Project Multatuli meriset pemberitaan terkait bagaimana polisi mengatasi tujuh peristiwa politik besar di Indonesia. Tujuh peristiwa itu tragedi 20-22 Mei 2019 di Bawaslu; Rasisme terhadap mahasiswa Papua di Surabaya, Agustus 2019; aksi Reformasi Dikorupsi, September 2019; aksi Omnibus Law sejak 2020; Penembakan enam anggota laskar FPI di KM 50, 7 Desember 2020; pembunuhan Brigadir Polisi Nofriansyah Yosua Hutabarat, 8 Juli 2022; dan Tragedi Kanjuruhan 1 Oktober 2022.
Tujuh peristiwa itu dipilih karena:
- Melibatkan massa yang besar
- Kekerasan yang melibatkan polisi, dan
- Ada korban kematian.
Pemberitaan yang dijadikan dasar riset menggunakan mesin pencari, diambil dari media mainstream dan timeline media sosial di Indonesia. Riset dilakukan pada Desember 2022-Maret 2023 dengan total 221 konten pemberitaan dan media sosial.
Data riset dikategorisasikan berdasarkan apa yang dilakukan atau diucapkan polisi berdasarkan urutan sebelum, saat, dan sesudah peristiwa terjadi untuk mengetahui pola penanganan peristiwa besar oleh polisi.
Tragedi Bawaslu 21-23 Mei 2019
Tanggal peristiwa: 21-23 Mei 2019
Korban meninggal: 9 orang
- Adam Nooryan (19)
- Abdul Aziz (27)
- Bachtiar Alamsyah (22)
- Farhan Syafero (31)
- Harun Rasyid (15)
- Reyhan Fajari (16)
- Sandro (31)
- Widianto Rizky Ramadan (17)
- Muhammad Reza (24)
Korban luka: 730 orang
Tindakan polisi sebelum peristiwa
- Sweeping
Sebelum aksi massa pendukung Capres Prabowo menggelar aksi di depan Bawaslu pada 21 Mei 2019, polisi sudah mengadang massa yang akan datang ke sana. Pada Senin, 20 Mei malam, polisi bersenjata lengkap melakukan razia di 17 titik di kabupaten Semarang untuk mengadang massa yang akan bergerak ke Jakarta. Polisi juga melakukan pemeriksaan terhadap bus dan travel tujuan Jakarta di Jalan Lintas Barat Soekarno-Hatta Bandar Lampung.
Tindakan polisi saat peristiwa
- Kekerasan
Pada hari pertama aksi 21 Mei, polisi sudah melakukan kekerasan terhadap massa aksi, mulai dari pemukulan, pemukulan dengan pentungan, penyeretan, tendangan, dan tembakan gas air mata. Menurut Muhammad Isnur dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, kekerasan tak hanya terjadi terhadap massa ketika aksi di depan Bawaslu, tetapi polisi juga melakukan kekerasan di kantor polisi kepada massa yang ditangkap. Polisi melakukan kekerasan terhadap sejumlah jurnalis yang meliput dan warga yang tidak ikut aksi.
- Pembungkaman
Tercatat ada 20 jurnalis yang menjadi korban kekerasan berupa pemukulan, intimidasi, persekusi, ancaman, perampasan alat kerja, penghalangan liputan, penghapusan video dan foto, hingga pelemparan batu oleh polisi dan massa aksi saat meliput aksi.
- Penangkapan
Polisi menangkap 58 orang yang dicap polisi sebagai provokator pada 22 Mei dini hari.
“Dugaan sementara mayoritas massa tersebut berasal dari luar Jakarta dan kita menemukan beberapa indikasi,” Kadiv Humas Polri Muhammad Iqbal.
Tindakan polisi setelah peristiwa
- Penyangkalan
Polisi menyangkal setiap pemberitaan atau informasi di media sosial yang menyudutkan Polri. Dalam peristiwa ini polisi menyangkal kekerasan dan penyerangan (tembakan gas air mata dan peluru tajam) ke arah Masjid Al Ma’mur di Tanah Abang. Menurut Anang, seorang penjaga keamanan masjid, ditemukan empat selongsong peluru di halaman masjid. Polisi membantah penggunaan senjata api peluru tajam dalam pengamanan aksi.
- Kekerasan menyebabkan kematian
Dari 9 korban meninggal pada peristiwa itu, ada satu korban yang meninggal bukan karena tembakan peluru tajam, melainkan karena pukulan benda tumpul. Muhammad Reza (24), warga Tangerang Selatan, dinyatakan meninggal pada 24 Mei 2019 dengan kondisi luka memar di mata kiri, sobek di ujung kulit mata kiri, luka sobek di bibir bagian kiri, luka di dahi sebelah kiri. Diduga Reza meninggal akibat dipukuli polisi.
- Penangkapan
“Selama sebulan kita sudah melakukan penangkapan pelaku teror yang akan bermain tanggal 22 Mei, dengan menggunakan bom, empat senjata api: Satu laras panjang, tiga laras pendek, yang akan digunakan pada 22 Mei,” Kapolri Jenderal Tito Karnavian.
- Intimidasi
Setelah jenazah Reza ditemukan keluarga, polisi berkali-kali mendatangi rumah Reza sehingga membuat orangtua Reza takut. Polisi melabeli Reza sebagai perusuh.
“Kami duga perusuh. Penyerang. Diduga, ya,” Kadiv Humas Polri Muhammad Iqbal.
- Framing
Polisi memframing isu soal ambulans membawa batu dan amplop berisi uang saat peristiwa tersebut.
“Ada satu ambulans, saya tidak akan sebutkan ambulans itu ada partainya. Itu penuh batu dan alat-alat sudah kami amankan. Dan ada juga, setelah kami geledah, massa masih menyimpan berbagai amplop dan uangnya masih ada dan kita sita. Saat ini Polda Metro Jaya sedang mendalami hal tersebut,” Kadiv Humas Polri Muhammad Iqbal.
Polisi juga memframing ada pihak ketiga yang menunggangi aksi.
“Massa dari luar Jakarta masuk sekitar jam 11 sehingga memprovokasi kejadian tersebut. Memang pihak ketiga yang menunggangi aksi yang seharusnya damai, diprovokasi dari luar Jakarta yang mengakibatkan massa terpancing,” Kepala Biro Penerangan Masyarakat (Karopenmas) Polri Brigjen Dedi Prasetyo.
Rasisme terhadap Mahasiswa Papua di Surabaya
Tanggal peristiwa: 16 Agustus 2019
Korban meninggal: Sedikitnya 23 orang di Papua
Korban penangkapan: 43 mahasiswa Papua di Surabaya
Tindakan polisi sebelum peristiwa
- Pembiaran
Polisi melakukan pembiaran ujaran rasisme terhadap mahasiswa Papua di Surabaya pada 16 Agustus 2019. Pembiaran terhadap rasisme itu berdampak pada aksi besar-besaran dan protes yang meluas di 23 kota di Tanah Papua, 17 kota di Indonesia, dan 3 kota di luar negeri sepanjang 19 Agustus sampai 30 September 2019. Sedikitnya 23 orang meninggal buntut dari peristiwa ini.
Tindakan polisi saat peristiwa
- Kekerasan
Polisi melakukan kekerasan dengan cara pengepungan dan penembakan gas air mata ke asrama mahasiswa Papua, dan pemukulan terhadap sejumlah mahasiswa Papua.
- Penangkapan
Alih-alih menangkap pelaku rasisme, polisi menangkap 43 mahasiswa Papua di Surabaya. Polisi memeriksa para mahasiswa terkait jatuhnya bendera Merah Putih di depan asrama mahasiswa Papua di Surabaya.
Tindakan polisi setelah peristiwa
- Penyangkalan
Polisi menyangkal ada rasisme terhadap mahasiswa Papua di Surabaya. Menurut polisi, “kerusuhan” yang terjadi di Papua memang dipicu represi aparat terhadap mahasiswa Papua di Surabaya dan Malang, tapi itu terjadi karena kesalahpahaman.
“Mungkin ada yang membuat kata-kata kurang nyaman sehingga mungkin saudara kita terusik di Papua,” Kapolri Jenderal Tito Karnavian.
- Penegakan Hukum
Polisi melakukan penegakan hukum terhadap dua pelaku dalam kasus rasisme terhadap mahasiswa Papua di Surabaya. Tri Susanti, salah satu pentolan ormas di Surabaya, dihukum karena menyebarkan hoaks; Syamsul Arifin, anggota Satpol PP Surabaya, dihukum karena meneriaki mahasiswa dengan ujaran rasis. Meski demikian, penegakan hukum terhadap dua pelaku itu sangat lambat dilakukan oleh polisi.
- Pencitraan
Setelah peristiwa itu, polisi menaikan tagar #SatuIkatanSatuIndonesia di Twitter pada 29 Agustus 2019. Tagar itu dicuitkan dengan sejumlah foto yang menunjukan keakraban antara polisi dan anak-anak Papua.
Aksi #ReformasiDikorupsi
Tanggal peristiwa: 23-30 September 2019
Korban meninggal: 5 orang
- Immawan Randy (21)
- Yusuf Kardawi (19)
- Maulana Suryadi (23)
- Bagus Putra Mahendra (15)
- Akbar Alamsyah Rahmawan (19)
Korban penangkapan: 1.489 orang
Tindakan polisi sebelum peristiwa
- Intimidasi
AMAR, lembaga bantuan hukum di Jakarta, menerima 38 pengaduan terkait pelarangan 37 perguruan tinggi/kampus dan 34 laporan terkait pelarangan dari 32 sekolah untuk mengikuti aksi #ReformasiDikorupsi. Salah satu intimidasi itu datang dari polisi yang mendatangi Universitas Negeri Jakarta dan bertemu dengan birokrat kampus. Setelah itu, UNJ mengeluarkan surat pernyataan tidak mendukung aksi mahasiswa.
Tindakan polisi saat peristiwa
- Kekerasan
Polisi melakukan kekerasan terhadap massa aksi #ReformasiDikorupsi. Di Jakarta, polisi melakukan kekerasan dengan pemukulan dan menembakkan gas air mata. Salah satunya tembakan gas air mata ke posko medis di Atma Jaya pada 30 September 2019. Ratusan massa mengalami luka-luka akibat pukulan dan tembakan gas air mata.
“Mungkin polisi refleks [menembak gas air mata] karena melihat massa berlarian ke sana,” Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Argo Yuwono.
- Penangkapan
Polisi menangkap 1.489 orang selama aksi #ReformasiDikorupsi 24-30 September 2019. Sebanyak 380 orang ditetapkan tersangka. Salah satunya aktivis dan musisi Ananda Badudu yang mengumpulkan donasi untuk membantu mahasiswa dalam aksi tersebut.
- Pembunuhan
Polisi menembak mati dua mahasiswa Universitas Halu Uleo, Immawan Randy (21) dan Yusuf Kardawi (19) pada 26 September 2019 saat aksi #ReformasiDikorupsi di Kendari.
Tindakan polisi setelah peristiwa
- Penyangkalan
Polisi menyangkal melakukan kekerasan dan penembakan terhadap mahasiswa dalam aksi #ReformasiDikorupsi. Menurut polisi, jika ada massa yang merasa mendapatkan kekerasan, bisa melapor ke Divisi Propam.
“Jika mahasiswa itu merasa dirugikan, silakan buat laporan. Kita cek dulu kebenaran videonya. Dan kalau ada polisi melakukan [penganiayaan], kita akn tindak sesuai aturan,” Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Argo Yuwono.
“Demo damai itu dari jam 10.00 sampai 18.00. Bila betul-betul disampaikan dengan baik, dapat dipastikan tidak ada ekses baik korban dan kerugian-kerugian materil yang diakibatkan,” Karopenmas Brigjen Dedy Prasetyo.
- Framing
Sebuah grup WhatsApp pelajar diduga disusupi polisi. Dalam grup itu ada percakapan terkait janji uang bayaran demonstran yang tidak cair. Nomor telepon yang terlibat dalam percakapan itu diketahui nomor sejumlah anggota polisi. Percakapan itu lantas dicuitkan oleh buzzer pendukung pemerintah sehingga ada kesan massa aksi merupakan massa bayaran.
- Intimidasi
Polisi melakukan intimidasi terhadap Ananda Badudu saat menyampaikan bahwa ia melihat banyak mahasiswa yang ditangkap dan diproses hukum secara tidak etis.
“Jadi yang perlu disampaikan, jangan sampai membuat statement yang bisa memfitnah orang lain. Nanti bisa menimbulkan pidana baru,” Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Argo Yuwono.
Selain itu aparat mengintimidasi saksi dan keluarga mahasiswa korban penembakan di Kendari. Ini disampaikan Pengacara PP Muhammadiyah Ghufroni yang mendampingi keluarga korban.
- Pencitraan
Polisi melakukan pencitraan dengan menaikan tagar #PolriHumanis di Twitter. Tagar tersebut dicuit salah satunya disertai foto polisi yang tengah salat berjamaah saat aksi #ReformasiDikorupsi.
- Penegakan hukum
Enam polisi dihukum dalam kasus penembakan mahasiswa Universitas Halu Oleo. Keenam polisi itu dijatuhi hukuman disiplin berupa teguran tertulis, penundaan kenaikan pangkat selama satu tahun, penundaan kenaikan gaji berkala selama satu tahun, penundaan pendidikan selama satu tahun, dan penempatan di tempat khusus selama 21 hari.
Aksi Penolakan RUU Omnibus Law/Cipta Kerja
Tanggal peristiwa: sepanjang Oktober 2020
Korban penangkapan: 5.918 orang
Tindakan polisi sebelum peristiwa
- Intimidasi
Polisi melakukan intimidasi dengan mengancam pelajar yang ikut aksi demonstrasi akan mendapatkan catatan khusus saat mereka meminta SKCK dari kepolisian untuk mencari kerja.
“Siang ini jam satu, [tertangkap] 86 pelajar anak STM dan SMA dan mereka ingin ikut ke Jakarta melakukan aksi, tapi jumlahnya terus bertambah. Total, sudah ada ratusan yang kita amankan sejak Rabu [7/10/2020] lalu. Mereka yang sudah diamankan akan te-record di intel dan ini menjadi catatan tersendiri ketika mereka mau mencari pekerjaan,” Kapolres Metro Tangerang Kota Sugeng Hariyanto.
- Pelarangan Aksi
Sebelum aksi penolakan terhadap RUU Omnibus Law, Kapolri Idham Azis mengeluarkan Surat Telegram No. STR/645/X/PAM.3.2/2020 tanggal 2 Oktober 2020. Surat itu berisi instruksi kepada seluruh jajaran kepolisian agar tidak memberikan izin aksi demonstrasi dengan alasan pandemi Covid-19. Selain itu, Kapolri memerintahkan untuk melakukan patroli siber di medsos dan media untuk membangun opini yang tidak setuju dengan unjuk rasa. Kapolri memerintahkan polisi melakukan kontra narasi yang mendiskreditkan pemerintah.
Tindakan polisi saat peristiwa
- Kekerasan
Penamparan, tendangan, pukulan, tembakan gas air mata, meriam air, dan lainnya. Bahkan sejumlah massa aksi yang ditangkap mengalami kekerasan dan dipaksa membuka pakaian. Polisi merusak sejumlah kendaraan sepeda motor, salah satunya milik jurnalis Detik.com.
- Penangkapan
Polisi menangkap 5.198 orang yang ikut aksi menolak RUU Omnibus Law dan menahan 87 orang.
Tindakan polisi setelah peristiwa
- Framing
Polisi menuduh “kerusuhan” dalam demonstrasi RUU Omnibus Law adalah kelompok “anarko” yang menunggangi gerakan buruh untuk membuat kerusuhan.
“Itu adalah ‘anarko-anarko’, perusuh-perusuh,” Kabid Humas Polda Metro Jaya Yusri Yunus.
- Penyangkalan
Polisi menyangkal menggunakan kekuatan dan kekerasan secara berlebihan dalam penanganan aksi. Menurut polisi, apa yang mereka lakukan sudah sesuai aturan.
“Selama demo berjalan damai, dilihat sendiri mana ada polisi memukul kalau damai? Tapi, kalau polisi dilempari, pastilah bergerak, pastilah menembakkan gas air mata untuk membubarkan,” Karopenmas Divisi Humas Polri Awi Setiyono.
- Menghalangi pendampingan hukum
Direktur LBH Jakarta Arif Maulana berkata para advokat publik kesulitan mendapatkan akses dan dan informasi untuk mendampingi mahasiswa dan buruh yang ditangkap polisi saat aksi penolakan terhadap RUU Omnibus Law.
- Debunking Hoaks
Polisi melakukan debunking hoaks terkait video polisi yang melakukan kekerasan terhadap mahasiswa yang sedang dirawat di rumah sakit. Video itu merupakan video peristiwa di Thailand.
- Pencitraan
Polisi melakukan pencitraan di media sosial dengan mempublikasi video dan foto keramahan polisi terhadap massa aksi Omnibus Law. Misalnya video polisi membagikan air minum, dan polisi salat berjamaah dengan peserta aksi.
Penembakan KM 50
Tanggal peristiwa: 7 Desember 2020
Korban meninggal: 6 anggota FPI
- Ahmad Sofian alias Ambon (26)
- Faiz Ahmad Syukur (22)
- Andi Oktiawan (33)
- Muhammad Reza (20)
- Lutfi Hakim (24)
- Muhammad Suci Khadavi (21)
Tindakan polisi sebelum peristiwa
- Tidak diketahui
Tindakan polisi saat peristiwa
- Pembunuhan
Polisi melakukan pembunuh terhadap enam anggota FPI dalam peristiwa Penembakan KM 50. Polisi menembak 2 anggota FPI diduga karena melawan, sementara 4 anggota FPI lain ditangkap dalam keadaan hidup lalu dieksekusi mati. Tindakan polisi itu termasuk kategori unlawful killing.
Tindakan polisi setelah peristiwa
- Dugaan Rekayasa
Polisi diduga melakukan rekayasa terhadap kronologi kasus Penembakan KM 50. Menurut polisi, anggota FPI menyerang polisi dengan tembakan, kemudian dibalas tembakan oleh polisi dan menyebabkan enam orang meninggal dalam baku tembak. Sementara, berdasarkan hasil rekonstruksi polisi, empat anggota FPI mati ditembak karena berusaha merebut senjata polisi ketika ditangkap.
- Penegakan Hukum
Tiga polisi yang mengeksekusi pembunuhan terhadap anggota FPI itu adalah Ipda Elwira Priadi, Briptu Fikri Ramadhan, dan Ipda Yusmin Ohorella. Dalam proses kasus ini, Ipda Elwira meninggal dunia. Sementara Briptu Fikri dan Ipda Yusmin menjalani persidangan tapi divonis bebas.
Pembunuhan Brigadir Yosua
Tanggal peristiwa: 8 Juli 2022
Korban meninggal: 1 orang (Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat)
Tindakan polisi sebelum peristiwa
- Tidak diketahui
Tindakan polisi saat peristiwa
- Kadiv Propam Irjen Ferdy Sambo menembak mati Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat di rumah dinasnya pada 8 Juli 2022. Penembakan itu dilakukan Sambo dua kali di kepala belakang Brigadir J. Sesaat setelah menembak mati Yosua, Sambo menembak dinding rumah untuk membuat rekayasa penyebab kematian itu. Kematian Yosua baru diungkap polisi tiga hari setelah kejadian.
Tindakan polisi setelah peristiwa
- Pembohongan Publik
Dalam konferensi pers pertama pada 11 Juli 2022, Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divhumas Polri Brigjen Ahmad Ramadhan menyebutkan kematian Yosua karena baku tembak sesama polisi.
- Rekayasa Kasus
Polisi melakukan rekayasa kasus dengan mengikuti petunjuk dari Sambo bahwa kematian Yosua adalah akibat baku tembak antara Yosua dan Bharada Eliezer. Selain merekayasa cerita, polisi merusak TKP dan CCTV.
- Pembungkaman
Jurnalis CNN dan Detik diintimidasi oleh orang-orang yang diduga polisi saat melakukan liputan tak jauh dari rumah dinas Sambo. Tiga orang itu merampas tas jurnalis dan menghapus hasil wawancara dengan salah seorang petugas kebersihan di kompleks Polri Duren Tiga.
- Penyangkalan
Polisi membantah tiga orang mengintimidasi jurnalis adalah anggota polisi.
“Jangan mengandai-mengandai kalau belum jelas. Biar buat laporan saja ke Jaksel biar jelas sekalian,” Kadiv Humas Polri Irjen Dedi Prasetyo.
- Pencitraan
Polisi melakukan pencitraan dengan mempublikasikan konten hasil survei LSI (Laboratorium Suara Indonesia) di media sosial Twitter (X). Hasil survei menunjukan Kapolri tegas menangani kasus penembakan Brigadir Yosua.
- Penegakan Hukum
Para anak buah Sambo diadili dalam keterlibatan obstruction of justice atau perintangan penyidikan.
Brigjen Hendra Kurniawan divonis 3 tahun penjara dan denda Rp20 juta subsider 3 bulan kurungan. Kombes Agus Nurpatria divonis 2 tahun penjara dan denda Rp20 juta subsider 3 bulan kurungan. Kompol Baiquni Wibowo dan Kompol Chuck Putranto divonis 1 tahun penjara dan denda Rp10 juta subsider 3 bulan kurungan. Putranto batal dipecat tapi dihukum demosi selama 1 tahun.
AKBP Arif Rachman Arifin dan AKP Irfan Widyanto divonis 10 bulan penjara dan denda Rp10 juta subsider 3 bulan kurungan.
Dalam kasus pembunuhan, Bharada Richard Eliezer, ajudan Sambo, divonis 1,5 tahun, karena bersedia menjadi justice collaborator. Bripka Ricky Rizal Wibowo, ajudan Sambo, divonis 13 tahun penjara tapi kemudian dipotong jadi 8 tahun penjara di tingkat kasasi. Kuat Ma’ruf, sopir keluarga Sambo, divonis 15 tahun penjara tapi kemudian dipotong jadi 10 tahun di tingkat kasasi.
Sementara istri Sambo, Putri Candrawathi, divonis 20 tahun penjara tapi kemudian dipotong jadi 10 tahun penjara di tingkat kasasi. Sambo divonis hukuman mati tapi kemudian dihukum seumur hidup di tingkat kasasi.
Tragedi Kanjuruhan
Tanggal peristiwa: 1 Oktober 2022
Korban meninggal: 135 orang
Korban luka: 695 orang
Tindakan polisi sebelum peristiwa
- Tidak diketahui
Tindakan polisi saat peristiwa
- Kekerasan
Polisi melakukan kekerasan terhadap Aremania usai pertandingan dengan cara memukul dengan tongkat panjang ke Aremania yang masuk lapangan.
- Kekerasan menyebabkan kematian
Polisi menembakkan gas air mata ke arah tribun penonton dan pintu keluar yang mengakibatkan kepanikan dan desak-desakan. Menurut Komnas HAM, ada 45 tembakan gas air mata yang dilancarkan polisi. Akibat peristiwa itu, 135 orang meninggal dan 695 orang luka-luka.
Tindakan polisi setelah peristiwa:
- Dugaan Rekayasa
Dugaan rekayasa untuk menutupi tindakan polisi adalah menghapus CCTV di Stadion Kanjuruhan. Selain itu, polisi mengklaim tanpa bukti hanya melepaskan 11 tembakan gas air mata dan tidak mengarahkan ke arah pintu keluar stadion.
- Penyangkalan
Polisi menyangkal bahwa mereka menembakkan gas air mata ke arah pintu keluar ketika penonton berdesakan-desakan. Selain itu polisi menyangkal bahwa penyebab kematian 135 orang itu karena gas air mata.
“Saat proses penumpukan itulah terjadi sesak napas kekurangan oksigen,” Kapolda Jawa Timur Irjen Nico Afinta.
Polisi menyangkal melakukan intimidasi terhadap keluarga korban agar mencabut pengajuan autopsi serta membantah penangkapan terhadap Aremania.
- Intimidasi
Polisi melakukan intimidasi terhadap keluarga korban dengan mendatangi rumah keluarga korban. Selain itu polisi mengintimidasi seorang Aremania dengan menangkap dan merampas ponsel milik korban, lalu menghapus video dan akun TikTok milik korban yang mengunggah video terkait Tragedi Kanjuruhan.
- Framing
Polisi memframing seolah-olah Aremania mengonsumsi miras oplosan saat menonton pertandingan. Polisi mengklaim tanpa bukti telah menemukan 46 botol miras di Stadion Kanjuruhan. Kadiv Humas Mabes Polri Irjen Dedi Prasetyo menyebarkan foto 46 botol miras itu ke media. Faktanya, 46 botol itu merupakan obat ternak sapi.
- Pencitraan
Polisi melakukan pencitraan dengan menaikkan tagar #KonsistenUsutTuntas di Twitter (X). Tagar ini disertai narasi bahwa Kapolri akan bekerja maksimal untuk mengusut tuntas kasus tersebut. Bukti ketegasan itu lewat penetapan 6 tersangka.
- Penegakan Hukum
Polisi melakukan penegakan hukum, tapi tidak ada satu pun anggota polisi yang dinyatakan bersalah dalam Tragedi Kanjuruhan.
Pada putusan kasasi di Mahkamah Agung, putusan bebas di tingkat banding untuk polisi dibatalkan. Tiga polisi yang akhirnya dinyatakan bersalah adalah Kepala Satuan Samapta Polres Malang AKP Bambang Sidik Ahmadi yang divonis 2 tahun penjara; Kepala Bagian Operasional Polres Malang AKP Wahyu Setyo Pranoto divonis 2,5 tahun penjara; dan Komandan Kompi Brimob Polda Jatim AKP Hasdarmawan divonis 1,5 tahun penjara.
Baca laporan kami: Setahun Kanjuruhan, Nol Keadilan
Artikel ini bagian dari serial #PolisiBukanPreman