DUNIA investasi di Indonesia bersorak ketika pada tanggal 30 November 2021, Presiden Direktur PT Hanjaya Mandala Sampoerna Tbk (HMSP), Mindaugas Trumpaitis, mengumumkan akan mengoperasikan pabrik rokok elektrik atau IQOS di Karawang, Jawa Barat, akhir tahun 2022.
Nilai investasi pembangunan perangkat yang dirancang secara khusus untuk memanaskan tembakau itu mencapai 166,1 juta Dolar AS atau sekitar Rp2,3 triliun. Pabrik rokok khusus produk IQOS ini adalah yang kedua di Asia dan ketujuh di Asia Pasifik. Dengan demikian, seperti dikemukakan Menteri Investasi Bahlil Lahadalia, Indonesia menunjukkan potensinya sebagai hub ekspor di kawasan.
HMSP adalah produsen dan penjual rokok terbesar dan pertama di Indonesia yang berdiri sejak 1913. Pada Mei 2005, mayoritas kepemilikan saham perusahaan yang dikelola keluarga Sampoerna itu berpindah tangan ke PT Philip Morris Indonesia, anak usaha dari perusahaan rokok terbesar di dunia, Philip Morris International Inc.
Sebelumnya, pada 8 November 2021, di Kantor Kementerian Sekretaris Negara yang berlokasi di Kompleks Istana Kepresidenan Jakarta, Menteri Sekretaris Negara Pratikno mengembalikan Izin Prakarsa Rancangan Peraturan Pemerintah Tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan.
Pengembalian ditujukan kepada Menteri Kesehatan melalui surat bernomor B-880/M/D-1/HK.02.03/11/2021.
Berselang sekitar dua pekan setelah pengumuman investasi, tepatnya pada 17 Desember 2021, pemerintah melalui Menteri Keuangan Sri Mulyani mengeluarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No 192/PMK.010 Tahun 2021 tentang Tarif Cukai Tembakau Berupa Sigaret, Rokok Daun atau Kobot dan Tembakau Iris, dan diundangkan tanggal 20 Desember 2021.
Peraturan itu berisi tentang kenaikan cukai rokok rata-rata sebesar 12 persen–lebih rendah dibandingkan tahun 2021, sebesar 12,5 persen. Kenaikan yang berlaku sejak 1 Januari 2022, konon dimaksudkan untuk mencapai target penurunan prevalensi merokok usia anak sesuai Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2021-2024.
PP No 109 Tahun 2012
Tiga peristiwa terkait upaya pengendalian tembakau, khususnya pemberantasan perokok anak dan remaja serta maraknya rokok elektrik, tak sulit ditemukan keterkaitannya satu sama lain.
Banyak pertanyaan yang bisa dilontarkan. Pertanyaan besar bermuara pada dikembalikannya PP No 109/2012 bersama Izin Prakarsa kepada Kementrian Kesehatan.
Bagi yang bisa ‘membaca’ seluruh penanda di atas, tak sulit menjelaskan kemandekan dari proses upaya revisi karena benturan keras dari kepentingan lembaga-lembaga yang terkait dengan isu ini, atau irreconcilable conflict of interest, meminjam istilah Widyastuti Soerojo dari The Southeast Asia Tobacco Control Alliance (SEATCA).
Mengapa PP No 109/2012 menjadi penting dalam upaya pengendalian tembakau.
Organisasi nonpemerintah di Jakarta, PRAKARSA, mengungkapkan tiga kunci pentingnya pengendalian produk tembakau.
Pertama, prevalensi merokok di Indonesia naik terus dan berada pada titik yang mengkhawatirkan bagi kualitas kesehatan nasional. Instrumen pengendalian konsumsi merokok belum efektif karena kebijakan pajak dan cukai rokok terlalu rendah.
Kedua, rokok menjadi pengeluaran kedua terbesar setelah beras dan mengakibatkan rendahnya investasi rumah tangga pada tumbuh kembang anak.
Ketiga, rokok merupakan salah satu penyebab penyakit katastropik yang menyedot biaya pelayanan kesehatan.
PP No 109/2012 merupakan turunan dari UU No 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, khususnya Pasal 116 yang menekankan pentingnya peraturan pemerintah mengenai bahan yang mengandung zat adiktif berupa produk tembakau bagi kesehatan.
Sejak awal, PP No 109/2012 yang terdiri dari 65 pasal itu diliputi penolakan. Salah satu alasan paling keras dari penolakan itu adalah: PP No 109/2012 hanya mengatur produk tembakau di dalam negeri, sementara produk tembakau ekspor tidak disentuh.
Di tengah kontroversi itu, Presiden Soesilo ‘SBY’ Bambang Yudoyono mengesahkan PP Nomor 109/2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan dan resmi berlaku pada tanggal 24 Desember 2012.
Melalui PP No 109/2012, setiap bungkus rokok harus mencantumkan peringatan dalam bentuk kalimat dan gambar pada 40 persen bungkusnya. Terdapat lima jenis peringatan kesehatan bergambar yang harus dicantumkan dalam setiap kali produksi.
Lima jenis peringatan itu adalah gambar kanker mulut, orang merokok dengan asap yang membentuk tengkorak, kanker tenggorokan, orang merokok dengan anak di dekatnya dan paru yang menghitam karena kanker.
Gambar kesehatan tersebut harus berwarna pada 40 persen sisi lebar atas bagian depan dan belakang dan tidak boleh tertutup. Sedangkan informasi kesehatan dicantumkan pada sisi samping, seperti kandungan tar dan nikotin, serta kalimat, “Dilarang menjual dan memberikan keada anak di bawah usia 18 tahun dan perempuan hamil.”
Kewajiban untuk mencantumkan Pictorial Health Warning (PHW) atau Peringatan Kesehatan Bergambar pada setiap kemasan rokok itu mulai berlaku pada 24 Juni 2014.
Laporan Global Burden of Disease tahun 2019 yang diluncurkan Institute of Health Metric and Evaluation (IHME), pusat riset kesehatan global independen yang berkantor di University of Washington, Amerika Serikat, mengenai tren merokok 1990-2019, menyebut jumlah perokok dunia pada 204 negara terus bertambah menjadi 1,14 miliar.
Dari laporan itu, Indonesia merupakan pasar rokok kedua terbesar di dunia yang dijual secara eceran. Indonesia mewakili 95 persen dari pasar rokok kretek dengan kecenderungan sasaran konsumen yang semakin menyasar kepada kelompok remaja.
Pada 2011, sebanyak 67 persen laki-laki di Indonesia adalah perokok dan 87 persen orang dewasa terpapar asap rokok di rumah, demikian survei Badan Kesehatan Dunia (WHO).
Upaya revisi
Karena banyak hal penting belum tercakup dalam aturan tersebut, upaya revisi PP No 109/2012 mulai digaungkan pada tahun 2018. Komponen yang dibahas dalam revisi bertujuan untuk mengurangi prevalensi perokok pemula, khususnya anak dan remaja usia 10-18 tahun.
Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 menunjukkan 9 persen dari 67 juta perokok berusia di bawah 15 tahun, dengan seperlima dari setiap 100 remaja adalah perokok aktif. Ditelusur lebih jauh melalui data Kementerian Koordinasi Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK), sebanyak 18,8 persen dari pelajar berusia 13-15 tahun adalah perokok aktif, sementara 57,8 persen dari pelajar kelompok usia sama terpapar asap rokok.
Secara keseluruhan, jumlah perokok usia di atas 15 tahun berkisar 59,86 juta jiwa dengan dua pertiganya adalah laki-laki, demikian Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2021.
Adapun revisi berkaitan dengan empat klausul.
Pertama, terkait peringatan kesehatan bergambar pada bungkus produk tembakau yang dalam PP No 109/2012 adalah 40 persen, ditingkatkan menjadi 90 persen. Kedua, berkaitan pengaturan iklan atau promosi dari produk tembakau.
Ketiga, pengaturan rokok elektrik dengan pemanasan (IQOS), yang belum diatur dalam PP No. 109/2012, dan berpotensi menjebak orang muda. Keempat, pengawasan dalam PP No 109/2012 membutuhkan kejelasan, khususnya penggunaan teknologi digital melalui berbagai platform yang bisa diakses 24 jam. Pengguna Internet di Indonesia adalah ketiga terbesar di Asia dan keenam terbesar di dunia.
Berbagai penelitian menunjukkan besarnya pengaruh media sosial dalam meningkatkan promosi rokok di kalangan kaum muda. Dengan teknologi digital, industri bisa menggunakan wahana apa saja yang dengan bebas merampas ruang publik tanpa pengawasan ketat. Dengan demikian, pengaturan PHW saja menjadi kurang efektif.
Semua klausul dalam upaya revisi sebenarnya sejalan dengan RPJMN 2020-2024 yang memiliki target menurunkan prevalensi merokok anak usia 10-18 tahun dari 9,1 persen menjadi 8,7 persen, sebagai indikator keberhasilan pembangunan sumber daya manusia.
Dalam diskusi virtual dengan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) pada 10 November tahun lalu, Direktur Promosi Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat Kementerian Kesehatan, Imran Agus Nurali, mengatakan Izin Prakarsa kepada Presiden Joko Widodo dan Menteri Kesehatan sudah sampai ke Sekretariat Kabinet (Setkab). Padahal dua hari sebelumnya, Izin Prakarsa itu sudah dikembalikan Menteri Sekretaris Negara kepada Menteri Kesehatan.
Tak bisa dihindari pula, perbenturan keras antara pihak yang mendukung revisi dengan pihak-pihak yang anti dan menolak revisi. Pihak yang menolak revisi melihat usulan dalam revisi jauh lebih ketat dibandingkan Framework Convention on Tobacco Control (FCTC). Sebagai catatan, Indonesia merupakan satu-satunya negara di Asia yang belum menandatangani dan meratifikasi FCTC.
Menengarai Arah Kebijakan
Pertanyaannya kemudian, mengapa Peraturan Pemerintah Tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 109/2012 dikembalikan kepada Menteri Kesehatan?
Dalam surat pengembalian tersebut dikatakan, pengembalian Izin Prakarsa PP No 109/2012 dilakukan setelah menerima masukan dari Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia, Forum Warga Kota Indonesia, Komite Nasional Pengendalian Tembakau, Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, Perkumpulan Onkologi Indonesia, Dahlan Tobacco Control, Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPRI) Gabungan Produsen Rokok Putih Indonesia (Gaprindo) dan Forum Masyarakat Industri Seluruh Indonesia (Formasi), yang menyampaikan pandangan atas materi perubahan regulasi.
Dalam surat itu juga dinyatakan, agar permohonan Izin Prakarsa Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Perubahan atas PP No 109/2012 itu terlebih dahulu dilakukan pengkajian secara komprehensif atas konsepsi RPP tersebut bersama kementerian/lembaga terkait dan melibatkan partisipasi publik.
Dari masukan dan keputusan pencabutan Izin Prakarsa yang termuat dalam selembar surat itu, tak sulit menengarai kecenderungan yang terjadi.
Sekretaris Kabinet Trikawan J. Iswono dalam webinar yang digelar Universitas Ahmad Yani Cimahi, Jawa Barat, Oktober 2021, mengatakan revisi PP No 109/2012 dikhawatirkan memperparah kondisi industri rokok yang produksinya sudah menurun tajam.
Catatan Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan memperkirakan produksi rokok turun hingga 3,3 persen tahun 2021. Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI) mengatakan, produksi rokok terus turun sejak tahun 2013.
Alasan lain, data.
“Data yang digunakan dalam RPJMN 2020-2024 yang menjadi fondasi revisi PP No 109 merupakan data Riskesdas 2018 yang dikeluarkan Kemenkes lima tahun sekali, jadi ini data lama. Kalau melihat data Susenas BPS 2020, kami melihat trend perokok anak sangat menurun yaitu 3,81 persen. Jadi kami harus hati-hati mengeluarkan kebijakan publik. Ini juga menjadi pertimbangan kami dalam menanggapi PP No 109/2012,” ujar Trikawan.
Dihubungi seusai rapat sektoral daring Januari lalu, Rama Prima Syahti Fauzi, Kepala Bidang Penyakit Tidak Menular Kemenko PMK, mengatakan, pelaksanaan PP No 109/2012 berhasil menurunkan prevalensi merokok pada usia di atas 10 tahun dari 29,3 persen pada 2013 menjadi 28,9 persen pada 2018.
“Tetapi pada anak di bawah 18 tahun prevalensinya justru naik dari 7,2 persen menjadi 9,1 persen. Ini yang perlu menjadi catatan,” ujar Rama.
Yang jelas, dengan pengembalian Izin Prakarsa, proses revisi tidak bisa berlanjut.
Trikawan mengatakan, pada dasarnya pemerintah tidak ingin revisi PP No 109 Tahun 2012 ini menimbulkan ‘shockwaves’ yang kuat bagi industri rokok dan industri hasil tembakau (IHT).
Selanjutnya kita amati pemasukan negara dari cukai.
Dalam APBN dan Fakta Kementerian Keuangan edisi Maret 2021 dikemukakan, cukai hasil tembakau (CHT) masih menjadi sumber utama Kepabeanan dan Cukai, yakni sekitar 96,7 persen. Dalam APBN 2021, target penerimaan cukai sebesar Rp180 triliun, sementara penerimaan dari cukai hasil tembakau Rp173,78 triliun. Ekspor rokok juga menyumbang 1,66 persen dari total Pendapatan Domestik Bruto (PDB).
Meski demikian, jumlah itu harus dipertimbangkan signifikansinya dibandingkan biaya akibat penyakit katastopik sebagai dampak jangka panjang merokok termasuk tahun-tahun hilangnya produktivitas manusia. Ironisnya, justru ini yang kurang mendapat perhatian.
Penasihat Riset Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI) Teguh Danarto pada Oktober 2021, mengatakan kalau cukai rokok naik 30 persen bahkan sampai 45 persen, sebenarnya tidak memengaruhi output perekonomian, malah menambah penerimaan negara sampai Rp9,92 triliun.
Data terakhir WHO juga mengungkapkan, kenaikan cukai hasil tembakau 25 persen per tahun selama lima tahun mulai tahun 2022, justru akan mengurangi 4,8 juta perokok, satu juta kematian dan menahan kerugian antara Rp102,8 sampai Rp254,8 Triliun.
Hati-hati Terkecoh!
Estimasi biaya ekonomi penggunaan tembakau penting bagi pembuat kebijakan, terutama dalam merencanakan penyediaan layanan kesehatan dan pengeluaran publik lainnya.
Salah satu temuan dari kajian CISDI, The 2019 Health Care Cost of Smoking in Indonesia, beban Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan terkait smoking attributable direct expenditure (SDE) atau biaya langsung akibat merokok sangat tinggi, antara 56,3 persen hingga 58,6 persen. Kalau seluruh biaya termasuk rawat inap ditanggung, jumlahnya mencapai 86,3 persen sampai 87,6 persen dari anggaran BPJS.
Biaya perawatan kesehatan yang tidak ditanggung oleh Program Jaminan Kesehatan Sosial Nasional (JKN) bakal menjadi beban individu, antara 41,4 persen dan 43,7 persen. Bagi masyarakat menengah bawah, situasi itu berpotensi membuat spiral kemiskinan sulit diputus.
Pengeluaran perawatan kesehatan meningkat dengan bertambahnya usia perokok yang mencapai tingkat maksimum pada kelompok usia 50-59 tahun.
Menurut audit BPJS Kesehatan tahun 2019, defisit JKN mencapai kisaran Rp17 triliun, dengan akumulasi defisit sejak program ini dimulai pada 2014, mencapai Rp51 triliun. Tanggungan BPJS Kesehatan meliputi 60-90 persen dari biaya total defisit JKN.
Bila tidak ada perubahan perilaku, Kementerian Keuangan memproyeksikan akumulasi defisit skema pembiayaan BPJS Kesehatan untuk beban pasien akan terus meningkat hingga Rp72,6 triliun pada 2047.
Studi CISDI juga menemukan bahwa naiknya prevalensi merokok meningkatkan biaya kesehatan akibat merokok tahun 2019, adalah antara Rp17,9 triliun (0,1 persen dari PDB) hingga Rp27,7 triliun (0,2 persen dari PDB).
Pada tahun yang sama, pemerintah mengalokasikan Rp5,8 triliun dari pajak rokok daerah untuk JKN. Pemerintah daerah juga diamanatkan untuk mengalokasikan Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBHCHT) sebesar Rp1,6 triliun untuk mendukung kesiapan sisi penawaran dan menutupi iuran JKN masyarakat miskin dan pekerja yang kena PHK.
Beban BPJS Kesehatan untuk menutupi SDE jauh lebih tinggi dari perkiraan alokasi maksimum pajak daerah 2019 dan DBHCHT yang jumlahnya Rp7,4 triliun (26,7 persen dari SDE).
Kebijakan cukai tembakau tahun 2020 juga tidak cukup untuk menutup biaya merokok karena pemerintah hanya mengalokasikan sebagian kecil untuk JKN. Disesuaikan dengan inflasi, biayanya mencapai sekitar Rp18,2 hingga Rp28,2 triliun.
Sedangkan alokasi untuk JKN maksimal Rp8,1 triliun (terdiri dari Rp6,4 triliun dari pajak rokok daerah dan Rp1,7 triliun dari DBHCHT). Penerimaan pajak tembakau pada tahun 2020 adalah Rp170,2 triliun.
Oleh karena itu, klaim industri tembakau bahwa cukai rokok telah membantu JKN merupakan manipulasi opini publik.
Tulisan ini merupakan bagian dari serial #TobaccoDeadlock yang ingin memeriksa mengapa diskusi dan kebijakan tentang pengendalian tembakau kerap menghadapi jalan buntu. Serial ini didukung oleh dana hibah dari Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia. Dana hibah tidak memengaruhi independensi redaksi Project Multatuli.