Pada masa pandemi warga Muara Baru makin pelik hidupnya. Kampung mereka terancam tenggelam akibat penurunan tanah di Jakarta, penghasilan mereka suram akibat PPKM, dan hidup mereka sangat rentan terhadap paparan virus Covid-19. Malangnya, mereka tak punya pilihan selain bertahan sebisanya.
Bila ingin mengetahui bagaimana roda hidup di Muara Baru berputar, maka Samroni adalah sosok yang tepat untuk diajak berbincang. Sudah sejak akhir 1970-an, Samroni tinggal di kawasan ini. Bisa dibilang ia merupakan saksi atas perubahan Muara Baru: dari area pesisir kota yang asri hingga menjadi ladang pembangunan yang gila-gilaan.
Sejak kecil Samroni akrab dengan laut. Usai sekolah, ia menghabiskan waktu dengan bermain di bibir pantai, entah sekadar mencari ikan atau menari bersama ombak yang kecil. Di lain kesempatan, ketika memungkinkan, ia turut dalam kapal sang ayah, yang sehari-hari bekerja sebagai nelayan tradisional, berlayar hingga tengah laut.
Waktu berjalan. Samroni dewasa, dan laut kian lekat dalam realitasnya, terlebih ketika ia memutuskan meneruskan kiprah sang ayah menjadi nelayan. Pilihannya tak banyak lantaran Samroni tak bisa melanjutkan pendidikan sampai SMA. Selain itu, ia sudah paham medan lautan, sehingga tak perlu repot-repot belajar di bidang lainnya dari nol, demikian pikirnya.
Nelayan, juga laut, memberi apa yang Samroni cita-citakan: rumah, keluarga kecil, serta sedikit tabungan untuk membangun masa depan. Pendek kata, kehidupan yang terlihat ideal itu dapat ia rengkuh dengan mengandalkan tangkapan ikan, hasil menembus ombak saban malam.
Sial, harapan hidup ideal terancam sirna dengan kenyataan lain yang tak bisa ia lawan: penurunan permukaan tanah. Ketakutan perlahan menyelimuti diri Samroni, tepatnya saat Masjid Waladuna, yang terletak tak jauh dari tempat ia tinggal, tenggelam pada awal 2000. Untuk Samroni, tenggelamnya masjid itu seakan menandakan terjadinya perubahan di Muara Baru, yang sayangnya bukan pertanda baik.
“Nyeremin juga kalau dipikir-pikir. Dulu kondisinya [Muara Baru] enggak kayak gini. Tapi, makin ke sini kayak makin nggak baik aja. Kami yang tinggal lama di sini ngelihat dan ngerasain langsung, makanya bisa bilang kayak gini,” ungkap pria berusia 54 tahun ini.
Usai Masjid Waladuna tenggelam, berbagai nestapa cenderung mengganas. Pada 2007 sampai 2008, Samroni menyebut, banjir rob muncul dengan intensitas yang masif. Kombinasi antara kenaikan air laut yang sebagian disebabkan oleh perubahan iklim, curah hujan tinggi, serta kondisi tanah yang mengalami penurunan telah melumat rumah Samroni, juga banyak penduduk di pesisir Jakarta Utara.
Peristiwa tersebut membuatnya rugi besar secara materi, selain meninggalkan trauma tak berkesudahan.
“Setelah ada banjir itu, saya berusaha memperbaiki rumah. Tapi, selalu saja terendam setiap banjir rob datang. Kayak percuma dan nggak ada pilihan lain,” terangnya. “Jadinya udah terima aja kondisi kayak gini. Mau pindah juga nggak ada tempat yang baru.”
Kecemasan ihwal potensi tenggelamnya Jakarta telah dikonfirmasi banyak ahli, seraya menyebut batas waktu terjadinya paling lambat pada 2050 mendatang—bila tidak ada langkah serius dari pemerintah.
Penelitian Hasanuddin Zainal Abidin, ahli geodesi dari Institut Teknologi Bandung (ITB), memperlihatkan permukaan tanah di Jakarta, selama periode 1982 hingga 2010, memiliki variasi spasial dan temporal. Di daerah-daerah yang terkena dampak penurunan tanah, garis besarnya, laju penurunan tanah berada di angka sekitar 1-15 cm setiap tahun serta dapat menyentuh 20-28 cm per tahun.
Temuan Balai Konservasi Air Tanah Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) juga memperlihatkan kondisi kurang lebih serupa. Berdasarkan data yang dihimpun dari 1925 sampai 2015, laju penurunan tanah berada di angka 3 hingga 5 cm setiap tahunnya. Di kawasan Utara, angkanya bahkan menyentuh 12 cm per tahun.
Penurunan muka tanah di Jakarta, menurut Jan Sopaheluwakan, ahli tanah dari Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, punya relasi yang kuat dengan proses pembangunan kota yang mendorong tumbuhnya area terbangun, populasi, kegiatan ekonomi maupun industri, hingga ekstraksi air tanah. Dampak dari land subsidence ini sudah jelas: di kawasan utara, sebagai kawasan paling terlihat penurunan tanahnya, banjir jadi teman setia warga sekitar.
“Dari faktor-faktor yang ada, entah faktor alami maupun campur tangan manusia, yang sebetulnya bisa dikendalikan adalah soal ekstraksi air tanah, dengan control monitor maupun law enforcement,” papar lulusan Vrije Universiteit Amsterdam ini. “Namun, itu belum maksimal.”
Alih-alih mengatasi akar persoalan, pemerintah justru fokus pada apa yang tampak permukaan, dengan membangun tanggul laut raksasa, yang dulu sempat dirancang berbentuk “Great Garuda”. Terakhir proyek raksasa si tanggul raksasa ini berubah rupa, tetapi belum dibatalkan dan masih mencari pemodal.
Oleh Jan, inisiatif pemerintah sebetulnya bagus dalam konteks pembangunan tanggul laut raksasa. Meski begitu, ia memberi catatan bahwa keberadaan tanggul ini tidak serta merta menjadi solusi akhir dari problem penurunan tanah.
“Masalah dasarnya adalah pengerukan air tanah secara besar-besaran. Itu yang harus jadi fokus pemerintah saat ini,” ia menegaskan.
Nasib penduduk pesisir kota Jakarta senantiasa berada dalam situasi terancam dengan munculnya masalah penurunan air tanah sampai banjir rob. Ketika jalan akhir dari persoalan tersebut belum benar-benar menyentuh terang, mereka harus dihadapkan kenyataan pahit lainnya: pandemi.
PPKM Darurat di Muara Baru
“Masa harus kayak begini lagi?” tanya Edi, warga Muara Baru, 35 tahun, penuh kecewa. Pertanyaan Edi merujuk pada pemberlakuan PPKM Darurat, kebijakan terbaru pemerintah dalam merespons gelombang pandemi Covid-19 di Indonesia yang kian tak terkendali.
Bagi Edi, kebijakan tersebut kian menjepit posisi masyarakat sepertinya, juga Muara Baru secara keseluruhan.
“Ini kondisinya kayak waktu PSBB [Pembatasan Sosial Berskala Besar] tahun kemarin. Jelas, dengan adanya itu, kami kesusahan. Apalagi sekarang kondisinya, kan, diketatin,” tambahnya.
Sehari-hari Edi bekerja sebagai nelayan. Pandemi Covid-19 telah memukul mata pencahariannya, dan hampir masyarakat Muara Baru lainnya yang menyandarkan pendapatan pada sektor informal, dari nelayan hingga buruh kasar pelabuhan. Belum sembuh seutuhnya dari pukulan sepanjang 2020, kali ini mereka harus dihadapkan pada situasi yang tak kalah rumit di tahun kedua pandemi.
Tak banyak opsi yang tersedia untuk penduduk kampung pesisir kota seperti di Muara Baru. Dari aspek pekerjaan dan pendapatan sehari-hari, mereka dibikin kelimpungan. Kehadiran pandemi, serta kebijakan yang mengikutinya seperti PPKM Darurat, misalnya, telah mengurangi pendapatan yang mereka peroleh.
“Pelelangan ikan sudah setahun lebih nggak balik kayak kondisi sebelum pandemi. Pendapatan kami bisa anjlok 50 sampai 60 persen dari sebelum pandemi,” Edi menerangkan. “Jadinya uang yang kami bawa ke rumah pun juga sangat sedikit karena kondisinya masih ancur-ancuran begini.”
Tak banyak opsi yang tersedia untuk penduduk kampung pesisir kota seperti di Muara Baru. Dari aspek pekerjaan dan pendapatan sehari-hari, mereka dibikin kelimpungan. Kehadiran pandemi, serta kebijakan yang mengikutinya seperti PPKM Darurat, misalnya, telah mengurangi pendapatan yang mereka peroleh. Click To TweetSituasi itu kian menambah panjang daftar kesusahan nelayan seperti Edi. Ini terjadi lantaran mencari ikan tak lagi semudah dulu kala. Edi, ambil contoh, mesti melaut 8 sampai 10 km dari tepi pantai sebab di tempat biasanya sudah tidak ada ikan akibat reklamasi dan geliat pembangunan lainnya. Mirisnya, setelah jauh melaut, tangkapan ikannya juga tak otomatis bejibun.
“Jadinya pusing sendiri. Padahal udah capek-capek melaut, tapi karena pandemi malah untungnya nggak banyak,” ia mengeluh.
Bagi yang masih meyakini nelayan adalah laku kehidupan yang penuh pasang dan surut, maka pilihannya adalah tetap bertahan. Namun, tak sedikit pula yang kemudian “menyerah” pada keadaan—pandemi—dan akhirnya berhenti dari profesinya dengan menjual kapal maupun perkakas melaut lainnya.
Pendapatan surut, sementara beban operasional yang mesti ditanggung—perawatan kapal sampai bahan bakar—tak berubah dan malah membebani hari-hari yang penuh ketidakpastian.
“Saya nggak lama ini baru jual kapal. Lalu bekerja jadi buruh. Uang hasil jual kapal kemudian dipakai modal istri buka warung makan nggak jauh dari pelabuhan,” cerita Suyatno, warga Muara Angke yang berprofesi sebagai nelayan. “Yah, meski nggak laku-laku amat seenggaknya saya nggak pusing mikir beban kapal.”
Yang terkena dampak tak cuma nelayan. Profesi informal lainnya macam buruh kasar pelabuhan, yang notabene menjadi salah satu penopang hidup masyarakat kampung pesisir kota, juga ikut terimbas.
Sudah lebih dari dua minggu Hendri tidak bekerja. Ini merupakan durasi terlamanya ia tak mencari uang sebagai buruh kasar. Biasanya, paling lama, ia hanya absen tak lebih dari seminggu. Itu pun sebab alasan kesehatan, atau keperluan keluarga.
Pabrik tempat Hendri bekerja, di kawasan Muara Baru, tengah mengurangi jumlah buruh. Alasannya: mencegah penyebaran virus di sekitar pabrik. Pihak pabrik membatasi kuota buruh kasar dan hanya mempekerjakan sekira setengah dari jumlah biasanya, atau “10 sampai 15 orang,” kata Hendri. Selain mengambil sedikit buruh, pabrik juga menerapkan syarat yang ketat: wajib membawa surat keterangan negatif Covid-19, minimal dengan swab antigen.
Bagi Hendri, juga mereka yang berprofesi buruh, hal tersebut tentu tidak ringan. Sekali tes, biaya yang dikeluarkan bisa Rp75 ribu—paling murah. Katakanlah dalam sebulan ia harus tiga atau empat kali swab demi pekerjaannya, maka Hendri kudu mengalokasikan uang maksimal sebesar Rp300 ribu.
“Sayang kalau harus ngeluarin duit buat swab. Seminggu sebelum nganggur ini saya abis dua kali swab, duitnya hampir Rp200 ribu. Bagi kami, kan, uang segitu bisa buat biaya hidup sehari-hari, entah makan, bayar listrik, atau yang lainnya,” Hendri menjelaskan.
Walhasil, dari sini, pilihannya adalah jika tak memaksakan untuk bekerja di pabrik sekitar pelabuhan, maka alih profesi sementara waktu dengan menjadi pengumpul rongsok, yang pendapatannya masih jauh di bawah upah buruk kasar.
Susan Herawati, Sekjen KIARA, organisasi non-profit yang fokus pada isu perikanan dan masyarakat pesisir, menyebut bahwa posisi masyarakat pesisir dalam situasi pandemi begitu rentan. Mereka dihimpit surutnya pendapatan serta minimnya perlindungan.
“Mereka itu antara ada dan nggak ada. Kondisi ini sudah lebih dari setahun terjadi, baik di pesisir rural maupun urban seperti Jakarta. Mereka itu hidup mengandalkan satu rantai yang terintegrasi satu sama lain, mulai perikanan, pelelangan, buruh, maupun pengolahan ikan. Maka, ketika ada yang putus, jadinya enggak bisa jalan,” papar Susan.
“Karena keadaan pula mereka akhirnya seperti menjadi bodoh amat. Bukan karena mereka tidak sadar bahaya virus, melainkan agar mereka bisa bertahan. Makanya ada yang masih bekerja di luar atau tetap melaut,” Susan menambahkan.
Ketika posisi masyarakat di kampung pesisir kota makin terhimpit, uluran tangan pemerintah justru belum memperlihatkan tanda-tanda bakal muncul. Menteri Koordinator Bidang Maritim dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan, pernah mengungkapkan bahwa pemerintah akan menggelontorkan dana bantuan sebesar Rp39,19 triliun untuk mendukung kehidupan masyarakat selama pemberlakuan PPKM Darurat. Dana tersebut merentang dari kartu sembako, diskon tarif listrik, hingga bantuan sosial tunai sebesar Rp300 ribu per bulan.
“Kami belum menerima bantuan sama sekali. Kayak yang dulu [PSBB] juga belum ada,” aku Edi. “Nggak tahu kapan juga datangnya. Tapi, ada, kan, Bang?” ia bertanya balik kepada saya.
Senada dengan Edi, Rahmat, warga Muara Angke, juga mengalami hal serupa: menyatakan bantuan belum hadir. Padahal, ia dan keluarganya membutuhkan itu, di tengah kepungan kebutuhan hidup yang mendesak, sementara di waktu bersamaan pekerjaannya—nelayan—masih dirundung ketidakpastian.
“Jujur ini menyusahkan. Masa kami dilarang banyak keluar rumah, tapi sama pemerintah nggak dikasih bantuan? Apa ini nggak bikin kami repot?” ia bertanya dengan nada agak meninggi.
Jalan keluar yang diambil pun justru menempatkan masyarakat kampung pesisir dalam situasi yang tidak menyenangkan. Sebab tak punya lagi pendapatan yang cukup di tengah pandemi dan pemberlakuan PPKM Darurat, mereka mengutang. Ada yang meminta pinjaman ke tetangga satu kampung, tapi tak sedikit yang mengandalkan kehadiran pinjaman online (pinjol) ilegal maupun rentenir, dengan bunga yang mencekik.
Edi mengatakan hal tersebut tidak bisa dihindarkan. Ia dan warga kampung pesisir kota bukannya tak sadar atas konsekuensi mengutang di rentenir. Beberapa bahkan justru terlibat masalah dengan para penagih utang, entah diteror, diancam, sampai dihantam bogem mentah.
Akan tetapi, Edi menegaskan dengan getir, warga kampung pesisir kota tak punya banyak alternatif. Hutang dirasa jadi pilihan rasional agar tak kelaparan, atau yang paling mengerikan: terusir dari kontrakan.
Akan tetapi, Edi menegaskan dengan getir, warga kampung pesisir kota tak punya banyak alternatif. Hutang dirasa jadi pilihan rasional agar tak kelaparan, atau yang paling mengerikan: terusir dari kontrakan.
“Pahit, Bang, kalau dipikir-pikir hidup di masa susah kayak sekarang,” ujar Edi.
Konsekuensinya, jika air bersih kosong, maka warga sekitar mesti membeli, dalam wujud dirigen, yang harganya bisa ditebus sekira Rp30 ribu sampai Rp50 ribu. Angka yang dibanderol tergolong tak ramah bagi warga kampung pesisir kota, yang sehari-hari bekerja serabutan dengan pendapatan tak menentu. Click To TweetKerentanan Muara Baru
Jalan menuju Muara Baru seperti labirin. Lorong-lorong sempit nan gelap seperti menjadi pintu masuk sebelum akhirnya menemukan permukiman masyarakat di kampung pesisir kota berdiri. Rumah saling berdempetan, juga begitu padat, menghiasi jalanan sempit yang memanjang dari ujung ke ujung dengan jarak kurang lebih dua atau tiga kilometer.
Satu rumah petak yang tersedia punya luas sekira empat kali empat meter, berisikan rata-rata lebih dari tiga orang. Semua berjubel jadi satu, dewasa dan anak kecil, tua dan muda.
Salah satu cara menangkis virus Covid-19 adalah memaksimalkan social distancing. Akan tetapi, di permukiman pesisir kota, syarat tersebut terasa sangat jauh dan mustahil dilakukan. Penyebaran virus sangat terbuka lebar dengan kondisi semacam itu. Meski demikian, orang-orang di sini menyatakan selama dua bulan terakhir belum ada kasus positif Covid-19.
Pencapaian tersebut perlu diapresiasi, jika memang kondisinya demikian adanya. Masalahnya, di tengah situasi seperti sekarang, ketika mitigasi pemerintah masih berantakan dan varian Covid-19 bermutasi jadi lebih mengerikan, mewujud dalam bentuk Delta, maka angka nol kasus positif di kawasan Muara Baru patut ditelisik lebih jauh.
Pengakuan warga itu jauh berbeda dengan laporan Jaringan Rakyat Miskin Kota (JRMK) yang menyatakan banyak warga di kampung tak jauh dari Muara Baru yang terpapar Covid-19 bahkan ada yang meninggal.
Saya berusaha meminta konfirmasi dari Dinas Kesehatan Jakarta Utara maupun Puskesmas Penjaringan—yang membawahi kampung pesisir kota Jakarta secara administratif. Namun, pesan dan telepon saya belum mendapatkan balasan. Sementara data yang dihimpun Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menyebut bahwa per 17 Juli 2021, tercatat hanya ada empat kasus Covid-19 yang aktif di kawasan Penjaringan.
Dengan “tidak adanya” kasus Covid-19 di Muara Baru membikin masyarakat sekitar berkegiatan seperti biasanya, demikian jelas Edi. Artinya, tak ada jaga jarak, juga menggunakan masker. Namun, sebetulnya, terdapat faktor lain yang mendorong “ketidakpatuhan” tersebut.
“Mending uangnya dipakai beli makan dulu, Mas. Karena buat beli masker atau hand sanitizer terus-menerus juga butuh uang nggak sedikit,” ujar Nurbaeni, warga Muara Baru yang bekerja sebagai pedagang.
Potensi lahirnya klaster baru sangat terbuka lebar. Berdasarkan analisis Dicky Budiman, epidemiolog Griffith University, sampai tanggal 15 Juli kemarin, positivity rate masih di angka 30,6 persen. Ini menandakan bahwa pandemi belum terkendali.
“Kurang testing, tracing, juga penerapan 5M yang belum maksimal. Kemudian, angka reproduksi virus juga masih di angka 1,30 per 15 Juli. Kita masih stagnan. Belum menyentuh angka 1, yang menandakan bahwa virus tidak tumbuh secara eksponensial,” kata Dicky lewat sambungan telepon.
Terlebih, Dicky mengungkapkan, puncak pandemi masih berada di antara akhir Juli atau awal Agustus.
“Tidak menutup kemungkinan terjadi ledakan kasus di permukiman kampung pesisir kota di Jakarta Utara yang padat. Ini yang mesti dihindari dan jadi concern banyak pihak. Perlu konsistensi penerapan kebijakan, selain juga perlindungan yang maksimal kepada masyarakat sekitar. Apalagi sekarang ada varian Delta, yang mana lebih cepat menular. Kita bisa lihat kondisi di India seperti apa,” Dicky menambahkan.
Yang perlu diperhatikan, dan ini tak kalah penting, sanitasi di permukiman pesisir kota tak cukup layak. Kebutuhan akan air bersih, ambil contoh, tak selamanya bebas akses. Samroni memberi gambaran bahwa awal Juli silam, air dari PAM mati selama tiga hari berturut.
“Itu belum seberapa. Dulu pernah dua minggu air nggak ada,” Samroni mengatakan contoh yang lebih ekstrim.
Konsekuensinya, jika air bersih kosong, maka warga sekitar mesti membeli, dalam wujud jeriken, yang harganya bisa ditebus sekira Rp30 ribu sampai Rp50 ribu. Angka yang dibanderol tergolong tak ramah bagi warga kampung pesisir kota, yang sehari-hari bekerja serabutan dengan pendapatan tak menentu.
Jan menyebut bahwa sulitnya kurangnya persediaan air bersih di pesisir utara Jakarta tak bisa dilepaskan dari ekstraksi air tanah secara besar-besaran.
“Baik masyarakat atau sektor industri butuh air bersih, dan solusinya mengambil dari air tanah. Masalahnya, daerah potensi yang ada air tanahnya sudah ditempati industri. Mereka bisa ekstraksi sampai 150 meter, sehingga menimbulkan penurunan tanah. Sementara masyarakat kalau gali sumur [buat air bersih] itu dangkal. Kadang ada air, kadang enggak,” jelas Jan panjang-lebar.
Sebagai solusi, apabila membeli bukan opsi yang mampu dipenuhi, warga memilih menadah air hujan, yang kemudian dimanfaatkan untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari.
Tetapi, cerita di kampung pesisir kota tak semuanya menyedihkan. Beberapa pihak berupaya menjaga harapan dengan menguatkan solidaritas di akar rumput. Nurhadi, salah satu Ketua RT di Muara Baru, ambil contoh, sejak pandemi meletus sampai sekarang konsisten mengajak warganya berdiri di satu barisan; menghadapi berbagai kemungkinan, termasuk yang terburuk sekalipun.
Kala pemerintah sibuk mengganti judul kebijakan, bermain retorika, dan pada akhirnya mengerdilkan nasib warganya sendiri, Nurhadi muncul dengan berbagai inisiatif untuk mempertahankan keyakinan orang-orang bahwa pagebluk bakal berlalu. Yang ia tempuh beragam: menyediakan makanan bagi warga yang membutuhkan, memasok vitamin atau obat-obatan, serta memastikan mereka yang tengah isoman karena bergejala tidak mendapatkan stigma dari para tetangga.
“Kalau makanan biasanya dimasak ibu-ibu di sini, modalnya dari iuran warga, dan kemudian dibagi ke yang membutuhkan,” terang Nurhadi. “Di masa sekarang, kita harus saling bantu, apalagi kita hidup berdampingan dengan orang lain.”
Solidaritas terasa begitu relevan, dan memang itu yang dibutuhkan di masa suram seperti sekarang. Tak ada yang dapat memastikan sampai kapan solidaritas tersebut bertahan, namun Nurhadi tak ingin memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang lain. Untuknya, membantu warga, serta memastikan mereka tidak kurang satu apa pun, adalah hal yang harus dilakukan.
Kenyataan di kampung pesisir kota begitu pelik. Masyarakat dihadapkan pada pilihan yang tak banyak, yang ironisnya semua menyakitkan. Tidak bekerja, urusan perut terancam terbengkalai. Tetap bekerja, potensi tertular virus juga terbuka lebar.
“Kami tahu penyakit Covid-19 itu ada, dan serem juga kalau ngelihat berita-berita dari media online,” kata Edi. “Kadang, kalau pengin jujur, kami lebih takut mati lapar.”
Tulisan ini adalah bagian dari serial reportase #KamiSesakNapas dan #DiabaikanNegara yang didukung oleh Yayasan Kurawal.