Polisi brutal hadapi demo Peringatan Darurat di Semarang menggambarkan Provinsi Jawa Tengah dikendalikan kuasa polisi. Penjabat gubernur, kepala polisi daerah, bahkan panglima daerah militer terkoneksi dengan jaringan pengaruh kekuasaan Jokowi.
TINDAKAN brutal kepolisian menangani demonstrasi #PeringatanDarurat di Semarang adalah peringatan pertama dari serangkaian kekerasan polisi atas aksi menolak pengesahan Revisi UU Pilkada dan kawal putusan Mahkamah Konstitusi. Aksi berlangsung sejak 22 Agustus, dan berlanjut di tengah jeda beberapa hari kemudian, di beberapa kota; selain di Jakarta, juga di Bandung, Yogyakarta, Solo, Surabaya, Malang, Makassar, Palu, Kendari, dan lain-lain.
Di depan gedung DPRD Provinsi Jawa Tengah, masih siang hari Kamis, 22 Agustus, polisi telah membubarkan ribuan massa aksi dengan melepaskan meriam air dan gas air mata. Dari brutalitas itu, sedikitnya 26 mahasiswa terluka dan 18 di antaranya dilarikan ke rumah sakit.
Pada aksi berikutnya, Senin, 26 Agustus, di Jalan Pemuda, Kota Semarang, ribuan polisi sudah memblokade kerumunan demonstran. Polisi bertubi-tubi menembakkan meriam air dan gas air mata membubarkan kerumunan massa.
Semula massa aksi demonstrasi bertajuk ‘Jateng Bergerak Adili dan Turunkan Jokowi’ itu hendak menduduki dan menggelar sidang rakyat di Gedung DPRD Kota Semarang. Namun, massa aksi yang tergabung Gerakan Rakyat Menggugat (Geram) Jateng itu dihalang-halangi polisi.
Massa aksi yang mayoritas mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi di Semarang itu beberapa kali mencoba menerobos barikade polisi. Usaha mereka tak membuahkan hasil. Beberapa mahasiswa justru terluka karena terkena pentungan polisi.
Kepolisian Daerah Jawa Tengah mengerahkan sekitar 1.541 personel menghadapi massa aksi pada 26 Agustus itu. Aparat kepolisian bersenjatakan gas air mata, pasukan bermotor, kendaraan taktis, dan kendaraan meriam air dikerahkan.
Brutalitas polisi pada 26 Agustus ini tak cuma terpusat di satu titik seperti terjadi pada demo 22 Agustus, melainkan menyebar di beberapa titik karena polisi bertindak secara aktif mencari-mencari dan menangkap demonstran. Korbannya tak cuma para mahasiswa, melainkan juga warga sekitar yang terluka tembakan gas air mata.
Dari catatan yang kami rangkum, titik brutalitas polisi menyebar di halaman Kantor BPJS Ketenagakerjaan Cabang Semarang; areal Mal Paragon tempat massa aksi mencari perlindungan; Kampung Sekayu tempat banyak anak-anak yang sedang mengadakan pengajian di sebuah masjid terluka gas air mata; Balai Kota dan Kantor DPRD Kota Semarang (yang lokasinya bersebelahan) tempat para polisi menangkap banyak pelajar; juga di kawasan kampus saat polisi mencari-cari mahasiswa.
Kekerasan polisi ini menyebabkan sedikitnya 38 demonstran terluka, 20 korban di antaranya dirujuk ke rumah sakit karena sesak napas. Polisi juga menangkap 33 orang di hari itu.
Aksi ugal-ugalan polisi menghadapi demonstran Peringatan Darurat ini juga menggemakan kembali seruan #DaruratKekerasanAparat selama pemerintahan Jokowi.
‘Tolong … Saya Mau Mati’
Sekalipun jalan sudah diblokade secara berlapis oleh kepolisian, massa aksi tetap bertahan selepas Magrib. Demonstran masih berusaha menduduki Gedung DPRD Kota Semarang di Jl Pemuda. Polisi pun membubarkan mereka secara paksa menggunakan gas air mata.
Dalam waktu sekejap, suasana di Jalan Pemuda mendadak mencengkam. Massa aksi berhamburan untuk menyelamatkan diri.
Terlihat mobil meriam air dan barisan aparat polisi bertameng bersaf-saf merangsek maju memukul mundur massa aksi. Aparat kepolisian ini berasal dari Polrestabes Semarang, Polda Jateng, didukung sejumlah polres lain dari berbagai daerah di Jawa Tengah. Di belakangnya sebuah kendaraan taktis berisi sejumlah polisi dilengkapi senapan gas air mata disusul pasukan bermotor bersaf pula.
Mereka bergerak dari depan Kantor DPRD/Balai Kota Semarang memukul mundur mahasiswa hingga depan Mal Paragon dengan tembakan gas air mata dan meriam air.
Banyak demonstran tumbang, baik mahasiswa, pelajar hingga masyarakat yang berada di sekitar lokasi aksi.
“Tolong, tolong, itu ada yang pingsan,” teriak seseorang saat melihat ada demonstran tergeletak di halaman Kantor BPJS Ketenagakerjaan Cabang Semarang.
Di tempat lain, di jembatan penyeberangan dekat Mal Paragon, ada seorang demonstran mengenakan baju almamater sebuah perguruan tinggi negeri tertatih mendekati Fajar Muhammad Andhika, Tim Hukum Gerakan Rakyat Menggugat (Geram). Ia menggapai tangan Dhika sembari merintih, ’’Tolong saya… tolong saya… saya mau mati, sudah tidak bisa bernapas lagi.’
Sontak Dhika memapah korban ke arah Hotel Novotel. Dhika berupaya memberikan pertolongan dengan membasuh wajah korban yang terpapar gas air mata itu menggunakan air dari keran di depan hotel. Lalu, korban ditolong paramedis.
Di jembatan penyeberangan itu semua berasap sampai-sampai Dhika kesulitan bernapas dan tak bisa turun. “Gas menyebar ke mana-mana. Banyak sekali tembakan. Saya tidak menghitung.”
Ia melihat saat massa aksi sudah membubarkan diri, polisi masih menembakkan gas air mata. Padahal massa aksi sudah kocar-kacir ke mana-mana.
“Sedari awal polisi menggunakan pendekatan kekerasan terhadap massa aksi,” ujar Dhika, yang mengingatkannya pada aksi sporadis polisi menembakkan gas air mata di Stadion Kanjuruhan, Malang, yang menewaskan 135 orang dan melukai 600-an orang.
Komunikator Paramedis Jalanan, Martha Kumala Dewi, menilai situasi di depan Mal Paragon seperti “medan pertempuran.” Di sana kepulan asap begitu banyak dan pekat serta berkali-kali terdengar suara dentuman tembakan gas air mata.
Korban Anak-Anak
Sebaran asap gas air mata yang ditembakkan polisi tak cuma mengenai para demonstran. Asapnya terbawa angin hingga masuk ke area perkampungan. Salah satu permukiman yang terdampak adalah Kampung Sekayu.
Anak-anak yang sedang mengaji di TPQ Masjid Taqwa Sekayu mengeluh sesak napas dan matanya perih akibat terpapar asap gas air mata.
“Ketika kami sedang mengaji, terdengar suara letusan. Anak-anak tanya suara apa itu? Selang beberapa menit mulai tercium aroma (gas air mata). Anak-anak kembali tanya bau apa ini? Bau apa?” ungkap Johan Alfandi, pengajar TPQ Masjid Taqwa Sekayu.
Saat para santri mengeluh sakit mata dan sesak napas, di lantai bawah terdengar suara gaduh para demonstran melarikan diri dan masuk ke Masjid Taqwa Sekayu. Dari lantai atas, ia mengimbau massa aksi untuk tetap tenang.
Johan berkata semua anak-anak yang mengaji terpapar gas air mata. Tak hanya itu, warga Kampung Sekayu juga terdampak gas air mata. Seorang warga setempat yang punya riwayat sakit asma malam itu langsung dilarikan ke rumah sakit.
“Hampir semua anak menangis karena ketakutan. Saya memohon polisi untuk mempertimbangkan penggunaan gas air mata dengan melihat lingkungan. Kalau cukup menggunakan water cannon, tidak perlu menggunakan gas air mata atau peluru tajam, nauzubillah,” imbuhnya.
Dugaan Peluru Karet
Tindakan represif aparat kepolisian membubarkan massa aksi tak hanya menggunakan gas air mata. Polisi diduga menggunakan peluru karet.
Seorang mahasiswa kampus swasta menjadi korbannya. Betis kaki kirinya terpaksa harus mendapat 10 jahitan karena terluka akibat diduga terkena peluru karet.
“Saat chaos, saya dan teman-teman lari ke arah Mal Paragon. Terus saya melihat kucuran darah di betis kaki sebelah kiri. Saya sontak manggil medis minta agar diperban,” ujarnya.
Setelah kakinya diperban, ia berlari menjauh dari Jalan Pemuda agar tidak ditangkap polisi. Saat itu aparat melakukan sweeping. Ia kemudian ke rumah sakit untuk membersihkan luka di kakinya. Hasil pemeriksaan medis, ditemukan serpihan yang diduga peluru karet menempel di kakinya.
“Kata dokter ada semacam serpihan karet-karet, gitu. Tapi tidak dijelaskan secara detail. Di kaki saya ada sepuluh jahitan setelah sisa-sisa (peluru karet) diambil petugas medis,” terangnya.
Pukul dan Tangkap Pelajar
Polisi juga memukul dan menangkap pelajar. Ada seorang pelajar SMK di Kota Semarang yang tidak terlibat demonstrasi ditangkap dan dibawa polisi secara paksa.
“Saya sudah bilang jangan dekat-dekat tapi dia nekat lihat di pinggir jalan. Akhirnya dia dikira ikut demo,” ucap saksi mata sekaligus teman korban.
Saksi mata ini bisa menyelamatkan diri. Ia memasuki gang Bedagan Kampung Sekayu. Sementara temannya yang jadi korban asal tangkap polisi itu berada di pinggir jalan. Ada enam orang yang diduga polisi berbaju preman menangkapnya.
Seorang warga sekitar bersaksi kepada kami bahwa ia sempat melihat polisi memukul pelajar itu. Ia meminta polisi berhenti melakukan kekerasan.
“Saya lihat dia dipukuli. Otomatis kami yang melihat merasa enggak tega. Saya bilang ke polisi berbaju preman itu, ‘Pak, jangan dipukul. Itu anak kecil.’”
Selepas diprotes warga, korban dibawa paksa oleh beberapa polisi berbaju preman itu ke arah Balai Kota. Kejadian itu direkam warga.
Dalam rekaman video itu, enam polisi berbaju preman mengangkat tubuh korban secara paksa dengan cara memegang tangan dan kaki korban.
Korban yang masih mengenakan seragam pelajar ini tampak memberontak. Korban meninggalkan motor Astrea di depan rumah warga, yang kemudian diambil oleh teman-temannya untuk dibawa pulang.
Dhika berkata banyak pendemo dipukul, ditendang, dicekik, dan diseret oleh polisi. Bahkan, ujarnya, massa aksi yang sudah menyelamatkan diri masuk ke sekolah-sekolah di sekitar Balai Kota juga tetap dikejar polisi. Banyak mahasiswa yang sedang berjalan diseret dan ditangkap.
Penyisiran ke Kampus
Tindakan represi polisi terhadap mahasiswa tak berhenti di situ. Malam hari setelah aksi unjuk rasa, beberapa orang berpakaian sipil yang diduga aparat kepolisian melakukan sweeping ke kawasan sejumlah perguruan tinggi di Semarang.
Mereka mendatangi tempat nongkrong mahasiswa, seperti warung mie dan bubur kacang hijau di sekitar kampus. Mereka menanyakan nama mahasiswa yang dicari sembari menunjukkan foto.
Para aparat juga melakukan penyisiran dengan menanyakan kepada sejumlah mahasiswa apakah mereka ikut demo atau tidak.
Salah seorang mahasiswa di kampus negeri di Kota Semarang bercerita saat ia mengendarai sepeda motor, ia diadang dua orang pada Rabu malam, 28 Agustus.
“Aku diikuti terus tiba-tiba dicegat. Pertama mereka bilang, ‘Kamu aktivis yang ikut demo turun ke jalan?’ Aku jawab saja, ‘Maaf, Pak, saya enggak tahu ada demo dan saya enggak ikut jadi aktivis yang turun ke jalan.’ Setelah itu, kunci motor dan HP saya diambil paksa,” ungkapnya.
Melihat gerak-gerik dua pria yang mengenakan sepatu bot, ia menanyakan apakah mereka mengantongi surat tugas.
“Bukannya menunjukkan surat tugas, mereka malah meminta KTM (kartu mahasiswa) dan KTP saya. Saya tidak membawa keduanya dan hanya menunjukan lewat foto.”
Setelah itu, ada orang di sekitar lokasi kejadian berteriak, ‘’Pak, enggak semua orang yang mahasiswa ikutan demo, kalau dia bilang enggak tahu soal demo berarti dia enggak ikut-ikutan.’’ Setelah itu, kunci motor dan ponselnya dikembalikan.
Kejadian ini mengonfirmasi pernyataan Kapolrestabes Semarang, Kombes Irwan Anwar; bahwa polisi tengah memburu “koordinator lapangan” demo yang menggerakan dan mengerahkan kalangan mahasiswa maupun pelajar STM.
“Kami akan mendalami siapa yang menggerakan mereka. Bukti sudah ada, tinggal kami tindak lanjuti,” kata Anwar di Polrestabes Semarang.
Korban
Berdasarkan catatan Paramedis Jalanan Kota Semarang, sebanyak 38 korban terdata ditangani oleh tim Paramedis Jalanan. Dan, sebanyak 20 korban di antaranya terpaksa harus dirujuk ke rumah sakit karena kehabisan oksigen.
“Sebenarnya yang kami tangani itu mungkin sampai ratusan orang. Sebab, di sana penuh kepulan asap gas air mata. Banyak korban mengalami sesak napas terpapar gas air mata. Saat itu kami fokus menangani korban. Terpenting bisa menyelamatkan orang sebanyak-banyaknya sehingga kami luput mendata,” ujar Komunikator Paramedis Jalanan, Martha Kumala Dewi.
Ada korban mengalami ketegangan otak serius sehingga harus dilakukan perawatan serius, ujarnya. “Ada juga dua korban yang berada di dekat mobil komando massa aksi terlindas pada bagian kaki hingga retak.”
Selain itu, polisi menangkap 33 orang selama hampir 1 x 24 jam, terdiri atas 23 pelajar SMK, 9 mahasiswa, dan seorang sopir ojek online. Mereka dibawa ke Polrestabes Semarang.
Dhika menilai penangkapan itu tidak sesuai prosedur dan dilakukan secara sewenang-wenang.
Dalam proses penangkapan itu, pihak kepolisian seharusnya menggunakan pendekatan-pendekatan manusiawi sebagaimana diatur dalam Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia.
“Perkap itu seharusnya menjadi pedoman kerja-kerja mereka,” tandasnya.
Tim Hukum Dihalangi Polisi
Di Polrestabe Semarang, tim hukum sudah berupaya masuk ke ruang pemeriksaan untuk memberikan pendampingan kepada 33 korban. Namun, petugas polisi menghalang-halanginya.
Lagi-lagi, polisi melanggar hukum bahwa akses bantuan hukum merupakan hak bagi setiap orang untuk mendapatkan bantuan hukum.
“Bahkan kami dari tim hukum menunggu hingga pukul 03.00 dini hari untuk mendampingi kawan-kawan, tapi kami masih ditutup aksesnya oleh aparat kepolisian dengan alasan tidak jelas,” kata Dhika.
Sehari setelah aksi, 33 massa aksi yang ditangkap akhirnya dibebaskan setelah didesak oleh banyak pihak, termasuk oleh Komnas HAM, para dosen, juga salah satunya oleh Rektor Universitas Islam Sultan Agung yang mendatangi Polrestabes Semarang.
“Hak-hak mengekspresikan pendapat itu saya kira perlu dilindungi oleh aparat dan negara,” ujar Komisioner Pengkajian dan Penelitian Komnas HAM, Saurlin Siagian. “Kami tentu akan memastikan hak-hak menyampaikan pendapat itu, termasuk salah satunya pelajar. Kalau ada pelajar menyampaikan pendapat itu adalah hal yang positif juga.”
“Penyampaian pendapat itu dilindungi undang-undang sehingga aparat kepolisian tidak bisa melakukan intimidasi seperti melakukan sweeping di lingkungan kampus,” tambahnya.
Ponsel Pendemo Disita
Dhika menduga ada upaya peretasan ponsel milik para pendemo yang ditangkap polisi. Keluarga korban mengadu ke tim hukum Geram bahwa pada malam hari, keluarga korban dihubungi pihak kepolisian yang meminta kata sandi ponsel milik pendemo tersebut.
Ponsel itu barang pribadi, kata Dhika. Dengan demikian, tidak bisa serta merta orang lain melihat isi ponsel tersebut.
“Kami menyayangkan tindakan kepolisian. Penegak hukum seharusnya menaati undang-undang.”
“Proses penyitaan seharusnya memenuhi prinsip-prinsip hak asasi manusia, harus punya surat izin dari pengadilan,” tegas Dhika.
Kekuatan Berlebihan
Dhika menilai polisi mempersiapkan penanganan aksi unjuk rasa itu secara berlebihan. Setelah Magrib, polisi menambah pasukan, tidak hanya dari Semarang; ada dari Batang, Pati, dan lainnya.
“Polisi mempersiapkan kekuatan berlebihan. Aparat bawa pasukan dan penanganan berlebihan. Jalan dari Tugu Muda Semarang dikosongkan. Itu untuk memberi jalan polisi dari luar kota,’’ katanya.
Tameng yang dibawa polisi pun bukan plastik seperti yang digunakan saat di depan Balai Kota Semarang, ujar Dhika, “tapi besi.” Polisi juga menambah pasukan Brimob bermotor trail.
Pertanyaannya, mengapa Polda Jateng mengerahkan pasukan kekerasan negara begitu banyak untuk menghadapi demonstrasi Peringatan Darurat? Apa latar politik ekonominya?
Satu hal yang sangat jelas adalah aksi massa ini berhasil menggagalkan Kaesang Pangarep mencalonkan diri sebagai wakil gubernur dalam Pilkada 2024. Putra bungsu Presiden Joko Widodo itu sudah diplot menjadi calon wakil gubernur di Jawa Tengah. Pasangannya adalah Ahmad Luthfi, mantan Kapolda Jateng. Pasangan ini diusung oleh koalisi gemuk dari gabungan konsolidasi politik Jokowi dan Prabowo Subianto. Tapi, plot ini gagal.
Putusan Mahkamah Konstitusi menetapkan syarat menjadi calon gubernur dan wakil gubernur minimal berumur 30 tahun saat proses pencalonan, bukan saat kandidat tersebut terpilih. Putusan ini menganulir putusan Mahkamah Agung yang membolehkan syarat minimal umur 30 tahun saat dilantik, bukan di tahap pencalonan. Putusan MA ini sangat menguntungkan Kaesang sebab ia baru berumur 29 tahun dan, jika menang, ia akan dilantik tepat saat umur 30 tahun.
Dengan kata lain, permainan kuasa Jokowi gagal diterapkan di Jawa Tengah, salah satu provinsi yang jadi kepentingan politik Jokowi dalam Pilkada 2024.
Ahmad Luthfi tetap diusung sebagai calon gubernur dari koalisi gemuk itu. Luthfi adalah orang Jokowi. Ia mantan Kapolresta Surakarta (2015-2017), kota halaman Jokowi. Saat menjabat Kapolda, ia adalah Kapolda aktif satu-satunya saat itu yang bukan lulusan Akpol. Luthfi telah melakukan canvassing politik sejak Lebaran 2024. Poster mukanya dipasang di mana-mana, dengan memakai jabatan sebagai Kapolda, di setiap titik jalan strategis saat jutaan pemudik melintasi Pulau Jawa.
Sementara penjabat Gubernur Jateng adalah perwira pensiunan polisi Nana Sudjana, yang juga pernah bertugas di Surakarta (2010-2011). Adapun Kapolda Jateng sekarang adalah Irjen Ribut Hari Wibowo, yang juga pernah jadi Kapolresta Surakarta (2017-2019), menggantikan Luthfi.
Dari kandidat gubernur, pejabat yang bertugas sebagai gubernur, hingga Kapolda Jateng sekarang semuanya diisi oleh perwira polisi. Dan mereka pernah menjabat sebagai kepala polisi Surakarta. Mereka adalah lingkaran “Geng Solo”–sebutan untuk perwira TNI dan Polri yang pernah mencicipi tugas di Surakarta saat masa Jokowi meniti karier politik sejak 2005. Nama lain tentu saja Kapolri Jenderal Sigit Listyo Prabowo, yang menjabat Kapolresta Surakarta pada 2011-2012, menggantikan Nana Sudjana saat itu.
Di lingkaran militer, nama perwira aktif yang relevan disebut adalah Pangdam IV/Diponegoro Mayjen Deddy Suryadi, eks Danjen Kopassus (2023-2024), yang pernah bertugas sebagai Danrem 074/Warastratama (2021) yang mengendalikan kota-kota eks Karesidenan Surakarta yang bermarkas di Kota Solo.
Gibran Rakabuming, putra sulung Jokowi, wakil presiden terpilih dari proses mengakali konstitusi, ikut mengantar pencalonan Ahmad Luthfi ke KPU Jateng pada 28 Agustus. Tindakan ini, disebut pengamat, nir-etika sebab pejabat terpilih seharusnya bersikap netral dalam Pilkada 2014. Kehadirannya itu rawan dipakai sebagai politik kepentingan melazimkan para birokrat mendukung kandidat tertentu dalam Pilkada 2024.
Dengan penjabat gubernur, kepala kepolisian daerah, dan panglima daerah militer terkoneksi secara dekat dengan jaringan kekuasaan Jokowi, masyarakat sipil Jateng yang melakukan aksi “mengadili Jokowi” pada 26 Agustus ditangani secara represif oleh aparat keamanan.
Represi ini tidak cuma terjadi dalam aksi Peringatan Darurat. Saat aksi May Day, 1 Mei 2024, di depan kompleks kantor gubernur dan DPRD Jateng, polisi melakukan tindakan represif terhadap demonstran ketika pawai demo buruh itu belum menuntaskan orasi dan tuntutan. Ini berbalikan dengan kota-kota lain di mana peringatan aksi Hari Buruh Internasional tahun ini dirayakan dengan nyaman, aman, dan semarak.
Catatan LBH Semarang, massa aksi May Day dibubarkan polisi sekitar pukul 15.54. Polisi menyemprotkan meriam air, memukul, dan menyeret demonstran. Setidaknya tiga orang terluka dan memar karena dipukul pentungan polisi di bagian tangan, leher, dan dada. Polisi melakukan selebrasi setelah memukul mundur demonstran.
Hal ini juga sedikit menjelaskan sekilas mengenai apa yang sedang “diamankan” oleh aparatus kekerasan negara.
Provinsi Jateng adalah magnet bagi industri manufaktur merelokasikan pabrik-pabriknya ke daerah ini. Ada banyak kawasan industri yang dibangun di Jateng, termasuk di Kendal dan Demak, sebagai Proyek Strategis Nasional pemerintahan Jokowi.
Di sisi lain, upah buruhnya terus ditekan murah. Dalam hal ini, kepemimpinan PDIP di Jateng, lewat mantan Gubernur Ganjar Pranowo, terlibat dalam kebijakan upah buruh murah. Sekalipun buruhnya diupah murah, tapi badai PHK terus saja berlanjut. Jateng adalah pusat PHK terbanyak dan menempati posisi pertama dari gelombang PHK buruh garmen dan tekstil di Indonesia, menurut LBH Semarang.
Menurut Dhika, yang juga advokat LBH Semarang, kekerasan polisi menghadapi demonstrasi publik menjadi pola sejak 2019 saat aksi Reformasi Dikorupsi. “Setelah itu, seringkali aksi-aksi mahasiswa khususnya di Semarang mendapatkan represif tinggi. Waktu evaluasi 100 hari Jokowi pada 2019, juga sama. May Day juga sama. UU Cipta Kerja 2020 juga sama. Aksi Darurat Demokrasi, Darurat Konstitusi, yang kemarin juga sama. Sama-sama represif.”
“Polisi punya Kode Perilaku yang justru dilanggar oleh polisi sendiri. Polisi seharusnya mengayomi dan melindungi masyarakat, tapi justru semakin kelihatan jadi alat penguasa. Polisi bukan melindungi masyarakat, tapi melindungi para investor,” tegasnya.
Liputan ini ditulis oleh Tim Kolaborasi Jurnalis Investigasi Jawa Tengah (KAJI Jateng), bagian dari serial kolaborasi Project Multatuli mendokumentasikan transisi kekuasaan yang ugal-ugalan sepanjang 2024.