SALASA MUHAMMAD punya mimpi sederhana. Ia ingin memberikan sebuah cincin dan gelang kepada istrinya, Siti. Cincin merah biru tertulis “Siti” dan gelang biru pekat dengan nama “Itty”. Dua permata perhiasan itu terbuat dari pipa plastik berkilau samar.
“Siti itu saya pe maitua pe nama panjang. Kalu Itty itu panggilan sayang,” kata Salasa tertawa lepas. Gusi merahnya terlihat jelas tanpa sebatang gigi.
Meski keriput, wajahnya tetap berseri-seri. “Cincin deng galang ini akang saya kase pa maitua kalu so pulang, langsung kase pasang di tangan to, haha…” lanjut Salasa di pendopo kunjungan Rumah Tahanan (Rutan) Kelas IIB Soasio, Tidore Kepulauan, Maluku Utara.
Umar Manado yang duduk di sampingnya ikut tertawa. Umar mengenakan peci putih, setelan kaos berkerah garis-garis, sambil melipat kaki di lantai. Sebelum meneguk sebotol air, Umar melirik Kamaria dan Nahrawi Salamuddin yang duduk berimpit di pojok pendopo.
“Dong bae, maitua datang,” kata Umar pelan mendekat di telinga saya setelah melirik suami istri itu saling bersukacita mesra, “bisa baku dempet turus, me torang dua ni?” Sambil menatap Salasa, kedua tetua adat Maba Sangaji itu tertawa sampai tersedak. Hari itu, seisi pendopo ikut hangat meski tak tahu apa yang kami obrolkan.
Sejak ditangkap polisi pada 18 Mei 2025, Salasa dan Umar belum pernah bertemu lagi istri mereka. Siti dan Hawa (istri Umar) sudah tua, sulit berjalan jauh, apalagi menyeberang sampai ke Tidore. “Bolom baku dapa, maitua juga so tua jadi tara bisa kamari, cuma ana-ana saja yang sering datang [besuk],” kata Salasa.
Salasa dan Umar adalah dua tokoh adat Maba Sangaji, Kecamatan Kota Maba, Halmahera Timur. Salasa kerap disapa tete malawang, karena gelang di tangan kirinya tertulis “malawang” yang berarti melawan. Ia berusia 87 tahun, rambutnya penuh uban dan menipis, kulitnya keriput. Umar, 67 tahun, meski juga beruban tetapi badannya masih kekar dan tinggi.

Salasa dan Umar ditangkap bersama 9 masyarakat adat Maba Sangaji lainnya. Mereka kini berada di Rutan Soasio sambil menjalani persidangan di Pengadilan Negeri Soasio, Tidore Kepulauan.
Mereka ditetapkan sebagai tersangka oleh Polda Maluku Utara satu hari setelah ditangkap di hutan adat saat melakukan ritual atau tolak bala karena wilayah adatnya yang dibongkar untuk ditambang nikel oleh PT Position, anak usaha Harum Energy yang didirikan konglomerat batubara Kiki Barki.
Sebelas masyarakat adat Maba Sangaji ini telah menjalani tujuh kali sidang di Pengadilan Soasio. Rencananya, sidang putusan akan digelar pada tanggal 16 Oktober 2025.
Umar, bersama Salasa, Sahrudin, Alauddin, Nahrawi, Yasir, Hamim, Sahil, Jamal, Julkadri, dan Indrasani, didakwa dengan pasal berlapis, Pasal 2 ayat (1) UU Darurat No. 12 Tahun 1951 karena membawa senjata tajam tanpa hak, Pasal 162 UU Minerba juncto Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP karena mengganggu aktivitas pertambangan, dan Pasal 368 KUHP tentang pemerasan.
Kisah Awal Perlawanan
Umar kecewa setelah membaca surat dakwaan tertanggal 28 Juli 2025 dari Kejaksaan Negeri Halmahera Timur. Dalam pengakuannya, surat dakwaan itu memuat keterangan dan uraian kronologi yang berkebalikan dengan penjelasannya saat pengambilan berita acara pemeriksaan.
“Surat itu yang benar cuma tanggal torang dapa tangkap, tapi dia pe isi bafoya [bohong] samua,” kata Umar di rutan, pada akhir Juli. “Saya mo luruskan, torang ini pigi di utang tara aksi, torang kadara bikin ritual adat, dan itu bukan lokasi perusahaan, tara benar kalu bilang itu lokasi tambang, itu wilayah hutan adat.”
Umar bukan sembarang orang di kampung. Ia adalah kapita darat di bawah Gimalaha Maba Sangaji. Gimalaha adalah gelar ketua adat, setara kepala kampung, yang kini dipimpin Thaib Muhammad. Dalam struktur dan kerja perangkat adat di Halmahera Timur, Gimalaha berada di bawah Sangaji Maba atau pejabat adat setara gubernur yang ditunjuk langsung oleh Kesultanan Tidore. Meski begitu, Sangaji Maba tetap menjadi daerah swatranta atau otonom.
Sebagai kapita, Umar bertugas menjaga hutan, sungai, dan sumber kehidupan kampung dari segala macam ancaman. Ketika ada aktivitas pertambangan yang merusak hutan adat, Umar berdiri paling depan. Ia tahu, setiap pohon yang tumbuh, setiap aliran air di Kali Sangaji, adalah urat nadi kehidupan.
“Saya ini so menyatu dengan tanah ini,” kata Umar. Suaranya bergetar, tapi sorot matanya tajam. “Jadi kalau ada yang kase rusak tanah itu, saya paling marah.”
Umar dan warga Maba Sangaji baru mengetahui adanya aktivitas pertambangan di hutan adat pada akhir 2024, meski izin telah dikeluarkan pemerintah sejak 2017. Desas-desus tentang penyerobotan hutan dan lahan warga mulai menyebar luas saat itu.
Orang-orang kampung mulai membicarakan banjir Kali Sangaji yang meluap, merendam kebun-kebun pala, kelapa, sagu, dan tanaman warga. Sungai Sangaji, sungai induk yang telah lama menghidupi warga, berubah keruh, airnya memerah lumpur, dan tidak pernah terlihat jernih.
“Saya pe kobong di dekat Kali Sangaji banyak tanaman yang rusak karena banjir. Awalnya kira banjir biasa, tapi lama-lama tanaman mati. Kalu banjir biasa kan tara sampe tanaman mati,” cerita Umar.
Pada Desember itu juga, warga, perangkat adat, dan perangkat desa menggelar rapat. Mereka tidak tahu apa-apa soal aktivitas PT Position di kawasan hutan adat. Tidak lama kemudian, perusahaan datang ke kampung. Saat itu perusahaan menggelar sosialisasi perekrutan pekerja. Warga marah, dan pertemuan pecah menjadi perdebatan.
Perusahaan lalu mengundang Kepala Desa Kasman Mahmud secara diam-diam. Mereka menyepakati “tali asih” atau kompensasi pembebasan lahan yang dihargai murah, yakni Rp2.500 per meter. Keputusan itu tidak melibatkan warga.
Baru setelah adanya rumor warga akan menghentikan aktivitas tambang beredar di kampung pada awal Januari dan Februari 2025, pemerintah desa kemudian mengumpulkan warga dan membuka isi rapat. Kasman mengaku perusahaan akan memberikan tali asih bagi warga yang lahannya digusur, tetapi warga menolak. Rapat bubar tanpa kesepakatan.
“Setelah itu, torang tunggu, apakah ada kabar dari perusahaan soal tanggung jawab, karena dorang so kase rusak hutan di dara, torang bolom tau apa saja yang so rusak. Tapi sampe bulan April, kapala desa me cuma babadiam, akhirnya torang bakumpul lagi, baku spakat kadara langsung,” tambah Umar.
Warga merasa tak ada jalan lain selain mereka sendiri yang menghentikan aktivitas tambang. Mereka tidak percaya lagi pada perangkat desa yang dinilai sudah jadi ‘kaki tangan’ perusahaan.
Pada 16 April, warga kembali berkumpul dan bersepakat ke lokasi hutan adat yang telah dibongkar perusahaan. Keesokan harinya, sekitar 15 warga menggunakan perahu ketinting menyusuri Sungai Sangaji yang telah keruh. Rombongan ini tiba di lokasi pukul 3 sore, sambil menunggu yang lain hingga besok siang.

Pada 18 April, Umar dan rombongan warga memasuki wilayah hutan adat di daerah Kaplo, Semlowos, hingga kawasan bersejarah Guomanei.
Kaplo adalah mata air, Semlowos adalah hutan pala. Sementara Guomanei, menurut cerita adalah seorang manusia berbadan besar dan tinggi, bukan suanggi atau setan yang umum didengar. Masyarakat mengartikan Guomanei sebagai penjaga hutan.
Umar tersentak saat menyaksikan kawasan leluhur Maba Sangaji yang sangat dihormati dan disegani itu berubah jadi kawasan gersang dan tandus serupa hamparan gurun pasir.
Hutan pala, pohon damar, gaharu, kenari, kayu besi, gofasa, hingga tanaman obat tradisional di wilayah adat hanya tersisa sebagian. Tinggal menunggu waktu, pikirnya. Alat-alat berat tambang terlihat di sana-sini, mengeruk tanah dan membongkar bukit, sisa urugan mengalir ke anak-anak sungai Sangaji, meninggalkan bekas lubang-lubang panjang di perbukitan yang sebelumnya rimbun.
“Torang orang Maba anggap hutan di daerah Kaplo, Semlowos, deng Guomanei itu tampa keramat, tampa leluhur hidup, jadi pas lia langsung saya pe aer mata jato. Dong [alat-alat berat tambang] so kase rusak samua, kase ilang samua,” kisah Umar.
Umar dan rombongan lalu bertemu dengan pekerja dan satpam. Warga menyampaikan tuntutan agar perusahaan harus berhenti menambang di wilayah hutan adat. Sebagai jaminan, warga menyita sebanyak 17 kunci mesin alat berat agar aktivitas penambangan dihentikan.
Tak lama, polisi bersenjata lengkap muncul, diikuti dua tentara dan tujuh satpam perusahaan. Suasana jadi menegangkan, namun akhirnya kunci mesin diserahkan secara simbolik oleh pekerja dengan tanda pengikat lalu dibawa pulang ke kampung.
Bagi warga, penyerahan kunci itu tanda ‘kemenangan kecil’ atas hutan yang telah tergusur.
Namun, sesampainya di kampung, sebelas warga menerima surat panggilan dari polisi. Nama-nama dicantumkan secara serampangan, bahkan ada seorang warga yang tak ikut ke hutan adat masuk dalam daftar panggilan, kata Sahil.
Sejak saat itu, aparat desa, polisi, bahkan bupati dikabarkan ikut mendesak warga memenuhi panggilan polisi. Ancaman dan intimidasi menghantui rumah-rumah warga Maba Sangaji setiap hari.
“Torang sepakat tolak tara hadiri panggilan klarifikasi polisi, waktu itu aparat desa deng polisi datang ke rumah-rumah warga, ancam-ancam. Bahkan bupati sandiri kase pesan di kepala desa supaya datang kase keterangan di polisi,” kata Sahil.
Pemerintah desa lalu kembali menggelar rapat pada 28 April, untuk menekan warga menerima tali asih. Daftar hadir yang diedarkan ternyata dimanipulasi menjadi “daftar kesepakatan” untuk mendapatkan tanda tangan warga. Warga marah, situasi rapat ricuh, lalu mengambil kertas itu, di foto, kemudian disobek-sobek.
Malam berikutnya, 29 April, dua warga diangkut paksa dan interogasi di rumah salah satu anggota polisi Polsek Maba Selatan. Warga lain datang menjemput mereka, tetapi esok harinya, keduanya dijemput lagi, diancam akan dipenjarakan dengan pasal berlapis.
Pada 30 April, surat panggilan pertama sebagai saksi dikeluarkan polisi. Ada tiga nama tercantum dalam surat. Lalu pada malam 2 Mei, seorang polisi menelpon salah satu dari tiga warga.
Polisi itu bertanya dengan nada mengancam, “Apakah sudah menerima surat panggilan?”
Ritual yang Berakhir Ditangkap, Dituduh Preman
Falsafah Tiga Negeri Gamrange: Maba, Patani, Weda: Ngaku re Rasai (persaudaraan), Budi re Bahasa (budi dan bahasa), Sopan re Hormat (sopan dan hormat), dan Mtat re Mimoy (takut dan malu).
Pada 3 Mei malam, Sahil, Umar, dan beberapa warga berkunjung ke rumah Ibrahim Haruna, sang Sangaji Maba. Sebagai pimpinan adat di Halmahera Timur, warga Maba Sangaji mesti datang siloloa atau meminta pendapat Ibrahim terkait masalah di kampung.
Pertemuan itu mendiskusikan bagaimana Falsafah Gamrange atau Fagogoru memandang adanya aktivitas pertambangan nikel yang telah merusak hutan adat dan sungai orang Maba Sangaji.
Hasilnya: kegiatan ekstraktif tambang dinilai sangat bertentangan dengan nilai-nilai yang diwariskan leluhur tiga negeri itu.
Umar mengatakan falsafah ini jadi pedoman hidup untuk menilai baik buruk suatu perkara dan tanda-tanda perubahan zaman.
Ngaku re Rasai disebut jadi dimensi dasar, yang berarti pengakuan hubungan manusia dengan tuhan atau hablum minallah: pengakuan sebagai manusia yang lemah dihadapan Tuhan, dan hubungan persaudaraan tanpa melihat latar sosial. Merusak hutan tempat hidup manusia sama halnya dengan melawan hubungan dengan Allah.
Budi re Bahasa diartikan sebagai perilaku dan tutur bahasa yang terjaga, terutama komunikasi dengan pemilik tanah ulayat. Namun, nilai ini tidak tercermin ketika sebelum dan sesudah perusahaan melakukan aktivitas pertambangan.
Hal yang sama dengan Sopan re Hormat atau sikap perilaku, kesantunan, dan rasa hormat. Perusahaan dinilai tidak sopan dan tidak menghormati masyarakat adat, sebab merusak hutan adat dan mencemari sungai Maba Sangaji yang diwariskan leluhur masyarakat fagogoru.
Ibrahim, kata Sahil, setuju kalau aktivitas tambang di hutan adat melanggar Falsafah Fagogoru. Ia mendukung perjuangan masyarakat Maba Sangaji memberikan denda adat kepada perusahaan dan melakukan ritual.
Saat memberi kesaksian di pengadilan 16 Agustus lalu, Ibrahim mengakui bahwa masyarakat adat Maba Sangaji sudah datang menemuinya. Ia setuju warga ke lokasi beri denda, hentikan aktivitas tambang, dan bikin ritual adat. Sementara, terkait senjata tajam, Sangaji Maba itu tidak keberatan karena alat itu biasa dibawa ke hutan sebagai pelindung diri.
Senin pagi, 5 Mei, Ibrahim datang ke Maba Sangaji menemui Thaib Muhammad, sebagai Gimalaha. Ia perintahkan Thaib mengumpulkan seluruh perangkat adat. Saat itulah, Ibrahim memberikan mandat sepenuhnya kepada Gimalaha Maba Sangaji untuk menggelar rembuk adat membicarakan masalah penambangan di wilayah hutan adat di wilayah Gimalaha.
Rembuk adat dilakukan di rumah Thaib bersama perangkat adat dan sebagian besar masyarakat Maba Sangaji. Seisi ruangan penuh hingga menumpuk di pekarangan.
Pada 9 Mei, rembuk adat itu digelar lagi. Thaib meminta Sahil menjadi moderator dan mencatat pembahasan dalam rembuk adat malam itu.
Ada tiga poin yang disimpulkan dalam rapat, yakni desakan agar perusahaan angkat kaki, perusahaan membayar denda kerusakan, dan warga membuat ritual adat di wilayah tambang.
Menurut Sahil, tuntutan dan denda adat dihitung dari seluruh kerugian ekologi, mulai dari rusaknya hutan pala dan keanekaragaman di wilayah adat sejak ratusan tahun silam, saat ini, dan generasi berikutnya yang tidak akan lagi menikmati wilayah adat itu karena telah rusak.
“Selama rembuk adat, tidak ada pembicaraan mengenai tali asih atau kompensasi. Tokoh-tokoh adat yang berkumpul itu bicarakan soal masalah tambang di hutan, surat keberatan adat, denda adat, sekaligus bacarita perusahaan harus angkat kaki.”
Malam tanggal 14 Mei, sehari sebelum berangkat ke hutan adat, wilayah yang telah dibongkar tambang, masyarakat kembali berembuk membicarakan teknis membuat ritual di hutan adat. Thaib diwajibkan ikut agar memimpin langsung pembacaan surat keberatan, denda adat, sekaligus ritual.
Atribut adat juga disiapkan dari mulai pakaian, bendera, dan pengikat kepala atau topi palelis lambang Gimalaha. Begitu juga dengan peralatan yang dibawa di hutan seperti parang, tombak, panah, ketapel, tali, terpal, pakaian ganti, beras, air galon, dan makanan sebagai bekal.
Keesokan paginya, saat masyarakat sedang bersiap-siap, Thaib membatalkan rencana untuk ikut karena kurang enak badan. Ia lalu menandatangani surat denda adat yang dikeluarkan tertanggal 9 Mei itu.
Agar ritual dan kegiatan adat tetap berjalan, Thaib juga menyerahkan mandat kepada Sahil secara langsung. Sebagai orang muda Maba Sangaji, Sahil terima amanat ketua adat itu. Beberapa pengurus adat juga tidak ikut. Pakaian adat mereka lalu dimandatkan kepada warga yang berangkat.
Sahil dan rombongan masyarakat adat yang berjumlah 30 orang itu memulai perjalanan panjang menggunakan perahu ketinting menyusuri aliran Sungai Maba Sangaji. Warga mengantarkan rombongan ini dengan doa dan harapan: berangkat dalam keadaan sehat, pulang juga dalam keadaan sehat.
Tetapi siang itu, ada seorang tentara yang terlihat mengambil gambar dari atas jembatan.
Perjalanan tetap berlanjut. Butuh waktu sekitar 4 jam untuk mereka tiba. Karena sudah sore, Sahil dan warga bersepakat menginap di emperan sungai yang berdekatan dengan daerah Guomanei dan bersepakat melanjutkan perjalanan ke wilayah adat Kaplo keesokan harinya.
Jumat pagi, 16 Mei, 27 warga melanjutkan perjalanan kaki ke Kaplo sementara tiga lainnya menunggu di sungai sambil menjaga perahu ketinting.
Di tengah perjalanan, sekitar dua ratus meter dekat kamp perusahaan, terdengar satu kali suara tembakan: TANGGG! Suara itu nyaring dan bergema di belantara hutan yang telah diklaim berada di wilayah konsesi tambang.
Warga menduga suara itu adalah tembakan peringatan.
Saat tiba, sudah ada beberapa satpam, termasuk tentara, puluhan polisi dan brimob bersenjata lengkap. Para pekerja terlihat beristirahat. Sahil dan warga kemudian berbicara dengan aparat dan pekerja yang ada. Mereka ingin bertemu dengan pimpinan perusahaan, bukan perwakilan atau bawahan. Tetapi orang yang mereka cari tidak ada.

Umar lalu mengarahkan Sahil dan warga membangun tenda terpal di dekat jalan. Tak jauh dari situ, mereka juga bentangkan spanduk besar berwarna hitam dengan tulisan, “Tanah adat bukan tanah negara, tambang harus tumbang”.
Malamnya, mereka masak-masak dan makan. Sebelum istirahat, ada polisi, tentara, dan brimob yang mondar mandir mengepung tenda. Warga tak menggubris, aparat ini lalu bubar.
Esoknya, 17 Mei, warga mendatangi lagi mes perusahaan. Mereka menanyakan kapan petinggi perusahaan menemui mereka. Tak berapa lama saat balik ke tenda, sekelompok brimob bersenjata lengkap melaju dengan mobil LV milik perusahaan mendatangi warga yang berkumpul di depan tenda.
“Orang yang aksi di sini tu yang mana!?” teriak salah satu brimob tanpa turun dari mobil.
“Di sini tarada orang yang aksi!” sergah Alauddin.
“Torang tara tau yang aksi di mana!”
Mobil itu langsung putar balik dengan kasar.
Karena menipisnya persediaan air di tenda, Sahil, Jamal, Nahrawi, dan Udin lalu mencari mata air terdekat di daerah Tutungan dan Kaplo. Mereka membawa galon dan parang di sangkur. Sekelompok polisi bersenjata mengawal keempat warga ini. Di tengah mencari mata air, namun tidak temukan karena mata air sudah rusak, aparat itu justru mencoba mengepung mereka tetapi tidak berhasil.
Setelah pulang, terdengar lagi suara dari salah satu aparat yang berteriak keras: “Ngoni pulang sana!” Secara spontan, warga kaget. Polisi itu lalu didatangi dan ditanyakan maksudnya apa. Kemudian, sekali lagi warga bertanya, “Kira-kira kapan pihak perusahaan datang bakudapa torang?”
Namun masih tak ada jawaban pasti. Warga menginap lagi semalam.
Minggu siang, 18 Mei, warga didatangi brimob dan tentara. Aparat gabungan ini menyampaikan bahwa perwakilan perusahaan telah datang dan bersedia menemui warga.
Aparat dan warga bikin kesepakatan: tidak ada yang bawa senjata tajam saat pertemuan. Warga juga menyampaikan akan membaca surat keberatan, denda adat, dan diakhiri dengan ritual adat. Permintaan itu diindahkan.
Warga bersiap-siap. Umar, Sahil, dan beberapa warga mengenakan pakaian adat. Parang, tombak, dan semua peralatan berupa senjata tajam disimpan di dalam tenda. Senjata tajam itu memang dibawa hanya untuk keperluan di hutan seperti mengambil kayu bakar, memasak, dan berjaga sewaktu-waktu ada hewan buruan rusa.
Pertemuan itu hanya beberapa langkah dari tenda. Sahil, mengenakan pakaian adat Gimalaha dari Thaib, dan Umar sebagai Kapita Darat, memimpin di depan. Heri Riadi bersama beberapa perwakilan perusahaan telah ada di lokasi. Belakangan Heri diketahui hanyalah seorang pekerja biasa, bukan petinggi perusahaan.
Sahil membuka lembar pertama surat keberatan diapit dengan surat denda, ia baca satu persatu:
Perkenalkan, kami masyarakat adat Maba Sangaji yang hidup secara turun temurun menjaga hutan pala Sangaji serta sungai besar Sangaji yang telah lama menjadi sumber kehidupan kami beratus tahun lamanya. Surat keberatan ini kami sampaikan sebagai bentuk kemarahan kami dan protes atas kerusakan ruang hidup kami di hutan Maba, Halmahera Timur.
Bahwa berdasarkan kerusakan skala meluas dan massif yang terjadi dan telah merugikan masyarakat adat Maba Sangaji, kerusakan hutan, kerusakan sungai, dan ekosistem sumber-sumber kehidupan, maka kami menuntut:
- Perusahaan harus membayar denda adat atas tindakannya selama ini yang merusak hutan, sungai, dan kebun warga kepada masyarakat adat Maba Sangaji;
- Perusahaan harus menghentikan seluruh kegiatan penambangannya dan pergi dari hutan adat Maba Sangaji;
- Pemerintah harus menjalankan proses penertiban dan penegakan hukum bagi tindakan pengrusakan hutan dan sungai di Maba Sangaji, Halmahera Timur.
Sahil lalu melanjutkan dengan membacakan denda adat. Dalam surat itu, denda adat yang dikenakan adalah sebesar Rp500 miliar. Denda adat tersebut harus diserahkan kepada masyarakat adat Gimalaha Maba Sangaji selambat-lambatnya pada 19 Mei 2025.
Setelah menyerahkan surat itu, warga bersiap menggelar ritual penancapan bendera kabasarang atau empel.
Bendera kabasarang itu berwarna dasar dominan merah dan putih memanjang. Motif bulan sabit mengitari bintang di bagian atas dengan latar merah, bagian lain berpadu dengan warna putih. Secara simbolis, lambang bendera ini representasi identitas dan kedaulatan masyarakat adat, juga perlawanan.
Kain bendera itu diikat pada sebuah kayu bulat setinggi kurang lebih 10 meter. Puluhan warga berhimpitan memegang tiang. Umar duduk berjongkok memegang bagian bawah tiang bersiap baca bobeto atau mantra-mantra. Sedang Sahil, berdiri bersiap menerjemahkan bait-bait kalimat bobeto ke dalam bahasa sehari-hari.
Sebelum bobeto dimulai, Umar mengiringinya dengan salawat, tapi suasana mulai tegang. Rombongan aparat makin mendekat saat ritual di mulai.
Umar memulai:
“Taita emceben na agoom to, jadi taitabon lamabon contong au ce, bon pating au ce, entof au pari, en farusak au pari, maggotol simpop, bom fimtsi. Bo perusahaan i pari, bo kariyawan i pari, bo polisi i pari, bo tentara i pari, atau smat fapnu i pari, maggotol simpop bom fi motsi…”
Saya minta Umar dan Sahil menerjemahkan bobeto ini dalam bahasa sehari-hari saat berkunjung ke rutan pada 26 Agustus:
“Sekarang ini kamu sudah berdiri di tempatmu, jadi siapapun yang datang mau menyentuhmu, mau mencabutmu, mau mendorongmu, atau mau merusakmu, silahkan cekik saja mereka sampai mati sekaligus, mau itu perusahaan, karyawan, polisi, tentara, atau orang kampung yang sudah berkhianat, cekik saja mereka sampai mati sekaligus…”
Bait-bait bobeto itu sebetulnya belum selesai Umar mantrakan, aparat yang telah siap siaga dari belakang langsung menyergap dan menangkap paksa warga satu per satu.
Umar yang jongkok langsung dipiting, tangannya dilipat ke belakang. Lutut Sahil ditendang dari belakang dan tersungkur ke tanah, lalu dipiting, tangannya diborgol.
Topi adat palelis yang Sahil kenakan terlepas dari kepala, hilang. Bendera kabasarang jatuh ke tanah.
“Hari itu bendera jato, baku tangkap kong so tara tau, polisi, brimob, deng satpam dong injang-injang.”
Meski telah diseret, Umar yang melihat Sahil dikeroyok berusaha melerai, namun karena dalam kondisi terjepit, satu pukulan keras mengenai mulutnya sampai berdarah. Sahil diseret dan ditendang masuk ke dalam mobil. Kepalanya menanduk besi tempat duduk.
Salasa dan warga yang memegang tiang bendera adat dikeroyok seperti semut berebut makanan. Jamal, Alauddin, Nahrawi, dan puluhan warga, termasuk anak di bawah umur, dipukuli secara membabi buta, diseret, lalu dipaksa masuk ke dalam mobil.
Mobil-mobil perusahaan yang dipakai oleh aparat telah siap siaga di jalan. Mesin sudah hidup lebih awal. Tak ada warga yang melarikan diri. Semuanya diborgol dengan pasung besi dan belalang, lalu diseret dan dibawa masuk ke mobil.
Hari itu langit cerah, tetapi situasinya mencekam.
Mobil LV itu kemudian melaju kencang dari belantara hutan Maba Sangaji. Selama perjalanan, Sahil dijaga ketat dua polisi. Kepalanya ditodongkan pistol, bagian rusuk senjata laras panjang. Ia dicaci maki terus menerus.
Di tengah perjalanan, beberapa mobil berhenti tepat di pos jaga PT Halmahera Sukses Mineral, tambang nikel lain di wilayah Halmahera Timur. Sahil izin turun kencing, tetapi tetap dikawal terus dua polisi itu tanpa melepaskan senjata api.
“Saya kencing kong turun di pos jaga. Pas turun mo kencing dikawal dua polisi itu. Satu pegang pistol satu pegang senjata. Saya minta dong buka saya pe resleting celana. Saya suru jangan liat saya pe kemaluan, haha,” cerita Sahil tertawa kecil mengingat peristiwa itu.
Mobil terus melaju sampai di Trans Halmahera, kemudian berhenti lagi di kantor Polsek Ekor, Kecamatan Wasile Selatan, sudah memasuki sore. Polisi yang ikut mengawal ritual warga di hutan melapor ke pimpinan kalau pekerjaan sudah beres.
Tak lama, mobil-mobil itu tancap gas hingga berhenti di sebuah pelabuhan kecil di Sofifi. Sahil dan puluhan warga adat diturunkan dan diseret lagi naik ke dalam speedboat. Mereka berhenti di pelabuhan dekat kantor Dit Reskrimum Polda Maluku Utara selepas magrib.
Tanpa didampingi pengacara, penyidik polisi langsung memaksa warga memberikan keterangan untuk berita acara pemeriksaan. Sebagian warga menolak, yang lain dipaksa bicara. Keesokannya, 27 orang ini dibawa lagi ke Mapolda Maluku Utara untuk diperiksa.
Setelah BAP rampung, peralatan yang dibawa warga dipakai polisi jadi barang bukti, bagian humas polisi langsung menyebarkan siaran pers: 16 orang dibebaskan, 11 orang ditetapkan tersangka dengan tuduhan melakukan aksi premanisme.
Yang dibebaskan, siang itu langsung diantar oleh polisi pulang ke kampung.
Sementara di kampung, istri, anak-anak, dan orangtua mereka tidak tahu kejadian brutal. Orang-orang kampung masih berharap anak, suami, dan saudara-saudara mereka yang berjuang di hutan masih dalam keadaan sehat, dan akan pulang dalam keadaan sehat pula ketika ritual adat selesai.
Huru-Hara di Kampung
Minggu malam, beredar video yang memperlihatkan detik-detik penangkapan warga secara brutal disertai kekerasan oleh puluhan aparat di Facebook. Orang-orang di kampung panik dan kebingungan. Potongan video juga tersebar di grup WhatsApp.
“Torang baru tahu dong dapa tangkap tu tanggal 18 malam dari video itu,” cerita Kamaria Malik, istri Nahrawi.
Malam itu, kata Kamaria, satu per satu warga mencari kabar keberadaan suami, kakek, saudara, dan keluarga mereka lewat pesan singkat dan sambungan telepon. Ada desas-desus 27 orang itu diculik dan entah dibawa ke mana.
“Yang bikin saya tambah khawatir itu, ada saya pe anak di bawah umur, dape nama Ariyandi, dia kan iko kadara sama-sama deng dia pe papa,” kata Kamaria, 38 tahun.
Ariyandi, yang baru berumur 17 tahun, hari itu ikut ayahnya, Nahrawi, bersama dalam rombongan 27 orang yang ditangkap polisi. Ketika ditangkap, siswa SMA ini juga jadi korban pemukulan di bagian wajahnya.
“Tapi mama,” kata Kamaria mengulang cerita yang disampaikan anaknya, “Hari itu dong pukul saya, pukul papa sampe mulu badara, saya pe tete mulu badara, samua keluarga-keluarga ada berapa orang tu dong badara samua.”
Setelah diperiksa oleh Polda Maluku Utara, Ariyandi bersama 15 orang dibebaskan. Ayahnya, Nahrawi, ditetapkan sebagai tersangka.
Nurmiyanti Kailul, juga panik karena suaminya, Yasir Samad, ada dalam rombongan itu. Ia menangis tersedu-sedu saat Yasir tidak ikut rombongan pulang.
“Saya ni khawatir tu dong pe papa [suaminya] ni, dia kan pambadiam toh, tara banyak bicara. Baru dong pukul dia lagi tuh,” kata Nurmiyanti (30). “Baru anak-anak ni masih kacil samua.”
Nurmiyanti dan Yasir punya tiga anak, M. Sahrul (10 tahun), Milka (6), dan Lisya (3). Saat berkunjung ke rutan beberapa kali, Milka dan Lisya bertanya kenapa bapak ada di sini, dengan suara getir, Nurmiyanti hanya bisa menjawab kalau bapak mereka lagi kerja.
“Anak-anak kan masih kecil, dong dekat skali deng dong pe papa. Tong cuma bisa tahan aer mata kalu dong tanya dong pe papa. Tong bilang dong pe papa karja, nanti dong pulang,” jelas Nurmiyanti sambil coba menguatkan dirinya.

Di tengah kekhawatiran warga, pemerintah desa justru membuat pernyataan terbuka bahwa warga yang ditangkap melakukan aksi sepihak tanpa koordinasi dengan mereka.
Beberapa jam setelah sebelas warga ditetapkan tersangka, Usman Mahmud sebagai Kepala Desa Maba Sangaji dan Safar Halim sebagai BPD menandatangani surat yang isinya membenarkan narasi “premanisme” yang dilabelkan polisi kepada warga.
Narasi serupa juga muncul dari Pemda yang bertetangga dengan Maba Sangaji. Mereka mengklaim bahwa warga yang melakukan ritual adat di hutan Maba Sangaji bukan bagian dari masyarakat adat.
Pada 29 Mei, Pemerintah Desa Maba Sangaji dan Wailukum diduga menerima tali asih tahap pertama di Kantor Camat Kota Maba tanpa melibatkan masyarakat secara keseluruhan. Warga baru tahu ada acara penyerahan tali asih setelah acara itu selesai.
Jumlah tali asih diduga sebesar Rp5 miliar untuk Desa Maba Sangaji dan Rp4,5 miliar untuk Desa Wailukum. Penyerahan tali asih diwakili Mukdir Lakoda sebagai humas PT Position yang juga Ketua BPD Maba Sangaji.
Tali asih tahap kedua dengan jumlah yang sama diberikan pada 6 Agustus 2025, bersamaan sidang pertama sebelas masyarakat Maba Sangaji digelar.
Pada 27 Agustus, di tengah proses sidang warga, pemda diduga mengutus seorang pegawai di Kesbangpol Halmahera Timur ditemani seorang anggota brimob tanpa seragam menemui sebelas warga di rutan. Mereka memberikan surat pernyataan kepada sebelas warga agar mengakui kesalahan supaya bisa dibebaskan.
Pada sidang ke-4, 10 September, secara serentak warga merobek-robek surat itu sebagai tanda protes.
“Bagi kami ini adalah sebuah tindakan mencederai harkat dan martabat kami sebagai masyarakat adat. Kami menganggap, apa yang dilakukan oleh pemerintah daerah adalah upaya menjauhkan persoalan yang kami perjuangkan,” kata Sahil.
Front Anak Muda
Bagian kanan tulang rusuk Indrasani Ilham (26) masih sering terasa sakit saat malam hari. Ia tidak bisa tidur nyenyak, kadang nyeri kalau dingin. Saat awal-awal ditahan, ia hanya bisa berbaring nyaman saat tidur kalau menghadap kiri.
“Sampe skarang masih sake. Untung tete Umar jaga biking aer kong minum, deng minum obat,” cerita Indrasani.
Saya bertemu Indrasani bersama 10 masyarakat adat Maba Sangaji pada 21 Mei, tepat hari Peringatan Reformasi. Indrasani hanya mengenakan celana pendek dan kaos oblong hitam. Wajahnya bengkak, tampak lebam di pipi sampai jidat, tulang rusuknya juga memerah dan membengkak.
“Saya dapa seret, dong kase nae di dalam oto dudu di tengah-tengah, kapala mangada kabawa lantai oto, tangan dapa borgol dari belakang, kaki talipa. Samping kiri deng kanan polisi dua orang, satu orang senjata kase mangada di rusuk, satu polisi pegang pistol dong kase tempel di kapala,” cerita Akes, biasa ia disapa.
Akes adalah orang muda asal Ternate yang aktif di pergerakan. Ia adalah ketua organisasi Front Nahdliyin untuk Kedaulatan Sumber Daya Alam (FNKSDA) Kota Ternate. Akes bertemu orang-orang muda Maba Sangaji, salah satunya Sahil.
Saat ke kampung itulah, Akes menyaksikan banyak cerita dimana warga dipaksa jadi korban dari kebijakan elite desa dan perusahaan tambang. Ia ikut rombongan dua kali mendatangi perusahaan di hutan adat yang telah di bongkar tambang nikel.
Keberanian itu membawa orang muda NU ini berada di balik jeruji besi sekarang. Tetapi, ia tak gentar. “Konsekuensi perjuangan bagini sudah,” kata Akes sedikit tertawa.
Di samping Akes, Alauddin dan Nahrawi, dua kakak beradik yang juga terlihat babak belur. Pelipis mata kanan Alauddin masih bengkak, bibirnya pecah, tulang kering di kaki kanannya terluka. Sementara Nahrawi, pipi dekat matanya bengkak, tulang-tulang rusuk juga sakit-sakitan.
“Torang dapa pukul so tara tau berapa kali, banyak tangan [pukulan] yang masuk di muka deng di rusuk, dong kase pukul deng senjata lagi,” kata Alauddin di Rutan Soasio.
Alauddin cerita, saat berada di dalam mobil dengan tangan terjepit diborgol, polisi mencaci maki mereka. “Dong bilang torang goblok, bodoh, tong tara bersyukur ada perusahaan lah. Dong kase kaluar kata-kata kasar, kira torang tako.”
Korporat Biang Kerok
Meski tengah berkonflik dengan warga, aktivitas penambangan PT Position di wilayah hutan adat Maba Sangaji terus berlangsung.
Sungai induk Sangaji dan anak-anak sungainya di wilayah Kaplo, Tutungan, Sabaino, Semlowos telah dibongkar dan dikeruk mineralnya di dalam tanah. Kebun-kebun warga di dekat sungai tergenang sedimentasi lumpur. Air sungai tidak bisa dimanfaatkan lagi untuk minum atau memancing ikan.

Kerusakan yang ditimbulkan tidak pernah terjerat hukum. Warga menduga, ada bekingan di balik operasional PT Position.
Di Halmahera Timur, tercatat ada 17 izin usaha pertambangan dengan luas total konsesi mencapai 159.094 ha. Beberapa konsesi tambang bahkan melampaui batas administrasi hingga masuk wilayah Halmahera Tengah.
PT Position menguasai konsesi seluas 4.017 ha di wilayah hutan adat Maba Sangaji. Izinnya berlaku dari 2017 sampai 2037. Namun, baru mulai aktif beroperasi sejak izin pinjam pakai kawasan hutan (IPPKH) diterbitkan pada Oktober 2024.
Position awalnya dimiliki oleh Aquila Nickel Pte. Ltd. Pada 2021, kepemilikannya beralih ke PT Tanito Harum Nickel (THN), anak usaha PT Harum Energy Tbk (HRUM). Dengan begitu, PT THN menguasai saham 51 persen, sisanya dikuasai Nickel International Kapital Pte.Ltd (NICAP) yang berbasis di Singapura.
Namun, mayoritas saham NICAP juga ternyata dikuasai Harum Energy. Dengan struktur ini, artinya keluarga Barki mengendalikan Position dari dua sisi sekaligus. Dengan mengatur operasi tambang Position dari Singapura – negara dengan pajak rendah, aturan fleksibel, dan akses pendanaan internasional – keuntungan hasil mengeruk nikel makin berlipat ganda.
Di Halmahera, bisnis HRUM juga meluas di sektor smelter pengolahan bijih nikel yang berada di PT Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP) di Halmahera Tengah. Mineral nikel yang dikeruk akan diangkut dan dikirim ke pabrik peleburan smelter IWIP untuk bahan baku baterai kendaraan listrik.
Position bukan satu-satunya yang mengeruk nikel di hutan adat, aktivitas tambang yang berdekatan konsesi dan bahkan tumpang tindih, juga dilakukan oleh PT Wana Kencana Mineral, PT Nusa Karya Arindo, dan PT Weda Bay Nickel. Mereka juga diduga ikut mencemari Sungai Sangaji dan merusak hutan adat di Halmahera, termasuk wilayah hutan adat suku O’Hongana Manyawa atau Tobelo Dalam.
Meski banyak membawa mudarat, penambangan nikel justru makin masif terjadi. Dalam buku Perampasan Ruang Hidup: Cerita Orang Halmahera (2015) mencatat wilayah Halmahera Timur telah lama menjadi korban pembangunan menyusul kebijakan ekstraktif nikel. Ekspansi tambang nikel mengubah ruang hidup warga dari pertanian tradisional menjadi ekonomi berbasis tambang yang bertumpu pada uang.
Saat ini, wilayah Halmahera Timur, Tengah, dan Selatan, masuk daftar Program Strategis Nasional (PSN), yang dimulai sejak era Jokowi hingga terakhir Prabowo yang meresmikan pembangunan pabrik pengolahan pada akhir Juni 2025.
Belum Kalah! Mereka Masih Melawan

Hampir lima bulan keluarga korban kriminalisasi sebelas masyarakat Maba Sangaji mencari keadilan. Mereka bolak-balik dari kampung ke Ternate dan Tidore menyebrang laut dan darat setiap kali besuk atau mengikuti persidangan. Jarak dari Maba ke Ternate atau Tidore hampir 8 jam perjalanan.
Kamaria harus meninggalkan tiga anaknya yang masih sekolah di kampung untuk rutin menjenguk suaminya dan sepuluh tahanan di rutan. Ia mempercayai Ariyandi, anak sulungnya, menjaga dua adiknya yang masih 13 dan 8 tahun.
Di kampung, anak seusia Ariyandi mestinya hanya berpikir sekolah. Namun, ia bekerja di kebun mengolah buah kelapa jadi kopra. Hasilnya dipakai membantu ongkos jajan dan kebutuhan adik-adiknya. Ibunya, Kamaria, sesekali bikin kue buat jualan yang sebagian hasilnya untuk ongkos makan anak-anak dan tiket ke kota mencari keadilan.
Kamaria yakin suaminya bukan “preman” seperti yang dituduh polisi. Suaminya hanya petani biasa di kampung yang ingin mempertahankan hutan adat, sungai, dan ruang hidup bagi masa depan anak cucunya.
“Kalu dulu torang jarang pigi Ternate, musti ada kepentingan apa ka apa, tapi sekarang ini harus pigi pulang terus. Lia laki deng torang pe orang tua-tua to,” kata Kamaria.
Dalam menjalani proses hukum, para terdakwa didampingi Tim Advokasi Anti Kriminalisasi (TAKI). Koalisi berupaya mengajukan eksepsi atau nota keberatan agar majelis hakim melihat perkara yang dihadapi masyarakat adat Maba Sangaji masuk kategori Anti-SLAPP atau Strategic Lawsuit Against Public Participation yang melindungi pejuang lingkungan.
Tetapi eksepsi ditolak Ketua Majelis Hakim PN Soasio, Asma Fandun, yang menyatakan, “Tidak ada bukti yang menunjukkan sebelas tahanan sebagai pejuang lingkungan.”
Padahal menurut Wetub Toatubun, koalisi pengacara TAKI, Anti-SLAPP yang diatur dalam Pasal 66 UU No. 32/2009 (PPLH), menggarisbawahi setiap orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan tidak dapat dituntut secara pidana maupun digugat secara perdata. Asma juga dinilai mengabaikan Peraturan Mahkamah Agung No. 1/2023 tentang pedoman mengadili perkara lingkungan hidup.
“Para korban kriminalisasi ini adalah pejuang lingkungan. Mereka berjuang atas ruang hidup di hutan, sungai, dan kebun mereka dari ancaman tambang. Sehingga, kasus ini mestinya dihentikan. Hakim harusnya melihat masalah ini secara struktural, bukan sekadar konteks pidana,” jelas Wetub.
Sahil tersenyum getir setelah putusan sementara itu dibacakan. Ia berjalan keluar, meminta Kamaria memanggil Umar dan masyarakat adat lain di ruang tahanan pengadilan bagian belakang.

Di luar, kelompok solidaritas menyambut dengan kepalan tangan dan sorak-sorak: bebaskan sebelas pejuang lingkungan masyarakat adat Maba Sangaji.
Saya menghampiri Umar dan para tahanan lain. Seperti biasa, Umar memeluk hangat dan berkata, “Sehat-sehat terus. Perjuangan masih panjang.”
Kalimat yang terus saya dengar setiap kali ketika berkunjung ke rutan atau bertemu di pengadilan saat sidang.
Umar bahkan berkorban memperjuangkan keadilan tanpa pernah sekalipun bertemu istrinya, hanya sekali telepon video di dalam rutan. Sahil dan Jamal, pacar mereka sering jenguk ke rutan. Akes, ibu dan neneknya juga kadang menemui dia. Nahrawi apalagi, Kamaria hampir setiap minggu berada di sisinya. Begitu pula dengan Alauddin dan rekan-rekan lain.
Dari raut wajahnya, Umar rupanya rindu mendengar cerita dan melihat tawa istrinya, tetapi terhalang oleh jarak.
“Batelpon deng anak-anak baru kase maitua bacarita,” lelaki tua itu tersenyum. “Bacarita tanya keadaan bagaimana, so makan ka bolom, haha.”
“Apakah dong om rindu maitua?” tanya saya.
“Hahahaha,” ia tertawa lepas sampai gerahamnya terlihat, tanpa menjawab, lalu balik bertanya.
“Kong ngana pe maitua mana?”
Seisi pendopo riuh. Kamaria, yang sering berkunjung ke rutan menjenguk Nahrawi, tertawa puas mendengar pertanyaan itu.
“Palang-palang saja, om.”