Pukul delapan malam. Riana duduk termangu di salah satu ruas jalan di bilangan Matraman, Jakarta Timur. Wajahnya nampak tegang. Sedikit tetes keringat membasahi bawah matanya, namun tak sampai melunturkan rias yang sudah ia pasang dua jam yang sebelumnya. Gincunya masih merah, begitu pula alis tebal yang tak pudar sedikit pun.
Tak lama berselang, Riana mengambil gawainya. Jemarinya bergerak cepat memencet tombol sentuh, dan tak sampai lima detik kemudian kalimat tanya meluncur dari mulutnya.
“Mas, posisi di mana?”
“Udah setengah jam lebih, lho.”
“Buruan, ya, Mas. Keburu Satpol PP keliling, nih.”
Sambungan telepon ditutup. Ia menghela napas. Ada sedikit kelegaan setelah ia merasa memperoleh kepastian.
Malam itu merupakan pertama kali Riana kembali mencari nafkah, sebagai pekerja seks, setelah hampir satu bulan lamanya terpaksa berdiam diri lantaran pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) Darurat di Jakarta. Ia memutuskan bekerja karena sudah tak punya uang lagi, sementara biaya kebutuhan hidup tak bisa diajak kompromi.
“Ada langganan temen yang lagi ‘butuh.’ Akhirnya, karena temen nggak mau ambil, ya sudah, aku aja yang ambil,” kata perempuan berusia 30 tahun ini.
“Perasaannya gimana, Mbak? Takut nggak ketularan virus?” tanya saya.
“Wah, kalau udah kondisi kayak gini, lebih takut nggak punya duit sama Satpol PP daripada Corona,” ia membalas, lalu terkekeh.
Situasi pandemi yang berlarut-larut menjadi pangkal sikap “bodo amat” Riana. Urusan potensi tertular virus sudah menjadi prioritas nomor sekian. Selama uang masuk saku celana dan jatah makan hari esok dapat terjamin, ia merasa semua akan baik-baik saja.
Lagi pula, katanya, ia bekerja dengan persiapan penuh. Dari hand sanitizer sampai masker tak pernah absen dalam tas yang ia bawa. Selain itu, ia akan rajin mencuci tangan, berlaku juga untuk para pelanggannya.
“Pokoknya harus bersih aja setiap main. Dan, aku juga mengurangi ciuman, ya. Beruntungnya, pada mau kayak gitu sebelum-sebelumnya,” Riana menjelaskan secara begitu terbuka ihwal pekerjaannya.
“Tapi, kalau emang ada yang ngeyel, mau gimana lagi? Yang penting kumur dulu aja, deh,” tambahnya disertai gelak tawa.
Sekali bekerja, Riana bisa memperoleh pendapatan bersih sebesar Rp400 ribu untuk satu jam layanan. Pendapatan bersih itu ia dapat setelah membayar Rp100 ribu untuk sewa hotel.
“Sebetulnya harga biasa [hotel] Rp200 ribu. Tapi, berhubung kondisi lagi sama-sama susah, sama yang punya dipotong setengahnya. Mayan, lah, bisa mengurangi pengeluaran,” ia menjelaskan.
“Senang,” begitu jawabnya singkat tatkala saya menanyakan bagaimana perasaannya setelah memaksa bekerja di tengah keadaan pagebluk semacam ini. Tak terbersit pikiran lainnya, kecuali fakta bahwa selama beberapa hari mendatang ia tak perlu pusing lagi mencari pinjaman untuk sekadar memenuhi urusan perut.
Hidup sebagai pekerja seks mengajarkannya satu hal: hari ini adalah pertaruhan, dan sisanya dipikir belakangan, termasuk saat pandemi seperti sekarang yang membuat waktu-waktu di depan tak ubahnya kerikil ketidakpastian.
“Yang penting besok [bisa] makan apa dulu,” katanya.
Kucing-Kucingan Dengan Satpol PP
Sudah lebih dari tujuh tahun Sari menetap di Jakarta. Pada 2014, usai lulus SMA, Sari memutuskan merantau ke ibu kota, yang berjarak kurang lebih 250 km dari kampung kelahirannya, Cirebon. Usianya kala itu masih 17 tahun, tergolong sangat hijau untuk ukuran perantau. Didorong alasan ekonomi, Sari bertekad ke Jakarta, mengambil apa pun risiko yang ada.
“Awalnya pengen kuliah, namun orang tua nggak punya uang. Dan akhirnya aku milih kerja aja, ngebantu orang tua biar kehidupannya bisa lebih baik,” Sari membuka cerita.
Dibantu kerabat jauh yang lebih dulu berada di Jakarta, Sari memperoleh pekerjaan menjadi pekerja rumah tangga (PRT) di Kebayoran Lama. Majikannya seorang saudagar kain yang kaya raya. Pekerjaan ini dilakoninya selama tiga tahun, sampai akhirnya memilih berhenti lantaran beban kerjanya berat, sementara pendapatan yang diterima tak seberapa.
Tak butuh waktu lama bagi Sari untuk kembali mendapatkan pekerjaan. Beberapa bulan setelah berhenti jadi PRT, Sari ditawari bekerja sebagai pramusaji di tempat hiburan malam di Mangga Besar, Jakarta Barat.
“Gajinya lumayan. Dan kerjanya mulai dari sore sampai malam, enggak yang satu hari penuh,” kata Sari memberi alasan menerima pekerjaan tersebut. “Yang bikin senang juga, kerja bisa sambil dengerin lagu-lagu sama ketemu banyak orang.”
Meski demikian, lagi-lagi, pekerjaannya ini tidak berlangsung lama. Peristiwa buruk menimpanya, ia dilecehkan secara verbal dan fisik oleh pengunjung. Yang lebih bikin Sari sesak, alih-alih dibela, Sari justru dipotong gajinya oleh manajer operasional tempat ia bekerja.
“Alasannya aku kerja nggak bener. Selain itu, pelanggan yang nggak sopan ke aku adalah pelanggan tetap, orang kaya juga,” ceritanya. “Tai banget pokoknya. Di sini aku kayak diperlakukan nggak adil.”
Tak ingin terkekang dalam trauma, juga mengalami pengalaman yang sama untuk kedua kalinya, Sari pun mengajukan surat pengunduran diri. Keputusannya bulat. Kerja menyenangkan bukan berarti bisa diperlakukan semena-mena, waktu itu ia berpikir.
Ia berusaha menata kembali peruntungannya dengan melamar ke berbagai tempat kerja. Sayang, usahanya tak membuahkan hasil. Sari frustasi. Di tengah kondisi itu, kenalan teman dekatnya menghubunginya untuk menawarkan pekerjaan yang mungkin tak pernah terlintas di kepalanya, yakni menjadi pekerja seks.
Sari kaget mendengar tawaran itu. Ia memang membayangkan risiko terburuk ketika tak jua memperoleh pekerjaan, namun menjadi pekerja seks bukan yang ia pikirkan.
“Aku nggak langsung terima tawaran dia, yang waktu itu kerja di showroom—sebutan bagi lokasi pekerja seks di sebuah rumah yang dimiliki oleh mucikari bermodal besar. Mikir dulu, tanya sahabat dulu enaknya bagaimana,” kenang perempuan yang sekarang berusia 24 tahun ini.
Akhirnya, usai meminta saran ke beberapa orang serta memantapkan diri, Sari menyambut tawaran itu pada awal 2019. Dalam seminggu, Sari bekerja lima hari, melayani maksimal 10 pelanggan, dan dapat membawa pulang sekira Rp1 hingga Rp1,5 juta. Bila sang pemilik showroom tengah baik hati, Sari—dan pekerja seks lainnya—tak jarang diguyur bonus tambahan yang jumlahnya bervariasi.
Mulanya Sari kikuk, bercampur sedikit ketakutan, saat menjalani pekerjaan ini. Seiring waktu, Sari mulai terbiasa dan menikmati apa yang dilakukannya. Sebulan, Sari bisa memperoleh pendapatan bersih total sebesar Rp4 juta. Dengan uang itu, Sari mampu menyewa kontrakan yang lebih memadai, membeli baju yang ia suka, dan—tak ketinggalan—mengirim jatah untuk orang tuanya di kampung halaman.
Masa-masa awal jadi pekerja seks diakui Sari sebagai “masa yang menyenangkan.” Sari berencana dua tahun bekerja jadi pekerja seks, mengumpulkan banyak uang, dan nantinya keluar untuk mencari kesempatan lain yang menurutnya lebih baik.
Rencana boleh saja dibikin, tapi seringkali kenyataan berkata sebaliknya. Pandemi Covid-19 menyerang dunia, tak terkecuali Indonesia, berdampak keras pada sektor informal, pekerja seks termasuk di dalamnya.
Kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang diberlakukan demi memutus penyebaran virus membuat interaksi orang-orang jadi terbatas. Masyarakat banyak yang memilih di rumah. Sedangkan para pelaku usaha, harus kucing-kucingan dengan aparat yang bertugas supaya tak terjerat denda maupun sanksi.
Tempat Sari mencari uang tak luput dari itu. Berdasarkan pengamatannya, lebih dari sekali Satpol PP mendatangi lokasi kerjanya dan memeriksa apakah kegiatan di dalamnya menciptakan kerumunan atau tidak. Petugas baru pergi selepas pemilik showroom membayar upeti.
“Pendapatanku turun lebih dari 50 persen. Di showroom sepi. Pandemi tahun lalu seminggu cuma bisa dapet lima orang. Itu pun akhir pekan. Kalau hari biasa bahkan sering nggak ada orang [yang datang],” keluh Sari.
Kira-kira enam bulan setelah kebijakan PSBB ditempuh, kondisi ternyata tak kunjung membaik, dan berujung pada penutupan showroom oleh sang pemilik sebab dirasa tak lagi menguntungkan.
Sari kelimpungan. Pontang-panting ia mencari pekerjaan, namun hasilnya selalu gagal. Uang simpanannya makin menipis, dan yang bisa ia lakukan ialah kerja serabutan dengan penghasilan jauh dari kata layak. Ia sempat mencoba kembali jadi pekerja seks secara mandiri, tapi lagi-lagi pelanggannya hanya bisa dihitung jari.
“Kayaknya pernah coba ini dan itu, tapi akhirnya juga sama saja. Aku cuma dapat sedikit uang buat hidup,” tuturnya.
Sari pernah mengalami kekerasan selama jadi pekerja seks. Ia pernah dipukul dan dipaksa melakukan hal-hal yang tak ingin ia lakukan. Semuanya berat, tapi ia mengakui bahwa pandemi merupakan cobaan yang paling bikin susah.
“Aku nggak tau kapan Corona selesai, kapan bisa normal lagi,” ia berujar. “Dan jujur, ini yang paling berat selama aku di Jakarta.”
Saat Sari dan pekerja seks lainnya masih berjuang bangkit dari keterpurukan, satu lagi pukulan telak mendarat di muka, mewujud dalam kebijakan baru—pada intinya sama dengan yang terdahulu—bernama PPKM Darurat, yang diberlakukan untuk meredam gelombang kasus Covid-19 serta kematian yang gila-gilaan selama dua bulan terakhir.
Kali ini, Sari seperti tidak bisa bergerak untuk mencari penyelamatan. Keinginan untuk pulang kampung pernah muncul dalam kepala, namun ia seketika tersadar bahwa ia tak cukup punya uang.
“Selain itu, aku malu kalau pulang nggak bawa apa-apa. Malu sama orang tua. Ditambah, aku juga nggak ingin membawa virus ke rumah,” terangnya. “Masalahnya, kalau tetap di sini juga kayak nggak ada jalan.”
Pekerja seks tak punya banyak pilihan, kecuali hanya bersandar pada keterbatasan yang ada. Situasi tambah pelik manakala dua kali kebijakan pembatasan sosial diterapkan, dua kali pula bantuan—uang tunai, sembako, sampai potongan listrik—tak pernah sampai di tangan mereka.
“Belum pernah dapat dari dulu,” kata Riana. “Baca dari berita emang ada, tapi aku nggak pernah merasakan bantuan itu. Temen-temen yang lain juga sama.”
Lia Andriyani, Koordinator Nasional Organisasi Perubahan Sosial Indonesia (OPSI), lembaga non-pemerintah yang berfokus pada isu pekerja seks, mengungkapkan akar masalah dari ketiadaan bantuan sosial tersebut ialah bahwa pendataan dilakukan berdasarkan kepemilikan KTP. Sementara yang terjadi di lapangan adalah mayoritas pekerja seks tak punya KTP sebab sejak awal datang ke Jakarta tanpa berkas.
“Laporan yang masuk dari kami menyatakan keadaannya seperti itu. Teman-teman tidak punya KTP. Entah karena KTP-nya disita Satpol PP waktu razia, atau memang mereka nggak punya KTP karena sejak awal datang ke Jakarta nggak bawa berkas apa-apa,” tutur Lia.
“Seharusnya yang namanya bantuan langsung itu nggak perlu ngelihat KTP. Apalagi keadaannya genting seperti sekarang,” tambahnya.
Bila pun ada pekerja seks yang punya KTP, masalah tak berarti selesai. Dalam banyak kasus, Lia bilang, daerah tempat mereka tinggal tak terlewati bansos, meski kenyataannya memenuhi kriteria sebab banyak warganya yang terdampak pandemi.
“Di Jakarta Timur, ada yang kayak gitu. Bansos enggak rata. Daerah yang harusnya dapat, malah enggak. Sekarang gimana kalau kayak gini? Sedangkan teman-teman pekerja seks itu juga butuh,” ucap Lia dengan nada yang tinggi.
Ini belum termasuk pandangan negatif terhadap pekerja seks. Jauh sebelum pandemi menghantam, citra pekerja seks tidak pernah baik. Di tengah masyarakat yang konservatif, pekerjaan mereka kerap dianggap “menjual kehormatan” lantaran hubungan badan yang transaksional. Datangnya pandemi hanya memperburuk situasi yang sudah kadung buruk.
Riana sendiri pernah mengalami kejadian buruk imbas pandangan negatif perihal pekerjaannya. Medio 2016, ia hampir diusir dari kontrakannya sebab desas-desus masyarakat sekitar menyebutnya sebagai pembawa penyakit kelamin. Beruntung, seorang tetangga yang kenal baik dengannya mencegah nasib nahas tersebut. Meski demikian, pengalaman itu membuat Riana trauma dan akhirnya ia memutuskan untuk pindah.
“Kalau sekarang, pandangan jeleknya tetap sama, cuma diganti sarang virus karena banyak dari kami yang tetap bekerja sampai malam dan nggak pakai masker kalau di rumah,” ceritanya. “Ada yang bahkan sampai dijauhi tetangga karena mereka takut tertular Corona kalau lewat depan rumah PSK atau ngobrol sama PSK.”
Perlakuan itu dinilai Riana tidak adil. Pekerja seks, sama halnya mereka yang menggantungkan penghidupan pada sektor informal lainnya, tak punya keistimewaan sebagaimana pekerja kantoran. Memaksa bekerja di tengah situasi krisis adalah cara untuk bertahan.
“Kami pengennya juga diperhatiin. Kami nggak bisa beli alat kesehatan seperti masker itu bukan berarti karena kami nggak ingin, tapi karena kami lebih memilih memakai uang itu buat makan,” aku Sari.
Bisnis seks di dunia dibikin limbung berkat kehadiran pandemi Covid-19. Para pekerja di dalamnya, mulai dari India, Thailand, Jerman, sampai Amerika, terpaksa memutar otaknya jauh lebih keras ketimbang biasanya supaya bisa memperpanjang napas, dan kondisi Indonesia tidak jauh lebih baik daripada itu.
Jangan Sampai Mati
Sejak terpapar Covid-19 pada awal tahun lalu, Indah berhenti sementara bekerja sebagai pekerja seks. Ia tak ingin terserang untuk kedua kalinya jika sekarang memaksakan diri untuk bekerja. Terlebih, pengalaman positif Covid-19 cukup tak menyenangkan, disertai gejala demam sampai kehilangan indera penciuman.
Sudah lebih dari tiga bulan dan seharusnya Indah bisa mendaftar program vaksinasi, dengan harapan tubuhnya dapat terlindungi dari kemungkinan terburuk Covid-19. Namun, ketentuan dari pemerintah yang harus menyertakan KTP memaksanya mesti gigit jari.
“Aku nggak bawa KTP ketika merantau,” ia memberi penjelasan. “Mau ngurus izin domisili di Pak RT juga syaratnya harus bawa KTP kalau di sini. Jadi, ya udah, pasrah aja.”
“Nggak bisa minta tolong kirim dari rumah, Mbak?” tanya saya.
“Aku udah putus hubungan sama keluarga,” jawabnya singkat.
Jawaban itu membuat kami sama-sama terdiam. Hening beberapa saat. Saya buru-buru minta maaf. Indah mengatakan tak jadi soal sebab kenyataan itu sudah terjadi.
“Sedih, sih, tapi namanya juga hidup,” ucapnya seraya tertawa.
Pahit itu bermula saat orang tua Indah, yang tinggal di Banten, mengetahui bahwa putri kesayangannya mencari nafkah sebagai pekerja seks, sekitar empat tahun yang lalu. Ayahnya marah besar, sementara ibunya tak henti-hentinya mengeluarkan tangis kesedihan, menganggap anaknya telah jauh dari agama dan tenggelam dalam jurang kesesatan.
Keputusan sepihak diambil, mereka meminta Indah untuk tak kembali ke rumah karena dianggap telah mencoreng nama baik keluarga dan agama.
Dunia Indah seketika runtuh. Ia tak pernah membayangkan konsekuensinya akan sebesar ini. Indah berupaya menjelaskan, namun penolakan kedua orang tuanya kian kencang menggema. Walhasil, satu-satunya pilihan yang ia punya adalah menerima dan kemudian merelakan rumah yang sebelumnya ia harapkan jadi tempat terbaik untuk pulang.
“Aku udah ikhlas. Tapi, belum sepenuhnya ikhlas, meski udah kejadian lama. Kalau tiba-tiba kepikiran kejadian itu, rasanya, kok, sakit, ya,” ucapnya lirih.
Hidup harus terus berjalan, pikir Indah, dan cara terbaik melewatinya ialah dengan senantiasa menatap ke depan. Sejak peristiwa itu, Indah merasa lebih kuat sebagai manusia dan perlahan bertekad membangun kembali kehidupannya, sekalipun sebagai pekerja seks.
“Enggak mudah, emang, kalau kerja kayak gini. Nggak ada yang pengen juga, kok, sebetulnya. Semua karena keadaan. Pengennya juga bisa kerja yang layak. Tapi, bagi kami, itu kayak yang mustahil,” ujar perempuan 34 tahun ini.
Upaya Indah membangun lagi dunianya dihajar cobaan pandemi. Pendapatannya turun drastis. Pelanggannya jauh berkurang, sementara tempat ia bekerja sehari-hari memilih tutup pintu lantaran takut kena geruduk Satpol PP.
Indah tak menyerah. Satu demi satu pekerjaan ia lakoni, mulai dari pegawai salon, penata rias pengantin, hingga yang terbaru—bersamaan dengan pemberlakuan PPKM Darurat—jualan aneka macam makanan ringan serta lauk-pauk sehari-hari.
“Buat kami, pekerjaan yang tersedia paling gitu-gitu aja karena emang kami bisanya di situ,” tegasnya.
Usaha berjualan makanan ia jalani bersama dua orang temannya, yang juga berprofesi sebagai pekerja seks. Indah bagian memasak lauk-pauk, satu temannya membeli bahan baku, dan sisanya menggoreng bermacam keripik. Hampir satu bulan Indah berdagang, dan pendapatannya tak pernah menentu. Bisa jadi hari ini laris manis, namun dua hari berselang hanya segelintir yang terjual.
Untuk sebagian pembeli, masakan Indah punya kelezatan di atas rata-rata. Akan tetapi, bagi yang lainnya, dagangan Indah tak lebih dari “dagangan lonte” dan oleh sebab itu haram hukumnya dikonsumsi.
“Pernah dengar tetangga jauh bilang jangan beli makanan di sana, ‘bikinan perek’,” Indah bercerita. “Aku yang denger langsung kaget, dan memilih pura-pura nggak denger aja. Sakit hati, sih, jelas. Tapi, mau marah langsung juga kayak percuma.”
Tak sekali peristiwa itu dialami Indah dan dua temannya. Dalam beberapa kesempatan, mereka mampu menahan kesedihan. Tapi, di lain kesempatan, tangis langsung pecah karena tak tahan dengan omongan miring tetangga.
Bila sudah begitu, yang Indah lakukan adalah menguatkan diri sendiri, selain juga meminta dua temannya untuk melakukan hal yang sama seraya meyakinkan betapa hidup—kelak—bakal baik-baik saja.
Waktu berlalu dan pandemi belum memperlihatkan tanda akan berakhir. Indah sadar bahwa hari-hari ke depan roda hidupnya tak banyak berubah: kesulitan cari uang, jadi bahan gunjingan tetangga, dan hanya bisa menahan rindu kepada keluarga—juga rumah—yang tak lagi dalam genggamannya.
Sementara masalah seolah terus berdatangan tanpa henti, Indah, dan mungkin pekerja seks di banyak tempat, masih berusaha memasang harapan untuk hidup lebih lama. Tak lebih, tak kurang.
“Aku nggak ingin mati dalam kondisi kayak gini,” ia menegaskan.
Tulisan ini adalah bagian dari serial reportase #KamiSesakNapas dan #DiabaikanNegara.