Tim Tiger Polres Jakarta Utara segera mengejar seorang pemuda yang mengendarai motor di jalan R.E. Martadinata, ketika mendengar umpatan. Rombongan polisi melaju kencang. Seorang kameramen, memanggul kamera dibonceng motor tanpa mengenakan helm sesuai aturan lalu lintas melaju mengikuti rombongan polisi. Ia sempat memberi tanda dengan lambaian tangan kiri agar pengendara lain di belakangnya melambat.
Dari kejauhan, terlihat polisi sudah berhasil menghentikan pemuda itu. Setelah rombongan polisi lain tiba, terlihat seorang polisi menarik leher bajunya.
“Kau ngomong apa tadi?” bentak seorang polisi.
Sebelum si pemuda menjawab, ia langsung digiring polisi ke mobil pick up polisi. Seorang polisi lainnya mencengkeram leher seorang pemuda, dan disambut erangan.
“Sakit ini,” kata pemuda tersebut. Si petugas pun melepas cengkramannya.
“Press dia jangan dikasih celah, press dia jangan dikasih celah, press dia jangan dikasih celah,” kata polisi lain kepada rekannya yang sedang mengikat tangan pemuda tersebut. Polisi mendorong paksa pemuda itu hingga tersungkur ke atas bak mobil pick up polisi.
“Orang tuamu kerja di mana?” tanya polisi.
“Udah nggak kerja bang.”
“Udah nggak kerja? Terus kau songong gitu?”
Cuplikan peristiwa itu saya tonton dalam video The Police yang tayang di Trans 7. Video tersebut diunggah pada 12 Agustus 2020 dengan judul Pemuda Memaki-Maki Team Tiger, Tertangkap!.
Menonton cuplikan video itu membuat saya bertanya, “Begitu mudahkah polisi menangkap orang?” Sebagai penonton, saya juga heran dengan kameramen tanpa helm yang dibiarkan saja oleh polisi, “Bukankah mengendarai sepeda motor tanpa helm adalah sebuah pelanggaran lalu lintas?” Saya juga bingung dengan pernyataan polisi menghubungkan orang tua si pemuda yang sudah tidak bekerja dengan tingkah songong, “Apakah jika orang tua si pemuda itu bekerja dan mungkin orang kaya, lantas si pemuda boleh songong terhadap polisi?”
Video yang saya tonton itu hanya satu dari sekian banyak konten yang menunjukkan kekerasan yang dilakukan polisi selama bertugas. Tim riset Project Multatuli melakukan riset sederhana untuk melihat bagaimana polisi menampilkan diri dalam tayangan video di kanal YouTube. Kami menonton dan meriset 230 video dari tiga akun YouTube yakni Trans 7 OFFICIAL, 86 & Custom Protection NET, dan Jacklyn Choppers akun milik Aiptu Jakaria, anggota Subdit IV Jatanras Polda Metro Jaya.
86 & Custom Protection NET kini memiliki 6,1 juta pelanggan, sementara Trans 7 yang turut mengunggah program selain The Police memiliki 20,7 juta pelanggan. Berbeda dengan konten 86 dan The Police yang rapi dan gambar dengan kualitas bagus, kanal Jacklyn Choppers tak jarang mengunggah gambar berkualitas video amatir. Selain memuat aksi Jatanras Polda Metro Jaya, kanal tersebut juga memuat tayangan penangkapan yang dilakukan satuan reskrim di tingkat polsek, polres, dan polda di beberapa wilayah di Indonesia. Kini akun tersebut memiliki 541 ribu pelanggan.
Dalam video YouTube 86 & Custom Production berjudul Tawuran Pakai Bom Molotov, Pria Ini Malah Berlagak Kesurupan yang diunggah 23 Juli 2020 mempertontonkan petugas Tim Rajawali Polres Jakarta Timur melakukan pemeriksaan kepada tiga pemuda bermotor yang berkumpul di sebuah pom bensin di Condet, Jakarta Timur.
Dalam adegan pemeriksaan itu tiba-tiba polisi memiting dan membanting tiga pemuda itu. Seorang pemuda diketahui membawa senjata tajam, namun dua lainnya yang tidak membawa senjata tetap dipaksa tiarap dan diinjak punggungnya.
Kekerasan serupa juga tampak dalam video YouTube Jacklyn Choppers Pelaku 365 Ribuan Handphone Ditangkap Team Resmob Polda Jambi yang diunggah 11 Maret 2021. Video itu menunjukkan polisi Resmob Polda Jambi yang sedang melakukan penangkapan terduga pelaku pencurian ribuan ponsel. Penangkapan dilakukan di tiga tempat berbeda.
Dalam video berdurasi 14 menit 15 detik tersebut, paling tidak ada tiga kekerasan: penamparan, jambak, dan juga dua orang petugas yang secara sengaja menaruh kakinya di atas kepala dan kaki seorang tersangka yang tangannya sudah terbelenggu. Dalam video itu tidak terlihat, para tersangka menghalangi upaya penangkapan, sehingga dibutuhkan kekerasan dalam penangkapan.
Tiga tayangan di atas merupakan segelintir tontonan mengumbar kekerasan oleh polisi. Adegan kekerasan lain berserak di konten-konten yang hadir di ruang publik baik secara maya ataupun lewat media penyiaran televisi.
Dari Jambak Sampai Piting
Kami menonton dan menganalisis 87 video tayangan 86 Net TV, yang diunggah selama sebulan mulai tanggal 1 Juli 2020 hingga 5 Agustus 2020. Dalam sehari, akun YouTube 86 & Custom Protection NET mengunggah video lebih dari satu video. Salah satu yang kami lihat adalah apa saja bentuk kekerasan yang dilakukan oleh polisi. Dalam video di akun YouTube itu, patroli kamtibmas yang menindak terduga pelaku tawuran, mabuk-mabukan, atau sekadar pemuda yang nongkrong di pinggir jalan merupakan muatan yang mendominasi dalam video.
Dari 87 video, kami menghitung setidaknya ada 59 kekerasan fisik dan verbal yang terlihat gamblang. Bentuk kekerasan fisik yang paling menonjol yakni push up, squat jump, jalan jongkok, dan piting. Pelecehan dan kekerasan verbal juga dominan dalam video-video tersebut. Bentuk hukuman push up dan squat jump merupakan ganjaran untuk mereka yang diduga mengganggu keamanan dan ketertiban masyarakat (kamtibmas).
Salah satu bentuk kekerasan tersebut ditunjukan pada video yang diunggah 10 Juli 2020 berjudul Kabur Dari Kejaran Petugas, Motor Pria Ini Akhirnya Diangkut. Video tersebut menunjukkan Tim Tiger Polres Jakarta Utara yang mengejar terduga pelaku balap liar.
Seorang pemuda yang sempat kabur dicegat para petugas. Setelah pemeriksaan singkat, polisi memerintahkan pemuda tersebut push up sebagai ganjaran karena tidak menggunakan helm dan tidak memasang plat nomor kendaraan. Padahal dalam video lain, Tim Tiger Polres Jakarta Utara membiarkan seorang kameramen dibonceng motor tanpa mengenakan helm.
Seperti halnya 86, dalam video YouTube The Police penindakan gangguan kamtibmas juga mendominasi. Kami menganalisis 31 video The Police tertanggal 14 Juli 2020 sampai 16 Juni 2021. Dari 31 video tersebut, terdapat empat video yang menunjukkan kekerasan oleh polisi. Dari pemantauan video The Police ini, tak ada jenis kekerasan yang paling dominan. Kekerasan seperti cekik, injak badan, perintah jalan jongkok, dan pelecehan muncul masing-masing satu kali.
Salah satu jenis kekerasan seperti pelecehan muncul dalam tayangan, tertanggal 21 Juli 2020, dengan judul Mereka NGOMPOL Akibat Panik. Unggahan tersebut merupakan video yang mengekspos seorang laki-laki yang mengompol. Namun, video diunggah tanpa urutan kronologis yang utuh.
Video tersebut menunjukkan seorang polisi sedang melakukan pemeriksaan terhadap sekelompok pemuda di pinggir jalan. Tidak ada penjelasan alasan pemeriksaan itu dilakukan. Hanya saja seorang polisi mengetahui seorang pemuda yang tengah diperiksa ternyata kencing di celana karena celananya tampak basah. Si polisi menanyakan alasan pemuda tersebut pipis di celana.
Laki-laki tersebut mengaku pipis di celana karena ketakutan dengan kedatangan polisi. Adapun kamera melakukan zoom pada bagian selangkangan sehingga terlihat celana laki-laki tersebut basah. Latar suara orang tertawa layaknya tayangan sitkom mengiringi adegan ekspos pemuda yang pipis di celana tersebut.
Dari hasil analisis 112 video akun YouTube Jacklyn Choppers, tertanggal 3 Juli 2020-30 Juli 2021, konten bermuatan kekerasan muncul sebanyak 33 kali. Tiga jenis kekerasan yang muncul paling banyak adalah injak badan, jambak, dan piting.
Salah satu konten dengan muatan jenis kekerasan jambak rambut muncul dalam sebuah video berjudul Perampokan Minimarket Diringkus Oleh Team Jatanras Dan Resmob Polda Jateng tertanggal 20 September 2020. Video tersebut menampilkan adegan penangkapan terduga pelaku perampokan minimarket.
Dalam video tersebut tergambar sekumpulan polisi tak berseragam yang masuk ke rumah dan mengerubungi terduga pelaku. Polisi memerintahkan terduga pelaku untuk segera tiarap. Seorang polisi terlihat menjambak rambut terduga pelaku yang terlihat dalam keadaan terpojok tersebut.
Kami mencoba menghubungi pihak Mabes Polri untuk mengkonfirmasi unsur kekerasan dalam tayangan yang kami analisis tersebut, namun kepolisian tak memberi jawaban. Kami menghubungi pihak Mabes Polri sejak 17 sampai 23 September 2021, namun Kadivhumas Irjen (Pol) Argo Yuwono, Karo Penmas Brigjen (Pol) Rusdi Hartono, dan Kabag Penum Kombes (Pol) Ahmad Ramadhan tak merespon telepon dan pesan singkat.
Sementara itu, Aiptu Jakaria kepada Project Multatuli pada 30 Agustus 2021, mengaku setiap unggahannya telah melalui penyuntingan adegan kekerasan. Katanya, “Semua video yang gue upload itu rata-rata sudah di pers. Sudah masuk tayangan teve.” Ia juga mengatakan setiap tayangan di YouTube-nya sudah mendapat izin dari atasan.
Polisi Melanggar Aturan Sendiri
Selain jenis kekerasan, kami juga menganalisis jenis pelanggaran prosedur oleh polisi yang tertangkap kamera. Ada empat regulasi yang kami jadikan dasar untuk menilai pelanggaran prosedur, yakni Undang-Undang Kitab Hukum Acara Pidana, Peraturan Kapolri (Perkap) Nomor 1 Tahun 2009 Tentang Penggunaan Kekuatan Dalam Tindakan Kepolisian, Perkap Nomor 6 Tahun 2019 Tentang Penyidikan Tindak Pidana, dan Perkap Nomor 8 Tahun 2009 Tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia Dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Dalam 87 video YouTube 86, peraturan yang diduga kerap dilanggar adalah Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2009 Tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia Dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia. Salah satunya pasal 39 ayat 2b yang berbunyi:
Memberikan perlindungan kepada pelapor/saksi/saksi ahli dan tersangka secara fisik maupun psikis dari segala bentuk ancaman dan rasa ketakutan.
Pelanggaran ayat ini terjadi sebanyak 13 kali dari total 87 video yang dianalisis. Berkebalikan dengan aturan tersebut, dalam tayangan 86 justru tampak polisi melakukan kekerasan secara fisik dan juga psikologis kepada mereka yang diduga bersalah.
Salah satunya tampak pada sebuah video berjudul Gelagatnya Mencurigakan, Ternyata Banyak Ditemukan Barang Untuk Siap Tawuran tertanggal 4 Juli 2020. Dalam sebuah adegan yang menggambarkan Tim Rajawali Polres Metro Jakarta Timur melakukan pemeriksaan terhadap pemuda yang sedang berkumpul. Video itu menampilkan kendaraan motor milik salah seorang pemuda dengan knalpot yang mengeluarkan suara bising.
Sebagai ganjaran atas pemasangan knalpot bising tersebut, seorang petugas meminta sang pemilik motor untuk mendekatkan telinganya kepada knalpot yang digas oleh petugas lain. Pemuda tersebut langsung terlihat memegang telinganya dan mengaku merasakan sakit akibat suara kencang knalpot.
Dugaan pelanggaran lainnya misalnya pasal 32 yang mengatur tentang penggeledahan. Dalam video berjudul Pria Ini Bawa Banyak Barang yang Berhubungan dengan Sex, Hobi? yang diunggah pada 18 Juli 2020, tampak polisi melakukan penggeledahan dan menyita barang milik seorang pengendara motor dengan alasan barang-barang tersebut belum layak dipakai untuk seseorang yang belum menikah. Barang-barang tersebut berupa tisu magic dan kondom. Tidak hanya itu, polisi juga menceramahi pengendara motor itu dengan membawa ajaran agama tertentu.
Padahal dalam pasal 32 ayat 2a menyebutkan: petugas dilarang melakukan tindakan penggeledahan secara berlebihan dan mengakibatkan terganggunya hak privasi yang digeledah.
Barang-barang seperti kondom dan tisu magic merupakan barang pribadi dan merupakan privasi dari pengendara motor tersebut, namun polisi mengumbar, menyita, dan mempertontonkan dalam video.
Tak jauh berbeda dengan 86, pelanggaran Perkap Nomor 8 Tahun 2009 pasal 39 ayat 2b juga dominan muncul dalam video The Police. Jenis pelanggaran itu muncul sebanyak empat kali dari total 31 video yang dianalisis. Selain itu ada pula pelanggaran prosedur lain yang juga muncul sebanyak empat kali, yakni pelanggaran pasal 17 ayat 1g Perkap Nomor 8 Tahun 2009.
Pasal tersebut berbunyi:
Memberitahu hak-hak tersangka dan cara menggunakan hak-hak tersebut, berupa hak untuk diam, mendapatkan bantuan hukum dan/atau didampingi oleh penasihat hukum, serta hak-hak lainnya sesuai KUHAP.
Nyatanya, kami tak menemukan video yang menampilkan polisi membacakan hak-hak tersangka tersebut. Salah satu contoh adegan yang diduga melanggar pasal tersebut muncul pada video berjudul Ditanya Team Tiger Berbelit-belit, Pemuda Ini Ternyata Bawa Tramadol yang diunggah 12 Agustus 2020.
Video tersebut menayangkan adegan petugas Tim Tiger Polres Metro Jakarta Utara yang mengejar sekelompok pemuda yang dinilai melakukan hal yang mencurigakan. Setelah berhasil dicegat, salah satu petugas menggeledah tas milik seorang pemuda. Polisi pun menemukan obat Tramadol, yakni pereda rasa sakit yang hanya diresepkan dokter namun sering pula disalahgunakan.
Si polisi pun mendesak pemuda tersebut untuk mengaku sebagai pemilik obat tersebut. Setelah polisi mengeluarkan ancaman si pemuda mengaku bahwa ia pemilik obat tersebut.
“Kalau kau positif obat Tramadol, saya penjarakan kau ya,” kata seorang polisi.
“Kau ku cek urin ya, kalau kau positif, berarti selesai kau,” kata polisi lainnya.
Setelah mengakui bahwa obat itu miliknya, pemuda tersebut dibawa ke kantor polisi tanpa dijelaskan hak dan tujuannya.
Sementara itu, pada akun Jacklyn Choppers paling banyak diduga melanggar Pasal 21 D Perkap No 8 Tahun 2009. Dugaan pelanggaran tersebut muncul sebanyak 24 kali dari total 112 video yang dianalisis.
Pasal tersebut berbunyi:
Bersikap profesional dalam menerapkan taktis penangkapan, sehingga bertindak manusiawi, menyangkut waktu yang tepat dalam melakukan penangkapan, cara-cara penangkapan terkait dengan kategori-kategori yang ditangkap seperti anak-anak, orang dewasa dan orang tua atau golongan laki-laki dan perempuan serta kaum rentan.
Hanya saja kanal YouTube tersebut justru mempertontonkan penangkapan secara tidak manusiawi. Salah satunya adalah adegan di mana Jatanras Polda Metro Jaya melakukan penangkapan pelaku pencurian modul BTS Tower di sebuah rumah. Video itu berjudul Pencuri Modul Tower BTS Ditangkap Jatanras Polda Metro Jaya diunggah pada 16 Agustus 2020. Dalam satu adegan penangkapan terhadap tersangka di rumah tersebut, tangan Aiptu Jakaria terlihat menjambak rambut tersangka yang sedang dalam posisi jongkok agar segera berdiri.
Dari video yang dianalisis juga terdapat sejumlah catatan terhadap aksi polisi yang ditayangkan. Misalnya seringkali muncul adegan penyitaan atau yang biasa disebut “diamankan” kendaraan yang tidak bersurat lengkap bukan oleh korps lalu lintas. Penyitaan kendaraan kerap terjadi saat patroli dalam rangka menjaga kamtibmas. Catatan lain adalah dalam adegan penangkapan tersangka diduga tidak disertai penunjukkan surat perintah penangkapan. Padahal hal tersebut diatur baik dalam KUHAP Pasal 18 dan juga Perkap No 8 Tahun 2009 Pasal 17 ayat b.
Main Hakim Sendiri, Tajam Terhadap Wong Cilik
Korban kekerasan yang dilakukan oleh polisi dalam video yang diunggah 86, The Police, dan Jacklyn Chopper, sebagian besar adalah masyarakat kelas bawah. Misalnya dalam video 86 sebagian besar korban kekerasan polisi adalah orang-orang yang diduga melanggar kamtibmas, ada pula yang kelompok anak muda yang nongkrong di pinggir jalan. Dalam video The Police juga demikian, orang yang nongkrong di pinggir jalan pada malam hari masih menjadi sasaran polisi.
Video-video 86 dan The Police memang berisi konten pencegahan gangguan kamtibmas, di mana kasus-kasus yang umum menjadi sajian konten adalah penggerebekan sekelompok orang yang sedang mabuk-mabukan, tawuran, atau balap liar. Pelaku pungli ataupun kelompok remaja yang tengah nongkrong di pinggir jalan menjadi subyek dominan dianggap sebagai gangguan kamtibmas.
Dalam video-video tersebut tidak ada satupun yang menunjukkan polisi mencegat mobil mewah atau mendatangi tempat hiburan malam kelas atas karena mencurigai sesuatu, sebagaimana polisi menaruh kecurigaan terhadap orang nongkrong di pinggir jalan atau pengendara motor yang melintas di jalan.
Sementara dalam video Jacklyn, korban kekerasan semuanya adalah pelaku kejahatan. Paling banyak yang menjadi korban kekerasan adalah terduga pelaku pencurian dan perampokan. Adapun adegan penangkapan terduga pelaku kejahatan didominasi biasanya terjadi di rumah atau kontrakan di daerah pemukiman padat penduduk. Selain itu ada pula video-video penangkapan di daerah pelosok.
Ketua Bidang Advokasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Muhammad Isnur mengatakan ada banyak masalah dalam tindakan kekerasan yang dilakukan oleh polisi. Misalnya dalam video yang menunjukkan polisi menghukum orang-orang dengan jalan jongkok, push up, dan squat jump, menurutnya polisi sudah menyalahi azas praduga tidak bersalah sampai diputuskan oleh pengadilan.
“Jadi sebetulnya kepolisian itu dalam kasus penyidikan, dia hanya baru menduga menyangka. Nah kemudian bagaimana kalau ada penghukuman. Itulah kemudian yang namanya penghukuman di luar proses peradilan,” kata Isnur pada 12 September 2021.
Karena itu, bila polisi melakukan penghukuman seperti halnya yang sering disebut hukuman fisik, itu sudah sebuah pelanggaran.
“Misalnya ada hukuman fisik, ada hukuman sosial, itu kan harus dengan penetapan pengadilan. Jadi kalau mau misalnya melakukan tindak pidana ringan, kan ada namanya pengadilan cepat, pengadilan tindak pidana ringan, itu kemudian disidangkan oleh hakim, hakim yang memutuskan. Sanksinya apa, suruh nyapu, bersihin musholla, itu oleh hakim. Nggak boleh polisi langsung menghukum,” terang Isnur.
Isnur juga menyebut, video-video kekerasan terhadap kelompok menengah ke bawah itu mengesankan polisi tengah menunjukkan perilaku gagah-gagahan. “Jadi itu menunjukkan arogansi kepolisian,” kata Isnur.
Hal ini diperparah dengan gaya pendekatan terhadap masyarakat kelas bawah yang biasanya penuh dengan kekerasan dan tidak sesuai prosedur penindakan yang sudah diatur.
“Menunjukkan kepolisian sudah melebihi kewenangannya, sudah abuse of power dalam melakukan tindakan-tindakan di mana dia seharusnya kepolisian punya hukum acara diatur dalam Peraturan Kapolri, (kitab) Hukum Acara Pidana. Tapi dia (polisi) melebihi itu,” kata Isnur.
Pengajar Ilmu Politik dan Pertahanan Murdoch University Ian Wilson menyebut pertunjukan kekerasan diperlukan untuk mewujudkan tatanan sosial dan politik tertentu. Hal tersebut tercermin dari kecenderungan pertunjukkan penindakan dengan kekerasan yang lebih banyak menyasar ke kelompok masyarakat kelas bawah.
“Tindakan menembak tersangka di kaki dan memukuli mereka, sulit membayangkan polisi melakukan itu kepada kelas menengah atas di Indonesia,” kata Wilson pada 11 Agustus 2021.
Kekerasan oleh polisi yang tampak dalam tiga akun YouTube tersebut hanya segelintir dari kelakuan polisi yang bisa dipantau publik. Sementara itu dalam banyak pemberitaan media, polisi juga tercatat melakukan kekerasan serupa. Project Multatuli bekerja sama dengan lembaga media monitoring Binokular untuk melihat tren pemberitaan tentang kekerasan yang dilakukan polisi. Hasil pemantauan media itu menunjukkan ada peningkatan kekerasan oleh kepolisian. Selama periode Januari 2019 – Juni 2021 tercatat setidaknya 37 kekerasaan pada pemberitaan.
Data itu dihimpun melalui pencarian dengan kata kunci “Kekerasan Polisi” atau “Brutalitas Polisi”. Hasilnya, sepanjang tahun 2020 terdapat 20 peristiwa kekerasan oleh polisi. Pada tahun 2019 pemberitaan dengan kata kunci tersebut mencapai 10 pemberitaan. Sementara, pada tahun 2021, per Juni terdapat tujuh pemberitaan kekerasan yang dilakukan polisi.
Kekerasan terhadap kelompok masyarakat kelas bawah ini juga terlihat dalam pemantauan media ini. Selama periode Januari 2019 – Juni 2021 paling tidak tercatat ada 4.365 orang menjadi korban kekerasan oleh polisi dalam pemberitaan. Korban dengan jumlah tertinggi adalah demonstran dengan persentase 91,4 persen, disusul warga sebanyak 3,7 persen, petani 1,5 persen, lainnya 1 persen, dan tersangka/saksi kasus kriminal 0,3 persen.
Pengajar Hukum Pidana Universitas Brawijaya Fachrizal Afandi turut menyoroti penindakan polisi yang kerap kali tak mematuhi prosedur yang sudah diatur dalam KUHAP atau pun berbagai peraturan internal kepolisian. Menurut Fachrizal pelanggaran aturan itu terbawa budaya militer saat di masa Orde Baru saat kepolisian masih tergabung dalam ABRI. Fachrizal melihat hal tersebut turut membentuk gaya kerja polisi. Sehingga, banyak regulasi yang dirancang untuk menghormati hak-hak terduga pelaku kejahatan justru terabaikan.
“Itu juga berpengaruh pada sistem birokrasi kultur, cara kerja, yang sangat militeristik. Jadi intinya Perkap tentang HAM itu kan baik ya, tapi kan itu hanya jadi jargon saja akhirnya. Karena tidak mendarah daging,” kata Fachrizal.
Oleh karenanya, dalam praktiknya terduga pelaku kejahatan kerap kali diperlakukan sebagai musuh. “Anda tahu kultur militer itu kan sangat bunuh atau dibunuh, membuat kayak tersangka, terdakwa itu dianggapnya musuh yang harus dibasmi,” kata Fachrizal pada 13 September 2021.
Tayangan-tayangan kekerasan aparat sering diamini menjadi sarana peringatan dan pembelajaran kepada masyarakat agar tidak melakukan kejahatan. Hal yang mana disebutkan dalam kanal YouTube bernama Rana Films yang memang secara sengaja menampilkan video mentah penindakan-penindakan yang dilakukan polisi.
“Tujuan penyebaran konten pada channel Rana Films agar masyarakat dapat lebih waspada bahwa kejahatan dapat terjadi kapan saja dan di mana saja,” begitu keterangan dalam akun YouTube channel tersebut.
Fachrizal menilai, dalih pembelajaran bagi warga ini semacam upaya mencari pemakluman terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh polisi. Ia mencontohkan kasus Ravio Patra, seorang aktivis yang ditangkap oleh polisi tanpa kejelasan. “Sama seperti kasus Ravio Patra tidak ditangkap tapi diamankan. Itu kan gimmick-gimmick yang dikeluarkan untuk menghindari KUHAP,” katanya.
Pengajar Kriminologi Universitas Indonesia Arthur Josias Simon menyatakan kecenderungan mempertontonkan kekerasan di depan kamera justru bisa menimbulkan kerugian bagi institusi Polri.
“Institusi Polri sendiri dengan gambar-gambar yang seperti itu, yang bisa mengkritik bukan hanya keluarga korban, tapi juga pihak lain. Masyarakat yang lain bisa memberikan laporan terkait dengan adanya pelanggaran yang dilakukan penegak hukum dengan adanya gambar-gambar seperti itu,” kata Arthur pada 14 September 2021.
Polisi menurut Arthur harusnya bisa menyajikan konten yang menunjukkan profesionalitas kerja polisi. Hal ini penting agar polisi tak sekadar mempertontonkan tayangan yang berisi sikap arogansi.
“Yang ditonjolkan kan sebenarnya (seharusnya) tindak pidananya seperti apa, kemudian ini bisa ditangani, dan kemudian sekarang sudah dalam proses hukum. Kan intinya itu. Bukan menonjolkan kekerasan,” kata Arthur.
Tim riset: Johanes Hutabarat dan Eben Haezar. Eben adalah mahasiswa magang dari Universitas Multimedia Nusantara.
Tulisan ini adalah bagian dari serial reportase #PolisiBukanPreman yang didukung oleh Yayasan Kurawal.