Cangkul Tumpul Petani Cianjur di Atas Hutan Negara

Ronna Nirmala
19 menit
Seorang anggota Kelompok Tani Hutan (KTH) Ciloto Maju melintasi kebun sawi di atas lahan di Desa Ciloto, Cipanas, Cianjur yang selama puluhan tahun hingga kini belum mendapatkan Sertifikat Hak Sewa Guna Lahan. (Project M/Rangga Firmansyah)

Ratusan petani berharap legalitas mengelola hutan Perum Perhutani. Namun, proses itu menemui sejumlah kendala: perizinan mandek, iming-iming “jalur cepat,” hingga tumpang tindih dengan perusahaan.


SEEKOR ANJING beagle berwarna dominan cokelat dan putih menguntit langkah Haji Karta yang lamban. Sesekali, ketika melihat monyet, ia menggonggong ke arah pepohonan.

Karta berladang di bukit belakang Grand Aston Puncak, Bogor, Jawa Barat. Di ketinggian 1.200 meter di atas permukaan laut di kawasan dengan vegetasi yang rapat.

Tak sulit menjumpai monyet ekor panjang di sana. Mereka biasanya bersarang di atas dahan pohon kaliandra saat pagi dan petang ketika mencari makan sayur-mayur.

Beberapa petani sayur angkat tangan menghadapi gerombolan monyet. Mereka beralih menanam bunga mawar kol.

Karta memilih cara berbeda. Ia tetap bertanam sayur kol, sembari membangun benteng pertahanan. Ia mendirikan saung jaga dari kayu, berukuran tiga kali empat meter persegi di dekat ladang. Selain anjing pemburu beagle, ia memelihara dua ekor anjing kampung. Terkadang, ia dan istri ikut bermalam di saung tersebut.

Benteng pertahanan tak selalu aman. Sesekali mereka kerepotan atas polah para monyet. Akan tetapi, pria bernama asli Sadili ini tak ambil pusing.

Panggilan Haji Karta diberikan oleh orang-orang Ciloto karena ia adalah satu dari sedikit sesepuh desa dan petani paling senior di sana. Tahun ini ia menginjak usia 80.

Karta menghabiskan nyaris seluruh hidupnya untuk bertani. Pendidikannya hanya sekolah dasar. Pengaruh bertani tumbuh kuat dari sang ayah.

Datang ka sakola teh balik beurang wae teu ngarieutnya. Digebugan diteang ku kolot ka guruna, ceuk pak guru teh ‘bapa sia keur ngambek ka aing teh dibere elmu matak teu disakolakeun’,” kata Karta. Maksudnya, ayahnya melarangnya sekolah sampai memarahi gurunya karena ia baru bisa ke ladang saat siang sepulang sekolah.

Tahun 1955, Karta pertama kali membuka lahan bersama ayahnya, garis pekerjaan turun-temurun sejak kakeknya beberapa tahun lebih dulu.

Kehidupan Karta tak jauh dari urusan sayur-mayur. Saat remaja, bila tidak menggarap ladang orang, ia ikut kerabat berjualan hasil panen ke Jakarta.

Dari berdagang itu ia belajar baca dan tulis hingga berdagang. “Teu disakolakeun ge otak mah moal nginjeum lah,” kata Karta. Nggak sekolah pun saya bisa pintar cari uang, katanya.

* * *

Anjing beagle itu sudah diam. Karta berjalan pelan, memeriksa pipa yang menjulur ke ladang, memastikan air mengalir dengan baik. Hujan lebat mengguyur Cipanas membuat saluran tersumbat.

Karta punya ladang seluas kurang lebih satu hektare, sebagian besarnya ditanami kol. Lahan itu bukan miliknya. Ia menumpang lahan Perum Perhutani. Tanpa legalitas. Hanya bermodalkan rekam jejak turun-temurun.

Maka dari itu, ia senang bukan main saat satu hari mendengar pengumuman Presiden Joko Widodo bakal membagikan Surat Keputusan (SK) Perhutanan Sosial lewat radio.

Kaleresan abdi masih keneh hirup hayang keneng leuleuweungan, menta ka mantri teu menang,” kata Karta. Kebetulan saya masih hidup mau minta [jasa] di hutan. Minta sama staf [Perhutani] nggak dapat, ujarnya.

Melalui program perhutanan sosial, masyarakat memiliki izin pengelolaan atas hutan negara di kawasan hutan lindung, hutan produksi, dan hutan konservasi. Masa pengelolaan 35 tahun dan dapat diperpanjang. Lahan kelola dilarang diperjualbelikan dan dilarang jadi agunan.

Untuk mengaksesnya, masyarakat mesti berkelompok atau membentuk gabungan kelompok, memiliki pendampingan dari pemerintah atau melalui lembaga swadaya masyarakat.

September 2022, Karta dibantu lembaga swadaya masyarakat bernama Gerakan Masyarakat Perhutanan Sosial (Gema PS) membentuk kelompok tani hutan. Ia dibantu Erwan Budiana, Dewan Penasihat Gema PS di Kabupaten Cianjur.

Atas saran Erwan, Karta mengumpulkan para petani dan masyarakat Ciloto termasuk Heri Suhendra, Ketua KTH Ciloto Maju.

Pembuatan kelompok tani yang ternyata memakan waktu, membuat mereka mengambil jalan pintas dengan bergabung menjadi anggota KTH Ciloto Maju. Sekitar 70 anggota yang bakal jadi calon penerima manfaat terkumpul saat itu. Mereka terdiri dari petani lama dan baru, termasuk yang belum menggarap lahan.

Dari situ, mereka mengajukan persetujuan pengelolaan perhutanan sosial dengan pendampingan Gema PS.

Dari pemetaan mandiri, KTH Ciloto Maju mengusulkan lahan seluas 55 hektare ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Petani yang sudah punya lahan seperti Karta mengajukan luasan yang sudah ada. Petani yang belum punya lahan akan menandai bakal calon lahan.

Heri Suhendra, Ketua Kelompok Tani Hutan (KTH) Ciloto Maju menunjukkan peta indikatif Kebijakan Penetapan Kawasan Hutan dengan Pengelolaan Khusus (KHDPK) versi KTH Ciloto maju, Desa Ciloto, Cipanas, Cianjur. (Project M/Rangga Firmansyah)

Namun, sejak proses pembersihan lahan untuk menandai lahan mereka, keanehan terjadi. Mereka tiba-tiba didatangi aparat desa Ciloto serta petugas keamanan, mulai dari Babinsa, Bhabinkamtibmas, hingga polisi hutan.

Mereka dituding “merusak” hutan di kawasan rawan bencana.

Aktivitas pembersihan lahan pun terhenti. Beberapa anggota menjadi cemas dan pasif. Sementara, Karta meyakini pihak desa sedang menakut-nakuti mereka.

Nya pan ari rakyat mah kieu jelmana keur mah bodo, dibobodo. Disingsieunan ari keun abdi mah teu sieun. Abdi di dieu geus lima belas taun, teu keur perang keneh jeung mantri teu meunang?” kata Karta. “Kalau rakyat orang yang bodoh, ya dibodoh-bodohin, ditakut-takutin,” katanya. “Tapi saya nggak takut. Saya sudah lima belas tahun di sini.”

Jalan Pintas Pendampingan

“Orang Gema PS mau ketemu, mau bahas KHDPK.”

“Ya udah, ketemu saja di saung Pak Igor.”

Percakapan itu terjadi pada Juli 2022 antara Ipan Saepuloh, Ketua Kelompok Tani Hutan Karya Mukti Mandiri dari Desa Ciwalen, dengan Budiman. KHDPK adalah akronim untuk kebijakan penetapan kawasan hutan dengan pengelolaan khusus.

Di saung tempat mereka janjian, Erwan sudah menunggu.

Gema PS menawarkan pendampingan sekaligus bantuan pengajuan Persetujuan Pengelolaan Perhutanan Sosial. Budiman bilang sudah mengurus semua sejak 2019 dengan pendampingan sukarela dari Green Initiative Foundation.

“Tiga desa ini lagi proses,” ucap Budiman ke Erwan.

Erwan menjanjikan “enam bulan” beres: berkas https://projectmultatuli.org/wp-content/uploads/2021/06/5668A357-39CA-4B12-902A-DAE1F707FCD7-1.jpegistrasi tembus ke KLHK bulan Agustus 2022 dan SK Perhutanan Sosial terbit awal 2023.

“Saya saja dari 2019 belum jadi-jadi,” timpal Budiman.

Budiman menarik diri dari percakapan. Bukan saja karena ia tak bisa dibeli oleh bujuk rayu “proses cepat”, melainkan Gema PS mematok biaya Rp100-Rp350 per meter untuk pemetaan dan meminta jatah lahan demonstration plot.

PermenLHK 9/2021 mengatur peranan pendamping secara berkesinambungan: sejak tahap pra hingga pasca-pengajuan Persetujuan Pengelolaan Perhutanan Sosial. Para pendamping juga berhak atas insentif berupa areal percontohan (demonstration plot) tetapi harus melalui persetujuan kelompok tani.

Persoalannya, proses pengajuan saja belum, tapi Gema PS ujug-ujug meminta lahan dalam jumlah fantastis: 20 persen dari total usulan lahan petani.

“Dua puluh persen saja kalau 100 hektare, bisa 20 hektare. Abis punya masyarakat mah. Gila!” kata Budiman.

Erwan berdalih lahan itu untuk kebutuhan “pendampingan” petani: semisal mendirikan kantor pengawasan, gudang, dan area jemur. Tapi, tidak menutup kemungkinan untuk bisnis Gema PS.

“Karena potensinya daerah wisata. Dibikin pakai karcis bisa jadi penghasilan,” ujar Erwan.

Beberapa petani memanen padi di Desa Pakuon, Cipanas, Cianjur dengan latar belakang perbukitan yang merupakan lahan Perhutani. (Project M/Rangga Firmansyah)

Gema PS adalah bagian dari tim percepatan penyelesaian konflik agraria dan penguatan kebijakan reforma agraria. Pembentukannya merujuk pada SK 1B/T/2021 yang ditandatangani Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko.

Pendiri Gema PS ialah Siti Fikriyah Khuriyati dan San Afri Awang. Siti Fikriyah pernah mencalonkan diri sebagai politikus Jawa Tengah dari PDI Perjuangan. Afri Awang adalah mantan Dirjen Planologi dan Tata Ruang KLHK.

Selain Cibanteng, Erwan pernah mendatangi beberapa desa lain: Batulawang, Kubang, Sukaresmi, Cikancana, dan Ciloto.

Di Ciloto, Erwan bergerak satset. Ia masuk ke KTH Ciloto Maju, mengumpulkan 70 data petani sebagai calon penerima manfaat, dan melakukan pemetaan untuk 55 ha lahan usulan.

Bahkan Erwan mengklaim sudah mengajukan persetujuan pengelolaan perhutanan sosial untuk KTH Ciloto Maju sejak awal Oktober 2022. “Tinggal pengukuran doang. Ditjen Planologi yang memutuskan,” ujar Erwan.

Ia meminta semua petani bersabar menunggu. Bila ingin proses lebih cepat, Erwan menawarkan “jalan pintas” tapi perlu biaya untuk “mempercepat” verifikasi teknis dan penelaahan peta usulan.

“Saya kasih tiga pilihan. Pakai konsultan bagian ukur, Rp1.800 per meter. Pakai perusahaan Rp2 ribu per meter. Pakai BPN Rp350 per meter. Terserah,” kata Erwan, yang mengaku punya orang dalam di bagian planologi KLHK.

“Kalau mau cepat harganya segitu. Kalau nggak ya, jangan dipaksakan. Karena di sini nggak ada pungli.”

Heri Suhendra, Ketua KTH Ciloto Maju, mengakui ada penawaran dari Erwan. Tapi ia dan petani lain memilih bersabar. Mereka hanya mengeluarkan biaya materai untuk membuat pakta integritas. “Resinya kita belum terima. Kita juga masih tanda tanya. Apa resinya sudah masuk atau belum?” Bahkan Heri tidak tahu pengajuan mereka untuk skema apa, “Apakah untuk KHDPK?”

Kawasan hutan dengan pengelolaan khusus adalah status kawasan yang diterbitkan melalui Keputusan Menteri LHK 287/2022 mencakup wilayah hutan produksi dan hutan lindung di Jawa Tengah, Jawa Timur, Jawa Barat, dan Banten.

Sedangkan skema adalah tata cara pengelolaan perhutanan sosial, bisa melalui hutan desa, hutan kemasyarakatan, hutan tanaman rakyat, hutan adat, atau kemitraan kehutanan.

KHDPK bisa dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan pengelolaan kawasan hutan, salah satunya Perhutanan Sosial.

Rancu Wilayah Pembukaan Lahan

Heri adalah satu dari sembilan petani Ciloto yang berkumpul di saung Haji Karta untuk menyimak pemaparan Erwan soal lahan di perbukitan Ciloto, yang konon masuk dalam peta kawasan hutan dengan pengelolaan khusus.

“Karena ini sudah diplot 55 ha sebagai kawasan hutan dengan pengelolaan khusus. Besok bisa action. Kalau eksisting tinggal lanjut,” ujar Heri, mengulang perkataan Erwan. “Ini untuk reclaim dulu.”

Heri lantas mengumpulkan beberapa anggota KTH Ciloto Maju yang belum memiliki lahan. Mereka mendatangi satu titik di Dusun II Cinyawar. Mereka membabat rerumputan dan pohon kaliandra. Pohon sengon, kesambi, dan kiacret dibiarkan tetap tegak.

“Kaliandra yang dibabat yang akan ditanami saja. Tapi ada satu anggota yang tidak ikut rapat, kaliandra dibabat habis,” ujar Heri.

Ada 1 ha lahan hutan yang disiapkan untuk menanam ros kol dan jeruk limau. Namun, baru 4.000 meter yang benar-benar siap tanam. Ini pun keburu dicekal pemerintah desa.

Marwan, Kepala Desa Ciloto, mendatangi lahan itu bersama Babinsa, Bhabinkamtibnas, dan polisi hutan. Sebelumnya, ia memanggil Heri ke kantor lurah untuk dimintai penjelasan tentang aktivitas di Cinyawar.

Marwan beralasan larangan dan pemberhentian sementara aktivitas para petani karena mereka menggarap lahan di kawasan hijau rawan bencana.

Wakil Administrasi Kantor Kesatuan Pemangkuan Hutan Cianjur Utara, Nana Rukmana, berdalih wilayah Ciloto tidak masuk dalam program perhutanan sosial. “Karena itu daerah Bogor, Puncak, Cianjur. Hampir 1.500 hektare wilayah KPH Cianjur masuk zona itu,” kata Nana.

Kecamatan Cipanas dalam peraturan presiden 60/2020 dikategorikan dalam beberapa zona, termasuk kawasan lindung geologi sebagai sempadan mata air untuk mencegah bencana alam.

Sementara, Erwan bersikukuh pembukaan lahan itu tidak salah seraya berargumen, “Kades juga tidak mengikuti program pemerintah.”

Heri kebingungan. “Ini di luar dugaan. Kita dikasih pembekalan oleh orang Gema PS. Kata mereka nggak bakal ada masalah karena sudah diplot sebagai kawasan hutan dengan pengelolaan khusus.”

Untuk sekarang, hanya petani lama seperti Haji Karta yang tetap berladang. Yang lain masih harus menunggu hasil pengajuan persetujuan pengelolaan dari Gema PS.

“Katanya area resapan air. Tapi kenapa ada lahan kebun swasta nggak? Kalau mau, tutup aja semuanya,” keluh Heri.

Seorang anggota Kelompok Tani Hutan (KTH) Rindu Alam menyadap pohon aren di lahan Perhutani yang sudah mengantongi sertifikat hak kelola lahan. (Project M/Rangga Firmansyah)

Pungutan di Musim Panen yang Tak Tentu

Curah hujan tak menentu membuat panen kopi robusta milik Kari merosot. Dalam tiga tahun terakhir, ia hanya memanen 3 kuintal, yang biasanya mencapai dua kali lipatnya.

Setiap panen basah, kopi masih berbentuk buah, ia menjual Rp2.500-Rp3.000 per kilogram. Untuk panen kering, berbentuk biji, seharga Rp18 ribu per kg. Belakangan ia lebih sering menjual basah.

“Karena hujan mulu, keringnya bisa 15 hari, bisa lebih,” ujar Kari.

Pendapatan Kari dari kopi hanya Rp900 ribu dalam sekali panen, belum termasuk potongan dari Perhutani. Kopi robusta panen setahun sekali.

“Iuran Perhutani Rp50 ribu. Cuman tergantung luas dan hasilnya. Bayarnya setahun sekali,” kata petani dari Kelompok Tani Hutan Guling Munding, Desa Cibanteng di Cianjur ini.

Kari punya tiga anak laki-laki, paling besar berusia 21 tahun dan paling kecil 8 tahun. Istrinya tidak bekerja. Untuk mencukupi kebutuhan harian, ia mengandalkan Program Keluarga Harapan Rp200 ribu-Rp250 ribu yang cair setiap tiga bulan.

“Untuk (urusan) rumah … cukup gak cukup dari nguli di sini,” ujarnya. “Misalnya nggak ada bantuan dari pemerintah agak repot.”

Ia tak pernah berani menolak iuran dari Perhutani, meski tak pernah ada perjanjian sebelumnya. Ia tak punya daya karena selama ini menumpang di lahan Perhutani seluas 0,7 ha.

Pungutan serupa dialamatkan ke Maman, petani dari Kelompok Tani Hutan Sinar Angke II di Desa Kubang, Cianjur. Selama ini ia menggarap kebun kopi dan pisang di atas lahan Perhutani seluas 1 ha.

Kebun kopi Maman masih proses berbuah. Untuk pisang, ia bisa panen dua kali dalam sebulan dengan hasil rata-rata 2-4 kuintal. Harga jual pisang Rp1.800 per kg. Dari dua kali panen, ia bisa mengantongi Rp720 ribu.

Hasil panen tak cukup memenuhi kebutuhan istri dan dua anak remajanya. Maman punya kerja tambahan. Membeli sabut aren untuk dijadikan sapu ijuk. Dalam sehari, ia bisa memproduksi 30 sapu dengan harga jual Rp20 ribu per batang. Ia menjual keliling Cipanas dengan untung Rp10 ribu per sapu.

Berbeda dari Kari, Perhutani menagih pungutan Maman lebih besar, Rp300 ribu setiap kali panen. Tapi Maman menolak membayar karena tak pernah diajak berdiskusi soal hitung-hitungan dan alasan pungutan.

Di sisi lain, ia masih menunggu hasil pengajuan persetujuan pengelolaan perhutanan sosial  melalui Gabungan Kelompok Tani Sinar Mukti Mandiri sejak 2019.

Sementara, Perum Perhutani Kesatuan Pemangkuan Hutan Cianjur tak menolak ada pungutan untuk petani. Wakil Administrasi Kantor KPH Cianjur Utara, Nana Rukmana, mengatakan pungutan itu sebagai bentuk bagi hasil panen yang akan disetor ke negara sebagai penerimaan negara bukan pajak.

“Persentase besarannya dari negosiasi dan kesepakatan bersama,” kata Nana.

Seorang anggota Kelompok Tani Hutan (KTH) Pakuon menuangkan gula aren ke dalam cetakan. Gula aren ini merupakan salah satu komoditas warga Pakuon di lahan Perhutani. (Project M/Rangga Firmansyah)

Maju Mundur Pengajuan Izin

Sudah tiga kali Gabungan Kelompok Tani Sinar Mukti Mandiri mengajukan persetujuan pengelolaan perhutanan sosial ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

Namun, semua proses mandek di Perum Perhutani KPH Cianjur.

Gapoktan Sinar Mukti Mandiri terdiri dari tiga desa (Cibanteng, Ciwalen, dan Kubang), delapan kelompok tani hutan, dan 518 petani anggota. Usulan lahan mereka seluas 687,98 ha, terluas berada di Desa Cibanteng (364,59 ha) dan paling sedikit di Desa Ciwalen (32,89 ha).

Pengajuan pertama pada 31 Juli 2019, yang berkas sudah diterima KLHK. Namun, proses lanjutannya terhenti karena salah satu syarat pengajuan, yakni naskah kesepakatan kerja sama antara kelompok tani dan Perum Perhutani, tidak terpenuhi. Syarat ini diatur dalam peraturan menteri LHK 83/2016.

“Perhutani nggak mau tanda tangan, nggak mau bahas itu. Akhirnya nggak bisa lanjut,” kata Budiman, Ketua Sinar Mukti Mandiri.

“Menurut mereka tidak ada nomenklatur pengajuan melalui gabungan kelompok tani. Tidak ada koordinasi juga. Padahal saat pendataan kami kasih tahu Resort Pemangkuan Hutan.”

Saat itu, proses pengajuan disepakati melalui Lembaga Masyarakat Desa Hutan masing-masing desa. Desa Ciwalen dan Kubang urung melanjutkan karena lembaganya tidak aktif. Sementara Desa Cibanteng, yang diketuai Budiman, mengajukan kembali permohonan perhutanan sosial.

Namun, prosesnya mandek lagi di Perhutani KPH Cianjur. “Naskah kesepakatan kerja sama sudah dibahas. Lembaga masyarakat desa hutan dan Kades Cibanteng tanda tangan, tinggal KPH Cianjur,” kata Budiman.

Melalui surat tertanggal 15 Oktober 2021, Budiman mengajukan ulang dengan format semula: menggunakan gabungan kelompok tani. Terkirim ke KLHK tanpa lampiran berkas naskah kesepakatan kerja sama. Tapi, sampai November 2022, nasib surat tak jelas.

“Kalau sudah jelas ada penolakan, kan enak. Ini sih belum ada, apakah ditolak atau diterima,” keluh Budiman.

Pada situs gokups.menlhk.go.id, status pengajuan pertama Sinar Mukti Mandiri bertuliskan: usulan dikembalikan untuk dilengkapi. Pengajuan kedua dan ketiga tidak dapat ditemukan.

Selain memberikan legalitas dalam mengelola kawasan hutan, skema Kemitraan Kehutanan akan menjamin masyarakat mendapatkan bimbingan teknis dari pemegang perizinan. Masyarakat juga berhak mendapatkan keuntungan yang setimpal sesuai kesepakatan kerja sama.

Menurut Budiman, secara persentase bagi hasil akan menguntungkan petani. Tidak seperti perjanjian kerja sama biasa, petani kerap mendapat pembagian lebih kecil ketimbang korporasi dan Perhutani.

“Tergantung negosiasi. Bisa Perhutani 30, petani penggarap 70; atau 25-75. Dihitung dari bersih setelah dikurangi biaya,” kata Budiman.

Nana Rukmana tidak mau menjawab soal kesepakatan kerja sama. Ia hanya bilang kawasan Desa Cibanteng tidak bisa dimanfaatkan untuk Kemitraan Kehutanan. “Dari sisi hukum tampaknya jadi pertimbangan, ada Perpres 60/2020,” kata Nana.

Regulasi itu mengatur tentang tata ruang kawasan perkotaan Jabodetabek sampai Puncak-Cianjur. Zona B1 menjadi kawasan yang diperuntukan gedung vertikal maupun horizontal. Kemudian Zona B3 untuk kawasan potensial resapan air tetapi bisa dimanfaatkan untuk permukiman, agro industri, hingga pariwisata.

Sementara, Zona B4 adalah kawasan untuk permukiman kepadatan rendah hingga perkebunan; dan B5 kawasan untuk budi daya pertanian. Adapun Desa Cibanteng dan semua desa di Kecamatan Sukaresmi masuk ke dalam empat zona tersebut.

Akan tetapi, hal janggal terjadi saat jelang agenda pemilihan presiden 2019. Saat itu, proses pengajuan izin Kelompok Tani Hutan Rindu Alam di Desa Pakuon, Kecamatan Sukaresmi, berlangsung cepat. Sejak mengajukan izin pada 20 Oktober 2018, proses verifikasi teknisnya rampung pada 17 Januari 2019, kemudian surat keputusan terbit pada 24 Januari 2019. Jokowi menyerahkan langsung surat keputusan tersebut saat berkunjung ke Wana Wisata Pokland, Cianjur.

“Mungkin waktu itu lagi kampanye. Jadi dipercepat,” ujar Warsa, Ketua Kelompok Tani Hutan Rindu Alam.

Warsa, Ketua Kelompok Tani Hutan (KTH) Rindu Alam, Pakuon, Cipanas, Cianjur menunjukkan sertifikat sewa lahan yang diterbitkan oleh pemerintah Indonesia. (Project M/Rangga Firmansyah)

KTH Rindu Alam beranggotakan 30 petani, dengan komoditas unggulannya kopi dan aren. Luas lahan kelola yang disahkan pemerintah 56 ha, berkurang 2 ha dari pengajuan petani.

Data Direktorat Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan KLHK menyebut realisasi Perhutanan Sosial per 1 Oktober 2022 mencapai 5.087.754 ha. Rinciannya, menerbitkan 7.694 surat keputusan izin dengan total 1.127.815 kepala keluarga di 33 provinsi. Total cadangan luasan lahan Perhutanan Sosial 14,6 juta ha.

Dalam periode 2015-2021, penerbitan SK Perhutanan Sosial meningkat signifikan pada tahun politik 2017-2019. Masing-masing 24.832 (2015), 37.775 (2016), 157.405 (2017), 296.604 (2018), dan 239.951 (2019). Dua tahun berikutnya masing-masing hanya 58.176 dan 106.503.

Direktur Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan, Bambang Supriyanto, tidak merespons pertanyaan Project Multatuli terkait data di atas. Sementara Sekretaris Dirjen Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan,  Erna Rosdiana, berkata lonjakan penerbitan SK pada 2018 dan 2019 terjadi karena “Waktu itu kita mendapat dukungan dana yang cukup memadai.”

“Namun, kita sama-sama tahu kondisi yang kita alami tahun 2020 dan 2021. Bujet kita alihkan untuk kepentingan banyak hal terutama COVID-19. Sehingga ada penurunan,” imbuh Erna.

Karpet Merah Korporasi

Pada 26 Januari 2022, Direktur PT Gistec Prima, Juliati Widjaya, menandatangani kerja sama wanatani (agroforestry) dengan Perhutani KPH Cianjur dan Lembaga Masyarakat Desa Hutan Ciloto Hijau di Aula Kantor KPH Cianjur. Ia menyumbang pohon makadamia dan kelor di lahan seluas 21,29 ha di Desa Ciloto.

Gistec Prima bergerak di bidang infrastruktur dan konstruksi selama 35 tahun. Berdasarkan akta tertanggal 5 April 2022, Gistec juga bergerak di bidang pemanfaatan kayu di hutan produksi dan hutan tanaman rakyat.

Karta mengetahui perjanjian tersebut. Ia terpaksa menerima tawaran Perhutani menanam 250 pohon makadamia di atas ladang garapannya dengan biaya Rp3,5 juta untuk pembersihan lahan. Karta tak punya pilihan.

Pak Haji ceunah ayeuna mah kudu melak kacang, sagede kieu mun teu milu melak kacang ka ieu, pak haji wayahna ceunah kudu kaluar atanapi mun rek nyewa sabaraha?” ujar Karta. Orang Perhutani meminta Karta menanam kacang, kalau tidak mau, tidak boleh lagi berladang atau harus bayar.

Engke heula ceuk abdi didinya nyewa mah kuring mah patani heunteu untung, jabar-jabarana teh beak kana pasewaan.” Karta bilang dia akan pikir-pikir karena kalau menyewa, petani kecil seperti dia nggak akan untung.

Untungnya, bibit pohon sudah habis dibagi dengan petani lain. “Alhamdulillah teu kabagian nanaon.”

Gistec juga bekerja sama dengan Perhutani di Desa Cibanteng dan Desa Ciwalen. Menanam makadamia dan kelor di Cibanteng, dan alpukat di Ciwalen.

Di Cibanteng, Kari, seorang petani kopi robusta, juga bekerja di lahan kacang Gistec.

Setiap hari, ia bekerja dari jam 7 pagi zuhur. Enam kali seminggu. Lahan garapannya 0,5 ha. Upahnya harian sebesar Rp45 ribu dibayar setiap akhir pekan. “Yang bayar Pak Budiman dari orang Gistec,” kata Kari.

Budiman menjadi salah satu pihak yang meneken kerja sama tersebut. Ia adalah Ketua Lembaga Masyarakat Desa Hutan Cibanteng. Ia berdalih tak punya kuasa untuk menolak dengan alasan pengajuan Kemitraan Kehutanan belum juga terbit.

“Pas pembahasan [kerja sama dengan Gistec] itu kami tidak diikutkan. Perjanjiannya apa, persentase bagi hasilnya gimana, kami tidak tahu. Kita disuruh tanda tangan,” ujar Budiman.

Persentase bagi hasil kerja sama memuat 25 persen untuk Perhutani, 70 persen untuk Gistec, serta 5 persen untuk lembaga desa hutan dan petani penggarap.

Di Ciwalen, Ipan Saepuloh, Ketua Kelompok Tani Hutan Karya Mukti Mandiri menolak menanam kacang. Sebab ia sudah menanam alpukat bertahun-tahun. Kacang makademia baru akan panen sekitar tahun ketujuh. Sementara perjanjian kerja sama hanya untuk dua tahun.

Gistec pun menyanggupi menanam alpukat di ladang Ipan. Rencana awalnya 400 pohon tapi Ipan hanya menyanggupi 100 pohon.

“Kalau saya harus mencabut tanaman saya yang sudah ada, saya mending cabut tanaman Gistec,” kata Ipan.

Seorang anggota Kelompok Tani Hutan (KTH) Cihideung menyemprotkan pestisida di kebun alpukat yang berdiri di lahan Perhutani. (Project M/Rangga Firmansyah)

Berbeda dari Kari yang diupah harian, Ipan dibayar borongan. Untuk biaya pembersihan lahan Rp3 juta per ha, penanaman Rp300 per pohon, dan Rp2 ribu per lubang pohon.

Proses kerja sama Perhutani dan Gistec terjadi saat Gabungan Kelompok Tani Sinar Mukti Mandiri mengajukan izin perhutanan sosial. Ipan kecewa karena Perhutani lebih memihak ke perusahaan.

“Petani nggak tahu apa-apa,” katanya.

Lahan Gistec masuk dalam peta usulan petani untuk izin perhutanan sosial. Di petak 12a dan 12b di Ciwalen dengan luas 10,69 ha, petak 11a, 11e, 11f, 11g, dan 13b di Cibanteng dengan luas 25 ha.

Direktur Operasional PT Gistec Prima, Ucu Borlak, berkata belum semua luas lahan ditanami bibit. “Sementara yang sudah ditanam 4 ha di Ciloto dan 3 ha di Cibanteng. Proses bertahap,” ujar prajurit Komando Pasukan Khusus TNI AD tersebut.

Jangka waktu kerja sama memang dua tahun. Katanya, untuk masa rehabilitasi lahan. Jika berhasil berbuah, kerja sama bisa terus diperpanjang hingga 15-20 tahun. “Per dua tahun akan diperpanjang,” kata Borlak.

Perihal kelompok tani setempat sedang mengajukan perhutanan sosial, Borlak enggan menanggapi. Menurutnya, semua pihak sudah menyepakati kerja sama. “Kerja sama regulasi hukumnya transparan. Tidak mengganggu kepentingan apa-apa.”

Kehadiran perusahaan membuat posisi petani menjadi rentan. Mereka khawatir tiba-tiba tak lagi bisa menggarap.

“Bisa-bisa diusir,” kata Heri Suhendra, Ketua Kelompok Tani Hutan Ciloto Maju. “Kami bekerja sebagai penggarap di lahan itu. Artinya cuma jadi buruh doang.”

Begitu juga nasib petani kecil seperti Ipan. Karena berladang di Desa Ciwalen, ia kena semprot pihak Perhutani. Ipan memang warga Desa Palasari, tapi ia sudah mengantongi izin menggarap lahan dari pihak desa setempat.

Urang mah masih urang Kabupaten Cianjur. Lah, Gistec urang mana?” sungut Ipan.


Laporan ini terbit berkat pendanaan Kawan M, program keanggotaan pembaca Project Multatuli yang memungkinkan Kawan M bisa terlibat dalam rapat redaksi dan mengusulkan ide liputan.

Terima kasih sudah membaca laporan dari Project Multatuli. Jika kamu senang membaca laporan kami, jadilah Kawan M untuk mendukung kerja jurnalisme publik agar tetap bisa telaten dan independen. Menjadi Kawan M juga memungkinkan kamu untuk mengetahui proses kerja tim Project Multatuli dan bahkan memberikan ide dan masukan tentang laporan kami. Klik di sini untuk Jadi Kawan M!

Liputan Terkait
Ronna Nirmala
19 menit