Pemerintah dan PLN gemar melempar setumpuk klaim “hijau” terkait biomassa. Namun, itu semua tidak lebih dari upaya melegitimasi bisnis perusakan lingkungan.
“Demam” biomassa mulai menjangkit ke Nusa Tenggara Timur (NTT), menggerogoti alam dan ruang hidup masyarakat setempat.
Semua bermula pada 2020, saat PLN menguji coba co-firing atau pengoplosan batubara dengan biomassa sebagai bahan bakar dua pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) di NTT. Yang pertama adalah PLTU Bolok di Kupang dengan kapasitas 33 megawatt (MW). Yang kedua adalah PLTU Ropa di Ende dengan kapasitas 14 MW. Proporsi biomassa yang digunakan berkisar 5-10%.
Per Oktober 2022, PLTU Bolok mulai beroperasi menggunakan 100% biomassa berupa cacahan kayu, dengan kebutuhan pasokan 15 ton per jam. Sementara itu, meski awalnya menggunakan biomassa yang diolah dari sampah, PLTU Ropa belakangan juga beralih memanfaatkan cacahan kayu.
Agar dapat memenuhi kebutuhan pasokan biomassa untuk dua PLTU itu, PLN lantas gencar meneken perjanjian kerja sama. Ini termasuk dengan Universitas Nusa Cendana di Kupang untuk pengembangan hutan tanaman energi, dengan tiga cabang Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) di NTT untuk pembangunan pabrik cacahan kayu, dan dengan kantor perwakilan Bank Indonesia di NTT untuk pengolahan limbah operasional mereka menjadi biomassa.
Pemerintah daerah pun memberi dukungan. Pada 4 Maret 2025, Gubernur NTT Melkiades Laka Lena menemui perwakilan PLN Energi Primer Indonesia (EPI)—anak usaha PLN dengan fokus pengadaan bahan bakar pembangkit—untuk membahas kerja sama pengembangan ekosistem biomassa di NTT. Melkiades bilang biomassa tidak hanya penting untuk membantu Indonesia mencapai target nol emisi karbon pada 2060, tapi juga menggerakkan ekonomi masyarakat.
Di kesempatan yang sama, Direktur Biomassa PLN EPI Antonius Aris Sudjatmiko mengatakan pihaknya siap berkolaborasi, apalagi menurutnya proyek tersebut sejalan upaya PLN untuk meningkatkan pemanfaatan energi hijau di Indonesia.

Melkiades dan Aris sebenarnya hanya membeo para pejabat pemerintah pusat dan petinggi PLN yang telah berulang kali melontarkan klaim-klaim serupa. Tidak berhenti di mereka, aliansi pengusaha dan organisasi masyarakat lokal pun kerap mendengungkan hal yang sama, sering kali dengan tambahan narasi bahwa proyek biomassa akan meningkatkan pendapatan asli daerah atau membuka peluang wirausaha dan lapangan kerja. Dari sana, tampak patronasi ekonomi-politik yang berjalan untuk melancarkan pengembangan industri biomassa.
Penting untuk mengkritisi klaim-klaim tersebut dan melihat motif di baliknya. Dengan begitu, kita bisa mendapat gambaran apakah benar industri biomassa dirancang untuk kepentingan masyarakat, dan tidak sekadar menguntungkan elite pemerintahan dan korporasi swasta.
Untuk itu, ada satu pertanyaan mendasar yang harus dijawab terlebih dahulu: mengapa harus biomassa?
Demi Memperpanjang Napas PLTU
Selama bertahun-tahun, NTT memang selalu dinarasikan sebagai daerah dengan potensi energi terbarukan berlimpah. Namun, potensi utama NTT ada di energi surya dan bayu, bukan biomassa.
Menurut data pemerintah per 2021, potensi energi surya dan bayu di NTT mencapai 369.500 MW dan 12.020 MW—masing-masing adalah yang terbesar pertama dan keempat di Indonesia. Sementara itu, potensi bioenergi NTT (yang mencakup biomassa) hanya sekitar 400 MW. Angka ini kalah jauh dengan potensi bioenergi di sejumlah daerah di Pulau Sumatra, misalnya, termasuk Riau sebesar 10.500 MW dan Sumatra Selatan sebesar 6.000 MW.

Dari total potensi energi terbarukan NTT sebesar 388.310 MW, baru sekitar 0,01% yang telah dimanfaatkan. Kapasitas pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) NTT bahkan baru menyentuh 22 MW per 2023, meski potensinya begitu besar.
Mandeknya pengembangan energi terbarukan bukanlah masalah lokal yang hanya terjadi di NTT. Ini adalah isu nasional. Per 2022, total potensi energi terbarukan Indonesia tercatat sebesar 3,69 juta MW, tapi pemanfaatannya baru 0,34%.
Maka, jangan heran melihat proporsi energi baru dan terbarukan di bauran energi nasional—konsumsi energi lintas sektor—baru mencapai 14,1% pada 2024, jauh dari sasaran 23% pada 2025 yang dibuat (dan digembar-gemborkan) pemerintah sendiri setelah meratifikasi Perjanjian Paris pada 2016.
Di tengah tekanan global untuk meninggalkan energi kotor dan target Indonesia mencapai status nol emisi karbon pada 2060, otoritas kemudian berimprovisasi mengembangkan biomassa yang diklaim ramah lingkungan untuk dioplos dengan batubara di berbagai PLTU.
Dengan begitu, tak hanya meningkatkan proporsi energi baru dan terbarukan di bauran energi nasional, pemerintah dan PLN bisa memperpanjang napas PLTU berbahan bakar batubara yang begitu dominan di sistem kelistrikan Indonesia.
Per Oktober 2024, 66,8% listrik Indonesia dihasilkan dari batubara. Pemerintah dan PLN memang berniat menurunkan kontribusi batubara secara perlahan, tapi tidak benar-benar menghilangkannya.
Seperti yang disampaikan Direktur Utama PLN Darmawan Prasodjo pada 14 Mei 2025, PLTU batubara masih akan menyumbang 12,2% dari total pembangkit yang beroperasi pada 2060. Meski begitu, menurutnya, saat itu seluruh PLTU yang ada akan beroperasi dengan nol emisi.
Bagaimana caranya? Memasang teknologi carbon capture and storage (CCS) di PLTU untuk menangkap dan menyimpan emisi karbon serta mengandalkan pengoplosan batubara dengan biomassa.
Solusi Sesat untuk Lingkungan
Sepanjang 2024, PLN mengklaim telah menjalankan co-firing biomassa dan batubara di 47 PLTU, dengan total konsumsi biomassa menyentuh 1,62 juta ton. Berbagai jenis biomassa digunakan, termasuk cacahan kayu, serbuk gergaji, cangkang sawit dan kemiri, bonggol jagung, serta limbah racik uang kertas.
Untuk 2025, PLN berniat menyasar PLTU di 52 lokasi berbeda. Konsumsi biomassa pun diproyeksikan naik signifikan hingga 10,2 juta ton.
Agar dapat memenuhi kebutuhan biomassa yang terus meningkat, pemerintah menerbitkan sejumlah regulasi, termasuk Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 8/2021 yang mengatur pemanfaatan kawasan hutan lindung dan produksi untuk pengembangan hutan tanaman energi (HTE), alias tempat budi daya tanaman penghasil biomassa.

Merujuk hasil riset Trend Asia, dengan asumsi PLN menggunakan pelet kayu untuk dioplos dengan batubara, kebutuhan 10,2 juta ton biomassa per tahun untuk 52 lokasi PLTU dapat dipenuhi dari HTE dengan luas sedikitnya 2,33 juta hektare. Ini setara 35 kali luas daratan Jakarta.
Imbasnya, program co-firing disebut berpotensi menghasilkan emisi hingga 26,48 juta ton setara karbon dioksida (CO2e) per tahun, yang berasal dari deforestasi, pengelolaan HTE, dan produksi pelet kayu. Perlu dicatat, karbon dioksida yang lepas ke atmosfer karena pembukaan hutan tidak bisa begitu saja diserap pohon-pohon baru yang ditanam untuk HTE. Karena itu, pencampuran biomassa dan batubara justru akan menambah emisi dari PLTU, bukan menguranginya.
Di NTT sendiri, penyediaan pasokan biomassa bukanlah hal mudah. Pada 2020, misalnya, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menghibahkan pembangkit listrik tenaga biomassa (PLTBm) senilai Rp31 miliar kepada Pemerintah Kabupaten Sumba Barat. Otoritas setempat sempat satu kali menguji coba fasilitas tersebut, tapi kemudian ia tidak pernah disentuh lagi. Alasannya: sulit mendapat pasokan biomassa 30 ton per hari untuk mengoperasikan PLTBm ini.
Hal ini toh tidak menghentikan PLN untuk menjalankan co-firing di PLTU Bolok di Kupang dan PLTU Ropa di Ende. Terkait pasokan biomassa untuk dua fasilitas itu, PLN sempat mengatakan telah memetakan lahan seluas 126.620 hektare di Pulau Timor yang berpotensi ditanami pohon lamtoro, gamal, dan kedondong untuk diolah jadi biomassa. Ini berbeda dengan data Kementerian Kehutanan, yang menyebut luas lahan di NTT yang berpotensi digarap sebagai HTE mencapai 54.175 hektare.

Budi daya tanaman penghasil biomassa rencananya akan dilakukan di lahan-lahan “tidur” atau tandus. Masalahnya, lahan semacam itu bukannya sama sekali tidak digunakan secara produktif. Banyak warga desa yang selama ini memanfaatkannya untuk menopang hidup, termasuk untuk pertanian skala kecil. Maka, ekspansi biomassa berisiko meminggirkan warga dari ruang hidupnya.
Terlebih lagi, “demam” biomassa hadir di tengah kondisi lingkungan NTT yang tidak baik-baik saja. Pada 2018, luas lahan kritis di NTT telah mencapai lebih dari 2 juta hektare. Pada 2024, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menyebut 225 dari 309 kecamatan NTT masuk kategori “siaga kekeringan” karena parahnya perubahan iklim. Sepanjang 2001-2024, data Global Forest Watch menunjukkan NTT kehilangan tutupan pohon seluas 6.540 hektare karena kebakaran dan 141.000 hektare karena berbagai hal lainnya, termasuk operasi industri ekstraktif serta pembangunan permukiman dan infrastruktur.
Karena itu, pengembangan industri biomassa untuk co-firing PLTU dapat memicu masalah ekologis serius. Ia bisa memperparah deforestasi, yang kemudian berisiko mempercepat degradasi lingkungan di wilayah yang telah lama berjuang melawan kekeringan ekstrem. Padahal, perlu 20-60 tahun untuk membayar kembali deforestasi dengan pengurangan konsumsi batubara.
Lebih lanjut, transformasi lahan yang begitu masif dapat mengikis ketersediaan air bersih, memperburuk erosi, serta mengancam biodiversitas lokal. Tak hanya alam kian rusak, masyarakat bisa kehilangan sumber kehidupan dan penghidupannya. Semua karena bisnis yang rakus lahan, rakus energi, dan rakus modal.
Agar Rakyat Kecil Tidak Semakin Terpinggirkan
Pengembangan industri biomassa di NTT harus dilihat sebagai bentuk pengukuhan ekstraktivisme agraria di Indonesia. Ia mengeruk sumber daya dengan skala besar hingga merusak alam. Ia memihak pemodal swasta dan mendorong pengaturan ulang ruang yang kemudian mengubah tatanan masyarakat, relasi sosial, dan pengetahuan lokal.
Konsep bisnis dan dinamika konflik proyek biomassa umumnya tak jauh berbeda dengan berbagai proyek lain seperti bioetanol dan geotermal yang sama-sama mengatasnamakan transisi energi ramah lingkungan. Ia kerap melibatkan konsorsium perusahaan domestik dan asing, lalu menguasai rantai pasok sedari tahap eksplorasi hingga eksploitasi, produksi, dan distribusi.
Penting diketahui, para pelaku usaha domestik di bisnis kayu energi merupakan pemain lama dan kuat di industri kayu, selain minyak dan gas serta pertambangan. Perusahaan-perusahaan itu akan diuntungkan dari implementasi program co-firing karena berhasil memperoleh jenis bisnis baru, menutup keterlibatan pihak lain—terutama masyarakat, serta memastikan perolehan insentif dari pemerintah.

Di sisi lain, petani dan pemilik kebun skala kecil biasanya diikat dengan skema “kemitraan” dan hanya menjadi penyedia bahan mentah dengan nilai ekonomi rendah tanpa kepastian keuntungan jangka panjang. Artinya, kehadiran industri biomassa berpotensi menggeser mereka dari sistem pertanian berkelanjutan ke model produksi industri yang dikendalikan suprastruktur ekonomi-politik.
Sejumlah tulisan mengenai pertanian kontrak telah menjelaskan bahwa skema ini hakikatnya merupakan bisnis yang penuh risiko serta merugikan produsen kecil tatkala menciptakan ketergantungan dan keterikatan serta memicu konflik vertikal dan horizontal. Para produsen kerap terbelenggu karena intervensi luar biasa dari sektor swasta melalui berbagai regulasi yang tercantum dalam kontrak. Mereka sulit melepaskan diri, entah karena lilitan utang atau telah kehilangan lahannya.
Maka, bila pengembangan industri biomassa benar-benar menjadi bagian dari strategi mitigasi perubahan iklim, pemerintah tidak bisa sekadar memandang hutan sebagai ruang kosong yang dapat dikonversi menjadi kawasan produksi komoditas energi besar-besaran dan intensif. Pengelolaan hutan mesti mempertimbangkan realitas sosial-ekologisnya, termasuk keberadaan masyarakat adat dan lokal yang selama berabad-abad menggantungkan hidup dari ekosistem hutan.
Di saat bersamaan, pemerintah pun perlu membatasi produksi dan konsumsi batubara, plus berbagai komoditas turunannya yang sejauh ini justru didorong secara masif.
Karena, tanpa koreksi terhadap logika produksi ekstraktif yang dominan, setumpuk klaim “hijau” biomassa hanya akan menjadi alat untuk melegitimasi bisnis perusakan lingkungan yang, ironisnya, digaungkan dengan menunggangi narasi transisi energi berkeadilan.
B. Mario Yosryandi Sara adalah mahasiswa Magister Ilmu Politik di Universitas Nasional, Jakarta. Minat penelitiannya meliputi isu agraria kritis, ekstraktivisme, dan ekonomi politik pembangunan.
Ratu Tammi adalah peneliti di Agrarian Resource Center (ARC), lembaga kajian sosial independen yang dibentuk untuk mengisi kekosongan kerja-kerja penelitian dan kajian kritis di bidang agraria, khususnya yang dilakukan peneliti-peneliti muda dalam mendorong perubahan sosial.