Kampung yang Terlupakan: Hidup Tunanetra di Sudut Palembang

Wisnu Akbar Prabowo
Adrian Mulya & Ronna Nirmala
7 menit

“Atlet juga ada batas usianya. Sebentar lagi umur saya akan habis,” keluh Ricca Dona Pampalia (30) di Jumat siang, awal Maret ini. 

Ricca adalah atlet paralimpik cabang olahraga goalball atau bola gawang asal Pampangan, Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan. Sudah empat tahun ia menjadi bagian tim olahraga itu. Ia juga pernah mewakili Indonesia di ASEAN Para Games 2023 di Kamboja. 

Usianya memang tergolong muda. Namun, bagi atlet paralimpik, usia tersebut bisa jadi batas tipis antara masa keemasan dan awal penurunan performa. Di antara tantangan ini, Ricca masih memanfaatkan staminanya untuk berlatih bersama atlet paralimpik lainnya.

Di luar jadwal latihan, ia mengalihkan energinya untuk bekerja di layanan panti pijat dan berjualan telur asin.

Ricca sedang mendengarkan ponselnya berbicara. Dengan bantuan aplikasi yang ada di handphone, ia mampu “membaca” seluruh isi ponselnya. (Project M/Wisnu Akbar Prabowo)

“Saya tidak bisa bergantung sama siapa-siapa, kalau bukan saya sendiri,” kata Ricca.

Gangguan penglihatan Ricca sudah dimulai pada 2004, saat ia baru menginjak usia 10 tahun. Saat itu, Ricca yang duduk di barisan kedua, pertama kali kesulitan membaca tulisan di papan tulis di kelas. 

Sepulang sekolah, orangtuanya membawa Ricca ke dokter. Ia didiagnosis terkena Campak Jerman atau Rubella di mata kanannya

“Waktu itu saya ikut pengobatan sampai umur 12 tahun. Kemudian, dokter menyarankan untuk suntik vaksin di pelipis kanan saya,” cerita Ricca. 

Bertahun-tahun menjalani pengobatan Rubella, penglihatannya tak kunjung membaik. Mata kanannya semakin tidak berfungsi. Sementara mata kirinya sudah tidak bisa mengenali warna, bentuk, bahkan cahaya. 

Ricca seperti melihat dunia melalui lubang kunci. Semakin lama, lubang itu semakin menyempit hingga yang tersisa hanyalah gelap. Tak satu pun rupa sanggup ia kenali, termasuk parasnya.

Ricca bersama teman-teman netra lainnya berkumpul di teras panti pijat. Saat itu, mereka hendak menghadiri kegiatan keagamaan yang digelar oleh rekan sesama tunanetra. (Project M/Wisnu Akbar Prabowo)

Lulus dari SMP pada 2008, Ricca semakin kehilangan kepercayaan diri. Ia mengurung diri. Ia juga merasa dikucilkan. Anak kedua dari lima bersaudara itu hanya makan dan tidur di rumah sepanjang hari. 

Ricca belajar bahwa terkadang dunia lebih kejam pada mereka yang berbeda. Tak bisa melihat, tak dibolehkan melakukan apa-apa, maka untuk apa dia hidup dalam kegelapan? Pikiran itu kerap menghantuinya. 

Pada 2017, harapannya atas kehidupan berangsur membaik ketika ia diterima di salah satu sekolah luar biasa (SLB) tingkat SMA di Kota Palembang.

“Saya langsung tercerahkan, berusaha untuk mengubah nasib. Saya pikir waktu itu, seandainya keluarga tidak memberikan jalan, saya cari sendiri jalannya,” katanya.

Dengan bantuan orangtuanya, Ricca merantau dari Ogan Komering Ilir ke Palembang. Meski terlambat, ia berhasil menamatkan SMA pada usia 25 tahun. Impiannya mengenyam pendidikan yang setara juga tidak berhenti. Saat ini ia masih tercatat sebagai mahasiswa Universitas Terbuka (UT) di Palembang, jurusan Sosiologi. 

Ricca adalah atlet tunanetra berprestasi. Salah satu prestasi terbarunya adalah menjadi juara 1 di cabang olahraga lempar cakram putri di Peparnas XVII Solo 2024. Ia berusaha menabung dari berbagai hadiah dan penghargaan yang diperoleh ketika berlaga. (Project M/Wisnu Akbar Prabowo)

Ricca menyadari, tidak ada yang bisa menjamin masa depannya selain dirinya. 

“Saya takut kalau saya cuma jadi beban orangtua, bikin malu. Saya nggak mau,” jelasnya.

Ayah Ricca adalah pensiunan dari PT Pertamina Gas di Prabumulih, ibunya adalah guru SD di kampung halamannya. Sebagai kakak perempuan, Ricca juga ikut menghidupi salah satu adik yang tinggal bersamanya yang berkuliah di Kota Palembang.

Sepatu olahraga milik Ricca yang dibungkus plastik. Ia rutin mengikuti latihan bersama teman-teman netra lainnya. Saat Ramadan, latihan tersebut ditunda. Selain rutin latihan, Ricca kuliah di Universitas Terbuka (UT) di Palembang, jurusan Sosiologi. (Project M/Wisnu Akbar Prabowo)
Beberapa alat-alat pijat seperti minyak urut yang biasa dipakai Ricca berjejer di dinding rumahnya. Ricca tergabung dalam Klinik Pijat Urut Pertuni Jaya yang berlokasi di Jalan Mangkunegara RT 30 RW 01 Kelurahan 8 Ilir, Kecamatan Ilir Timur 2 Palembang. (Project M/Wisnu Akbar Prabowo)
Ricca membawa sekeranjang telur asin yang akan dijual di Panti Pijat Tuna Netra Pertuni Jaya untuk tambahan penghasilan. Ricca ikut menghidupi salah satu adiknya yang tinggal bersamanya dan kuliah di Kota Palembang. (Project M/Wisnu Akbar Prabowo)

Saat ini, Ricca tinggal di Kompleks Tuna Netra di Kecamatan Ilir Timur 3. Jasa pijat yang ditawarkannya tidak selalu lancar. Ia bisa tidak mendapat panggilan dalam satu hari.

Sekalipun dapat, upahnya biasanya hanya cukup untuk kebutuhan harian. Betapa pun ia tetap berusaha menabung untuk masa depan, termasuk dari hasil berjualan telur asin dan hadiah-hadiah selama berlaga menjadi atlet tunanetra.

Ricca punya mimpi. Rumah yang kini menjadi tempat singgah, hendak ia sulap menjadi kontrakan tiga kamar. Ia berharap tetap memiliki penghasilan tetap di masa depan. Ia juga bermimpi untuk membuka usaha produksi berskala besar.

Miniatur rumah rusak yang berada tak jauh dari halaman teras Klinik Pijat Urut Tuna Netra Pertuni Jaya. Memiliki rumah adalah cita-cita Ricca. (Project M/Wisnu Akbar Prabowo)

Hanya saja, mewujudkan mimpi tak semudah yang ia bayangkan. Sekarang ini Ricca merasa apa-apa semakin mahal. Di luar itu, Ricca merasa dukungan atas teman-teman netra, baik dari masyarakat maupun pemerintah, masih nihil. 

Ricca masih kerap merasa diasingkan oleh masyarakat di luar Kampung Tunanetra. Walau tak bisa melihat secara langsung, Ricca peka terhadap orang-orang yang menatapnya dengan sinis.

“Saya pernah belanja di toko swalayan dan mendapat pelayanan kurang ramah dibanding orang lain. Padahal kami sama-sama belanja, malah waktu itu belanjaan saya lebih banyak,” katanya.

Keberadaan transportasi umum membantu Ricca saat beraktivitas sebagai mahasiswi, pekerja, dan atlet di luar rumah. (Project M/Wisnu Akbar Prabowo)
Seorang tetangga Ricca menuntunnya berjalan. Warga setempat di sekitar Kompleks Kampung Tunanetra sudah biasa membantu teman-teman netra sekadar untuk menuntun berjalan. (Project M/Wisnu Akbar Prabowo)

***

Pendi Suardi, warga Kampung Tunanetra lain, menilai masyarakat di Kota Palembang masih belum sepenuhnya terbuka dengan kondisi sosial teman-teman buta.

“Masyarakat banyak yang masih awam, belum mengerti dengan kawan-kawan netra. Mereka melihat kita berjalan seperti sesuatu yang aneh. Misal, kita main ke luar atau ke mana jadi pusat perhatian mereka, jadi tontonan,” kata Pendi saat ditemui di Klinik Pijat Urut Tunanetra Pertuni Jaya, akhir Maret.

Keterbatasan penerimaan masyarakat itu berimbas pada minimnya akses pekerjaan untuk kelompok netra. Menurut Pendi, sebagian besar teman netra mengandalkan usaha kecil-kecilan untuk menyambung hidup. Sebagian lagi terpaksa mengemis. 

Unit usaha Klinik Pijat Urut Tuna Netra Pertuni Jaya merupakan tempat teman-teman netra di Kota Palembang bekerja, termasuk Ricca. (Project M/Wisnu Akbar Prabowo)

Situasi berat lain adalah Undang-Undang No. 6/2023 tentang Cipta Kerja tidak lagi mencantumkan kewajiban bagi perusahaan swasta dan pemerintah untuk merekrut penyandang disabilitas dengan kuota tertentu. Hal ini bertentangan dengan UU No. 8/2016 tentang Penyandang Disabilitas yang menetapkan kuota sedikitnya 2 persen bagi instansi pemerintah dan 1 persen bagi perusahaan swasta. 

Saat ini Pendi menjabat sebagai Bendahara Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Persatuan Tunanetra Indonesia (Pertuni) Sumsel. Ia berupaya memperjuangkan hak teman-teman netra, salah satunya berdialog bersama wakil rakyat terkait perbaikan sarana di kampung yang lebih ramah disabilitas.

Sarana dan prasarana di Kampung Tunanetra jauh dari layak standar kebutuhan aksesibilitas teman-teman buta. Banyak jalan tidak rata, berlubang, dan kerap tergenang saat hujan, menyulitkan mobilitas teman-teman netra.

Jalur pemandu juga tidak tersedia, termasuk fasilitas transportasi publik ramah difabel untuk akses keluar masuk kampung. Teman-teman netra cuma bisa mengandalkan ojek atau bantuan orang lain.

Sebagian besar tinggal di rumah kontrakan sederhana atau rumah pribadi yang dibangun secara swadaya tanpa fasilitas ramah disabilitas.

“Kita sempat audiensi dengan DPR, tapi jawaban mereka tidak menyelesaikan apa-apa. Mereka bingung mau memberi pekerjaan apa kepada kita. Padahal kalau mereka bingung, kan, tinggal bertanya,” kata Pendi.

Ia mengkritik banyak pihak yang menjadikan komunitas netra sebagai komoditas politik saja. Ia sudah akrab dengan orang-orang tak dikenal yang datang hanya untuk meminta data teman-teman netra.

“Isu penggusuran tempat tinggal kami selalu muncul setiap ada Pemilu. Contohnya pada Pemilu terakhir, katanya di sini mau dibongkar dan dirombak menjadi rusun. Kami sudah diminta data segala macam, tapi sampai sekarang tidak ada kelanjutan,” kata Pendi, seraya menekankan bahwa ia mendukung rencana renovasi selama pemerintah mempertimbangkan relokasi sementara untuk para penghuni.

Terima kasih sudah membaca laporan dari Project Multatuli. Jika kamu senang membaca laporan kami, jadilah Kawan M untuk mendukung kerja jurnalisme publik agar tetap bisa telaten dan independen. Menjadi Kawan M juga memungkinkan kamu untuk mengetahui proses kerja tim Project Multatuli dan bahkan memberikan ide dan masukan tentang laporan kami. Klik di sini untuk Jadi Kawan M!

Wisnu Akbar Prabowo
Adrian Mulya & Ronna Nirmala
7 menit