Nasib Apes Pengguna Narkotika: Lepas dari Polisi, Diperas Panti Rehabilitasi

Mawa Kresna
18 menit
Tangan dua tahanan kasus narkotika diborgol satu sama lain saat digelar konferensi pers di Polresta Bogor Kota. (Project M/Rangga Firmansyah)

“Kalau gua melanggar hukum, tangkap gua, hukum gua secara hukum yang ada. Itu fair banget.”

Kalimat itu diucapkan Biru dengan penuh kesadaran akan setiap konsekuensi hukum yang bakal ditanggung jika melakukan sesuatu yang melanggar hukum. Ia sadar risikonya. Itu sebabnya, ketika tahun lalu ia ditangkap polisi karena jualan ganja sintetis, ia teguh dengan pendirian untuk mentaati proses hukum. Ia ikhlas bila dijebloskan ke penjara. Tapi apa daya, aparat penegak hukum justru bertindak sebaliknya. Ia justru diumpankan ke panti rehabilitas dan menjadi korban pemerasan di sana.

Kejadian bermula pada April 2021. Setelah mujur dua kali lolos pengintaian, Biru akhirnya tertangkap polisi. Seorang kenalan dari teman ke teman menjebak Biru.

Sebenarnya saat itu ia ingin rehat berdagang ganja sintetis dan berencana meninggalkan Bogor dan menetap di suatu tempat. Tapi setelah berhitung, tabungannya tak cukup untuk hidup berbulan-bulan tanpa bekerja.

“Tapi gua maksain, buat bahan keluar, biar dapat duit,” kata Biru.

Biru berboncengan sepeda motor bersama seorang kawan. Mereka membawa paket ganja sintetis seberat 1 ons seharga Rp6 juta, tapi ia mengortingnya jadi Rp4 juta. Pemesannya, teman dari kenalan Biru.

Mereka tiba di lokasi yang telah disepakati bersama, segera barang bertukar uang, lalu mereka bubar jalan. Saat tiba di satu persimpangan jalan, tiba-tiba polisi menyergap Biru. Menurut biru, penciduknya anggota Polresta Bogor Kota.

“Abis lagi gua di situ, dipukulin. Karena mereka kesal tiga tahun, gua dipantau, nggak kena-kena,” kata Biru.

Polisi menemukan barang bukti 5 gram ganja sintetis dari penangkapan tersebut. “Kalau lanjut minimal [kita dipenjara] empat tahun,” katanya. Ia pasrah dan bersedia mengikuti proses hukum yang berlaku. Tapi teman Biru, melalui pihak keluarga, melobi kepolisian untuk bebas. Sampai sekarang Biru tidak tahu berapa harga “bebas” tersebut. Sedangkan Biru, untuk alasan yang tidak dimengertinya, menjalani rehabilitasi tanpa proses pidana berlanjut.

Jika merujuk poin 4 Surat Edaran Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri Nomor 01/II/2018, pengguna narkotika yang tertangkap tangan dengan hasil tes urin positif dan ditemukan barang bukti, maka proses penyidikan tetap dilaksanakan dengan tetap mendapatkan layanan rehabilitasi, namun setelah melampirkan hasil rekomendasi Tim Asesmen Terpadu (TAT)—terdiri dari tim dokter: dokter dan psikolog; dan tim hukum dari Polri, BNN, Kejaksaan, dan Kemenkumham.

Terkecuali tidak ditemukan barang bukti narkotika saat penangkapan, hanya terdapat hasil tes urin pengguna narkotika yang positif. Sesuai SE Bareskrim tersebut, kepolisian tidak akan melakukan penyidikan, melainkan hanya menginterogasi untuk mengetahui sumber diperolehnya narkotika. Pengguna akan menjalani rehabilitasi dengan tetap melalui proses asesmen terlebih dulu oleh TAT.

Karena SE Bareskrim merujuk pada Peraturan Kepala BNN Nomor 11/2014, mestinya setelah rekomendasi asesmen keluar, pengguna narkotika ditempatkan di lembaga rehabilitasi yang ditunjuk oleh pemerintah.

Sementara proses penempatan Biru ke panti rehabilitasi swasta tanpa melalui asesmen. “Hanya BAP terus langsung dioper ke Rakit Foundation,” kata Biru.

Biru mengaku dipaksa pihak panti untuk menandatangani dokumen yang tidak boleh ia baca. “Ternyata isinya, seolah-olah gua yang mengajukan rehab.”

Setiba di Rakit Foundation, Bogor, ia ditempatkan ke ruang detoksifikasi bersama 40 orang klien—sebutan bagi yang menjalani masa rehabilitasi, tanpa protokol kesehatan meski angka kasus Covid-19 sedang meningkat saat itu.

Biru menempati ruang kecil; ia tak ingat luas ruangan tersebut. Ia hanya mengingat, “Kalau tidur lu harus madep miring” agar semua klien kebagian tempat tidur.

“Itu nggak layak. Ruangannya teralis. Atasnya seng. Kalau siang kayak apa coba?” Gerak para klien terbatas; mereka keluar ruangan hanya untuk makan, mandi, dan salat. “Mau kencing, teriak-teriak.”

Beberapa penghuni Rakit Foundation, Bogor sedang beraktivitas dengan penjagaan seorang pengawas di samping sebuah kamar tidur. (Project M/Rangga Firmansyah)
Sebuah kamar tidur di Rakit Foundation Bogor seluas kurang lebih 16m2 (4mx4m) digunakan untuk menampung hingga 5 orang penghuni. (Project M/Rangga Firmansyah)

Usai mendekam sia-sia di ruang detoksifikasi selama dua minggu, pihak panti menawari Biru pindah ke ruang program. Di sana, ruang gerak klien jauh lebih longgar, bisa menonton siaran televisi, merokok; satu orang dapat satu kasur dan tersedia kipas angin. Tapi semua itu tidak gratis.

Biru diminta membayar Rp15 juta. Pihak panti melobi keluarga Biru agar Biru dipindah ke ruang program. Negosiasi pun terjadi, angka turun jadi Rp3 juta.

“Keluarga kita ditakutin, ‘Anak ibu bisa ditahan 4 tahun, masa depannya gimana? Ibu lihat dendanya sekian miliar.’”

“Denda ini, kan, [masuk] ke negara. Orang rehab ambil taktik itu,” ujarnya.

Uang Rp3 juta itu diperuntukkan sebagai ongkos makan Biru selama dua minggu pertama di ruang program. Jumlah itu kelewat mahal untuk menu satu butir telur dibagi tiga yang dicampur air.

“Rp3 juta lu beliin telur? Itu bisa kasih makan gua beberapa bulan.”

“Seminggu sekali cuma makan ayam. Itu pun ayam paketan ceban yang kecil. Sayur angetan, nasi kadang basi.”

Batin Biru tersiksa selama mendekam di panti. Ia tak pernah mendapatkan program, dan komunikasi dengan keluarga dibatasi. Aktivitas yang bernas di sana sedikit, hanya seminggu sekali mengaji dan dua kali sosialisasi dampak buruk narkotika; minus pembahasan mengenai kesehatan mental dan HIV.

“Dari proses penangkapan gua sudah banyak tekanan. Pas direhab harusnya gua dapat konseling: Bagaimana gua? Depresi nggak? Gimana gua harus mengatur emosi gua–harusnya mereka paham itu.”

Jika mengacu Pasal 7 Peraturan Menteri Sosial Nomor 9 Tahun 2017 tentang standar rehabilitasi sosial terkait napza, Biru semestinya mendapatkan layanan berupa: motivasi dan diagnosis psikososial, perawatan dan pengasuhan, pelatihan vokasional dan pembinaan kewirausahaan, bimbingan mental spiritual, bimbingan fisik, bimbingan sosial dan konseling psikososial; pelayanan aksesibilitas, bantuan dan asistensi sosial, bimbingan resosialisasi, bimbingan lanjut, dan atau rujukan pelayanan lanjutan atau sesuai dengan kebutuhan.

Setelah menjalani dua minggu di ruang program, pihak panti memperbolehkan Biru pulang dengan syarat rawat jalan. Itu pun harus bayar lagi.

“Pas dari program mau balik [bayar] Rp15 juta,” kata Biru.

Setelah itu, pihak panti meminta Biru menjalani rawat jalan seminggu sekali selama enam bulan. Biru hanya datang sekali karena kapok, lantaran cuma diajak ngobrol basa-basi: ditanyai kabar, masih mengonsumsi atau tidak, sudah kerja atau belum.

“Malah dimintain rokok,” ungkap Biru sembari tertawa. “Mereka peduli setan SOP, yang mereka tuju itu uang.”

Berdasarkan dokumen akta Ditjen AHU Kemenkumham, Rakit Foundation atau Yayasan Rumah Kreativitas Kita berdiri sejak 19 Oktober 2016. Rakit Foundation didirikan dengan maksud dan tujuan sebagai yayasan sosial: panti asuhan, panti jompo, panti wreda, rumah sakit poliklinik dan laboratorium, pembinaan olahraga; kemanusiaan: pembantuan korban bencana alam dan pengungsi perang, penyelenggaraan rumah singgah dan duka, perlindungan konsumen; keagamaan: mendirikan sarana ibadah, menyelenggarakan pondok pesantren dan madrasah, penyaluran amal zakat dan sedekah, melaksanakan syiar keagamaan, dan studi banding keagamaan.

Raffy Marten, pengelola Rakit Foundation, membantah pihaknya tidak memberikan program bagi klien rehabilitasi. Ia mendaku menggunakan metode Narcotics Anonymous dan Cognitive Behavioral Therapy (CBT) untuk tiap klien.

Begini alur seseorang menjalani rehabilitasi di Rakit, menurut Raffy: intake, skrining, detoksifikasi—jika klien memiliki tanda withdrawal syndrome butuh waktu 1-2 minggu, jika tidak ada tanda hanya cukup 3-5 hari, dan orientasi program.

Raffy juga mengklaim telah mendapatkan persetujuan dari pihak keluarga dari setiap klien yang ditangani Rakit.

“Kalau memang keluarga menyetujui rehab di kita, sesuai dengan persyaratan dan https://projectmultatuli.org/wp-content/uploads/2021/06/5668A357-39CA-4B12-902A-DAE1F707FCD7-1.jpegistrasi, bisa direhab di kita,” ujar Raffy melalui sambungan telepon pada 14 Juli 2022.

Ia juga membantah melakukan transaksi jual-beli kamar di Rakit, namun ia membenarkan proses rehabilitasi di panti miliknya berbayar. Tarif layanan di Rakit Foundation berkisar antara Rp21 juta untuk tiga bulan hingga Rp50 juta. Ada biaya tambahan bagi klien yang ingin mendapatkan fasilitas privat berupa mengaji dan gimnastik.

“Karena kita bukan [panti] IPWL (Institusi Penerima Wajib Lapor). Kita tidak dibantu pemerintah untuk pendanaan operasional. Pembiayaan ditanggung keluarga,” ujarnya.

Berdasarkan Pasal 1 ayat (2) PP 25/2011 tentang Pelaksanaan Wajib Lapor Pecandu Narkotika, IPWL adalah pusat kesehatan masyarakat, rumah sakit, dan atau lembaga rehabilitasi medis dan lembaga sosial yang ditunjuk oleh pemerintah. Penetapan sebuah lembaga menjadi IPWL menjadi urusan Kementerian Sosial.

Lembar program Rakit Foundation Bogor terpampang di depan sebuah kamar tidur. (Project M/Rangga Firmansyah)
Seorang penghuni di Rakit Foundation Bogor sedang membenahi salah satu kamar tidur. (Project M/Rangga Firmansyah)

Memang Rehab, Tuh, Begini?

Jingga kaget saat pihak panti rehabilitasi swasta menagih uang jutaan. Sewaktu ia mendekam di Polresta Kota Bogor tak ada bahasan soal biaya rehabilitasi.

“Polisi bilang saat itu, gak ada duit lagi, ‘gak ada perihal uang ini-itu. Lu cuma ikutin prosedur di sana. Jangan lu pikir gua sekongkol sama rehab itu’,” kata Jingga, mengulang ucapan polisi.

Juli 2021. Jingga dan rekan prianya baru saja pulang dari Bandung ketika seorang teman menghubunginya untuk meminta sabu. Tanpa curiga, Jingga mengirimkan lokasi rumahnya ke teman itu. Tak berapa lama yang datang malah 15 orang polisi tak berseragam.

Tanpa surat tugas, polisi menginterogasi mereka dan menggeledah rumah Jingga. Polisi menyita barang bukti 0,02 gram sabu dari tangan rekan Jingga beserta alat hisap.

Setelah diinterogasi, Jingga dan rekannya tidak langsung dibawa ke Polresta Bogor Kota melainkan ke sebuah hotel di Bogor. Di sana, Jingga dimintai Rp80 juta per kepala sebagai syarat lepas atau istilahnya 86. Jingga menolak, ia mau mempertanggungjawabkan perbuatannya secara hukum.

“Dengar-dengar cerita, misalnya [polisi] belum dapat target [tangkapan], mereka gak minta 86. Kalau mereka [mencapai] target bisa di-86. Gua batu. Toh, kita juga salah. Mereka kesal,” ujar Jingga.

Sejak bakda isya hingga tengah malam Jingga menyaksikan kekerasan verbal dan non-verbal kepada rekannya. “Disundut, diiket, segala macam, habis deh. Kakinya digeleng mobil,” ungkap Jingga. “Aku teriak-teriak, kayak mau pingsan.”

Akhirnya Jingga dan rekannya dilimpahkan ke penyidik Polresta Bogor Kota. Sesampainya di sana, Jingga kembali diminta untuk 86. Tapi ia tetap meminta diproses hukum. “Gua salah juga. Ikhlas apapun itu jalannya.”

Selama empat hari Jingga dan rekannya mendekam di Polresta Bogor Kota. Polisi melanjutkan proses hukum untuk rekan Jingga. Sementara ia menjalani rehabilitasi, sebab hanya kedapatan tes urin yang positif tanpa barang bukti.

Tidak ada proses asesmen, pihak kepolisian ujug-ujug menempatkan Jingga ke Yayasan Cahaya Adiksi Indonesia, Cimanggu, Bogor. “Gua dijemput dua orang: satu staff dan satu yang punya Cahaya Adiksi,” kata Jingga.

Belum genap satu hari di sana Jingga langsung ditawarkan bebas oleh pihak panti, tak perlu mengikuti rehabilitasi, asalkan menyetor Rp30 juta.

“Gua gak ditanya gimana perasaan gua, support gua, kek. Konseling, kek. Gua diminta telepon orang tua, diminta Rp30 juta,” kata Jingga.

Awalnya orang tua Jingga menyanggupi Rp15 juta, tapi Jingga menahannya, ia masih belum ikhlas keluar uang. “Gua diancam mau dipindahin ke rehab di Jakarta yang delapan bulan. Gua ditakutin, di sana dapat perlakuan gak baik. Gua drop.”

Akhirnya Jingga sepakat menyanggupi Rp5 juta plus perhiasan gelang dan cincin.

Agenda harian penghuni Yayasan Cahaya Adiksi Indonesia di Bogor. (Project M/Rangga Firmansyah)

Meski uang sudah ia transfer, namun Jingga belum boleh pulang. Selama dua hari satu malam di sana, Jingga hanya disuruh belanja bahan makanan dan memasak untuk kebutuhan penghuni panti dan bebenah kantor. “Gua tanya, memang begini? Katanya, memang nggak ada yang masak.”

Jingga tidak mendapatkan program sama sekali, bahkan ketika diminta untuk rawat jalan sebanyak 12 kali, ia hanya datang tiga kali karena merasa tidak jelas.

Pertemuan pertama, Jingga hanya ditanya soal pekerjaan. Jingga bilang ia melanjutkan bisnis salon kecantikan. Staf yang mewawancarai Jingga malah asyik membahas sambung bulu mata. “Sampai minta promo,” kata Jingga sembari tertawa.

Pertemuan kedua, Jingga diminta menyambung bulu mata untuk staf tersebut. “Gua kira, bakal sambil konseling. Gak taunya dia sibuk teleponan.”

Pertemuan ketiga, Jingga diminta staf tersebut untuk menyambung bulu mata ke staf lainnya. Jingga menolak.

“Gua pikir, rehab itu tempat yang bisa menghilangkan trauma gua, rasa suggest gua, rasa ketakutan gua. Bimbing gua, kek. Kasih kegiatan, kek,” Jingga menyesal.

Merujuk dokumen akta Ditjen AHU Kemenkumham, Cahaya Adiksi Indonesia berdiri sejak 2 Agustus 2021. Yayasan ini didirikan dengan maksud dan tujuan sosial: menyelenggarakan bimbingan, pelayanan dan rehabilitasi sosial untuk korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika dan zat adiktif lainnya; memberikan pelatihan keterampilan bagi mantan korban dan pengguna napza, menyediakan tempat untuk melindungi, merawat, dan membantu pemulihan kesehatan untuk korban napza, dan mengawasi korban napza yang tinggal di dalam panti rehabilitasi.

Mulia Saputra, pendiri sekaligus ketua Cahaya Adiksi Indonesia, mengklaim telah memberikan program yang sesuai kepada Jingga. Bahkan ia mengaku hubungan mereka baik-baik saja hingga sekarang.

“Dia bisa pasang bulu mata, sempat beberapa kali ke yayasan untuk urusin kecantikan staf-staf saya,” kata Mulia kepada Project Multatuli di kantornya, Cimanggu, Bogor pada 8 Juli 2022.

Ia juga membantah telah meminta sejumlah uang bebas kepada Jingga. Menurutnya Jingga diminta pihak keluarga untuk rawat jalan. “Waktu itu yang datang bapaknya langsung ke saya, mertua saya juga kenal karena RW, minta bantuan ke saya untuk dirawat jalan,” kata Mulia.

Namun ia membenarkan pelayanan rehabilitasi di sana berbayar, sebab mereka bukan panti IPWL. Tarif rehabilitasi Cahaya Adiksi berkisar dari Rp5 juta hingga Rp70 juta.

“Tergantung permintaan keluarga. Kita juga jual program, ada yang VIP, rehab privat. Beberapa kali ada yang mau direhab di vila atau apartemen. Kemarin itu kita sewa pulau selama 3 bulan,” ujar Mulia.

Area yang digunakan sebagai ruang detoksifikasi di Yayasan Cahaya Adiksi Indonesia beratap seng dengan jeruji menghadap area luar. (Project M/Rangga Firmansyah)

Cara Panti Rehabilitasi Swasta Bekerja

Ketika Project Multatuli mendatangi kantor Cahaya Adiksi di Cimanggu, Bogor, mereka sedang tahap pindahan ke Parung, Kabupaten Bogor. Kata Mulia, mereka mendapatkan tempat lebih besar dari tempat saat ini. Hal tersebut dilakukan sebagai upaya mereka agar mendapat klien dari kalangan selebriti.

“Artis, kan, banyak yang ditangkap. Mudah-mudahan bisa dirujuk ke tempat kita, [tempat] yang sekarang belum memungkinkan. Harus benar-benar proper banget,” kata Mulia.

Kantor Cahaya Adiksi berada di tengah kompleks. Bangunan mereka dua tingkat; ada dua kamar, satu kamar mandi, dapur, dan teras di lantai bawah; lantai dua terdapat kamar berterali besi, dengan satu dipan setebal 10 sentimeter, bahkan posisi kamar langsung mengarah terbuka ke bagian luar rumah.

Klien Cahaya Adiksi berasal dari berbagai daerah seperti Bogor, Karawang, Subang, Bandung, Sumedang, Banten, hingga Aceh. Mereka sekarang menangani 60-70 klien, namun lebih banyak klien yang mengikuti program rawat jalan daripada rawat inap.

“Kebanyakan rawat jalan, 2-3 hari keluarga minta pulang. Kita nggak bisa memaksakan, kalau ada persetujuan orang tua. Rawat inap mungkin 20 orang,” kata Mulia.

Ada dua kategori klien di panti rehabilitasi swasta, pertama mereka yang datang secara sukarela dan yang kedua mereka yang hasil dari penangkapan kepolisian. Mulia mendaku lebih banyak menangani klien kategori kedua.

Mulia menyebut klien kategori kedua sebagai “bantaran” atau titipan kepolisian.

“Kita datang, kita MoU. Banyak sekarang panti rehab, tapi yang namanya MoU dengan kepolisian nggak gampang; perizinan real dan jelas. Harus menjalankan SOP. Kan, Polisi juga pasti menitipkan tersangka menjadi klien rehab dia, harus survei dulu,” ujarnya.

Malam sebelum pertemuan dengan Project Multatuli, Mulia baru saja menjemput seorang pengguna sabu. “Itu klien dari Polda Banten,” katanya.

Di kantor Cahaya Adiksi yang sudah berantakan, karena dalam proses pindahan, si klien anyar hanya bersama Mulia dan satu staf keamanan Cahaya Adiksi. Mulia bilang, klien yang lain sudah menetap di tempat baru. Sepanjang Project Multatuli berbincang dengan Mulia, klien anyar sibuk memasak.

“Wajarlah suruh nyapuin, ngepel, masak buat bareng-bareng. Biar dia ada kegiatan,” ujar staf keamanan Cahaya Adiksi.

Rakit Foundation juga mendapatkan klien dari kepolisian. Menurut Raffy, sudah 1.500 orang menjalani rehabilitasi di Rakit sejak pendirian. Kebanyakan klien berasal dari Bogor.

Namun Raffy mengklaim kebanyakan klien datang secara sukarela dan hanya sebagian dari bantaran kepolisian. “Mungkin kalau dari kepolisian 35 persen sampai 40 persen saja.”

Raffy juga mengklaim tidak punya nota kesepahaman untuk bekerja sama dengan kepolisian. “Cuma ketika ada keluarga yang mengajukan rehabilitasi dan sesuai, pilihannya mau ke swasta atau seperti apa, pihak polisi manggil kita,” ujarnya.

Menurutnya, panti rehabilitasi swasta cenderung lebih cepat menangani ketimbang panti yang dimiliki pemerintah. “Kalau di BNN atau di Kemenkes dan sebagainya, harus menunggu slot,” jelas Raffy.

Project Multatuli juga menemui Asep, mantan konselor adiksi di empat panti rehabilitasi swasta, untuk mengetahui alur kerja panti rehabilitasi mendapatkan klien. Berdasarkan pengalaman Asep, rata-rata panti swasta menerima lemparan pengguna narkotika hasil tangkapan kepolisian. Menurutnya, antara panti swasta dengan kepolisian memang menjalin nota kesepahaman.

Kerja sama tersebut dilatarbelakangi dua persoalan, menurut Asep: pertama, kapasitas penampungan di lembaga rehabilitasi milik BNN terbatas.

“Kebanyakan yang sekarang gua tau, sudah jarang operan polisi ke Lido (Balai Besar Rehabilitasi BNN), biasanya waiting list dan intervensi keluarga,” kata Asep.

Kedua, SE Bareskrim Polri Nomor 01/II/2018 yang menjadi celah untuk seorang pengguna narkotika menjalani rehabilitasi di panti swasta.

“Gak ada standar [tempat] rehab yang dibikin pemerintah, misalnya, kalau lu ketangkap di kantor polisi dan mesti rehab, lu dilempar ke sini, ke Lido, itu nggak ada,” ujar Asep. “Harusnya [SE Bareskrim] jadi hal yang paling humanis.”

Asep juga menerangkan, panti rehabilitasi swasta kerap memakai istilah rawat jalan, yang sebenarnya berarti tebusan untuk klien bisa bebas begitu saja tanpa perlu menjalani rehabilitasi. Asep menduga ada aliran uang dari panti swasta untuk kepolisian.

“Embel-embel yang mereka pakai itu bukan 86, bukan bebas, tapi rawat jalan. Lu mau keluar, lu bayar sekian,” ujar Asep.

Coretan terlihat pada dinding kamar di Yayasan Cahaya Adiksi Indonesia, Bogor. (Project M/Rangga Firmansyah)

Perihal dugaan tersebut, Mulia membantah menyetor uang ke kepolisian. “Saya gak pernah setor uang ke kepolisian. Tempat rehab tempat 86 kepolisian, itu bohong.”

Raffy juga membantah, kabar tempat rehabilitasi menjadi sarana 86 kepolisian baginya hanyalah “rumor dan asumsi.”

Project Multatuli berupaya mengajukan pertanyaan kepada Direktur Narkotika Bareskrim Polri Brigjen Pol Krisno Siregar: Apakah kepolisian menjalin kerja sama dengan panti rehabilitasi swasta soal penempatan korban penyalahgunaan napza? Apakah kepolisian berwenang menempatkan korban penyalahgunaan napza ke panti rehabilitasi swasta? Namun, sampai laporan ini diterbitkan, Brigjen Pol Krisno Siregar tidak merespons pertanyaan tersebut.

Project Multatuli juga menanyakan hal yang sama kepada Kadiv Humas Polri Irjen Pol Dedi Prasetyo dan Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Brigjen Ahmad Ramadhan, namun mereka tidak merespons.

Sementara itu Kepala Biro Humas dan Protokol BNN RI Brigjen Pol. Sulistyo Pudjo Hartono menjelaskan bahwa penyidik tidak berwenang menetapkan lokasi rehabilitasi pengguna narkotika hasil tangkapan. Penyidik hanya berwenang menawarkan lokasi rehabilitasi kepada pihak keluarga yang bersangkutan.

“Apakah mau milik BNN atau milik masyarakat. Kalau dia gak punya uang biasanya minta di BNN karena gratis, kalau di swasta itu berbayar,” ujar Pudjo kepada Project Multatuli, 20 Juli 2022. “Surat tadi [hasil asesmen] menjadi dasar untuk dikirimnya [klien], oleh Tim Asesmen Terpadu ke panti BNN atau milik swasta.”

Untuk setiap panti rehabilitasi swasta yang nakal, Koordinator Bantuan Hukum AKSI Keadilan Indonesia, Bambang Yulistyo menyebutnya dengan istilah panti garangan. Garangan merupakan bahasa tongkrongan di kalangan pengguna narkotika di Solo, artinya teman makan teman. Sebab banyak panti garangan yang pendirinya merupakan pengguna narkotika bekas klien rehabilitasi, beberapa kenal karena memang satu komunitas yang pernah sama-sama merasakan pedihnya ketika tertangkap oleh aparat.

“Ketika seseorang menjalani pemulihan di panti rehab, biasanya akan on job training atau jadi staf di sana. Setelah selesai, bikinlah rehab sendiri,” ujar Bambang melalui sambungan telepon pada 13 Juli 2022.

Kemunculan panti garangan juga disebabkan oleh minimnya bantuan dana pemerintah kepada panti rehab swasta yang ditetapkan sebagai IPWL.

“Apalagi [panti] yang baru-baru, untuk mencari klien sukarela susah banget. Jalan satu-satunya bekerja sama dengan kepolisian. Makanya tempatnya selalu ramai meski program gak berjalan,” ungkap Bambang.

Monitor CCTV di ruang pimpinan Rakit Foundation Bogor untuk memantau aktivitas para penghuni di lingkungan rumah yayasan. (Project M/Rangga Firmansyah)

Tanpa Kontrol dan Pengawasan

Bambang Yulistyo juga melihat tidak ada mekanisme kontrol terhadap kegiatan panti rehabilitasi swasta oleh negara, sehingga diduga klien berpotensi menjadi korban penyalahgunaan wewenang di sana.

“Permasalahannya di situ. Karena mereka yang bekerja sama dengan kepolisian itu tidak terdaftar di PWL,” kata Bambang.

Dalam survei cepat yang digagas oleh AKSI Keadilan Indonesia terhadap 41 klien rehabilitasi napza rujukan hukum di Jabodetabek tahun 2021, para klien sekaligus responden rentan menjadi korban kekerasan ekonomi atau pemerasan panti rehabilitasi swasta.

Sebanyak 33 responden mengaku menjadi korban pemerasan panti rehabilitasi dengan nominal hingga Rp60 juta. Tetapi ada juga responden yang tidak mengeluarkan uang sama sekali dalam proses rehabilitasi di institusi rehabilitasi.

Dalam survei itu sebanyak 70 persen responden menyatakan “tidak puas” dan “sangat tidak puas” selama menjalani rehabilitasi rujukan hukum. Penyebabnya karena mereka tidak mendapatkan hak program, pembatasan komunikasi dengan keluarga, makanan tak layak, ruangan sempit, dan tidur tanpa kasur.

Sementara hanya 12,2 persen responden mengaku “puas” dan “sangat puas” menjalani rehabilitasi. Mereka merasa mendapatkan banyak pelajaran hidup, adiksi, dan hanya mengeluarkan uang untuk makan saja namun itu pun karena diadvokasi oleh AKSI.

AKSI menilai butuh pemantauan, evaluasi, dan standardisasi institusi rehabilitasi yang menerima rujukan proses hukum oleh BNN, Kemensos, dan Kemenkes. Hal ini harus disertai aturan/kebijakan yang mengikat untuk mengatur kinerja dan meningkatkan kualitas layanan rehabilitasi serta meminimalkan potensi kekerasan dan pemerasan yang mungkin dialami oleh klien dan keluarga.

Bambang juga berharap pada Perjanjian Kerja Sama Antara Deputi Bidang Rehabilitasi BNN dan Polri yang baru diterbitkan pada 12 Juli 2022; sehingga mampu memberikan pengawasan yang mumpuni terhadap pengguna narkotika di panti rehabilitasi.

“Idealnya ada pengawasan independen di sini. Baru bisa melihat itu semua, ada celah atau gak untuk transaksional,” ujar Bambang.

Namun sayangnya BNN tidak punya kewenangan mengawasi panti rehabilitasi swasta. Mereka hanya berwenang mengoordinasikan Kementerian Sosial dan Kementerian Kesehatan.

“BNN akan minta Menteri terkait yang memberikan izin, kan yang berikan izin tempat rehabilitasi Kemensos dan Kemenkes, untuk ditarik dibatalkan [perizinannya],” ujar Kepala Biro Humas dan Protokol BNN RI Brigjen Pol. Sulistyo Pudjo Hartono.

Sayangnya kewenangan Kementerian Sosial juga terbatas. Plt. Direktur Rehabilitasi Sosial Korban Bencana dan Kedaruratan Kemensos, I Ketut Supena bilang, mengatakan mereka hanya berwenang mengawasi lembaga rehabilitasi yang ditetapkan sebagai IPWL dan mitra kerja Kemensos.

Merujuk situs intelresos.kemensos.go.id, Kemensos hanya memiliki 170 mitra kerja yang tersebar dari Aceh sampai Maluku.

“Sementara panti swasta yang melaksanakan rehabilitasi napza tanpa ada izin sebagai IPWL, bukan merupakan mitra Kementerian Sosial,” ujar Supena melalui pesan singkat pada 21 Juli 2020.


Biru, Jingga, dan Asep bukan nama sebenarnya. Redaksi menyamarkan identitas narasumber demi keselamatan.

Tulisan ini adalah laporan perdana dari serial reportase #PercumaLaporPolisi. Jika kamu pernah mengalami atau mengetahui pemerasan yang melibatkan polisi dalam kasus narkotika, bantu kami mengungkap modus-modus pemerasan tersebut dengan mengirimkan email ke [email protected]. Identitas kamu akan kami rahasiakan.

Terima kasih sudah membaca laporan dari Project Multatuli. Jika kamu senang membaca laporan kami, jadilah Kawan M untuk mendukung kerja jurnalisme publik agar tetap bisa telaten dan independen. Menjadi Kawan M juga memungkinkan kamu untuk mengetahui proses kerja tim Project Multatuli dan bahkan memberikan ide dan masukan tentang laporan kami. Klik di sini untuk Jadi Kawan M!

Liputan Terkait
Mawa Kresna
18 menit