Bisa segera mendapat pekerjaan setelah lulus sekolah atau kuliah adalah idaman anak muda di Padang, Jambi, dan Palembang. Mereka mengikuti akun-akun media sosial yang membagikan lowongan kerja, supaya tidak ketinggalan informasi. Meski kadang putus asa, tapi mereka tetap mengirimkan lamaran ke mana saja.
YONA (25) sudah dua tahun lulus dari sebuah universitas swasta di Sumatera Barat dengan gelar sarjana hukum. Meski bergelar sarjana, bukan jaminan jalan hidupnya lancar dan kariernya mulus. Sejak lulus dua tahun lalu, ia tak juga mendapat pekerjaan yang ajeg.
“Umur bertambah, pengeluaran banyak, sementara pemasukan nggak jelas,” keluhnya.
Sejak lulus, perempuan minang ini aktif mencari banyak info lowongan kerja di instagram, TikTok, dan aplikasi seperti Jobstreet, LinkedIn, ineed, jakarta.job, magenta dan banyak lagi.
“Kalau di grup cuma share-share info loker aja,” katanya.
Pada Agustus 2024, ia memutuskan untuk merantau ke Jakarta, sebab sebagian besar lowongan pekerjaan yang ia minati ada di Jakarta. Namun berangkat ke Jakarta justru jadi pengalaman buruk buatnya.
Suatu hari, ia mendapatkan panggilan untuk wawancara di sebuah perusahaan yang lokasinya jauh dari kosnya. Ia meminta tolong temannya untuk mengantarnya ke lokasi tersebut. Sampai di sana, ia meminta temannya menunggu, sementara itu ia naik ke lantai dua sebuah ruko. Selesai interview, ia dinyatakan diterima kerja namun dengan syarat memberikan sejumlah uang.
Ia segera menelpon temannya dan memberitahu kabar itu. “Yona telpon, cerita disuruh bayar eh dia malah marah-marah disuruh keluar, pulang, penipuan itu bayar-bayar,” tuturnya. Saat itu Yona dimintai uang Rp850 ribu sebagai deposit.
Sepanjang perjalanan pulang ia dengan perasaan dongkol. Ia sudah jauh-jauh datang dan berharap benar-benar bisa mendapat kerja, namun berujung pada penipuan.
Sesampai di kos, ia membuat TikTok dan menemukan sebuah konten yang menjelaskan tentang ciri-ciri panggilan interview penipuan. “Yona lihat di komennya udah banyak korban dari macam-macam bidang loker,” katanya.
Itu bukan pertama kalinya Yona terjebak pada panggilan interview penipuan. Yona menunjukkan tangkapan layar email panggilan kerja yang masuk ke kotak surat elektroniknya. “Ini panggilan pertama interview, disuruh bayar 850 ribu, dirayu sebaik mungkin untuk mengeluarkan uang,” katanya.
Berangkat dari pengalaman itu, Yona akhirnya aktif membagikan pengalamannya di kolom komentar postingan lowongan kerja di media sosial. “Banyak banget info loker hoaks yang beredar, Yona aja ngalamin beberapa kali kayak gitu. Ketika ada panggilan interview, pasti cari di tiktok dulu itu bener apa nggak, kita saling kasih tahu PT atau perusahaan ini asli atau bodong,” katanya kesal.
Ia menceritakan salah satu modus penipuannya:
Pertama, ketika interview, pelamar dinyatakan diterima kerja namun dengan syarat membayar sejumlah uang deposit atau biaya sewa seragam kerja.
Kedua, pelamar akan dijanjikan segera bisa kerja setelah satu bulan sejak tanggal pembayaran.
Ketiga, ketika uang sudah disetor, pelamar akan diminta balik lagi ke tempat interview. Namun yang terjadi, tempat kantor itu sudah kosong.
“Umumnya lokasinya di ruko-ruko gitu,” sambungnya. Dia bersyukur belum pernah mengeluarkan uang untuk hal-hal semacam itu.
Belajar dari panggilan pertama dan komentar sesama pencari kerja di tiktok, jika lokasi di ruko-ruko dan kawasan perkantoran yang sepi, Yona memutuskan tidak melanjutkannya. Setelah berkali-kali mendapat jawaban pemberi kerja yang seperti itu, dia memutuskan pulang ke kampung halaman.
“Karena nggak ada panggilan kerja dan masalah kesehatan, Yona pulang September kemarin. Yona mikirnya jika kita ke kota besar, saingannya memang besar, begitu pula dengan peluang kita. Tapi ternyata tidak sesuai dengan yang Yona pikir,” katanya.
Dia pulang sembar melanjutkan usaha kecilnya menjual sosis dan gorengan lainnya sembari mencari-cari informasi pekerjaan. Sebab dia merasa tak berkembang karena usahanya yang begitu-begitu saja. Mimpinya hanya ingin mendapat kerja yang layak. Apa pun itu. Namun rencananya tak sesuai dengan kenyataan.
“Kalau hanya sekadar mencari kerja, kerja itu mungkin ada dan banyak. Cuma tidak cukup memenuhi kebutuhan kita, ditambah jam kerja yang nggak masuk akal. Jika sesuai dengan UMR nggak apa-apa dan masih bisa ditolerir, lah ini setengah UMR aja nggak sampai, gimana nggak pilih-pilih kerjaan jaman sekarang,” katanya.
Harus Ada Orang Dalam
Afdhal (24) sempat pontang-panting ketika pandemi Covid-19 melanda. Ia menjadi salah satu korban PHK karena perusahaan gulung tikar. Padahal ia merasa pekerjaannya saat itu sudah sesuai dengan bidang yang ia minati, yakni desain.
Ketika sekolah ia memilih masuk Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) di Padang dengan jurusan Desain Komunikasi Visual. Harapannya, ketika lulus pada 2019, ia bisa segera mendapat pekerjaan. Selama beberapa bulan ia menganggur sebelum mendapat pekerjaan. Tak lama setelah mendapat pekerjaan, Covid-19 melanda, dan ia pun kehilangan pekerjaan.
Ia akhirnya kembali luntang-lantung. Ia berupaya mencari pekerjaan serupa, namun tidak ada yang menerimanya. “Kebanyakan pekerjaan itu dari kenalan atau orang dalamnya. Kalau yang masuk-masukin gitu susah,” katanya.
Karena desakan ekonomi, ia pun tak pilih-pilih lagi pekerjaan. Apa saja, asalkan halal dan menghasilkan uang, ia mau mengerjakannya. Ia mencoba peruntungan mencari pekerjaan di bidang Food and Beverage (FnB). Namun ia selalu kalah saing dengan mahasiswa yang mencari pekerjaan part time di kafe-kafe.
Berkaca dari pengalaman itu, ia merasa orang-orang tamatan SMK sepertinya sebenarnya hanya memiliki sedikit kesempatan, namun harus bersaing dengan para pencari kerja part time. Di industri FnB, part time diupah digaji lebih murah sehingga skema part time dianggap lebih menguntungkan pengusaha.
Usaha Afdhal pun berbuah hasil, ia akhirnya diterima bekerja di bidang FnB setelah berbulan-bulan menganggur. Baru-baru ini, ia ditawari temannya untuk mengelola sebuah kafe. Ketika kesempatan itu datang, ia melepaskan keinginan untuk kembali bekerja sesuai dengan jurusan sekolah.
“Kalau di FnB ini kan bang misalnya di kafe kita bisa mengambil waktu untuk merokok. Kalau kerja di kantor tentu sulit akan mengambil waktu merokok,” katanya sembari tertawa.
Rafi (17) tidak seberuntung Afdhal. Sudah empat tahun ini ia hidup menggelandang di kota Padang. Ia pergi ke Padang berharap bisa mendapat pekerjaan, setelah hidup keluarganya hancur di Pekanbaru, Riau. Kedua orang tuanya sudah tiada, sementara pamannya yang menjadi tempat menggantungkan hidup tersandung kasus narkoba.
Ia ingin keluar dari bayang-bayang masa lalu itu dengan pergi keluar dari Pekanbaru. Ketika tiba di Padang, ia berkeliling sejumlah tempat mencari pekerjaan, dari toko-toko hingga warung makan. Selama itu ia hidup berpindah-pindah, dari masjid ke masjid, dari warnet ke warnet.
Ia berharap bisa mendapat pekerjaan dari tukang bersih-bersih saja tidak ada yang mau menerima karena asal-usulnya dianggap tidak jelas. Ia juga tidak memiliki smartphone yang bisa membantunya mengakses informasi lowongan kerja.
“Susah cari kerja, bahkan untuk kebersihan aja,” katanya.
Dalam kondisi yang susah ini, ia hanya bergantung pada kebaikan beberapa teman dan kenalan. Jika terpaksa, ia meminta makan dan minum ke warung makan.
Dalam kondisi seperti itu, anak muda seperti Rafi kerap menghadapi hujatan dan nyinyiran, “Masih muda tapi ngemis”, padahal realitasnya tak ada satu pun yang mau menerimanya untuk bekerja.
Data BPS Sumatera Barat mencatat, paling tidak pada Agustus 2024 ada 170 ribu penduduk Sumatera Barat yang masuk dalam pengangguran terbuka. Dari jumlah tersebut, sebanyak 93 ribu pengangguran adalah lulusan SMA/SMK.
Lulusan SMK Tak Jamin Langsung Kerja
Sudah tiga tahun Ridho (20) lulus dari SMK, tapi harapan langsung bekerja tak kunjung tercapai. Padahal ketika sekolah, ia belajar dengan rajin dan giat. Ia merasa percaya diri menguasai materi dan praktik teknik elektro.
Namun sampai saat ini, tak satu pun pekerjaan yang berhasil dia dapatkan. Ia sudah banyak menyebar lamaran kerja, tapi tak ada yang menerimanya.
“Kemarin itu dari sekolah ada informasi untuk teknisi yang ganti-ganti uang di ATM itu. Sudah dikirim berkas tapi sampai sekarang belum ada kabarnya,” katanya.
Sesungguhnya ia merasa hopeless.
Saat saya temui, Ridho sedang ngobrol dengan Evan, pamannya yang sedang mencuci motor. Di tengah perbincangan dengan Ridho, Evan (27) ikut mengadu nasib. Evan bilang, ia lulusan D3 Teknik Informasi, dan sulit sekali mendapatkan pekerjaan.
“Susah cari kerja sekarang,” kata Evan.
Saking susahnya mendapat pekerjaan Evan sempat asal-asalan kirim lamaran kerja dan menerima apa saja, asalkan kerja. Dengan modal ijazah D3, ia pernah bekerja menjadi pengantar galon air minum beberapa tahun lalu.
Beruntung kini ia mendapat pekerjaan sebagai staf tata usaha di sebuah sekolah di Palembang. Namun gajinya tidak cukup untuk hidup. Karena alasan itu, ia pun mengambil pekerjaan sampingan sebagai tukang ojek online.
“Gimana mau nikah, biaya anak?” ujar pria yang mendambakan segera menikah.
Ridho tersenyum saja mendengar curhatan paman sembari menghela nafas panjang.

Kecemasan tidak segera mendapat pekerjaan setelah lulus sekolah bukan cuma dihadapi Ridho, tapi juga Imron, siswa SMK jurusan Bisnis dan Pemasaran di Jambi. Pada Mei 2025 ini ia akan lulus, namun sejak beberapa bulan lalu ia sudah mulai mencari-cari lowongan kerja di Jambi.
“Saya mencari di instagram dan facebook,” katanya.
“Carinya loker bagian gudang, karena saya senang mengurus bagian gudang, saya suka mengolah data gudang,” katanya. Ia tak yakin, mencari kerja akan semudah seperti janji-janji lulusan SMK lebih mudah mendapat kerja.
“Kalau melihat kondisi ekonomi saat ini ada juga rasa cemasnya. Sebab saya takut nanti mau nyari kerja besarlah pengeluaran daripada pemasukan. Ya, sebab dengan kondisi ekonomi sekarang ini, mencari kerja itu sangat susah,” katanya.
Ferdiansyah Rivai pemerhati sosial Universitas Sriwijaya mengatakan cerita tentang anak muda sudah mencari kerja ini sebenarnya juga terkonfirmasi dalam data makro Badan Pusat Statistik (BPS). “Di mana tahun 2023 terdapat hampir 10 juta penduduk Indonesia usia 15-24 yang tidak bekerja dan tidak sedang sekolah atau not in employment, education and training alias NEET,” katanya.
Kondisi ini menurutnya tak terlepas dari kondisi ekonomi seperti booming harga komoditas akibat konflik Rusia-Ukraina di penghujung 2021. “Indonesia fokus pada sektor primer seperti batubara dan sawit, terutama untuk melayani pasar ekspor. Ekonomi pertambangan khususnya adalah ekonomi yang capital intensive, bukan labour intensive. Jadi butuh banyak modal tapi tidak butuh banyak pekerja,” katanya.
Virtuous Setyaka akademisi dari Universitas Andalas mengatakan pengalaman generasi Z tersebut menunjukkan ketidakpastian dan frustasi yang mereka alami dalam menghadapi pasar kerja yang semakin sulit. Meskipun informasi lowongan kerja banyak di media sosial, kenyataannya banyak yang tidak memenuhi ekspektasi bahkan berpotensi jadi penipuan.
Dalam perspektif ekonomi politik global situasi ini menurut Virtuous mencerminkan ketidaksetaraan yang dihadapi pekerja muda di negara berkembang dalam sistem kapitalisme global. Globalisasi dalam konteks ini menurut Virtuous seringkali malah memperburuk ketimpangan sosial dan ekonomi.
“Dalam banyak kasus, meskipun negara-negara berkembang seperti Indonesia memiliki akses ke pasar global, ketidaksetaraan dalam distribusi keuntungan global tetap tinggi. Hal ini mengarah pada pekerjaan yang tidak memadai dengan upah yang rendah dan kondisi kerja yang buruk,” katanya.
Permasalahan Mendasar SMK
Tingkat lulusan SMK di Indonesia menunjukkan angka mengkhawatirkan. Menurut Anggi Afriansyah, peneliti di Pusat Riset Kependudukan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), berdasarkan data BPS pengangguran tamatan SMK dari Februari 2023 hingga FEbruari 2025 berada di kisaran 8 hingga 9 persen.
“Ini menjadikannya sebagai penyumbang pengangguran terdidik tertinggi dibandingkan lulusan SD, SMP, SMA maupun sarjana,” kata Anggi. Menurutnya kondisi ini kontradiktif dengan visi misi pendidikan vokasi SMK yang seharusnya menyiapkan lulusan untuk langsung terserap ke dunia usaha dan industri.
Menurut Anggi masalahnya bukan hanya pada kompleksitas sistem pendidikan vokasi itu sendiri, tapi juga terbatasnya lapangan pekerjaan yang tersedia. Anggi menyoroti bahwa SMK di Indonesia cenderung diarahan mencetak tenaga kerja yang cocok dengan industri manufaktur. Padahal sejak 1990 hingga 2018 kontribusi sektor ini terhadap Indonesia terus mengalami penurunan. “Ada fenomena deindustrialisasi prematur di Indonesia dan ini luput dari perhatian,” katanya.
Menurutnya terlalu mudah menyalahkan kualitas lulusan SMK atau kapasitas sekolahnya. “Memang ada masalah di sistem pendidikannya, namun problem deindustrialisasi juga harus jadi sorotan utama,” katanya.
Sementara itu Edi Subkhan peneliti kebijakan pendidikan dari Universitas Negeri Semarang menilai paradigma link and match hanya menjadikan siswa SMK tidak berdaya di tengah dunia kerja yang berubah cepat.
“Ketika link and match dipahami sebagai SMK harus match betul dengan korporasi. Atau perusahaan yang sedang atau masih eksis yang artinya eksistensi peluang kerja anak-anak tersebut tergantung eksistensi perusahaan,” katanya.
Akibat dari paradigma tersebut dapat dilihat dari kurikulum yang cenderung memberikan keterampilan teknis untuk kerja saja, namun kurang memberikan fondasi nalar kritis, higher-order thinking skills, soft-skills.
“Oleh karenanya anak-anak SMK yang sedianya dididik untuk dapat langsung bekerja begitu lulus, saingannya makin banyak di era sekarang, yakni di era keterampilan teknis makin tergantikan oleh AI dan teknologi robotik dan otomasi,” katanya.
Tulisan ini adalah bagian dari serial liputan Generasi Cemas.