Wendi, seorang disabilitas mental di Semarang dipukuli polisi karena dituduh mencuri burung. Wendi lalu divonis 6 bulan kurungan, sementara pencurinya kabur.
Pagi-pagi benar Wendi, lelaki 35 tahun, sudah bersiap untuk berangkat kerja meski ia masih mengantuk, maklum jam baru menunjukkan pukul 05.15 WIB. Sebelum berangkat kerja, ia bersantai lebih dulu di tempat ia tinggal: sebuah bangunan kosong bekas swalayan di daerah Srondol Banyumanik, Semarang.
Wendi adalah seorang dengan disabilitas mental. Seorang dengan disabilitas mental umumnya mengalami kesulitan dalam berpikir dan mengambil keputusan. Sehari-hari ia bekerja sebagai tukang parkir di tempat pemberhentian bus antar kota di Sukun, Banyumanik. Pekerjaan ini yang ia jadikan andalan untuk menanggung hidup keluarganya.
Ketika hendak berangkat kerja, tiba-tiba Aam, kawan Wendi, datang menghampirinya. Ia meminta Wendi untuk menemaninya mencari alamat rumah kakak Aam. Ajakan itu semula ditolak Wendi.
“Aku mau [kerja] parkir,” kata Wendi.
Aam terus membujuk Wendi, “Sama teman kok pelit sekali.”
Bujukan itu mempan. Wendi bersedia ikut Aam. Dengan sepeda motor pinjaman, keduanya pergi ke daerah Gajahmungkur. Di tengah perjalanan, Aam meminta Wendi berhenti di depan rumah di Jalan Watulawang. Aam turun dari motor, sementara Wendi tetap di motor.
Aam mengendap-endap mengintip rumah tersebut. Kedatangan Aam itu disambut gonggongan anjing dari dalam rumah. Seorang perempuan memergoki Aam sedang mengintip lalu bertanya, “Cari siapa, Mas?”
Aam menjawab sekenanya, “Cari alamat rumah kakak saya.”
Aam lantas kembali menghampiri Wendi dan mengajaknya pergi meninggalkan rumah itu.
“Udah pulang aja,” ajak Wendi.
Wendi langsung tancap gas. Namun, baru beberapa meter dari rumah itu, Aam memaksa Wendi untuk putar balik ke rumah tadi. Aam mengajak Wendi untuk mencuri burung beo di rumah itu. Wendi menolak, tapi setelah diancam Aam, ia tak punya pilihan lain.
“Kalau kamu nggak mau,” ancam Aam, “aku keroyok.”
Wendi membelokkan setang motor menuju rumah tadi dengan kecepatan pelan. Setelah memastikan perempuan penghuni rumah masuk, Aam turun dari motor, mengintip kondisi rumah, lalu melompati pagar, mengambil burung beo dan sangkarnya lalu pergi. Keduanya berlalu dengan membawa burung curian itu.
Aam lantas meminta Wendi untuk mengantarkan ke rumah temannya di daerah Candisari untuk menjual burung curian itu. Burung itu dijual Aam seharga Rp500 ribu. Keduanya lantas pulang ke tempat Wendi. Aam menyelipkan Rp250 ribu ke kantong Wendi.
“Ini untuk uang bensin,” kata Aam. Wendi menolak uang itu.
Dua hari kemudian, 21 Desember 2019, Aam mendatangi Wendi lagi untuk mengajaknya mencuri burung. Wendi yang tengah mencuci baju menjadi kesal karena ajakan Aam.
“Kamu kok ngajak aku mencuri sih? Pokoknya aku nggak mau lagi.”
Mendengar jawaban Wendi, Aam marah dan mengancam akan memukul Wendi. Dengan terpaksa, Wendi mengantar Aam dengan motor Suzuki Smash hitam. Saat melintas di daerah Karang Rejo Tengah, Aam melihat ada burung kenari digantung di teras rumah. Mereka memutar arah lalu menghampiri rumah itu.
Sesampainya di dekat rumah itu Wendi bersikeras untuk pulang, “Aku enggak mau [mencuri].”
“Sudah diam saja, kalau cerewet nanti aku pukul,” kata Aam.
Wendi diam. Duduk di sebuah pot di depan rumah itu dengan ketakutan.
“Aku saja yang ambil sendiri,” kata Aam.
Aam meloncat pagar lalu mencuri burung kenari itu. Setelah burung curian di tangan, Aam menyuruh Wendi untuk mengambil kain penutup sangkar di dalam jok motor, lalu kembali ke tempat tinggal Wendi.
Kekerasan oleh Polisi
Wendi tinggal di bangunan kosong bekas swalayan itu sudah cukup lama. Di sana ia tinggal sendiri. Sementara ibunya tinggal di sebuah kontrakan kecil. Namun, karena kontrakan itu terlalu kecil, Wendi memutuskan pindah ke bangunan kosong itu.
Sehari-hari Wendi beraktivitas di sana jika tak bekerja. Temannya seperti Aam sering singgah. Tempat yang semula jadi tempat paling nyaman dan aman buat Wendi itu berubah jadi petaka.
Polisi diam-diam sudah mengincar mereka karena laporan pencurian burung yang ternyata milik seorang purnawirawan TNI. Pada 23 Desember 2019, polisi menyergap Wendi dan Aam di gedung kosong itu. Sialnya, Aam kabur lewat pintu belakang, sementara Wendi ditangkap polisi. Wendi lantas dibawa ke Polsek Gajahmungkur.
Menurut Direktur Lembaga Bantuan Hukum Semarang, Eti Oktaviani, yang mendampingi Wendi selama proses hukum, begitu tiba di Polsek, Wendi dianiaya. Ia dipukul di bagian kepala hingga wajahnya lebam dan matanya merah.
“Itu saya tahu dari ibu Wendi, yang saat menjenguknya setelah mendapat laporan dari pihak Polsek, bahwa anaknya ditangkap,” ucap Eti.
Kasus kekerasan oleh polisi seperti yang dialami Wendi bukan pertama kali terjadi. Berdasarkan catatan LBH Semarang, sepanjang 2019-2021, paling tidak ada 19 kasus kekerasan oleh polisi, termasuk kasus yang dialami Wendi.
Misalnya, pada 7 Oktober 2020, polisi pernah melakukan kekerasan terhadap sejumlah mahasiswa, pelajar, dan buruh saat melakukan aksi tolak Omnibus Law di depan kantor Gubernur Jawa Tengah. Tindakan kekerasan itu berupa pemukulan saat penangkapan, penangkapan sewenang-wenang tanpa ada surat perintah penangkapan, salah tangkap, pembatasan akses bantuan hukum, dan penyiksaan saat penyidikan berlangsung.
Pada 8 Februari 2021, LBH Semarang pernah menerima konsultasi dari seorang klien yang suaminya ditangkap dan diperiksa oleh polisi Direktorat Narkoba Polda Jawa Tengah atas dugaan kepemilikan narkoba. Selama pemeriksaan, ia disiksa dan dipukuli hingga giginya tanggal, lalu kuku dan beberapa bagian tubuh mengalami luka-luka.
Kasus terbaru terjadi pada 6 Juli 2021. Diskusi memperingati Tragedi Biak Berdarah yang diselenggarakan HIPMAPA dan AMP KK Semarang dibubarkan paksa oleh polisi.
Kejanggalan Penangkapan terhadap Wendi
Selain kekerasan itu, Eti mencatat ada kejanggalan dalam proses penangkapan Wendi. Misalnya, polisi tidak menunjukkan surat penangkapan, juga ada kejanggalan waktu pelaporan.
Dalam surat laporan menunjukkan waktu pelaporan pukul 13.00, tapi peristiwanya terjadi pukul 16.00. Padahal tipe laporan itu adalah tipe B, yang berarti pelapornya adalah masyarakat.
“Tapi, waktu itu pihak kepolisian tidak menunjukan surat penangkapan… Mana mungkin masyarakat melaporkan suatu kejadian yang belum terjadi?” kata Eti.
Saat keluarga Wendi meminta untuk melakukan visum dan tes psikologi, kepolisian menolak.
Kejanggalan tak berhenti disitu saja. Dua hari kemudian, setelah LBH Semarang menyerahkan surat kuasa, 26 Desember 2019, pihak kepolisian sudah menyatakan P21 kepada Wendi, tanpa memberitahu LBH Semarang sebagai kuasa hukumnya. P21 adalah kode formulir dalam proses penanganan dan penyelesaian perkara tindak pidana sebagai pemberitahuan bahwa hasil penyelidikan sudah lengkap.
“Padahal saat saya datang ke Polsek itu, katanya belum di-BAP. Masak nangkap orang nggak langsung di-BAP? Itu aja nggak masuk akal,” ucap Eti, kesal.
Dua hari kemudian, lagi-lagi tanpa memberitahu LBH Semarang, berkas Wendi sudah dilimpahkan ke Kejaksaan Negeri Semarang. Seminggu setelahnya Wendi sudah menjadi tahanan jaksa.
Selanjutnya, Eti bersama advokat dari LBH Semarang mendatangi kantor kejaksaan untuk memberikan surat kuasa bantuan hukum.
“Saat sidang di hari pertama, kita nggak dikasih tau sama jaksa. Jadi saat kami ikut sidang, sidang sudah digelar beberapa kali. Saya protes ke jaksa. Masak sama-sama penegak hukum seperti itu? Kami enggak diberi tahu,” kata Eti.
Tanpa penjelasan dari pihak kejaksaan, sidang berlanjut hingga putusan. Anehnya lagi, Aam yang menjadi pelaku tak diproses dan tak ada kabar pencarian, padahal dinyatakan sebagai DPO.
“Wendi juga sempat diancam jaksa. Katanya nggak usah pakai LBH [Semarang], nanti hukumanmu malah tambah berat,” kata Eti.
Dalam kasus ini, Wendi menjadi tahanan polsek Gajahmungkur pada 24 Desember 2019 hingga 12 Januari 2020. Kemudian kejaksaan, hakim, Pengadilan Negeri Semarang, secara berturut-turut memperpanjang masa tahanan Wendi hingga 24 Mei 2020.
Di persidangan, Wendi dikenakan pasal 363 ayat (1) ke-4, ke-5 KUHP jo pasal 65 ayat (1) KUHP, dengan dakwaan pencurian seekor burung beo dan sebuah sangkar warna putih dari besi. Pada 20 April 2020, hakim memutuskan Wendi dihukum 6 bulan penjara dipotong masa tahanan.
Eti dari LBH Semarang mengatakan kasus Wendi bisa disebut “tindakan kriminalisasi”. Alasannya, Wendi jelas bukan pelaku pencurian. Kasus Wendi juga tidak bisa dipidanakan, kata Eti, “karena suatu barang yang harganya di bawah Rp1.000.000 tidak bisa diproses karena dianggap membebani negara.”
Kepala Polisi Sektor Gajahmungkur, Juliana BR Bangun, berdalih penangkapan Wendi sudah disertai surat lengkap. “Petugas saat itu sudah menunjukan surat penangkapan kepada tersangka,” klaimnya.
Setelah proses penangkapan, polisi memberikan surat penangkapan kepada keluarga Wendi, kata Juliana. Ia juga mengklaim Polsek Gajahmungkur “berkoordinasi” dengan LBH Semarang dan keluarga saat proses BAP hingga persidangan.
“Saat proses memintai keterangan [BAP], pihak keluarga dan pendamping sudah diberitahu, tapi mereka tidak ada yang datang,” klaim Juliana. “Jadi, semua sudah sesuai dengan SOP.”
Setelah pengalaman buruk yang menimpanya, Wendi sudah tidak tinggal di bangunan kosong bekas swalayan itu. Ia pergi menghilang.
Tulisan ini adalah bagian dari serial reportase #PolisiBukanPreman yang didukung oleh Yayasan Kurawal.