, represi besar kedua terjadi dipicu penggusuran yang dilakukan BPN. Sebanyak 1.200 personel gabungan dari Polda Jabar, Polres Majalengka, TNI, dan Satpol PP Provinsi Jabar dan Kabupaten Majalengka dikerahkan untuk mengawal proses tersebut. Kendaraan taktis telah disiapkan sehari sebelumnya, di antaranya satu unit mobil gegana dan meriam air. 

FPRS menuntut penundaan proses pengukuran lahan, sebelum masalah pembebasan lahan sebagaimana yang diatur dalam UU Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum selesai. Namun, polisi bersikeras mengawal pengukuran lahan. Negosiasi berlangsung alot dan berakhir tanpa kesepakatan. Hingga akhirnya, represi terjadi pada tengah hari. Polisi mulai menembakkan gas air mata berkali-kali ke arah kerumunan warga di area persawahan yang sedang produktif. 

Aparat merangsek maju menghadapi warga dengan tameng dan pentungan berusaha menghalau warga hingga masuk ke permukiman. Gas air mata masih ditembakkan. Warga membalas dengan alat seadanya. Perempuan dan anak-anak dievakuasi di Kantor Balai Desa Sukamulya.

Tak cukup di situ, aparat keamanan memblokade jalan masuk ke Desa Sukamulya, mematikan listrik dan sinyal komunikasi. Menjelang malam, polisi mendirikan tenda untuk melakukan penjagaan di dalam desa. 

Akibat represi itu, sebelas orang warga mengalami luka-luka dan tujuh lainnya ditangkap, melengkapi nestapa di Sukamulya.

Industrialisasi Kota Pensiun

Ketika saya mengunjungi Majalengka sekitar 1994, julukan Kota Pensiun terasa benar adanya. Selepas Magrib, Majalengka bagaikan tertidur. Hening, tenang, tanpa deru mesin kendaraan. 

Hampir 30 tahun kemudian, wajah Majalengka telah berubah. Hamparan sawah tidak seluas dulu. Bangunan ciri khas perkotaan, seperti hotel, ritel, kafe, tampak marak. Dan yang paling mencolok adalah berdirinya pelabuhan udara, BIJB Kertajati. 

Durasi perjalanan dari Bandung ke Majalengka tak selama dulu. Dibukanya Tol Cileunyi, Sumedang, Dawuan yang disingkat Cisumdawu memangkas waktu perjalanan menjadi kurang dari dua jam. Tol Cisumdawu diyakini bakal menghidupkan BIJB Kertajati, yang sempat disebut sebagai bandara hantu karena saking sepinya.

“Dan kita harapkan setelah jalan Tol Cisumdawu selesai, airport Kertajati nanti di bulan Oktober sudah operasional penuh,” kata Presiden Joko Widodo saat meresmikan tol berbiaya Rp18,3 triliun ini, di Cisumdawu Twin Tunnel KM 169/200, Kabupaten Sumedang, 11 Juli 2023. 

Jalan Tol Cisumdawu dan BIJB Kertajati disiapkan untuk menopang kawasan industri Rebana Jabar yang direncanakan menjadi masa depan penggerak ekonomi Jabar. Dalam Peraturan Bupati Nomor 6 Tahun 2023 tentang Rencana Pembangunan Daerah Kabupaten Majalengka Tahun 2024–2026, Kabupaten Majalengka merupakan salah satu kabupaten yang masuk dalam kawasan utama regional Metropolitan Rebana di wilayah Timur Laut Provinsi Jawa Barat. 

Kabupaten Majalengka juga dicita-cita menjadi kawasan industri baru seiring pesatnya pembangunan infrastruktur, contohnya, BIJB Kertajati. Pemerintah Provinsi Jawa Barat juga berencana merelokasi industri dari Bandung Raya ke Majalengka.

Khusus untuk Kertajati, Pemerintah Kabupaten Majalengka berniat mengembangkannya sebagai kawasan komersial dan jasa, kawasan industri terpadu, kawasan BIJB, pengembangan kawasan perkotaan Aerocity, serta pertanian. 

Untuk Kertajati Aerocity telah disiapkan lahan seluas kurang lebih 3.200 hektare yang pembangunannya akan diprioritaskan oleh Pemkab Majalengka. Sementara sebagai Kawasan Peruntukan Industri (KPI) yang sudah disiapkan dan menjadi prioritas di kawasan Rebana, Pemkab Majalengka telah menyiapkan lahan seluas 1.415 hektare di Kertajati dan 972 hektare di Jatiwangi. Kota pensiun nan agraris ini sedang bersiap menuju kota industri.

Dengan rencana pengembangan sebagai kota industri, mau tidak mau bakal ada yang dikorbankan, yakni areal persawahan yang luasannya terus menyusut.

Sebuah pohon rindang berdiri di antara sawah yang mengering. Pohon tersebut menjadi batas antara tanah yang sudah dikuasai pihak BIJB Kertajati dan tanah yang masih dipertahankan warga.

Data Kementerian Agraria dan Tata Ruang/BPN 2019, luas baku sawah Kabupaten Majalengka tercatat 56 hektare. Ketika Dinas Ketahanan Pangan, Perikanan, dan Pertanian (DKP3) Kabupaten Majalengka memperbaharui datanya pada 2021 terdapat sekitar 49 ribu hektare luas baku sawah. Dari luas tersebut, Pemkab Majalengka akan mempertahankan sekitar 31 ribu hektare untuk stabilitas produksi padi.

“Kami juga bikin kotretan (perhitungan) bahwa 20 tahun ke depan dengan posisi masih bisa surplus dari hasil padi dan berapa dari kemajuan penduduk Majalengka, dihasilkan LP2B (Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan) itu sekitar 31 ribu hektare. Dipertahankan lahan sawah itu tidak boleh dialihfungsikan,” ungkap Ratih Fatimah, Analis Kebijakan Pangan Dinas KP3 Kabupaten Majalengka, saat ditemui di kantornya, Agustus lalu. 

Ratih mengakui berkurangnya lahan pertanian, akan mengurangi produksi padi Majalengka. Riset Hidayat dkk. (2017) menghitung nilai ekonomi produksi padi yang hilang Rp59.175.911 per tahun akibat alih fungsi lahan persawahan menjadi bandara. Namun, menurut Ratih, pemerintah sudah menyiapkan strategi untuk menutupi kekurangan tersebut.

“Tapi kita upayakan sekarang program pemerintah bahwa menutup pengurangan produksi itu dengan budidaya yang lainnya. Contoh di lokasi-lokasi yang lain yang tidak terkendala, misalnya daerah Leuwimunding dan Sindangwangi yang awalnya hanya tiga kali tanam, jadi empat kali tanam. Itu yang coba kita ramu untuk menutup turunnya produksi akibat berkurang lahan,” kata Ratih.

Iman Firmansyah, Kepala DKP3 Kabupaten Majalengka, berargumen pembangunan BIJB Kertajati tidak memberi dampak negatif pada sektor pertanian. Ia beralasan, areal sawah di kawasan itu adalah lahan tadah hujan yang satu tahun hanya satu hingga dua kali panen.

Sedangkan dampak pada kesejahteraan petani, menurut Iman, tidak terlalu signifikan sebab 60% lahan sawah di Kertajati dimiliki orang luar Majalengka.

“Yang punya rata-rata orang Bandung,” ungkap Iman. Sementara, petani Majalengka yang berstatus penggarap dipandangnya masih dapat bekerja dengan berpindah ke lahan yang lain. 

Senada dengan Iman, Yayan menyarankan, petani yang tidak bisa bekerja di lahan pertanian, agar beralih profesi sebagai konsekuensi dari menyusutnya lahan pertanian. Meski diakui Yayan, hal itu tidak mudah.

“Jujur saja bicara alih profesi itu tidak sederhana. Alih profesi itu akan bisa dilakukan oleh anak dan cucunya nanti,” kata Yayan. 

Klaim Yayan tidak sesuai realitas di lapangan. Anak Cartem gagal bekerja di pabrik karena tidak punya latar pendidikan yang mumpuni. 

“Anak saya cuma lulusan SD. Jadi nggak bisa masuk. Pengin ikut kerja di pabrik. Nggak bisa karena lulusan SD. Dadi, ya, wis gah, Nang (jadi, ya, sudah, Nak),” ucap Cartem, pasrah.


Reportase ini merupakan bagian dari kerja kolaboratif yang diinisiasi Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandung dan BandungBergerak.id dengan dukungan Kurawal Foundation.

Baca juga laporan perampasan tanah petani lainnya:

‘Kami Harus Berdarah-Darah’: Menjadi Petani di Tengah Perampasan Tanah, Penyingkiran Hak Masyarakat Adat 

Terima kasih sudah membaca laporan dari Project Multatuli. Jika kamu senang membaca laporan kami, jadilah Kawan M untuk mendukung kerja jurnalisme publik agar tetap bisa telaten dan independen. Menjadi Kawan M juga memungkinkan kamu untuk mengetahui proses kerja tim Project Multatuli dan bahkan memberikan ide dan masukan tentang laporan kami. Klik di sini untuk Jadi Kawan M!

Liputan Terkait
LBH Bandung
Ronna Nirmala
26 menit