MENYERAH tidak berlaku bagi Des ‘Rudy’ Rudyawan (54) dan istrinya Novita Yudianti (50).
Pasangan Tuli dari Palembang, Sumatra Selatan, ini membuktikan bahwa keterbatasan bukan penghalang untuk bisa memberikan kehidupan yang layak bagi ketiga anaknya.
Sejak muda, Rudy bertekad tidak ingin menggantungkan hidupnya kepada orangtua. Setelah lulus sekolah tahun 1991, Rudy langsung bekerja sebagai pekerja informal.
Rudi bersekolah di Yayasan Pendidikan Anak Cacat (YPAC) Palembang hingga jenjang sekolah dasar. Atas keinginan orangtua, ia melanjutkan pendidikan di sekolah luar biasa (SLB) di Bandung, Jawa Barat. Pendidikan yang ia tempuh memberinya kedalaman ilmu tentang warna, keterampilan otomotif, hingga memasak.
Rudy muda berharap ia bisa melanjutkan sekolah tetapi hanya berhenti sampai tingkat menengah pertama. Saat itu, belum ada sekolah menengah atas yang fokus pada penyandang disabilitas. Keterbatasan latar belakang pendidikan mempersempit kesempatan untuknya bekerja di sektor-sektor yang lebih formal.
Lulus sekolah, Rudy bekerja sebagai tukang las karena ajakan teman. Sayangnya pekerjaan itu terlalu berat baginya hingga harus memutuskan untuk berhenti dan kembali ke Palembang.
Enam tahun setelah kembali ke Palembang, Rudy bertemu Novita di Sekolah YPAC Palembang. Novita, juga searing Tuli, saat itu berusia 22 tahun dan masih duduk di bangku SMP. Sementara, Rudy berusia 27 tahun dan belum memiliki pekerjaan tetap.
Ia berniat menikahi Novita tetapi ragu karena kondisi keuangan yang belum stabil. Alhasil, orangtua Rudy turun tangan untuk menikahkan keduanya. Pernikahan keduanya berlangsung pada tahun 1997.
Selama membangun rumah tangga mereka tinggal di rumah warisan orangtua Novita. Sebagai kepala keluarga, Rudy berupaya untuk mendapatkan penghasilan.
Setelah menikah, Rudy kembali bekerja serabutan. Pernah bekerja di tempat pembuatan sofa namun tidak bertahan lama karena bayarannya kecil. Hanya Rp15 ribu per minggu.
Rudy lalu menjadi tukang ojek. Ia dapat penghasilan lebih besar, Rp30 ribu hingga Rp50 ribu per harina. Walau mendapat pendapatan cukup, Rudy merasa kesulitan menjadi tukang ojek karena tidak bisa mendengar.
“Awal menjadi tukang ojek, saya sering salah jalan saat mengantar penumpang karena tidak bisa mendengar,” kata Rudy, yang disampaikan oleh Ade, Juru Bahasa Isyarat (JBI) saat ditemui.
Rudy memberi isyarat kepada penumpangnya dengan cara menunjuk telinga untuk menjelaskan bahwa ia seorang Tuli. Penumpang diminta menuliskan alamat dan menepuk bahu kanan untuk belok kanan dan bahu kiri sebagai tanda belok kiri. Hal itu dilakukan Rudy kepada penumpang supaya tidak salah jalan.
Selama 16 tahun Rudy melakoni pekerjaan sebagai tukang ojek hingga ketiga anaknya tumbuh besar dan sekolah hingga ke bangku kuliah. Anak pertama bernama Noval, lahir pada 1998. Yang kedua bernama Sarah, lahir pada 2003. Si bungsu Pia lahir tahun 2004. Ketiga anaknya bisa mendengar dengan baik.
Tekad menyekolahkan ketiga anaknya tidak semudah yang dibayangkannya. Kehidupannya pasang surut. Ia bahkan menggadaikan cincin nikah yang disimpan belasan tahun demi pendidikan anak.
“2017, saat anak terakhir masuk SMA kami menggadaikan cincin pernikahan karena butuh uang 12 juta untuk biaya masuk sekolah. Akhirnya kami pergi ke pegadaian menggadaikan cincin dengan waktu tujuh tahun dan masih dicicil sampai saat ini,” kata Rudy.
Saat ini, Noval (25) tengah berkuliah di jurusan Desain Komunikasi Visual Universitas Islam Bandung (UNISBA) Kota Bandung. Noval tinggal di rumah sanak keluarga untuk mengirit biaya hidup di tanah rantau. Setiap bulan, Rudy dan Novita menyisihkan uang Rp150 ribu untuk tambahan saku Noval yang setara denga uang makan selama tiga hari.
Anak kedua sudah lulus kuliah duluan. Sarah (21) kini bekerja di Brunei sebagai koki patissier di sebuah toko kue. Setiap bulan, Sarah mengirimkan uang untuk membantu keluarga di Palembang.
Kerinduan Rudy dan Novita begitu dalam karena terpendam lama. Namun, rasa bahagia mereka terpancarkan saat bercerita akan bertemu Sarah akhir tahun ini.
“Saya sangat rindu ketemu Sarah karena sudah dua tahun dia di sana. Akhir tahun ini dia pulang,” kata Novita.
Sementara si bungsu Pia (20) berkuliah di jurusan keperawatan salah satu kampus negeri di Palembang. Pia sudah semester enam dan melakukan magang di salah satu panti jompo yang ada di Palembang. Semenjak kuliah, Pia jadi lebih mengerti untuk mengurus orangtua di kala sakit.
“Saya mengambil jurusan ini karena ingin seperti nenek yang juga perawat,” kata Pia saat duduk di samping Rudy dan Novita.
Sebagai anak yang lahir dari orangtua Tuli sempat membuat Pia merasa tersisihkan. Ia mengingat momen pengambilan rapor di sekolah. Biasanya setiap siswa didampingi orangtua untuk mengambil rapot. Pia harus mengambil sendiri, kadang ditemani kakaknya.
Pia kecil juga sering diejek teman-temannya. Namun, lambat laun teman-temannya mengerti.
“Kami tidak pernah malu mempunyai orangtua yang tuli. Cuma terkadang lingkungan yang membuat kami malu karena diejek. Saya malah bangga dengan kegigihan orangtua mencari uang untuk anak-anaknya sekolah,” katanya.
Pia bahkan mempelajari bahasa isyarat supaya bisa berkomunikasi dengan ayah dan ibunya. Begitu juga kedua kakaknya. Bahkan tercipta bahasa isyarat khusus yang hanya dimengerti oleh mereka.
Novita dan Rudy adalah perintis Gerakan Untuk Kesejahteraan Tunarungu Indonesia (GERKATIN) Palembang yang bertujuan sebagai ruang aman kawan-kawan Tuli, termasuk menyediakan pelatihan bahasa isyarat baik untuk kawan Tuli maupun kawan dengar yang ingin belajar bersama.
Rudy kini tak lagi bekerja sebagai tukang ojek. Ia dan Novita berdagang makanan. Ia telaten melayani pembeli dan sesekali bercengkrama dengan menggunakan bahasa isyarat.
“Kami berharap untuk anak-anak kami agar nanti bisa menggapai impian mereka dan berhasil,” tutup Novita dengan bahasa isyarat.
Artikel ini merupakan bagian dari serial #HakMinoritas
Catatan editor:
Kami mengikuti panduan Pusbisindo (https://www.pusbisindo.org/) untuk menggunakan istilah Tuli, dengan T besar, bukan tunarungu. Berikut keterangan yang kami ambil dari situs tersebut:
Tunarungu adalah istilah medis untuk menggambarkan keterbatasan dari indra pendengaran (disabilitas) yang bukan bawaan lahir, dianggap sebagai sebuah keharusan untuk mengoptimalkan kemampuan pendengarannya dengan berbagai cara agar menyerupai orang-orang yang dapat mendengar.
Sedangkan Tuli (penulisan Tuli dengan huruf kapital “Tuli” sekaligus sapaan Tuli) menunjukkan identitas Tuli sebagai sebuah kelompok masyarakat yang menpunyai identitas, memiliki bahasa, dan budayanya tersendiri.
Pembaca yang membutuhkan jasa bahasa isyarat, bisa menghubungi berbagai layanan JBI, termasuk silang.id.