Banyak anak muda hopeless mencari kerja dan tidak punya bapak dan paman yang siap membantu cari kerja.
WAKIL PRESIDEN Gibran Rakabuming Raka beberapa waktu lalu merilis video bertajuk “Bonus Demografi”. Dalam video itu, Gibran kerap menggunakan kata ganti “kita” untuk merujuk pada anak muda yang jadi kelompok bonus demografi. Kata “kita” adalah upaya Gibran menyamar di kerumunan anak-anak muda seolah-olah ia adalah bagian dari mereka.
Usia Gibran memang masih muda, umurnya baru 37 tahun. Dalam proyeksi demografi, ia adalah bagian dari yang disebut bonus demografi, sebuah kondisi di mana jumlah penduduk usia produktif mendominasi di sebuah negara.
Proyeksi bonus demografi sudah diramalkan sejak lama. Topik ini mulai dibicarakan sejak 2015 berbarengan naiknya narasi Generasi Milenial dan kemunculan Gen Z awal. Secara rutin, Bappenas dan BPS merilis proyeksi penduduk Indonesia.
Berdasarkan sensus 2020, sebenarnya proporsi besar penduduk Indonesia usia produktif sudah terbentuk sejak lama. Misalnya pada 2020, proporsi penduduk usia produktif sudah lebih banyak dari usia tidak produktif. Proporsinya didominasi usia 15-49 tahun.
Pada 2025, proporsi mulai menggemuk pada usia produktif yang tua, 50-64 tahun. Perkembangannya terus demikian hingga tahun 2050. Sementara usia 1-14 tahun non produktif turun menyusut.
Ini adalah bonus demografi yang dipahami oleh Gibran dalam videonya. Namun ia menutup mata bahwa saat proporsi usia muda mendominasi, angka ketergantungan juga mulai merangkak naik. Angka ketergantungan adalah rasio persentase penduduk non produktif (muda dan tua) yang menjadi “tanggungan” usia produktif.
Berdasarkan data BPS, populasi produktif pada 2020 mencapai 69 persen, tapi pada tahun-tahun selanjutnya mulai menurun; dan pada 2045, diproyeksikan hanya tersisa 65 persen. Pada saat bersamaan, angka ketergantungan mulai naik. Pada 2020, angkanya 44 persen; pada 2045 menjadi 52 persen.
Satu hal lagi yang tidak dipahami Gibran: tidak semua usia produktif yang disebut bonus demografi adalah bagian dari kerja produksi.
Indonesia mengenal angkatan kerja dengan definisi penduduk berusia 15 tahun ke atas yang bekerja, pengangguran, dan setengah pengangguran. Yang tidak masuk angkatan kerja adalah penduduk 15 tahun yang sedang sekolah atau mengurus rumah tangga atau alasannya selain urusan pribadi.
Pada 2024, jumlah penduduk usia 15 tahun mencapai 215 juta jiwa. Angka ini meningkat 17 persen sejak 2014. Ia menandakan usia produktif meningkat terus trennya selama 11 tahun.
Sementara dari 215 juta jiwa, yang masuk kategori angkatan kerja sebesar 152 juta jiwa. Proporsi angkatan kerja mendominasi dengan angka 70 persen.
Jumlah angkatan kerja terus meningkat sejak 2014 hingga 2024. Sementara itu, angkanya landai untuk kategori yang bukan termasuk angkatan kerja. Ini menandakan hal baik: potensi usia produktif yang menjadi bagian dari angkatan kerja semakin besar.
Meski demikian, jumlah yang besar ini tidak lantas dianggap sebagai potensi seperti yang diharapkan Gibran, bahwa mereka menjadi jawaban untuk masa depan Indonesia.
Yang perlu ditelisik: bagaimana kondisinya sekarang dan bagaimana kualitasnya?
Pada 2024, dari 152 juta jiwa angkatan kerja, sebanyak 7,4 juta jiwa merupakan pengangguran. Angka pengangguran ini tak pernah turun dari angka 7 juta sejak 2014, dan sempat naik ketika Pandemi COVID-19 pada 2020-2022.
Artinya, saat bapaknya Gibran menjadi presiden, selama 10 tahun, Jokowi tidak mengubah banyak penurunan tingkat pengangguran.
Jumlah angkatan kerja yang bekerja memang naik terus sejak 2014, tapi angka pengangguran tidak pernah turun. Itu artinya, pertumbuhan lapangan kerja tidak pernah berhasil mengkover 7 juta angka pengangguran selama pemerintahan bapaknya Gibran.
Dan, mereka yang bekerja pun, tidak serta merta bisa diklaim sebagai kesuksesan generasi bonus demografi. Sebab, para pekerja menghadapi kondisi kerja yang suram: upah murah, jam kerja panjang, rentan di-PHK, dan sebagainya.
Sejak tiga tahun terakhir, misalnya, persentase pekerja yang digaji di bawah UMR terus meningkat.
Data BPS Agustus 2022, sebanyak 46 persen pekerja digaji di bawah UMR; jumlahnya naik menjadi 48,4 persen pada 2024. Artinya per data Agustus 2024, hampir setengah dari pekerja di Indonesia itu digaji di bawah UMR masing-masing daerah.
Selain itu, secara umum, tingkat pendidikan para angkatan kerja masih jauh dari kata berkualitas.
Pada 2024, misalnya, tingkat pendidikan yang ditamatkan oleh angkatan kerja didominasi lulusan SD ke bawah dan SMP. Jumlahnya sebesar 52 persen. Kemudian, disusul lulusan SMA dan SMK sekitar 34 persen. Dan lulusan diploma dan universitas hanya sekitar 12 persen dari total angkatan kerja.
Seandainya industrialisasi beneran terjadi di Indonesia, tapi dengan syarat pekerja minimal lulusan SMA/SMK, maka masih ada lebih dari separuh angkatan kerja yang hanya lulusan SD dan SMP yang terlunta-lunta. Realitasnya, mayoritas pekerja berijazah SD dan SMP bekerja di sektor informal.
Data BPS menunjukkan bagaimana sejak bapaknya Gibran menjabat, tidak ada perubahan signifikan proporsi tingkat pendidikan angkatan kerja.
Fakta paling menyedihkan adalah masih banyak Gen Z dan Milenial usia 20-39 tahun hanya lulusan SD ke bawah dan SMP. Pada 2024, jumlahnya 12,5 juta jiwa untuk lulusan SD ke bawah dan 12,2 juta untuk lulusan SMP.
Dengan kondisi saat ini, jumlah lulusan SD ke bawah hingga SMA masih mendominasi dari pekerja usia 15-44 tahun, maka bisa dipastikan pada 2045 ada 37 juta pekerja adalah lulusan SD ke bawah dan SMP, dan 40 juta pekerja lulusan SMA/SMK.
Jika Gibran bilang anak muda butuh ruang tumbuh, sejak zaman bapaknya menjadi presiden, ruang itu tidak disediakan. Bapaknya mikirin anaknya doang buat dapat kerjaan meski tak layak kriteria, sebab kriteria buat anaknya bisa diubah.
Sejak dari pendidikan saja, para anak muda sudah dihambat. Sulit mengakses pendidikan tinggi yang mahal, lalu diarahkan ke pendidikan vokasi tapi tidak menjamin mendapatkan pekerjaan setelah lulus.
Hambatan ruang tumbuh itu juga terjadi karena syarat kerja dengan batasan jenjang pendidikan dan usia.
Tidak semua orang punya bapak dan paman yang bisa mengubah aturan supaya anak dan keponakannya bisa dapat pekerjaan seperti halnya Gibran.
Para angkatan kerja yang menganggur, tidak punya kemewahan seperti Gibran. Dari 7 juta orang yang menganggur pada 2024, sebagian besar adalah lulusan SMA/SMK; jumlahnya mencapai 54 persen. Sementara itu, untuk lulusan SD ke bawah dan lulusan SMP, jumlahnya mencapai 21 persen.
Mayoritas yang menganggur adalah Gen Z usia 20-29 tahun. Mayoritas adalah lulusan SMA/SMK. Kondisi ini nyaris tidak mungkin berubah hingga 20 tahun mendatang ketika ‘Generasi Emas 2045’, sebab proporsi usia yang lebih muda juga serupa.
Tahun 2045 digembar-gemborkan pemerintah dan oleh bapaknya sebagai tahun generasi emas, yakni saat 100 tahun kemerdekaan Indonesia. Tapi, melihat proyeksi dari sekarang dan bila tanpa perubahan, lebih tepat disebut tahun Generasi Cemas atau Generasi Gelap.
Data di atas menunjukkan bahwa 7 juta pengangguran dari tahun 2014 itu komposisinya tidak banyak berubah. Lebih mirisnya, sejak Jokowi mewacanakan program link and match, khususnya menarget SMK, tidak terlihat pengangguran dari lulus SMK menurun.
Dilihat sejak 2014 ke 2024 (minus 2020-2022 dampak COVID-19), jumlahnya cenderung naik. Begitu pula untuk lulusan universitas.
Padahal bapaknya Gibran banyak cuap-cuap soal SMK, bahkan sampai membual mengenai produksi mobil dalam negeri dengan brand Esemka, untuk menyerap tenaga kerja lulusan SMK. Hasilnya, sampai sekarang tidak ada. Pabrik mobilnya tidak ada. Lulusan SMK-nya makin banyak yang menganggur.
Gibran merasa bahwa anak muda produktif dalam bonus demografi adalah jawaban dari masalah bangsa. Tapi realitasnya, justru banyak angkatan kerja yang merasa hopeless.
Pada 2024, ada 1,8 juta orang yang merasa hopeless of job alias merasa tidak mungkin mendapatkan pekerjaan. Angkanya sempat menurun, tapi pasca-COVID 19, angkanya kembali naik, jauh lebih tinggi dari tahun 2014.
Pada 2014, ada 1,2 juta orang yang hopeless of job; per Agustus 2024, jumlahnya lebih banyak.
Mereka yang hopeless bisa dapat kerja pada 2024 justru didominasi anak-anak muda usia 20-29 tahun (jumlahnya 36 persen). Sementara untuk usia 30-39 tahun, usia Milenial seumuran Gibran, jumlahnya 334 ribu jiwa.
Melihat Gibran berbicara soal bonus demografi, malah bikin saya jadi ikutan hopeless. Sarena Si Paling AI ini hanya bicara dengan tempelan data, tanpa paham apa masalah sebenarnya.
Atau, mungkin Gibran bisa seoptimis itu karena menganggap semua orang punya bapak dan paman yang siap membantu mengubah aturan MK sehingga anak dan keponakannya bisa dapat kerja.