JOB FAIR di SMK Sunan Drajat, Kecamatan Paciran, Lamongan pada Kamis, 17 April 2025 dibanjiri ratusan para pencari kerja. Mereka datang dari penjuru Lamongan hingga kabupaten tetangga, Gresik dan Bojonegoro.
Sebagian besar peserta merupakan siswa dari SMK Sunan Drajat. Mereka terlihat berada di bagian depan aula dengan mengenakan seragam berwarna biru. Mereka adalah ratusan siswa yang akan lulus sekolah pada bulan Juni. Sebelum lulus, mereka sudah langsung mencari kerja.
Sementara itu di bagian belakang, tampak para pencari kerja yang tidak berasal dari Pondok Pesantren Sunan Drajat. Mereka kebanyakan datang setelah membaca pamflet yang disebar di grup-grup whatsapp maupun unggahan instagram @disnakerlamongan. Tertulis dalam pamflet tersebut bahwa acara tersebut juga dimeriahkan dengan talkshow dan live music. Dalam pamflet tersebut juga tertulis bahwa bursa kerja itu dihadiri oleh 30 perusahaan.
Para peserta baru bisa menyerahkan amplop coklat surat lamaran pada pukul 11.00 WIB. Mereka harus bersabar menunggu hingga acara talkshow yang berisi ceramah agama dan motivasi kerja selesai. Setelah talkshow selesai, ratusan peserta itu pun langsung mengerubungi booth-booth perusahaan. Semua berbaris rapi dan mengantri untuk menyerahkan surat lamaran kerja. Di beberapa perusahaan juga ada yang mengadakan wawancara kerja langsung kepada para peserta.
Sayangnya 30 perusahaan yang tercantum di pamflet yang tersebar itu tidak sesuai sebagaimana adanya. Yang hadir dalam bursa kerja itu hanya ada 17 unit usaha. 17 unit usaha itu dari perusahaan manufaktur, perbankan, hingga infrastruktur.
Pada siang terik di dekat Pantai Utara Lamongan itu, duduklah Ghofar (bukan nama sebenarnya) di luar tenda job fair itu. Ia merokok sambil menunggu kapan ia bisa mulai menyerahkan amplop coklat berisi lamaran kerja yang sudah disiapkan dari rumah. Ghofar memutuskan untuk keluar dari tenda tersebut karena merasa jenuh dengan talkshow yang hanya berisi sesuatu yang tidak begitu penting baginya. Ia tampak cukup kesal karena yang dibutuhkannya adalah pekerjaan, bukan ceramah agama dan motivasi kerja.
Ghofar datang dari Desa Sedayu Lawas, Kecamatan Brondong yang berjarak 15 km dari lokasi job fair itu. Sedari pagi, ia sudah menyiapkan berkas-berkas yang disiapkan untuk melamar kerja. Ia berangkat dengan pakaian terbaik di lemarinya dan juga telah berpamitan kepada orang tuanya.
Sudah setahun ini Ghofar menganggur. Pekerjaan terakhirnya adalah menjadi admin untuk tempat pelelangan ikan. Dikarenakan di perusahaan itu banyak libur dan upahnya tidak mencukupi kebutuhan hidupnya, Ghofar memutuskan untuk tidak melanjutkan pekerjaan tersebut.
Sebagai lulusan SMA jurusan IPS, Ghofar memang sulit untuk mencari pekerjaan yang tetap di Lamongan. Menjadi anak semata wayang juga membuat Ghofar untuk urung merantau seperti orang Lamongan kebanyakan, padahal banyak ajakan dari teman-teman sejawatnya untuk merantau saja. Ia pernah mencoba menjadi nelayan, namun ia sadar memiliki kekurangan fisik yang membuatnya tidak mampu untuk mengarungi samudera.
“Nggak diizinin orang tua Mas, kalau ikut miyang (mencari ikan di laut). Dulu pernah nyoba sekali, muntah terus, mabuk laut. Sama Bapak jadi gak dibolehin untuk ikut yang lain. Pekerjaan jadi nelayan itu kan resikonya gede juga kan?” keluh Ghofar.
Selama menganggur sebetulnya Ghofar bekerja serabutan. Kadang ia bekerja sebagai kuli bangunan, kadang membantu mencari ikan, kadang juga jaga warung kopi. Setelah pekerjaan itu selesai, Ghofar selalu menunggu panggilan dari keluarga maupun temannya untuk ditawari pekerjaan. Namun pekerjaan-pekerjaan itu belumlah cukup untuk menghidupi kebutuhan Ghofar.
Ghofar tidak begitu percaya dengan adanya lowongan kerja yang ada di sosial media. Menurutnya lowongan itu terlalu banyak penipuan dan promosi judi online membuatnya wegah untuk mengikuti lamaran-lamaran tersebut.
Saat job fair itu, Ghofar melamar di Perekonomian Sunan Drajat dan PT Lintech Duta Pratama. Ada perasaan pesimis bahwa lamarannya bakal diterima, namun ia tetap mencoba menyerahkan surat lamaran itu ke 2 perusahaan tersebut. Sebagai lulusan SMA, skill dan kemampuan Ghofar sebetulnya belum begitu mumpuni untuk bekerja di perusahaan tersebut.
“Kalau di Sunan Drajat itu sebetulnya bisa dipelajari, kalau di Lintech ini kan ngelas-ngelas gitu. Aslinya belum bisa, tapi bisa dipelajari lah. Sebetulnya ragu-ragu. Karena yang ngelamar kan banyak juga, masih muda juga, ada yang S1 juga. Kalau yang sama S1 itu saya agak minderan. Saya kan cuma lulusan SMA,” ujarnya.
Mencari kerja di Lamongan memanglah tidak mudah. Selain karena pekerjaannya tidak banyak, melamar kerja di Lamongan juga susah karena harus punya orang dalam. “Saya sudah sering ngirim lamaran ke perusahaan-perusahaan di daerah Paciran sini Mas. Tapi ya gitu, mungkin karena gak punya kenalan orang dalam jadinya susah. Lamarannya jadi mandek di satpam aja,” keluhnya.
Perempuan Punya Anak Lebih Sulit Dapat Kerja
Bursa kerja itu memang didominasi oleh laki-laki, meski demikian jumlah perempuan yang melamar kerja juga tidak sedikit. Nafisah (21) tampak keluar dari tenda job fair itu dengan wajah merengut. Nafisah yang sudah datang sejak pagi harus rela tidak menyerahkan lamaran kerja karena tidak ada yang sesuai dengan bidangnya. Sebetulnya, ia ingin menyerahkan amplop coklatnya ke Perekonomian Sunan Drajat, namun ternyata perusahaan itu ternyata hanya menerima lamaran via surat elektronik.
Nafisah pun menceritakan keluh kesahnya sebagai perempuan mencari kerja di Lamongan. Sebagai perempuan seorang perempuan yang menikah muda dan mempunyai seorang anak, sulit sekali bisa mendapatkan pekerjaan. Nafisah adalah seorang lulusan SMK jurusan Tata Busana. Setelah lulus sekolah, pekerjaan yang pernah dijalani Nafisah adalah pelayan di cafe, jaga stand makanan, dan penjahit, namun hanya bertahan beberapa bulan.
“Pernah melamar kerja tapi karena sudah menikah dan punya anak jadi kendala. Waktu itu pernah melamar di Duta Merpati pernah, di PT DOK juga pernah bagian kantin gitu. Yang paling banyak alasan tidak diterima karena punya anak dan sudah menikah, karena yang diutamakan kan yang masih single,” keluhnya.
Selama ini Nafisah juga terus mencari pekerjaan di sosial media. Namun lowongan yang tersedia tidak begitu cocok untuknya yang sudah berkeluarga. Lowongan yang tersedia di Facebook dan Telegram, menurutnya, masih sekitar menjadi penjaga stand FnB dan kurir jasa pengiriman. Itu pun kebanyakan kerjanya hanya paruh waktu.
Nafisah mengungkapkan bahwa ada tawaran untuk merantau dari teman-temannya. Namun karena terkendala sudah berkeluarga, Nafisah menjadi mengurungkan diri untuk menempuh jalan tersebut. Sebetulnya muncul keinginan untuk membuat usaha sendiri, tapi modal menjadi kendala utama.
“Aslinya pengen bikin usaha sendiri, tapi mulai dari 0 itu susah yah. Mulai dari modal, tekad yang kuat, atau kenalan mitra-mitra kerja yang lain kan,” ucapnya.
Suara adzan dhuhur mulai berbunyi kencang di Pondok Sunan Drajat. Nafisah buru-buru memutuskan untuk pulang karena ada anak yang menunggunya di rumah. Jarak antara rumah Nafisah dan Pondok Sunan Drajat cukup jauh apalagi dibarengi dengan akses jalan rusak yang bergelombang. Nafisah pun pulang dengan kekecewaan.
“Kecewanya kan didatangi 30 perusahaan ya apalagi katanya ada perusahaan-perusahaan besar itu kan. Yang di pamflet. Terus ternyata perusahaan-perusahaan itu ternyata juga gak semuanya itu pekerjaan, ada yang kursus. Jadi kayak semacam promosi dari perusahaan-perusahaan ini bisa ikut job fair kayak gini,” keluhnya.

Jadi Petani Susah, Cari Kerja Sama Saja
Mencari pekerjaan di Lamongan memang tidaklah mudah. Hal tersebutlah yang membuat banyak dari orang Lamongan pergi merantau. Entah untuk berjualan pecel lele atau menjadi TKI di luar negeri. Jika kita berkunjung ke pelosok desa di Kabupaten Lamongan kita akan menyaksikan hal itu. Di desa-desa tersebut sangat jarang terlihat anak muda yang berseliweran. Kita hanya akan melihat adanya bapak-bapak tua yang nongkrong di warung kopi tengah sawah dan juga Ibu-ibu yang menyapu di halaman rumahnya.
Tinggal di Lamongan kita akan mendapati adanya cuaca atau kondisi alam yang memprihatinkan. Ada pameo nek rendeng gak iso ndodok, nek ketigo gak iso cewok yang berarti kalau musim hujan tidak bisa jongkok, kalau kemarau tak bisa cebok. Pameo yang menggambarkan prosesi berak tersebut sebetulnya merupakan satir bahwa jika musim kemarau Lamongan akan kesulitan air namun jika penghujan akan ada bencana banjir. Kabupaten Lamongan terletak di sebelah utara pulau Jawa dan menjadi tujuan akhir Bengawan Solo sebelum ke laut utara.
Kondisi pertanian di Lamongan juga bisa dibilang cukup memprihatinkan. Banyak lahan pertanian kini telah berubah menjadi perumahan. Di kawasan Kecamatan Lamongan, Tikung, Turi, hingga Sukodadi telah terdapat banyak kawasan perumahan-perumahan baru. Lokasi perumahan itu dulunya merupakan lahan persawahan yang dimiliki para petani di Lamongan. Belum banyaknya SMK yang mengambil jurusan pertanian juga memicu banyak anak muda menjadi kurang minat untuk menjadi petani.
Project Multatuli sempat menemui mantan petani yang sawahnya telah dijual. Ferdi (32) adalah warga dari Desa Sumberrejo yang telah menjual semua sawahnya pada 2020 lalu. Ia memutuskan menjual sawah tersebut karena pandemi dan juga permasalahan tengkulak, pupuk, dan sebagainya.
“Masalah pertanian itu gara-gara wereng dan sebagainya. Kalau pupuk itu jadi masalah dari dulu. Katanya disubsidi tapi ngambilnya susah, kalau nggak subsidi harganya mahal, jadi waktu panen hasilnya gak nyucuk (sebanding),” ucapnya.
Sawah Ferdi tidak dijual ke perusahaan properti karena lokasinya yang terletak jauh dari pemukiman. Namun ia mengungkapkan bahwa banyak dari tetangganya tersebut menjualnya ke perumahan karena permasalahan serupa.
“Sawah-sawah yang dekat Perumnas itu sekarang sudah dijualin ke perumahan. Sekarang ya gitu, ditebas sama orang-orang propertian itu. Masalah sawah itu sebetulnya masalah luas juga. Kalau luas itu hasilnya lumayan, masalahnya yang dijual itu sawah yang gak seberapa luas gitu. Daripada ngerawatnya rekoso, jadi ya dijual saja. Buat kebutuhan sehari-hari sampai ya nguliahin anaknya,” ucap Ferdi yang saat ini mempunyai usaha pengolahan kayu.
Para petani itu pun akhirnya menjual tanahnya kepada para pengusaha properti. SMK yang memiliki jurusan Pertanian di Lamongan pun jumlahnya cuma 2 sekolah, dan itu pun bukan sekolah negeri. Kurangnya perhatian dari pemerintah dan minat anak muda untuk menjadi petani membuat banyak anak muda di Lamongan menjadi urung menjadi petani.
Uang hasil penjualan tanah itu pun dibuat untuk mengkuliahkan anaknya ke perguruan tinggi. Para petani ini tidak ingin anaknya bersusah payah menjadi petani seperti yang telah mereka lakukan bertahun-tahun. Dapat mengkuliahkan anaknya ke luar kota dinilai bisa mampu untuk memperbaiki kehidupan para petani di desa. Ada sebuah kebanggaan pula dari masyarakat desa bisa mengkuliahkan anaknya ke luar kota, seperti ke Surabaya, Malang, atau Yogyakarta.
Jaringan perantau dari Lamongan yang telah meluas di seluruh kota-kota di Indonesia juga memancing banyak anak muda untuk merantau. Apalagi jaringan ini telah dibangun selama bertahun-tahun. Banyak sekali tawaran untuk berjualan makanan entah itu Soto Lamongan ataupun Pecel Lele. Hal tersebutlah yang membuat banyak anak-anak muda Lamongan lebih baik meninggalkan kotanya daripada harus bersusah payah mencari kerja di kotanya sendiri.
Kurang banyaknya perusahaan padat modal juga membuat anak Lamongan menjadi merantau di Kota-kota sekitar. Seperti Gresik, Tuban, Bojonegoro, hingga Surabaya. Mereka yang ingin bekerja di Perusahaan, lebih memilih bekerja di kota-kota tersebut daripada harus susah payah bersaing di kota sendiri yang jumlah pesaingnya begitu banyak.
Sementara itu Data Dinas Ketenagakerjaan Lamongan tahun 2024 menunjukan, angka pengangguran di Lamongan mencapai angka 35.981 orang atau sekitar 4,34 persen. Persentase ini mengalami penurunan sejak 2020 ketika pandemi Covid-19 melanda Indonesia. Sementara itu dari 792 ribu pekerja, sebanyak 59,9 persen bekerja di sektor informal.
Masalah Lulusan SMA/SMK
Guru Besar Sosiologi Departemen Sosiologi FISIP Universitas Airlangga, Prof. Dr. Bagong Suyanto Drs., M.Si yang juga memiliki perhatian terhadap kemiskinan, pembangunan, dan masalah anak-anak juga memiliki keresahan akan hal itu. Dalam wawancara yang dilangsungkan pada 21 April 2025, ia mengungkapkan permasalah terbesar ketenagakerjaan adalah adanya mismatch antara profil tenaga kerja dan kebutuhan dunia industri. Profil tenaga kerja lulusan SMA/SMK saat ini dibangun dengan pendidikan yang menjurus pada usaha padat karya, padahal perusahaan memerlukan pekerja yang mempunyai mental padat karya.
“Jadi profil tenaga kerja kita ini memang sudah meningkat ya jumlah lulusan SMA lulusan SMK ini kan pekerjaan-pekerjaan di tingkat middle ya nah tapi persoalannya itu industri itu punya kriteria dan harapan yang berbeda dengan apa yang diinginkan oleh lulusan SMA dan SMK ini. Sehingga yang terjadi ada mismatch,” ucapnya.
Begawan dari Unair ini mengungkapkan pembangunan pabrik yang besar di daerah Gresik, Sidoarjo, hingga Pasuruan saat ini sifatnya masih padat modal. Hal tersebut membuat susahnya sektor industri mengambil para pekerja dari lulusan SMA/SMK. Sampai saat ini belum adanya pendidikan di tingkat sekolah tersebut yang telah mampu menyiapkan lulusannya untuk terjun di bidang usaha tersebut.
Para lulusan SMA/SMK menjadi tidak masuk dalam kriteria kerja yang dibutuhkan perusahaan-perusahaan tersebut. Di beberapa perusahaan yang telah ditemui oleh Bagong, terlihat bahwa para pekerjanya tidak sampai 10 orang. Perusahaan yang menjadi objek penelitiannya adalah JIIPE di Gresik dan perusahaan bir di Mojokerto. Hal tersebut tentu memicu adanya ketidakcocokan antara yang dibutuhkan perusahaan dan yang diharapkan oleh para pencari kerja.
“Masalahnya sekarang ini iklim kompetisi di kalangan pekerja kan semakin ketat, sehingga ada indikasi lulusan perguruan tinggi mau menerima pekerjaan yang itu lulusan SMA. Sehingga di level itu intensitas persaingannya itu semakin menjadi-jadi yah,” ucapnya.
Lulusan SMA/SMK sampai saat ini masih merasa pokoknya kerja dulu. Mental tersebut, menurut Bagong, adalah kesalahan yang membuat perusahaan menjadi enggan mempekerjakan mereka. Perusahaan itu pun menjadi hanya dijadikan batu loncatan. Para pencari kerja pun juga tidak lagi melihat kualifikasi kemampuan dan keahliannya. Dalam diri mereka hanya punya pikiran untuk yang penting bisa bekerja di perusahaan.
“Keahliannya itu tidak jelas. Kalau perusahaan itu kan pragmatis, mereka membutuhkan pekerja yang betul-betul mereka butuhkan. Sedangkan pekerja-pekerja kita itu lulusan SMK masih belum kelihatan bener. Itu yang membuat perusahaan jadi pilih-pilih,” ujarnya.
“Apalagi perusahaan tentu selain keahlian juga membutuhkan pekerja yang loyal ini kadang membuat proses rekrutmennya itu juga tidak hanya menimbang kompetensi keahliannya. tapi juga aspek-aspek sosial psikologisnya itu kan ditanya. Misalnya pekerja yang terindikasi resistensinya kuat ya cenderung gak dipilih,” tambahnya.
Bagong mengungkapkan bahwa permasalahan ketenagakerjaan semacam ini merupakan masalah global. Tidak hanya menjangkiti Indonesia, apalagi Jawa Timur. Tingginya populasi manusia juga tentu dibarengi dengan kebutuhan yang bermacam-macam.
Meski begitu, Bagong menyoroti bahwa sampai saat ini masih banyak lowongan kerja yang tersebar di sosial media dan berita-berita ternyata masih belum menyelesaikan masalah ini. Hal ini membuktikan bahwa bargaining kerja menjadi lemah.
“Kalau kita baca di media itu kan lowongan di media itu buka terus yah. Tapi ya tadi, antrian pencari kerjanya jauh lebih panjang daripada kesempatan kerja yang tersedia. Sehingga yang terserap dan yang tidak ini kan lebih banyak yang tidak,” pungkasnya.
Tulisan ini adalah bagian dari serial liputan Generasi Cemas.