Revisi UU Polri: Menjauhkan Reformasi Polri, Melekatkan Persepsi ACAB

Evi Mariani & Mawa Kresna
11 menit

Sudah banyak bukti dan peristiwa yang menunjukkan polisi Indonesia berulang kali berlaku sewenang-wenang, bahkan brutal. Tak jarang, warga merespons perilaku itu dengan slogan ACAB (All Cops are Bastards) sebagai bentuk kekesalan pada polisi. Pasca tragedi Kanjuruhan misalnya, grafiti ACAB jadi hiasan di tempat-tempat umum di Malang.

Persepsi masyarakat dan umpatan ACAB terhadap polisi sesungguhnya respons atas masalah yang muncul di permukaan namun tak pernah selesai. Masalah yang sesungguhnya, jauh lebih rumit dari itu. Kekerasan dan kesewenang-wenangan itu tidak muncul begitu saja, tetapi sebuah proses panjang sejarah kekerasan, pembiaran, kebijakan asal-asalan yang membuat Kepolisian Republik Indonesia (Polri) jauh dari semangat demokratisasi, lebih dekat sebagai alat kekuasaan.

Dalam tulisan sebelumnya kami telah menyinggung empat akar masalah mengapa kepolisian Indonesia (Polri) tidak sesuai dengan semangat demokratisasi dan bagaimana revisi UU Polri akan memperburuknya. Dalam tulisan ini kami mengusai lebih dalam masalah dalam revisi UU kepolisian yang bukannya memperbaiki Polri tetapi malah membuka peluang kesewenang-wenangan terus berlanjut. Empat akar masalah ini merupakan hasil analisis para peneliti KontraS dalam laporan tahunan Hari Bhayangkara.

Pertama: Warisan Cara Kerja Orba

Selama puluhan tahun Polri menjadi bagian dari Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) di masa Orde Baru (Orba) yang merupakan pemerintahan otoriter dan jejak militeristik masih nyata hingga saat ini, menjadikan cara kerja ala Orba diwariskan oleh kepolisian, termasuk budaya kekerasannya. Ketika reformasi seharusnya kepolisian mengubah diri sesuai semangat demokratisasi, tetapi rupanya lembaga ini masih meneruskan cara kerja lama.

Pada tahun 2000, dengan TAP MPR No. VI/2000 dan TAP MPR No. VII/2000, Indonesia memisahkan Polri dan TNI demi demokratisasi. Di era reformasi Polri menjadi alat negara yang berperan dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, memberikan pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.Ā 

Tugas ini sesungguhnya memiliki dimensi hak asasi manusia (HAM) yaitu pintu untuk memberikan pemulihan bagi korban kejahatan serta menjamin HAM warga agar tidak tercederai. Pasca reformasi, dengan berubahnya corak negara otoritarian ke demokrasi juga penambahan komitmen-komitmen HAM, berbagai lembaga negara termasuk Polri dituntut untuk menjadi institusi yang bekerja dalam koridor demokrasi dan HAM.

Namun, Polri yang diharapkan menjadi institusi yang demokratis dan menghormati HAM justru memunculkan benih-benih institusi yang menggunakan strategi ā€œpemolisian otoriterā€. Ada banyak strategi ā€œpolicingā€ atau pemolisian; ada yang demokratis, ada bentuk pemolisian masyarakat, ada pemolisian berbasis krisis, dan ada pula pemolisian otoriter.Ā 

Idealnya pada masa kini, kepolisian menggunakan strategi pemolisian demokratis atau pemolisian masyarakat. Tetapi Polri malah menjalankan ā€œpemolisian otoriter (authoritarian policing)ā€, suatu strategi pemolisian yang ā€œmengedepankan tujuan untuk mengontrol atau mengekang publik dan bertindak sesuai dengan subjektivitas institusi dibanding melakukan tindakan yang sesuai dengan kepentingan publikā€. Pemolisian otoriter juga, alih-alih memandang prinsip-prinsip HAM sebagai panduan dalam melaksanakan tugas malah memandang standar-standar HAM sebagai hambatan atau beban bagi anggota kepolisian dalam melakukan tugasnya.

Hasilnya sifat Orba dengan karakter institusi seperti militer dan bukan pengayom menetap dalam tubuh Polri. Pada rezim Orba praktik-praktik kekerasan oleh aparat menjadi hal yang ā€œlumrahā€, terbukti melalui berbagai peristiwa pelanggaran berat HAM seperti peristiwa Pembunuhan Misterius (Petrus) di era 1980an, peristiwa Tanjung Priok, peristiwa Talangsari, dan lainnya. Atas nama keamanan nasional ribuan warga sipil terbunuh dan menjadi korban kekerasan serta penghilangan paksa.Ā 

Cara tersebut juga digunakan oleh Polri masa kini. Dalam pengamanan terhadap aksi massa, penggunaan senjata ā€œkelas beratā€ seperti water cannon, penembakan gas air mata bahkan penggunaan peluru tajam menjadi pemandangan yang umum ditemui.Ā 

Tragedi Kanjuruhan yang memakan 135 korban jiwa, kekerasan di Rempang dan penembakan terhadap masyarakat adat di Desa Bangkal, Seruyan, Kalimantan Tengah, serta warga sipil di Tanah Papua menunjukkan betapa tindakan Polri tak berubah sejak Orba. Penggunaan senjata secara sewenang-wenang dan kekerasan menyebabkan warga sipil menjadi korban.

Saat rakyat mengalami ketidakadilan karena perampasan tanah, Polri justru berdiri di sisi perampas tanah. Sungguh miris, senjata yang dibeli dengan anggaran yang seharusnya digunakan untuk menyejahterakan rakyat, justru digunakan untuk melukai masyarakat.Ā 

Kedua: Wewenang yang Terlampau Banyak

Akar permasalahan kedua adalah penggelembungan tugas dan wewenang. UUD 1945 memandatkan Polri sebagai ā€œalat negara yang menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat bertugas melindungi, mengayomi, melayani masyarakat, serta menegakkan hukumā€. Pasal 13 UU 2/2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia kemudian membuat anatomi sendiri tentang tugas ini dengan menciptakan tugas pokok yaitu:Ā 

1) memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat,Ā 

2) menegakkan hukum;

3) memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.Ā 

Dari tiga tugas pokok ini, UU kepolisian memandatkan 12 tugas turunan. Salah satu tugas tersebut misalnya turut serta dalam pembinaan hukum nasional. Tugas ke-12 pun membuka ruang adanya tugas lain apabila diberikan peraturan perundang-undangan. Tugas ini kemudian diturunkan menjadi 36 wewenang dalam UU 2/2002, terdiri dari 13 wewenang sesuai tugas dan tugas pokok, 11 sesuai dengan peraturan perundang-undangan, dan 12 wewenang untuk tugas pidana.Ā 

Bertambahlah wewenang polisi seperti memberikan izin operasional dan melakukan pengawasan terhadap badan usaha di bidang jasa pengamanan, memberikan petunjuk, mendidik, dan melatih petugas pengamanan swakarsa dalam bidang teknis kepolisian. Wewenang yang terlampau luas dan menjangkau berbagai lini kehidupan masyarakat tersebut pada akhirnya menyebabkan besarnya potensi terjadinya tindak korupsi dan pungutan liar.

Dengan memiliki kekuasaan yang besar, aparat penegak hukum berwenang melakukan berbagai tindakan seperti penindakan, penyelidikan, penahanan, dan pengambilan keputusan. Jika kekuasaan ini tidak diawasi dengan baik, ada potensi untuk disalahgunakan demi keuntungan pribadi. Contohnya, aparat dapat memeras orang yang sedang diperiksa atau menawarkan perlindungan dengan imbalan suap. Penangkapan pemakai narkotika pun diduga jadi ajang pemerasan tersangka.

Ketiga: Tak Ada yang Mengawasi

Akar permasalahan lain yang juga dihadapi oleh Polri adalah minimnya pengawasan atas kewenangannya. Secara teoritis, karena undang-undang memberikan wewenang yang begitu luas kepada kepolisian, maka sudah sepatutnya wewenang tersebut disertai dengan pengawasan yang ketat.

Idealnya, pengawasan terhadap kepolisian dijalankan secara berlapis (multi-layered oversight) dan demokratis (democratic oversight) mulai dari pengawasan internal, hingga pengawasan eksternal oleh lembaga negara lainnya, serta dengan menciptakan transparansi agar pengawasan oleh publik dapat berjalan. Pada praktiknya pengawasan internal kepolisian melalui Divisi Profesi dan Pengamanan (Propam) serta mekanisme akuntabilitas atau pertanggungjawaban melalui Komisi Kode Etik Kepolisian tidak berjalan secara efektif. Bahkan pada kasus pembunuhan Brigadir Yosua Hutabarat, kepala Divisi Propam justru menjadi pelaku pembunuhan yang dilakukan dengan keji. Pola ini tidak mengherankan apabila melihat struktur dan kepangkatan Polri. Kabareskrim dan Kabaintelkam ditempati oleh jenderal bintang tiga sementara kepala Divisi Propam oleh jenderal bintang dua.Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā 

Sementara itu dari eksternal, Polri tidak ada pengawasan. Kompolnas yang selama ini diklaim sebagai pengawas eksternal, sejati tidak dapat disebut sebagai pengawas eksternal karena tiga orang anggotanya berasal dari pemerintah, sementara ketua dan wakilnya dipilih dan ditetapkan oleh Presiden.Ā 

Klaim lain kerap dibuat dengan mengatakan ada pengawasan eksternal melalui hubungan dengan berbagai lembaga antara lain Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kementerian Sekretariat Negara (Setneg), Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), dan Komnas HAM. Sayangnya, hubungan dengan berbagai lembaga dalam rangka pengawasan tersebut berjalan dengan disfungsional. Lembaga-lembaga itu hanya berperan sebagai pemberi rekomendasi dan catatan tanpa pernah berhasil menyentuh dan memperbaiki akar masalah yang terjadi.

Pengawasan yang minim disertai dengan anggaran yang besar juga pada akhirnya menjadi salah satu faktor penyelewengan dan perilaku koruptif terjadi. Indonesia Corruption Watch (ICW) bersama koalisi masyarakat sipil lainnya, misalnya, mencurigai besarnya anggaran yang dikeluarkan oleh Mabes Polri untuk pengadaan gas air mata. Laporan ICW mengindikasikan adanya dugaan penggelembungan harga untuk pengadaan beberapa senjata seperti gas air mata terlampau mahal dan perusahaan pelaku tender pembelian senjata tidak memiliki kualifikasi. Temuan seperti yang dilaporkan oleh ICW tersebut menunjukkan betapa potensi penyelewengan anggaran sangat rentan terjadi karena pengawasan yang minim.

Minimnya pengawasan membuat institusi dengan wewenang yang begitu meluas seakan memiliki ruang gerak tak terbatas, akhirnya berbagai peristiwa kekerasan yang berlebihan, penyiksaan, penangkapan sewenang-wenang hingga perilaku koruptif pun terus terjadi.

Keempat: Kultur Kekerasan dan Impunitas

Berbagai kasus kekerasan memperlihatkan lemahnya pemahaman dan internalisasi nilai dari anggota kepolisian terhadap prinsip dasar Hak Asasi Manusia (HAM) dalam melakukan tugas di lapangan. Peristiwa-peristiwa tersebut memperlihatkan kebutuhan mendesak untuk melakukan reformasi kultural dan reformasi institusi.

Tanpa pengawasan eksternal dan internal yang ketat serta memiliki akuntabilitas maka berbagai kasus pelanggaran dan penyalahgunaan wewenang terus berulang dan memunculkan fenomena impunitas di kalangan anggota kepolisian.Ā 

Masalahnya, hukum pidana Indonesia justru memberikan peluang terhadap terjadinya tindak penyiksaan, salah satunya dengan memberikan batas waktu atau masa penahanan yang lama, hingga 40 hari. Komite Anti Penyiksaan (Committee Against Torture) pada sesi ke-40 di Jenewa pada 2008 menyebutkan bahwa ketika tersangka tidak segera dibawa ke pengadilan, juga kurangnya pengawasan terhadap polisi saat penahanan, membuka peluang penyiksaan.

Panjangnya waktu penahanan terjadi karena hingga saat ini Hukum Acara Pidana Indonesia membuka ruang agar waktu penahanan dapat diperpanjang dalam tahap penyidikan dan penuntutan. Idealnya penahanan dilakukan tidak lebih dari 20 hari, agar proses pengungkapan kejahatan juga dilakukan dengan segera. Oleh karena itu, perbaikan terhadap praktik kekerasan dalam penegakan hukum juga perlu dibarengi dengan perbaikan pada tataran perundang-undangan.

RUU Polri Menjauhkan Reformasi Institusi

Alih-alih melakukan reformasi institusional dan instrumental, pemerintah bersama Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) justru mewacanakan revisi terhadap UU Polri. Sejumlah peneliti dari koalisi masyarakat sipil untuk reformasi polisi menandai bahwa masalah dasar dari RUU Polri ini adalah proses legislasi yang tergesa-gesa dan tanpa keterbukaan.

Substansi RUU Polri juga tidak lepas dari berbagai persoalan. Setidaknya terdapat empat catatan terhadap substansi RUU Polri yang tidak sejalan dengan kepentingan publik dan menjauhkan Polri dari profesionalisme institusi, antara lain (1) wewenang di ruang siber, (2) wewenang penyadapan, (3) perluasan wewenang intelijen dan (4) wewenang untuk melakukan pembinaan terhadap penyidik:

Pasal 16 Ayat 1 Huruf (q) dalam RUU Polri memberikan wewenang kepada Polri untuk mengamankan, membina, dan mengawasi ruang siber. Kewenangan ini mencakup tindakan seperti pemblokiran, pemutusan akses dan pelambatan akses demi kepentingan keamanan dalam negeri. Hal ini berpotensi mengurangi kebebasan berpendapat, hak untuk mendapatkan informasi, serta privasi warga negara, terutama di media sosial dan ruang digital. Walaupun ruang siber rentan menjadi tempat terjadinya tindak pidana, namun wewenang lembaga penegak hukum seperti dalam ruang siber sebaiknya dibatasi agar tidak menimbulkan berbagai ragam pelanggaran HAM.

Tindakan pemblokiran, pemutusan akses dan perlambatan akses juga berpotensi menyebabkan terjadinya pembatasan secara ekstrim terhadap hak-hak warga negara yang dinikmati melalui media sosial. Jika diimplementasikan, wewenang ini berpotensi mengulangi kesalahan yang pernah dilakukan oleh pemerintah ketika memutus akses internet di Tanah Papua yang kemudian diputus sebagai ā€œperbuatan melawan hukumā€ dan maladministratif oleh Pengadilan Tata Usaha Negara.

RUU Polri juga memberikan wewenang penyadapan secara lebih eksklusif kepada Polri. Penyadapan merupakan instrumen yang sangat sensitif dalam penegakan hukum. Dalam RUU Polri ayat 14 dalam dokumen yang kami dapatkan, penyadapan diizinkan berdasarkan “undang-undang terkait” meskipun Indonesia belum memiliki undang-undang khusus tentang penyadapan. Kekosongan hukum ini bisa memberi peluang bagi penyalahgunaan wewenang. Tanpa aturan yang jelas, penyadapan berisiko disalahgunakan untuk tujuan politik atau melanggar privasi individu.Ā 

Pada dasarnya keberadaan undang-undang yang spesifik dan jelas mengenai penyadapan sangat penting untuk mengatur batasan, prosedur, dan pengawasan terhadap praktik ini guna melindungi hak-hak individu, seperti privasi dan kebebasan berekspresi. Idealnya pemerintah terlebih dahulu menyiapkan suatu undang-undang khusus terkait penyadapan. RUU Penyadapan sebenarnya sudah masuk ke dalam Program Legislasi Nasional DPR-RI namun tak pernah dibahas.

RUU Polri juga akan memperluas wewenang intelijen yang dimiliki oleh Polri melebihi lembaga-lembaga lain yang berfokus pada intelijen. Hal ini direncanakan melalui penambahan Pasal 16A, yang mengizinkan Polri untuk melakukan penggalangan intelijen. Penggalangan intelijen adalah upaya mempengaruhi sasaran agar mengubah perilaku atau tindakan sesuai dengan keinginan pihak yang melaksanakan penggalangan. Dengan demikian, Polri akan memiliki kewenangan serupa Badan Intelijen Negara (BIN) dan dapat menimbulkan tumpang-tindih kewenangan sehingga akan memperburuk ragam masalah intelijen Indonesia.

RUU Polri juga memperluas kewenangan Polri untuk menangkal dan mencegah kegiatan tertentu yang mengancam kepentingan nasional. Kepentingan nasional yang dimaksud merujuk pada ancaman terhadap ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, keamanan, dan sektor kehidupan masyarakat lainnya, termasuk pangan, energi, sumber daya alam, dan lingkungan hidup. Jika berlaku, pasal ini berpotensi digunakan untuk menjerat aktivis lingkungan, mahasiswa maupun masyarakat adat yang melancarkan kritik terhadap proyek milik pemerintah seperti proyek strategis nasional dan proyek-proyek developmentalis lainnya.

Hal lain yang perlu disoroti adalah wewenang untuk mengawasi dan membina penyidik pegawai negeri sipil (PPNS). Pasal 14 Ayat 1 (g) RUU Polri memberi wewenang kepada polisi untuk mengawasi dan membina PPNS serta penyidik lain yang ditetapkan oleh undang-undang. Kepolisian juga berperan dalam proses rekrutmen dan pelaksanaan tugas penyidik, termasuk memberikan rekomendasi pengangkatan PPNS. Bahkan dalam Pasal 16p syarat sah kelengkapan berkas perkara hasil penyelidikan dan/atau penyidikan dari penyidik pegawai negeri sipil dan/atau penyidik lainnya yang akan diserahkan kepada penuntut umum harus dengan adanya surat pengantar Polri.

Hal ini berpotensi mengurangi independensi penegakan hukum karena penyidiknya harus mendapat persetujuan dari kepolisian. Selain itu, kewenangan Polri dalam RUU ini mendahului dan tidak sepenuhnya selaras dengan Rancangan KUHAP yang pembahasannya tertunda sejak 2014. Pemerintah seharusnya memprioritaskan pembahasan RKUHAP dan menyelaraskannya dengan RUU Polri. Pada tahap pelaksanaan tugas, dikhawatirkan penyelidikan dan penyidikan akan dipengaruhi oleh petunjuk dari kepolisian, mengurangi kemandirian KPK dan penyidikan lingkungan hidup.Ā 

Jika RUU Polri disahkan dalam bentuknya yang kontroversial saat ini, dikhawatirkan undang-undang ini akan digunakan oleh rezim baru untuk memperkuat kekuasaannya dan meningkatkan kontrol atas masyarakat. Mengingat bahwa pemerintahan Prabowo-Gibran tidak menekankan poin-poin terkait HAM dalam visi misi kampanyenya, ini menunjukkan kurangnya komitmen terhadap perlindungan HAM dalam konteks keamanan nasional dan penegakan hukum.Ā 

Pada akhirnya, polisi yang dicita-citakan sebagai pengayom tidak akan terwujud, makin jauh dari reformasi, akar masalah tidak akan selesai, dan persepsi masyarakat terhadap slogan ACAB semakin menguat.Ā 

Terima kasih sudah membaca laporan dari Project Multatuli. Jika kamu senang membaca laporan kami, jadilah Kawan M untuk mendukung kerja jurnalisme publik agar tetap bisa telaten dan independen. Menjadi Kawan M juga memungkinkan kamu untuk mengetahui proses kerja tim Project Multatuli dan bahkan memberikan ide dan masukan tentang laporan kami. Klik di sini untuk Jadi Kawan M!

Evi Mariani & Mawa Kresna
11 menit