“Tiap Beko Datang, Kami Adang”: Perempuan Padarincang Melawan Proyek Geothermal Banten

Fahri Salam
17 menit
Para perempuann Padarincang mengorganisasi diri dalam Gerakan Perempuan Sapar (Grapas) untuk menolak pembangunan PLTP Rawa Danau di Wilayah Kerja Panas Bumi (WKP) Kaldera Rawa Danau yang bisa menimbulkan kerusakan alam sekitar. (ProjectM/Alif Bintang)
Di tengah kepungan alat berat dan janji energi hijau, suara lantang perempuan Padarincang bergema: menolak perampasan ruang hidup. Proyek panas bumi bukan cuma persoalan teknis, melainkan keberlangsungan hidup, air, dan tanah yang harus dipertahankan.

“TOLAK GEOTHERMAL!”

Suara Eha Suhaeni bergema. Pada Senin siang yang terik itu, 26 Agustus 2019, ia bersama kaum ibu dalam Gerakan Perempuan Sapar (Grapas) mengadang dengan tangan kosong beko perusahaan. 

Mereka memblokade akses utama proyek pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP) Rawa Danau di Desa Batu Kuwung, Kecamatan Padarincang, Kabupaten Serang, Banten. PT Sintesa Banten Geothermal (SBG), pengembang PLTP Rawa Danau, membangun akses jalan proyek di Jalan Raya Palima-Cinangka (Palka). 

Umi Eha, 65 tahun, adalah tokoh agama perempuan dan pemimpin pesantren Furu Ar-Raudhatul Baqiyat. Dari aktivitas mengaji bersama para ibu dan anak-anak, ia menginisiasi pembentukan Grapas. 

“Berislam bukan hanya soal ritual ibadah dan mengaji kitab. Kita semua punya kewajiban buat memahami dan menjaga alam,” katanya. “Tidak ada ajaran Islam yang membolehkan manusia merusak alam, apalagi untuk kantong pribadi.” 

Umi Eha, pemimpin Pondok Pesantren Furu Ar-Raudhatul Baqiyat, menjadi pelopor gerakan peduli lingkungan di Padarincang. (Project M/Alif Bintang)

Warga menolak kehadiran proyek geothermal itu. Mereka khawatir operasional geothermal mengganggu ekosistem Padarincang dan mengancam mata pencaharian mereka sebagai petani yang bergantung pada sumber daya alam. Perlawanan mereka kerap berhadap-hadapan dengan aparat TNI yang berjaga-jaga di sekitar proyek geothermal. 

Seluas 104.200 ha, pembangunan PLTP Rawa Danau menuai polemik sejak ditetapkan sebagai wilayah kerja panas bumi (WKP) Kaldera Rawa Danau Banten pada 15 Januari 2009, melalui keputusan Menteri ESDM No. 0026 K/30/MEM/2009.

Lebih dari satu dekade warga Padarincang menolak kehadiran PT Sintesa Banten Geothermal, anak usaha PT Sintesa Green Energy (Sintesa Group). Perusahaan investasi ini mengembangkan proyek geothermal di wilayah Serang dan Pandeglang. Khusus di Padarincang, PT SBG diproyeksikan menghasilkan listrik kapasitas 110 MW melalui pembangkit listrik tenaga panas bumi.

Proyek geothermal itu telah membabat sekitar 2 ha hutan di Gunung Prakasak. Saat proses eksplorasi pada 2018, perusahaan membangun satu kolam besar sebagai tampungan air dan dua sumur produksi atau wellpad. Dua wellpad ini dipakai untuk mengambil fluida panas bumi dari dalam bumi ke permukaan, untuk menggerakkan turbin pembangkit listrik. 

Rencananya PT SBG mengebor 10 titik wellpad. Namun, warga menolak pengeboran lanjutan. 

Titik pengeboran atau wellpad yang akan digunakan untuk mengambil panas bumi di sekitar proyek pembangunan geothermal di Padarincang. (Dokumentasi warga)

Bersama Grapas, Umi Eha gencar melancarkan protes ke perusahaan, dari perangkat desa sampai pemerintah pusat. 

Pada 2017, warga ramai-ramai mendatangi Kantor Kecamatan Padarincang untuk meluapkan protes. Karena tak ada yang menggubris, warga melakukan aksi di tiga titik jalan menuju proyek geothermal, yakni di Jalan Palka, Kampung Cikoneng, dan Kampung Cibetus.

Saat masa eksplorasi berlangsung, pertengahan 2019, warga Padarincang bergerak mendatangi Kantor Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Provinsi Banten. Lagi-lagi tak ada tanggapan.

Puncaknya, pada 10 September 2019, dengan mengenakan atribut caping sebagai simbol perlawanan petani, Umi Eha dan sejumlah warga melakukan aksi “jalan kaki” dari Serang ke Jakarta. Mereka mendatangi Kantor Kementerian ESDM hingga Istana Presiden. 

“Kalau proyek geothermal ini berjalan, otomatis air di desa kami akan habis sebab proyek ini butuh banyak air,” kata Umi Eha.

Foto dokumentasi warga saat aksi menolak pembangunan PLTP Rawa Danau. Dalam menyuarakan penolakannya, warga Padarincang beberapa kali mengadakan aksi damai di sekitar lokasi pembangunan geothermal, bahkan mendatangi kantor Kementerian ESDM di Jakarta. (Project M/Alif Bintang)

Pembangkit listrik geothermal memang membutuhkan air dalam jumlah besar. Penelitian Istiqamah dkk pada 2023 mengungkap air yang dibutuhkan sejak tahap awal eksplorasi bisa mencapai 1000 m³ per hari untuk pengeboran. Artinya, setiap hari proyek geothermal bisa menghabiskan 1 juta liter air hanya untuk aktivitas pengeboran. Kebutuhan air dalam jumlah besar ini untuk keperluan injeksi maupun pendinginan geothermal.

Kalau dibandingkan kebutuhan rata-rata air minimum manusia untuk keperluan dasar (minum, memasak, mandi, mencuci) yang hanya 50-100 liter per hari, jumlah itu sangatlah besar. Sebab, dalam satu hari, air sebanyak itu bisa mencukupi kebutuhan dasar 10.000-20.000 orang.

Diperkirakan, total konsumsi air untuk sumur 1 meter adalah sekitar 5-30 m³ tergantung pada litologi, teknologi, serta jumlah lapisan dan kedalaman pengeboran. Ini berarti, untuk sumur sedalam 2 km, penggunaan air bisa mencapai 8.000-55.000 m³.

“Kalau air habis, kita mau tanam apa? Mau makan apa?” kata Wiyah sambil menunjuk saluran irigasi yang mengairi sawah warga. Sejak dulu, katanya, Padarincang dikenal wilayah subur yang bergantung pada kekayaan alam terutama air pegunungan.

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) menyebut ekstraksi berlebih air untuk proyek geothermal berpotensi membuat sumber air mengering lebih cepat. Potensi konflik dalam penggunaan sumber daya, khususnya air, juga kerap luput dari perhatian dari pembangkit yang diklaim “energi hijau” ini. 

“Di daerah yang sebagian besar masyarakatnya menggantungkan hidup dari pertanian, ketimpangan akses air akibat alokasi untuk proyek energi bisa berujung pada konflik ekologis dan sosial,” ungkap Kepala Divisi Kampanye WALHI Fanny Tri Jambore Christanto.

Fanny menambahkan banyak proyek geothermal berada di kawasan hutan, bahkan di wilayah konservasi yang penting seperti hutan lindung. Ketika kawasan ini dibuka untuk eksplorasi dan pembangunan geothermal, potensi bencananya bisa meningkat signifikan. 

“Kalau hutan-hutan ini ditebang, akar-akar pohon yang sebelumnya menahan tanah akan hilang fungsinya. Ini bisa meningkatkan risiko banjir dan longsor secara signifikan,” terangnya.

“Sayangnya, pemerintah maupun korporasi kerap mengabaikan pentingnya pemetaan risiko wilayah serta relasi sosial masyarakat dengan lingkungan mereka.” 

Wiyah (44) sedang membersihkan gulma di lahan pertaniannya pada 16 April 2025. Pembangunan PLTP Rawa Danau menimbulkan kekhawatiran warga setempat yang mayoritas berprofesi sebagai petani, karena proyek ini membutuhkan air dalam jumlah besar. (Project M/Alif Bintang)

Jejak Petaka Geothermal di Padarincang

Ade Dian, 45 tahun, terperanjat saat mendengar gemuruh bebatuan menghantam atap rumahnya di Desa Batu Kuwung pada dini hari Jumat, 7 Maret 2025. Ia segera menghampiri muasal suara gemuruh itu.

Usut punya usut, suara menggelegar itu berasal dari longsor di lokasi bekas eksplorasi PLTP yang dioperasikan PT Sintesa Banten Geothermal (SBG), letaknya di samping rumah Ade.

Dua tahun lalu, proyek geothermal PT SBG sempat dinonaktifkan karena pelbagai penolakan warga. Meski begitu, wilayah eksplorasinya menyisakan tebing-tebing curam rawan longsor, terutama saat hujan deras mengguyur kawasan itu.

Material tanah yang gampang tergerus, ditambah bekas galian yang dibiarkan terbuka, makin memperparah kondisi lereng di sekitar pemukiman warga.

Semua lubang itu kini dibiarkan menganga tanpa ada upaya penutupan atau pemulihan lingkungan yang memadai oleh perusahaan.

Ade berkata sebelum proyek geothermal masuk di Padarincang, wilayahnya tak pernah mengalami longsor separah itu.

“Makannya, saat itu banyak yang menolak proyek ini (PLTP Rawa Danau), karena lokasi jalanan proyek deket banget sama pemukiman warga, termasuk rumah saya,” kata Ade sambil menyerok lumpur bekas longsor di rumahnya.

Bongkahan material longsor dari tebing meluncur ke pekarangan rumah Ade. Tanah bercampur batu menghantam dinding belakang, merusak sebagian tembok.

“Paling parah di bagian dapur, lantai ambles, tembok retak parah. Untungnya nggak sampai hancur. Kalau kondisi ruang lain di rumah ini paling retak-retak aja,” katanya. 

Beberapa titik longsor di area konsesi WKP Kaldera Rawa Danau Banten. (Sumber: JATAM)

Sementara warga yang tinggal di bawah lokasi bekas eksplorasi geothermal terendam banjir. Yuni bersama suami dan kedua anaknya terpaksa mengungsi ke rumah saudaranya ke tempat lebih tinggi lantaran rumahnya terendam banjir setinggi satu meter.

Perempuan berusia 45 tahun ini terkejut saat air memasuki rumahnya sekitar pukul 3 dini hari. Ia dan suaminya berusaha menyelamatkan barang-barang yang masih bisa diangkat ke tempat lebih tinggi. Namun, arus air yang deras campur lumpur membuat mereka tak punya banyak waktu.

Tak hanya Yuni, beberapa keluarga lain mengalami nasib serupa. Air bercampur lumpur masuk ke dalam rumah dan merendam perabotan. Warga panik menyelamatkan barang-barang yang masih bisa diselamatkan. 

“Setiap hujan deras, air pasti meluap. Tapi kali ini lebih parah karena longsoran tanah dari atas ikut terbawa,” ujar Yuni.

Sementara itu, akses Jalan Raya Palima-Cinangka (Palka) yang berdekatan lokasi longsor sempat tertutup material tanah dan batu, membuat akses lalu lintas terganggu. 

Sejumlah pengendara saat itu terpaksa berhenti atau mencari jalur alternatif karena jalan tertutup tumpukan tanah.

Atas peristiwa itu, setidaknya tiga alat berat dari Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (DPUPR) Kabupaten Serang dan DPUPR Provinsi Banten diturunkan ke lokasi untuk membersihkan material longsor yang menutupi jalan.  

Seorang pria mengamati rumah yang rusak di Padarincang, Rabu (16/4/2025). Banjir dan longsor yang diduga disebabkan oleh pembangunan PLTP Rawa Danau, melanda Padarincang pada 7 Maret 2025, mengakibatkan beberapa rumah warga rusak terkena reruntuhan batu. (Project M/Alif Bintang)

Longsor terparah dialami warga Kampung Cikoneng, Desa Batukuwung. Dua rumah rusak berat dihantam banjir longsor. Longsor juga menerjang Kampung Begog, Desa Citasuk. Menimbun air Kali Begog di desa tersebut.

Berjarak sekitar 300 meter dari titik longsor, Emi Suhemi, 52 tahun, tengah menata batu-batu kali menutupi aliran Kali Begog. Batu-batu itu sisa material longsoran yang terbawa arus dari lereng Gunung Prakasak. 

Suara gemuruh tanah yang runtuh masih terngiang di telinga Emi. Saat itu hujan turun deras tanpa henti, dan tiba-tiba tebing di atas kampung tak sanggup lagi menahan beban air.

Malam hari, saat longsor terjadi, Emi tidak ada di rumah. Ia meninggalkan istri dan satu cucunya. Gugusan bebatuan longsor cepat saja menyambar ke rumahnya. Istri Emi, Iyam, buru-buru menyelamatkan diri. Cucunya, berumur 8 bulan, tengah tertidur. Dengan cepat, banjir menghanyutkan tubuh mungilnya. Sang nenek cekatan dan langsung menyelamatkannya.

“Air bercampur lumpur turun kayak air bah. Kalau telat dikit saja, cucu saya mungkin nggak selamat,” ujar Emi.

Sebulan berlalu sesudah longsor, Kali Begog masih terlihat tertutup gundukan tanah dan batu yang mengendap. Air mengalir kecil, terhambat material longsoran yang belum sepenuhnya dibersihkan. Di tengah tumpukan itu, Emi seorang diri merapikan satu per satu batu.

“Belum ada bantuan dari pemerintah buat ngebersihin. Kalo warga sini, sih, pengennya kali dikeruk biar dalam lagi,” ujarnya. 

Emi Suhemi (52) menata bebatuan bekas longsor di Padarincang, Rabu (16/4/2025). Karena belum ada bantuan dari pemerintah, Emi harus membersihkan sisa reruntuhan batu sisa longsor yang menumpuk sekitar rumahnya seorang diri. (Project M/Alif Bintang)

Warga Kampung Begog biasa memanfaatkan kali untuk mencuci pakaian. Nur Halimah, 30 tahun, tengah membawa dua ember pakaian kotor. Meski ragu mencelupkan kain karena air sungai tak sejernih dulu, tapi ia tetap melakukannya.

“Longsor ini, kan, dari jalan proyek geothermal itu. Saya nggak tahu kalo proyeknya bakal terus lanjut, mungkin bakal lebih parah dari ini,” kata Halimah sembari membilas cucian. 

Material longsor dan banjir memasuki rumah Halimah. Seluruh barang-barang dari pakaian, lemari, tempat tidur, kursi, meja ludes diterjang longsor. Ia sempat menyelamatkan dokumen-dokumen penting. 

“Baju yang saya dan anak-anak pakai ini dapat dikasih orang. Semua barang-barang keseret banjir longsor,” katanya.

Banjir dan tanah longsor di Padarincang memang yang terparah kala itu. 

Halimah berkata belum pernah ada kejadian seperti ini selama dia tinggal di sini. Rumah-rumah rusak, bahkan hanyut digilas banjir. Ladang pertanian rusak disapu longsor. Warga kesulitan air bersih. Petani gagal panen. 

Nur Halimah (30) mencuci pakaian di Kali Begog yang terdampak longsor di Padarincang, Rabu (16/4/2025). Timbunan batu dan tanah imbas longsor menyebabkan pendangkalan aliran kali dan keruh. (Project M/Alif Bintang)

Aisyah, 44 tahun, hampir tiga minggu tak menggarap sawah setelah banjir dan longsor menerjang Padarincang. Sebagai buruh tani, ia menggantungkan hidup dari upah harian mengolah lahan milik orang lain. Tapi sejak banjir dan longsor menerjang Padarincang, sawah-sawah tergenang lumpur tebal dan saluran irigasi rusak parah. 

Saat PT Sintesa Banten Geothermal melakukan eksplorasi membangun wellpad, Aisyah meyakini proyek itu bakal membawa dampak buruk bagi kampungnya. Ia menyaksikan pohon-pohon di Gunung Prakasak ditebang untuk akses jalan proyek geothermal. Dari kejadian itu, ia melihat tanah-tanah di sekitar lokasi proyek mulai retak.

Menyaksikan perubahan drastis di kampungnya, ia bergabung dengan para buruh tani perempuan lainnya dalam Gerakan Perempuan Sapar (Grapas) menyuarakan penolakan terhadap proyek geothermal. 

“Saya sudah ngira pasti bakal ada dampaknya ke lingkungan. Ini baru tahap eksplorasi aja bencananya udah segini gedenya, gimana nanti, ngeri,” kata Aisyah.

“Sosialisasi geh minim banget ke warga.” 

Diklaim ‘Solusi Energi Hijau’

Proyek pembangkit listrik geothermal digencarkan saat pemerintahan Joko Widodo. Dalam sambutan pembuka Indonesia International Geothermal and Exhibition (IIGCE) ke-10 pada 18 September 2024, Jokowi minta perizinan wilayah kerja panas bumi dipercepat.

Menimbang negara ini punya sumber daya geothermal mencapai 11.073 MW, dengan cadangan sekitar 17.506 MW listrik, Jokowi berambisi menjadikan Indonesia sebagai negara dengan kapasitas pembangkit listrik tenaga panas bumi terpasang terbesar di dunia pada 2029. 

Ambisi itu ditopang Kementerian ESDM yang mengebut penambahan kapasitas PLTP 90 MW pada sisa akhir tahun 2024. Penambahan kapasitas itu terdiri dari PLTP Salak Binary 15 MW (Jawa Barat), PLTP Blawan Ijen unit 1 sebesar 34 MW (Jawa Timur), dan PLTP Sorik Marapi unit 5 sebesar 40 MW (Sumatera Utara).

Foto udara sebagian lahan yang gundul akibat longsor di Padarincang, Kamis (17/4/2025). Sekitar 2 ha lahan hutan di sekitar lokasi telah dibabat PT Sintesa Banten Geothermal demi menunjang tahap eksplorasi pembangunan proyek PLTP Rawa Danau. (Project M/Alif Bintang)

Ambisi itu diteruskan oleh Presiden Prabowo Subianto lewat asta cita dengan program swasembada energi termasuk geothermal.  

Potensi panas bumi sebesar 60% jadi acuan Prabowo mengembangkan proyek geothermal di Indonesia. Kucuran investasi asing ia terima untuk pembangunan proyek geothermal.

Pada 4 Mei 2025, Prabowo menerima utusan khusus Perdana Menteri Jepang, yakni mantan Perdana Menteri Fumio Kishida. Mereka membahas investasi proyek geothermal 80 MW di Muara Laboh, Sumatra Barat, yang disebut bernilai US$500 juta. 

Keran investasi proyek geothermal terus dibuka. Teranyar, Prabowo menawarkan pengembangan proyek PLTP ke para pengusaha Amerika Serikat.

Komitmen Indonesia sejak 2022 dalam Nationally Determined Contribution (NDC) untuk meningkatkan target penurunan emisi atas usaha sendiri dari 29% menjadi 31,89% juga jadi pemicu percepatan proyek panas bumi di Indonesia.

Guna memaksimalkan potensi panas bumi yang banyak terdapat di kawasan hutan, pemerintah mengubah Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2003 dengan mengeluarkan panas bumi dari kategori kegiatan pertambangan dan menjadikannya bagian dari pemanfaatan jasa lingkungan. 

Sedangkan muasal dikategorikannya geothermal sebagai energi terbarukan ketika pemerintah mensejajarkan panas bumi dengan panas matahari, angin, dan air lewat Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2007 tentang energi. Setelahnya, muncul Undang-Undang 21 Tahun 2014  yang salah satu ketentuannya mengubah status ekstraksi geothermal bukan aktivitas pertambangan.

Pemerintah sepakat mendefinisikan geothermal sebagai energi terbarukan karena berasal dari dalam bumi yang sumbernya tak terbatas dan dapat diperbaharui secara alami. Jika dibandingkan energi fosil seperti batubara, geothermal dianggap energi berkelanjutan karena lebih ramah lingkungan dan rendah emisi karbon. Maka, atas nama transisi energi, pemerintah gencar mengembangkan proyek panas bumi.

“Saat ini proyek geothermal sedang menjadi brand terbaru dari Presiden Prabowo soal swasembada energi dengan klaim bahwa energi panas bumi akan berkelanjutan dan sejalan dengan kearifan lokal,” ujar Sekjen Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Dewi Kartika. “Tapi sebenarnya itu mantra pembangunan yang selalu digembar-gemborkan Prabowo.”  

Proyek-proyek pembangunan yang eksploitatif terhadap alam, tambah Kartika, juga kerap dilakukan tanpa transparansi. 

“Tidak ada sosialisasi yang layak, apalagi penjelasan mengenai dampak dan risiko yang mungkin terjadi. Akibatnya, masyarakat diposisikan hanya sebagai penonton, bahkan korban, dari pembangunan yang seharusnya memperhatikan hak dan keselamatan mereka.” 

Ngaji Ekologis

Inisiatif-inisiatif gerakan penolakan pembangunan geothermal seperti Gerakan Perempuan Sapar (Grapas) telah menunjukkan bahwa gerakan protes rakyat terhadap proyek geothermal ialah murni berasal dari kekhawatiran warga dan komunitas atas dampak lingkungan dari proyek itu. 

Umi Eha mengetuk pintu demi pintu rumah warga, mengajak satu per satu ibu-ibu dan perempuan-perempuan muda di Padarincang untuk mengaji bersama. Mereka mengadakan istighosah sebagai kegiatan berkumpul dan bersolidaritas. 

“Ngaji ekologis, biar kesadaran lingkungannya tumbuh dulu,” ujarnya.

Umi Eha bercerita, saat ibu-ibu berkumpul di majelis, ia menyarankan agar “kita bikin gerakan buat kaum perempuan di Padarincang.”  

“Apakah setuju?”

Ibu-ibu majelis kompak bilang setuju.

Di situlah, pada  11 Desember 2018, Gerakan Perempuan Sapar terbentuk. 

Umi Eha bersama anggota GRAPAS dan santriwati melakukan kajian bersama di Pondok Pesantren Furu Ar-Raudhatul Baqiyat, Jumat (18/4/2025). Dibentuk atas kesadaran kolektif para perempuan Padarincang, Grapas jadi sarana untuk menjalin solidaritas yang diisi dengan kegiatan mengaji dan kajian mengenai isu lingkungan. (Project M/Alif Bintang)

Setiap ceramah, Umi Eha kerap menyelipkan topik-topik seputar alam, lingkungan, dan pentingnya menjaga air dan tanah. Ia tak langsung bicara soal penolakan proyek, tapi pelan-pelan menanamkan kesadaran akan keterhubungan manusia dengan alam.

Masing-masing anggota Grapas membekali diri pengetahuan soal transisi energi berkeadilan. Tiap minggu, mereka rutin mengadakan kajian khusus membahas dampak pembangunan geothermal. 

“Kita juga undang pemateri dari luar buat pemahaman warga Padarincang soal geothermal. Apa, sih, sebenarnya geothermal? Dampaknya apa? Prosesnya seperti apa? Dan kayak contoh yang udah-udah, proyek ini banyak mudharatnya,” kata Umi Eha.

Aksi langsung berupa demonstrasi getol mereka lakukan. Apalagi saat alat berat PT Sintesa Banten Geothermal hendak masuk ke Padarincang.

“Beko baru di ujung jalan, kita sudah mengadang di depan jalan menuju proyek. Dan itu terjadi terus-menerus. Kalau dibilang lelah, pasti. Tapi perjuangan ini, kan, bagian dari ikhtiar,” jelas Umi Eha.

Tiap melakukan aksi, ia memimpin para perempuan Padarincang melaksanakan istighosah. Ayat-ayat Al-Quran dilantunkan saat memulai demo. Cara ini dilakukan warga Padarincang sebagai bentuk protes alih-alih kekerasan, karena bagi mereka menjaga alam artinya menjaga keimanan. Doa dipanjatkan bersama sebagai bentuk permohonan warga meminta perlindungan dan kekuatan kepada sang pencipta.

“Kalau yang maju perempuan, aparat nggak bakal berani main tangan. Kita nggak mau melawan dengan tangan, maka kita lawan dengan tahlilan,” ucap Umi Eha.

Banyak yang menyambut baik ajakannya, tapi tak sedikit pula yang enggan. Bujuk rayu perusahaan dengan iming-iming uang kerap menyelinap di telinga-telinga warga. 

“Perusahaan menjanjikan uang buat warga, di situ masyarakat Padarincang terbelah. Ada yang pro dan kontra dengan geothermal,” ujarnya.

Vokal menolak pembangunan proyek geothermal, rumah Umi Eha kerap didatangi TNI.

“Dulu sering rumah saya didatangi TNI. Pagi, siang, atau malam pokoknya mereka nggak kenal waktu kapan aja bisa datang mendadak ke sini. Ngasih arahan supaya warga bisa kondusif,” terangnya. 

Spanduk penolakan warga, “Usir Oknum Perusak Alam! Alat Berat Datang, Kami Hadang, Tolak Geothermal”, terbentang di depan rumah Ustaz Aunila di Padarincang. (Project M/Alif Bintang)

Ustaz Aunila, 43 tahun, sempat dipanggil Kepala Satuan Reserse Kriminal Resor Serang Kota. Polisi menuduhnya melakukan perusakan Kantor Kecamatan Padarincang saat demonstrasi menolak proyek geothermal pada 2 September 2020.

Surat panggilan dari kepolisian itu tak digubrisnya, Tapi, dua hari kemudian pada dini hari, Ustaz Aun dijemput polisi di rumahnya di Kampung Barengkok. Ia dipaksa memberikan keterangan. 

“Saya nggak mengaku karena memang bukan saya yang melakukan,” terangnya.

Sekira pukul tiga sore, Ustaz Aun dibebaskan tanpa syarat. 

Sebagai tokoh masyarakat, Ustaz Aun kerap diiming-imingi “uang tutup mulut” agar tak berisik menolak proyek geothermal. Ketika ditanya siapa yang memberikan uang itu, dia menjawab, “ada dari pihak aparat, sepeser pun saya tolak.”

Umi Eha juga pernah ditawari uang oleh pihak yang mengatasnamakan PT Sintesa Banten Geothermal.

“Meski saya ditawari berapa nominal yang diinginkan, tetapi saya menolak karena nggak mau jadi pengkhianat yang mewariskan kerusakan terhadap anak cucu saya,” tegasnya.

‘Kalau Beko Datang, Kita Adang Lagi’

Saat ini PT Sintesa Banten Geothermal telah membubarkan diri melalui rapat umum pemegang saham.

Meski begitu, Plt. Kepala Dinas ESDM Banten Ari James Farady menyebut proyek geothermal di Padarincang harus tetap dilanjutkan. 

“Banten itu dapat pasokan listrik dari hasil geothermal di Jawa Barat, kenapa ketika ada proyek panas bumi, warga malah menolak? Warga Jawa Barat aja rela, kok, berbagi listrik dengan kita,” kata Ari.

Ia menambahkan, karena tak ada sosialisasi dari PT SBG, maka “waktu terbuang kita habis selama 15 tahun.” Ia menyebut bisa saja ada pengembang baru lagi nanti, “tapi itu kewenangan pusat.”

Sementara di Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM, melalui Koordinator Pelayanan dan Bimbingan Usaha Panas Bumi Budi Herdiyanto, Kementerian telah meminta pengembalian izin panas bumi kepada PT SBG. Perusahaan, katanya, sudah merespons dengan mengembalikan izin kepada pemerintah pada 20 Mei 2025. 

“Statusnya baru akan menuju proses pengakhiran,” ujarnya.

Sebelum proses pengakhiran izin itu, sesuai regulasi, ada proses evaluasi termasuk pemulihan lingkungan yang harus dilakukan perusahaan. 

“WKP Rawa Danau tetap ada dan menjadi wilayah terbuka yang dapat ditawarkan lagi oleh menteri. Tapi kita belum menuju ke sana. Kami tidak tahu apa proses selanjutnya.” 

“Soal pemulihan lingkungan,” kata Budi, “akan kami lakukan melalui rapat evaluasi bersama PT SBG, satu per satu kami kerjakan.”

Dengan kata lain, pengembalian izin oleh PT SBG bukan berarti proyek geothermal di Padarincang akan dihentikan. Justru proses ini membuka peluang bagi pemerintah untuk menunjuk pengembang baru yang akan melanjutkan proyek tersebut. 

Di Padarincang, warga masih saja was-was bila sewaktu-waktu proyek geothermal itu dilanjutkan.

“Was-was pasti ada,” kata Umi Eha, “tapi namanya perjuangan nggak boleh berhenti. Kalo beko datang, kita adang lagi.”


Liputan ini didukung program fellowship “Transisi Energi Berkeadilan” oleh Perhimpunan Pengembangan Media Nusantara.

Baca juga serial #AkalAkalanEnergiHijau:

Terima kasih sudah membaca laporan dari Project Multatuli. Jika kamu senang membaca laporan kami, jadilah Kawan M untuk mendukung kerja jurnalisme publik agar tetap bisa telaten dan independen. Menjadi Kawan M juga memungkinkan kamu untuk mengetahui proses kerja tim Project Multatuli dan bahkan memberikan ide dan masukan tentang laporan kami. Klik di sini untuk Jadi Kawan M!

Liputan Terkait
Fahri Salam
17 menit