Cina di Hilir: Gurita Oligarki Nikel Indonesia

Fahri Salam
46 menit
Ilustrasi Presiden Jokowi dan Presiden Tiongkok Xi Jinping. Pengembangan industri hilir nikel Indonesia sangat bergantung pada investasi Cina. (Project M/M. Nauval Firdaus)

Peta dan jejaring bisnis perusahaan dan pengusaha tambang yang diuntungkan kebijakan “hilirisasi” nikel pemerintahan Jokowi. 


“HILIRISASI” adalah salah satu jargon kunci dalam 10 tahun pemerintahan Presiden Joko Widodo. Bukan saja secara tata bahasa kata ini mengada-ada, kebijakan terkaitnya pun kerap menghadirkan ilusi kemajuan yang berpotensi jadi bumerang.

Saat Presiden Jokowi resmi dilantik pada Oktober 2014, ia mewarisi kebijakan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang melarang ekspor mineral mentah, termasuk bijih nikel dan bauksit, sejak awal tahun itu demi alasan menggenjot industri pengolahan domestik. 

Hampir 10 tahun berselang, setelah berulang kali maju-mundur menjalankan larangan ini dan “relaksasi” itu (jargon lain yang sering diucap pejabat), pemerintahan Jokowi mengklaim nikel sebagai contoh sukses hilirisasi yang katanya akan membuat Indonesia “melompat” jadi negara maju.

Bahan baku nikel dapat diolah jadi berbagai komoditas termasuk koin, kawat, baja nirkarat, dan baterai kendaraan listrik. Mempertimbangkan tren penggunaan kendaraan listrik global dan tekanan mengurangi emisi karbon, pemerintahan Jokowi membuka pintu lebar-lebar bagi investasi untuk mengembangkan operasi tambang dan pengolahan nikel domestik, apalagi pasokan nikel Indonesia berlimpah.

Perhitungan jumlah sumber daya dan cadangan nikel terbagi jadi dua: bijih dan logam. Total sumber daya bijih nikel Indonesia mencapai 17,3 miliar ton, dengan hitungan logam hingga 174,2 juta ton, merujuk data pemerintah per 2022.

Pada saat yang sama, berdasarkan Survei Geologi Amerika Serikat (USGS), cadangan terbukti nikel Indonesia dalam logam menyentuh 21 juta ton, terbesar di dunia bersama Australia. Kedua negara ini sama-sama memegang 21% cadangan nikel global.

Pasokan nikel Indonesia terpusat di Pulau Sulawesi, yang cadangan terbuktinya mencapai 54,7% dari angka total Indonesia. Lumbung nikel kedua terbesar adalah Kepulauan Maluku dengan 44,6%. 

Melihat itu, para pemodal, entah asing atau lokal, berbondong-bondong datang ke kedua kawasan itu untuk menambang atau membangun berbagai pabrik pengolahan nikel.

Per 2023, ada 373 konsesi tambang nikel berstatus clean and clear atau CnC yang diterbitkan pemerintah, entah dalam bentuk Izin Usaha Pertambangan maupun Kontrak Karya. Ini mencakup area dengan luas total 960.117 hektare. Sebanyak 309 di antaranya, dengan luas 691.929,6 ha, berada di Sulawesi Selatan, Tenggara, dan Tengah. Lalu, ada 59 konsesi di Maluku Utara dan hanya satu di Maluku dengan luas gabungan 231.486,4 ha. 

Sebaran konsesi tambang nikel Indonesia di Pulau Sulawesi dan Kepulauan Maluku. (Sumber: Portal Minerba One Map Indonesia milik Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral)

Dari ratusan data itu, Project Multatuli menyisir empat korporasi atau grup usaha yang mengendalikan konsesi CnC seluas total 271.650,5 ha atau lebih dari 28% lahan tambang nikel Indonesia. Mereka adalah PT Vale Indonesia, PT Aneka Tambang, PT Weda Bay Nickel, dan Bintangdelapan Group.

Selain menguasai lahan masif, mereka merepresentasikan kepentingan dan babak berbeda dalam sejarah panjang pertambangan nikel Indonesia. 

PT Aneka Tambang mulanya adalah Badan Pimpinan Umum Perusahaan-perusahaan Tambang Negara (BPU Pertambun), yang bertugas mengelola seluruh perusahaan dan proyek tambang pemerintah di luar sektor minyak dan gas bumi, batubara, dan timah di era presiden pertama Sukarno.

PT Vale Indonesia adalah perusahaan modal asing kedua yang masuk ke Indonesia setelah PT Freeport Indonesia. Ia menandatangani Kontrak Karya Generasi II dengan pemerintah pada 1968 saat presiden otoriter Soeharto gencar-gencarnya menarik investasi asing ke sektor pertambangan domestik.

PT Weda Bay Nickel adalah perusahaan yang meneken Kontrak Karya Generasi VII menjelang runtuhnya rezim Soeharto dan melalui berbagai perubahan dan ketidakjelasan kebijakan pemerintah, entah terkait penambangan di kawasan hutan atau larangan ekspor mineral mentah.

Bintangdelapan Group adalah perusahaan swasta lokal yang membuka jalan masuknya aliran deras dana investasi, utamanya dari Cina, ke Indonesia setelah bekerja sama dengan produsen baja nirkarat raksasa Tsingshan Holding Group sejak Oktober 2013. Kerja sama ini bagian dari Inisiatif Sabuk dan Jalan (BRI) Cina yang diluncurkan hanya sebulan sebelumnya.

BRI bertujuan membangun “sabuk ekonomi” atau jalur perdagangan darat yang menghubungkan Cina dengan sejumlah wilayah di Asia Tenggara, Asia Selatan, Asia Tengah, dan Eropa serta “jalan maritim” atau jalur perdagangan laut dari wilayah pesisir Cina menuju Asia Tenggara, Asia Selatan, kawasan Pasifik Selatan, Timur Tengah, Afrika Timur, dan Eropa.

Melalui BRI, Cina menyebarkan pengaruhnya dengan menggelontorkan dana berlimpah untuk membangun infrastruktur di berbagai negara, termasuk untuk Kereta Cepat Jakarta-Bandung, bendungan, pembangkit listrik, dan pabrik pengolahan nikel di Indonesia. 

Sejumlah pengamat menilai langkah itu adalah cara Cina mengamankan sokongan politik dari negara-negara dengan ekonomi rentan di Asia-Pasifik melalui jeratan utang proyek.

Alhasil, nilai investasi Cina dan Hong Kong di Indonesia terus melonjak. Dari hanya AS$1,46 miliar pada 2014 hingga menyentuh puncaknya pada 2022 dengan AS$13,7 miliar, sebelum turun menjadi AS$10,8 miliar setahun berselang. Semula Cina dan Hong Kong hanya berkontribusi 5,1% pada total angka penanaman modal asing. Selewat satu dekade, porsinya menyentuh 28,6%.

Sebagai catatan, Hong Kong adalah pintu gerbang bagi berbagai perusahaan Cina untuk berinvestasi di luar negeri. Banyak anak usaha Cina di sana, misalnya, yang dijadikan kendaraan untuk mengelola proyek smelter nikel di Indonesia. 

* * *

SEMULA  yang banyak dibangun di Indonesia adalah smelter berteknologi rotary kiln-electric furnace (RKEF) untuk mengolah bijih nikel melalui tekanan panas menjadi feronikel berkadar rendah atau nickel pig iron (NPI), yang dapat digunakan sebagai bahan produksi baja nirkarat. 

Belakangan muncul pabrik-pabrik berteknologi high-pressure acid leaching (HPAL) yang menggunakan asam sulfat untuk memisahkan senyawa nikel dan kobalt dari bijih nikel laterit. Hasilnya endapan hidroksida campuran (MHP) yang bisa diolah lebih lanjut membuat baterai kendaraan listrik.

Ada 116 proyek smelter nikel di Indonesia pada 2023, termasuk yang telah beroperasi, sedang konstruksi, dan dalam perencanaan. Sebanyak 97 di antaranya adalah smelter RKEF dan 19 lain berteknologi HPAL. Sebagai perbandingan, hanya ada 31 proyek pada 2014.

Imbasnya, kebutuhan bijih nikel untuk diolah 47 smelter yang telah beroperasi pada 2023 saja mencapai 233,5 juta ton, meski saat itu total produksi nikel Indonesia hanya 193 juta ton. Karena itu pemerintah berencana menerapkan moratorium pembangunan smelter nikel baru, khususnya yang berteknologi RKEF, untuk menjaga umur pasokan. 

Namun, masalah dari menjamurnya tambang dan smelter nikel bukan hanya terkait pasokan. 

Operasi tambang nikel di Indonesia disebut telah mengakibatkan deforestasi seluas 78.948 ha sejak 2014. 

Operasi PLTU di Kawasan Industri Morowali di Sulawesi Tengah dan Kawasan Industri Weda Bay di Maluku Utara, misalnya, membuat udara tercemar dan memicu lonjakan kasus infeksi saluran pernapasan akut. Belum lagi masalah pembebasan lahan yang memicu konflik horizontal dan bahkan membuat smelter dibangun di atas tanah masyarakat adat.

Selain itu, investasi di sektor pengolahan sifatnya padat modal, bukan padat karya. Biasanya, banyak pekerja dibutuhkan hanya tahap awal saat konstruksi infrastruktur. Setelahnya, mesin yang bekerja. Sepanjang 2017-2022, angka kemiskinan di Sulawesi Tenggara, misalnya, tetap lebih tinggi dari angka nasional. 

Lalu, muncul pertanyaan: Siapa sesungguhnya yang diuntungkan dari “hilirisasi”?

Kami menelusuri sejarah, struktur kepemilikan, dan jaringan bisnis empat penambang nikel dengan konsesi terbesar di Indonesia. Informasi dan data yang digunakan berasal dari berbagai sumber, termasuk bank data perseroan terbatas Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, portal Minerba One Data Indonesia dan Minerba One Map Indonesia yang dikelola Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, laporan tahunan dan keuangan berbagai perusahaan tambang, riset lembaga swadaya masyarakat, arsip pengadilan, artikel berita, dan lain-lain.

Dari sana terlihat investasi Cina di industri hilir nikel memang begitu dominan. Meski begitu, para pengusaha lokal perlahan mulai muncul dari pinggiran melalui grup bisnis seperti Adaro, Aserra, Bintang Delapan, Harita, Jhonlin, Kalla, Merdeka Copper, Rimau, dan Saratoga.

* * *

1. PT Vale Indonesia

Konsesi tambang nikel PT Vale Indonesia (garis biru) di Sulawesi Selatan, Tenggara, dan Tengah. (Sumber: Portal Minerba One Map Indonesia)

Konsesi nikel CnC: 118.017 ha
Wilayah operasi: Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, dan Sulawesi Tengah
Sumber daya nikel: 300 juta ton
Produksi bijih nikel: 11,55 juta ton (2022)

JEJAK perusahaan ini di Indonesia sudah ada sejak kira-kira seabad lalu, bahkan sebelum kemerdekaan. Semua bermula saat International Nickel Company of Canada (Inco) melakukan eksplorasi nikel di Pulau Sulawesi yang saat itu dikenal Celebes pada 1920-an

Pada masa itu permintaan nikel melonjak untuk memenuhi kebutuhan produksi baja nirkarat dan mobil di dunia Barat, setelah sempat lesu karena berakhirnya Perang Dunia I, saat nikel banyak digunakan untuk membuat berbagai senjata dan kendaraan perang.

Pada 1937, geolog Inco bernama H.R. Elves datang ke Sulawesi melakukan studi endapan nikel laterit. Setelahnya, Inco menjajaki kemungkinan kerja sama dengan Mijnbouw Maatschappij Celebes (MMC), anak usaha penambang swasta Billiton Maatschappij yang mendapatkan izin dari pemerintah Hindia Belanda untuk menambang nikel, besi, kobalt, dan lainnya di Sulawesi. 

Namun, ide kerja sama itu menguap setelah Perang Dunia II pecah pada 1939 dan pendudukan Jepang di Indonesia pada 1942. Jepang mengambil alih operasi MMC dan lantas mengeruk nikel Nusantara untuk mencukupi kebutuhan perang.

Setelah Indonesia merdeka pada 1945, pemerintahan Sukarno menata ulang kebijakan pertambangan. Pemerintah membatalkan izin-izin tambang terbitan Hindia Belanda dan menasionalisasi berbagai perusahaan tambang swasta Belanda di Tanah Air. 

Sukarno juga menutup pintu bagi modal asing dan lebih memilih membangun industri tambang nasional secara mandiri, meski terseok-seok karena terbatasnya modal, tenaga ahli, sarana produksi, dan teknologi.

Semua berubah setelah Soeharto mengambil alih kekuasaan pada Maret 1966. Lewat Undang-Undang Penanaman Modal Asing pada Januari 1967, Indonesia membuka jalan bagi investasi luar negeri di sektor pertambangan melalui Kontrak Karya.

Empat bulan berselang, tender terbuka bagi perusahaan asing menambang nikel di Sulawesi. Sejumlah perusahaan melakukan penawaran termasuk Société Le Nickel asal Prancis, Sumitomo Metal Mining asal Jepang, dan Inco asal Kanada.

Inco jadi pemenang tender. Mendirikan entitas lokal PT International Nickel Indonesia atau PT Inco yang menandatangani Kontrak Karya dengan pemerintah pada 27 Juli 1968. PT Inco mendapat izin menambang di lahan seluas 6,6 juta ha di bagian timur dan tenggara Sulawesi selama 30 tahun sejak fase produksi komersial.

Karena produksi komersial baru dimulai pada 1978, PT Inco berhak menambang hingga 2008. Namun, pada 1996, PT Inco dan pemerintah sepakat memperpanjang durasi Kontrak Karya hingga 28 Desember 2025 dengan sejumlah penyesuaian hak dan kewajiban. Salah satunya konsesi perusahaan menciut jadi 218.530 ha meliputi Sulawesi Selatan, Tenggara, dan Tengah. 

Pada 2010, PT Inco pun mengembalikan sebagian wilayah konsesinya di Sulawesi Tenggara ke pemerintah sehingga area operasinya kembali mengecil jadi 190.509 ha.

Saat Kontrak Karya 1968 diteken, Inco asal Kanada menguasai 98% saham PT Inco, sementara sisa 2% dibagi antara lima perusahaan Jepang: Shimura Kako, Tokyo Nickel, Mitsui & Co, Nissho Iwai Corporation, dan Sumitomo Corporation.

Setelah harga nikel dunia anjlok pada 1985-1986, Inco menjual 20% sahamnya di PT Inco kepada Sumitomo Metal Mining, perusahaan Jepang lainnya, pada 1988. Dua tahun berselang, PT Inco melepas kembali 20% sahamnya ke publik melalui Bursa Efek Indonesia sebagai pemenuhan syarat perpanjangan masa operasi di Indonesia.

Pada 2006, produsen bijih besi asal Brasil Companhia Vale do Rio Doce (CVRD) mengakuisisi Inco. CVRD lantas berganti nama menjadi Vale SA pada 2009, yang diikuti pergantian nama Inco menjadi Vale Canada pada 2010 dan PT Inco menjadi PT Vale Indonesia pada 2011.

Menyusul terbitnya Undang-Undang Pertambangan Mineral dan Batubara 2009, pemerintah berusaha mengutak-atik lagi kontrak PT Vale Indonesia. Kedua pihak meneken amandemen Kontrak Karya pada Oktober 2014 yang membuat konsesi perusahaan kembali menciut menjadi 118.017 ha. 

Perusahaan juga mesti melepas 20% saham lagi ke entitas Indonesia. Ini terwujud pada Oktober 2020 saat induk BUMN tambang PT Mineral Industri Indonesia (Mind ID) mencaplok 14,9% saham Vale Canada dan 5,1% saham Sumitomo Metal Mining di PT Vale Indonesia.

Per 2023, Vale Canada dan Vale Japan mengendalikan 43,79% dan 0,54% saham PT Vale Indonesia, sementara Sumitomo Metal Mining menguasai 15,03% dan Mind ID memegang 20%. Sisanya dimiliki publik lewat Bursa Efek Indonesia.

Namun, komposisi itu akan segera berubah. Pada November 2023, Vale Canada, Sumitomo Metal Mining, dan Mind ID meneken perjanjian awal (HoA) untuk menambah porsi saham Mind ID dan memperpanjang izin operasi PT Vale Indonesia selama 20 tahun sejak berakhirnya Kontrak Karya pada Desember 2025. 

Bila semua berjalan sesuai rencana, Mind ID akan mengontrol 34% saham PT Vale Indonesia, sementara kepemilikan Vale Canada dan Sumitomo Metal Mining bakal mengecil jadi 33,9% dan 11,5%. Publik umum bakal memegang sisanya.

Meski telah berulang kali mengalami penciutan, konsesi PT Vale Indonesia tetap yang terbesar dibandingkan para penambang nikel lain di Indonesia. Rinciannya: 70.566 ha di Sorowako (Sulawesi Selatan); 22.699 ha di Bahodopi (Sulawesi Tengah); 20.286 ha di Pomalaa dan 4.466 ha di Suasua (Sulawesi Tenggara).

Namun, PT Vale Indonesia hanya menguasai sumber daya nikel sejumlah 300 juta ton, tidak sampai seperempat dari sumber daya nikel milik BUMN PT Aneka Tambang yang mencapai 1,31 miliar ton di konsesi seluas 81.424,5 ha.

Sepanjang 2022, PT Vale Indonesia menambang 11,55 juta ton bijih nikel, yang lantas diolah sendiri jadi 60.090 ton nikel dalam matte—produk setengah jadi yang dapat digunakan untuk menghasilkan baja paduan, bahan baku baterai kendaraan listrik, dan lainnya.

Melalui kontrak jangka panjang, setiap tahun PT Vale Indonesia menjual 80% dari seluruh produksi nikel matte-nya ke Vale Canada dan 20% sisanya ke Sumitomo Metal Mining.

Seluruh kegiatan penambangan dan pengolahan perusahaan dilakukan di lahan 7.000 ha di Sorowako. Ini berarti, setelah beroperasi selama lebih dari setengah abad di Sulawesi, perusahaan baru memanfaatkan sekitar 6% dari seluruh konsesinya saat ini. 


Sorowako Dulu & Kini (1990 vs. 2020)


Di tengah kritik atas minimnya pemanfaatan lahan konsesi dan menjelang berakhirnya Kontrak Karya, PT Vale Indonesia menggandeng beberapa mitra pada 2022 untuk pengembangan operasinya.

Pertama, PT Vale Indonesia menjalin kerja sama dengan dua perusahaan Cina, Taiyuan Iron & Steel dan Shandong Xinhai Technology, untuk memulai operasi tambang blok Bahodopi dan membangun pabrik pirometalurgi baru dengan teknologi RKEF di Desa Sambalagi—keduanya di Morowali, Sulawesi Tengah. 

Smelter ini diharapkan mulai berjalan pada 2025 dengan kapasitas produksi tahunan setidaknya 73.000 ton nikel dalam feronikel. Total nilai proyek ini mencapai AS$2,6 miliar (Rp40,2 triliun).

Proyek Morowali itu akan dikelola PT Bahodopi Nickel Smelting Indonesia (BNSI). Taiyuan Iron & Steel, anak usaha BUMN Cina bernama Baowu Steel Group, dan Shandong Xinhai Technology berencana membentuk perusahaan patungan di Singapura, yang bakal menguasai 51% saham PT BNSI. PT Vale Indonesia akan memegang 49% sisanya.

Juga pada 2022, PT Vale Indonesia meneken perjanjian kerja sama dengan produsen bahan baku baterai kendaraan listrik Zhejiang Huayou Cobalt, anak usaha Huayou Holding Group asal Cina, dan produsen mobil Ford Motor asal Amerika Serikat untuk pengembangan tambang dan smelter nikel di Pomalaa dengan nilai investasi AS$3,84 miliar (Rp59,4 triliun). Proyek ini diharapkan rampung pada 2025 dan akan dikelola perusahaan patungan PT Kolaka Nickel Indonesia (KNI).

Mulanya, PT Vale Indonesia akan memegang 18,3% saham PT KNI. Huaqi, unit usaha Zhejiang Huayou Cobalt di Singapura, akan menguasai 73,2% dan Ford Motor bakal mengendalikan 8,5%. Dalam kerja sama ini, PT Vale Indonesia dan Ford Motor memiliki opsi untuk memperbesar porsi saham masing-masing hingga 30% dan 17%.

Rencananya, PT Vale Indonesia menambang dan memasok bijih nikel dari blok Pomalaa ke pabrik hidrometalurgi dengan teknologi HPAL yang dibangun Huaqi. Setiap tahun, pabrik itu bakal memproduksi 120.000 ton nikel dalam bentuk endapan hidroksida campuran (MHP)—bahan baku baterai kendaraan listrik. Sebanyak 84.000 ton di antaranya akan dikirim ke Ford Motor.

Proyek penambangan dan pengolahan nikel terintegrasi di Morowali dan Pomalaa telah masuk daftar Proyek Strategis Nasional (PSN) pada Juli 2022.

Selain itu, PT Vale Indonesia menggandeng Zhejiang Huayou Cobalt untuk mengembangkan operasi tambang blok Sorowako dan membangun smelter nikel HPAL lainnya di Malili, Luwu Timur, Sulawesi Selatan. 

Zhejiang Huayou Cobalt telah mendirikan entitas lokal PT Huali Nickel Indonesia untuk terlibat dalam proyek ini, yang bakal menelan biaya AS$2 miliar (Rp30,9 triliun). Rencananya, smelter akan beroperasi pada 2026 dengan kapasitas produksi 60.000 ton nikel dan 5.000 ton kobalt dalam MHP per tahun.

Dua proyek kerja sama PT Vale Indonesia dengan Zhejiang Huayou Cobalt semakin menguatkan posisi grup Huayou di industri pengolahan nikel Indonesia.

Zhejiang Huayou Cobalt adalah perusahaan inti dalam grup Huayou. Ia berinvestasi di proyek-proyek penambangan dan pengolahan sumber daya alam, termasuk nikel, kobalt, tembaga, dan litium, untuk memproduksi dan menjual bahan baku untuk baterai kendaraan listrik, instalasi penyimpanan energi, produk-produk elektronik, dan lainnya.

Misal, Zhejiang Huayou Cobalt telah mengembangkan operasi tambang dan fasilitas pengolahan kobalt dan tembaga di Kongo, litium di Zimbabwe, dan tentunya nikel di Indonesia. Produknya lantas diolah lebih lanjut, termasuk menjadi bahan katoda terner yang dipasok ke perusahaan baterai global seperti Contemporary Amperex Technology (CATL) dan LG Energy Solution serta menjadi bahan baterai ion litium yang digunakan produsen ponsel pintar semacam Samsung, Apple, dan Huawei.

Huayou kini mengontrol tak langsung 7,55% saham PT Merdeka Battery Materials, pemilik saham mayoritas PT Sulawesi Cahaya Mineral yang memegang konsesi tambang nikel seluas 21.100 ha di Konawe, Sulawesi Tenggara. 

PT Merdeka Battery Materials adalah anak usaha PT Merdeka Copper Gold, perusahaan tambang lokal yang dimiliki bersama sejumlah konglomerat, termasuk Garibaldi “Boy” Thohir, Edwin Soeryadjaya, Sandiaga Uno, dan Winato Kartono. CATL pun tercatat memegang 5% saham PT Merdeka Copper Gold melalui Hong Kong Brunp and Catl.

Huayou pun mengendalikan tak langsung 24% saham PT Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP), pengelola Kawasan Industri Weda Bay di Halmahera Tengah, Maluku Utara, dengan luas area sekitar 5.000 ha per 2022. Tsingshan Holding Group, produsen baja nirkarat asal Cina, mengontrol tak langsung 46% saham PT IWIP.

Anak usaha Huayou dengan kepemilikan 24%, Veinstone Investment, menguasai 90% saham PT Weda Bay Energi, yang mengelola PLTU dengan kapasitas 250 megawatt di kawasan PT IWIP. Sementara 10% saham PT Weda Bay Energi dipegang PT Daya Listrindo Utama, bagian dari Aserra Group yang dikendalikan trio pengusaha Zainal Abidinsyah Siregar, Irawan Sastrotanojo, dan Erwin Sutanto.

Huayou juga mengembangkan dua pabrik pengolahan nikel di kawasan industri PT IWIP melalui dua perusahaan patungan: PT Huafei Nickel Cobalt dan PT Huake Nickel Indonesia.

Per akhir 2023, Huayou secara tak langsung mengendalikan 53% saham PT Huafei, yang membangun smelter HPAL dengan kapasitas produksi 120.000 ton nikel dan 15.000 ton kobalt dalam MHP per tahun. Anak usaha Tsingshan menguasai 30%, dan anak usaha Eve Energy, produsen baterai kendaraan listrik asal Cina, memegang 17% saham PT Huafei.

Sementara itu, Huayou dan Tsingshan masing-masing menguasai secara tak langsung 70% dan 30% saham PT Huake, yang mengelola smelter RKEF di kawasan PT IWIP dengan kapasitas produksi 45.000 ton nikel dalam matte per tahun. Pabrik ini telah beroperasi sejak 2022.

Tsingshan pun menggandeng Bintangdelapan Group sejak 2013 untuk membangun Kawasan Industri Morowali di Sulawesi Tengah dengan luas area sekitar 4.000 ha per 2022. Kawasan ini dikelola PT Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP).

Di kawasan PT IMIP, Huayou punya smelter lain yang diklaim sebagai proyek HPAL terbesar di dunia. Smelter ini dikelola perusahaan patungan PT Huayue Nickel Cobalt. 

Ilustrasi Garibaldi ‘Boy’ Thohir, kakak Menteri BUMN Erick Thohir, taipan batubara yang berbinis nikel lewat PT Merdeka Battery Materials. (Project M/M. Nauval Firdaus)

Per 2023, Huayou mengontrol tak langsung 57% saham PT Huayue, Tsingshan mengendalikan 10%, dan CMOC Group, produsen logam tungsten dan molibdenum asal Cina, menguasai 30%. Sebagai catatan, Tsingshan berencana menjual 10% sahamnya di PT Huayue ke Nickel Industries, perusahaan tambang Australia.

Di luar itu semua, Huayou bersiap membangun Kawasan Industri Pomalaa di Kolaka, Sulawesi Tenggara, dengan rencana luas lahan hingga 11.808 ha. Kawasan ini, yang bakal dikelola PT Indonesia Pomalaa Industry Park (IPIP), telah masuk daftar PSN pada Desember 2022.

Pada 2023, PT IPIP masih berkutat dengan masalah pembebasan lahan karena area kawasan industri itu beririsan wilayah hutan, lahan masyarakat, izin usaha perusahaan lain, serta aset negara. 

Namun, mengingat status kawasan ini sebagai PSN, pemerintah memberi dukungan penuh untuk pembangunannya dan menargetkan kawasan industri ini dapat beroperasi pada triwulan pertama 2024.

Apalagi, kawasan itu diperkirakan bakal menarik investasi awal sejumlah AS$10 miliar (Rp154,3 triliun) dari para penyewanya, yang berencana membangun smelter nikel RKEF dan HPAL, pembangkit listrik tenaga surya, air, dan gas, fasilitas daur ulang baterai, dan lainnya.

Smelter HPAL yang dimaksud akan dikelola PT KNI dan merupakan bagian dari proyek PT Vale Indonesia, Zhejiang Huayou Cobalt, dan Ford Motor yang disebutkan di awal. Karena itu, kerja sama Huayou dengan PT Vale Indonesia menjadi penting karena nama terakhir dapat menjamin pasokan bijih nikel dari tambangnya di blok Pomalaa. 

Selain itu, Huayou mengklaim bisa mendapat pasokan lain dari 29 konsesi di Malili, Sulawesi Selatan, dan 14 konsesi di Pulau Kabaena, Sulawesi Tenggara.

Ilustrasi pengusaha Winato Kartono, yang berkongsi dengan Boy Thohir, Edwin Soeryadjaya, dan Sandiaga Uno lewat PT Merdeka Copper Gold. Di nikel, mereka pakai bendera PT Merdeka Battery Materials. (Project M/M. Nauval Firdaus)

Per 2023, Huayou menguasai 70% saham PT IPIP melalui anak usaha Huaxing Nickel. Sisa 30% dikendalikan PT Rimau New World, perusahaan patungan yang dimiliki bersama oleh PT New World Nikel dan PT Rimau Multi Investama.

Investor Cina bernama Huang Yeping menguasai PT New World Nikel. Ia juga memiliki beberapa perusahaan lain di Indonesia, termasuk PT Wan Xiang New World Resources dan PT Wan Xiang New World Nikel yang mengangkut dan menjual mineral dan batubara. 

Sementara itu, PT Rimau Multi Investama adalah bagian dari Rimau Group milik pengusaha Antonio Yatmiko. Anak-anak usaha Rimau Group bergerak di bidang penambangan, pengangkutan, dan penjualan batubara, dengan luas konsesi setidaknya 6.000 ha di Pulau Kalimantan.

* * *

2. PT Aneka Tambang

Konsesi tambang nikel PT Aneka Tambang (garis biru) di Sulawesi Tenggara, Maluku Utara, dan Papua Barat. (Sumber: Portal Minerba One Map Indonesia)

Konsesi nikel CnC: 81.424,5 ha
Wilayah operasi: Sulawesi Tenggara, Maluku Utara, dan Papua Barat
Sumber daya nikel: 1,31 miliar ton
Produksi bijih nikel: 8,62 juta ton (2022)

PT ANEKA TAMBANG (Antam) adalah produsen nikel utama pemerintah Indonesia di bawah kendali induk BUMN tambang PT Mineral Industri Indonesia (Mind ID). Ia dan anak-anak usahanya memegang 11 konsesi tambang nikel seluas 81.424,5 ha di empat kabupaten berbeda: Kolaka dan Konawe Utara (Sulawesi Tenggara), Halmahera Timur (Maluku Utara), dan Raja Ampat (Papua Barat). Mereka menguasai sumber daya nikel sejumlah 1,31 miliar ton dengan total cadangan 462 juta ton.

Cikal bakal perusahaan ini adalah Badan Pimpinan Umum Perusahaan-perusahaan Tambang Negara (BPU Pertambun). Dibentuk pada 1961 untuk mengelola seluruh perusahaan dan proyek tambang pemerintah di luar sektor minyak dan gas bumi, batubara, dan timah. Ini mencakup PN Tambang Bauksit Indonesia, PN Tambang Emas Cikotok, PN Logam Mulia, PT Nikkel Indonesia, dan sejumlah proyek berbeda. 

Pada 1968, pemerintah melebur BPU Pertambun dan berbagai perusahaan dan proyek tambang di bawahnya menjadi satu entitas baru bernama PN Aneka Tambang, yang berubah jadi PT sejak akhir 1974.

Untuk bisnis nikel, PN Aneka Tambang melanjutkan sejumlah proyek warisan PT Nikkel Indonesia. Salah satunya proyek di Pulau Maniang, Kolaka, yang diambil alih dari PT Pertambangan Toraja. Nama terakhir disebut sempat mengekspor nikel secara ilegal ke Jepang pada 1956-1960, awalnya dengan mengambil timbunan bijih peninggalan pendudukan Jepang sebelum menambang sendiri sejak 1959. Di bawah bendera PT Nikkel Indonesia, pengapalan ke Jepang dilanjutkan kembali.

Pada 1961, Sulawesi Nickel Development Corp alias Sunideco mengajukan diri menambang nikel di Sulawesi. Sunideco adalah gabungan lima perusahaan Jepang: Sumitomo Metal Mining, Nippon Mining, Nippon Yakin Kogyo, Shimura Kako, dan Pacific Metals. Pemerintah Indonesia menolak. Negosiasi dilakukan agar Indonesia bisa menambang sendiri dengan bantuan teknis Sunideco, dan sebagai gantinya akan mendapat pasokan bijih nikel dari Sulawesi.

Diwakili BPU Pertambun, Indonesia lantas meneken perjanjian dengan Sunideco pada akhir 1962. Sunideco bersedia meminjamkan AS$1,35 juta untuk pengembangan tambang nikel di Pomalaa seluas 8.700 ha. Syaratnya, PT Nikkel Indonesia harus memproduksi 120.000 ton bijih nikel per tahun selama tujuh tahun, dan 40% di antaranya bakal diserahkan ke Jepang untuk membayar utang investasi plus bunga. Sisa 60% produksi akan dijual secara komersial. Ini merupakan kerja sama bagi hasil pertama antara Indonesia dan pihak asing di sektor mineral logam.

Pada akhir 1962 juga PT Nikkel Indonesia mulai operasi tambang nikel di Pulau Lemo, berjarak sekitar 12 km dari Pulau Maniang. Penambangan di sana bertahan hingga 1977 dan disebut menghasilkan 147.000 ton bijih nikel.

Dalam waktu 10 tahun setelah Indonesia menggandeng Sunideco, ekspor bijih nikel tahunan dari Pulau Maniang, Pulau Lemo, dan Pomalaa terus meningkat dari hanya 30.950 ton pada 1963 menjadi 838.358 ton pada 1972.

PT Aneka Tambang pun perlahan memperluas wilayah operasinya, termasuk ke Pulau Gebe dan Pulau Gee di Maluku Utara, serta membangun pabrik pengolahan sendiri. Per 2023, perusahaan telah mengoperasikan tiga smelter di Pomalaa dan satu di Tanjung Buli, Halmahera Timur, dengan kapasitas produksi gabungan hingga 40.500 ton nikel dalam feronikel per tahun.


Pomalaa Dulu & Kini (1990 vs. 2020)


Pada 1998, pemerintah Indonesia menjalin kerja sama dengan dua penambang asing. Yang pertama BHP Asia Pacific Nickel, anak usaha Broken Hill Proprietary (BHP) asal Australia, untuk menambang nikel di Pulau Gag, Papua Barat, melalui entitas lokal PT Gag Nikel. Yang kedua Strand Minerals, anak usaha Weda Bay Minerals asal Kanada, untuk menggarap nikel di Pulau Halmahera, Maluku Utara, melalui PT Weda Bay Nickel.

Kontrak Karya antara pemerintah dan PT Gag Nikel dan PT Weda Bay Nickel diteken pada 1998, masing-masing untuk konsesi seluas 13.136 ha dan 45.065 ha. Dari sana PT Antam mendapat 25% saham PT Gag Nikel dan 10% saham PT Weda Bay Nickel tanpa harus menyetor dana (free-carried interests).

Setelah 10 tahun menjalani eksplorasi dan berbagai studi, BHP memutuskan mundur dari proyek Pulau Gag yang dianggap kurang berprospek. Karena itu PT Antam mengambil alih seluruh saham BHP Asia Pacific Nickel pada akhir 2008 sehingga menguasai sepenuhnya PT Gag Nikel. Perusahaan ini tercatat memproduksi bijih nikel pada 2018.

Di sisi lain, perusahaan tambang Perancis, Eramet S.A., mengakuisisi Weda Bay Minerals pada Mei 2006 sehingga memiliki kontrol 90% terhadap PT Weda Bay Nickel melalui Strand Minerals.

Pada 2017, Eramet meneken perjanjian kerja sama dengan Tsingshan Holding Group, produsen baja nirkarat raksasa asal Cina, untuk pengembangan operasi PT Weda Bay Nickel. Imbasnya, Tsingshan mengambil kontrol 57% atas Strand Minerals, sementara sisanya dipegang Eramet. 

Setelah mengamankan pasokan bijih dari PT Weda Bay Nickel, Tsingshan bersama beberapa mitra dari Cina membangun Kawasan Industri Weda Bay di Halmahera Tengah pada 2018. Kawasan ini, yang telah masuk daftar Proyek Strategis Nasional (PSN) sejak November 2020, dikelola PT Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP). Ia memiliki luas area sekitar 5.000 ha per 2022.

Tsingshan kini mengontrol secara tak langsung 46% saham PT IWIP. Dua perusahaan Cina, Zhenshi Holding Group dan Huayou Holding Group, masing-masing menguasai 24%. Sementara produsen baterai Cina Contemporary Amperex Technology (CATL) memegang 6%.

Selewat hampir 22 tahun setelah meneken Kontrak Karya, PT Weda Bay Nickel akhirnya mulai berproduksi pada Oktober 2019. Ia menghasilkan 21 juta ton bijih nikel pada 2022, yang dijual ke berbagai fasilitas pengolahan di sekitarnya, persisnya 17 pabrik RKEF untuk diolah menjadi feronikel dan satu pabrik HPAL yang menghasilkan nikel-kobalt untuk baterai kendaraan listrik.

Bijih nikel juga dikirim ke pabrik RKEF milik PT Weda Bay Nickel sendiri di kawasan PT IWIP, yang mulai beroperasi pada 2020 dan memproduksi 37.000 ton nikel dalam feronikel pada 2022.

Mempertimbangkan pasokan berlimpah nikel Indonesia serta tren pengembangan dan penggunaan kendaraan listrik global, pemerintah membentuk PT Industri Baterai Indonesia (IBC) pada April 2021 untuk membangun industri baterai kendaraan listrik domestik yang terintegrasi dari hulu ke hilir.

Ilustrasi Erick Thohir, Menteri BUMN pemerintahan Jokowi yang mengendalikan induk BUMN tambang MIND ID, termasuk PT Antam. (Project M/M. Nauval Firdaus)

Mind ID mengendalikan langsung 25% saham IBC dan 25% lainnya melalui PT Aneka Tambang. Sementara dua BUMN energi PT Pertamina dan PT PLN memegang masing-masing 25%. Seluruh perusahaan ini ada di bawah pengawasan Erick Thohir, pengusaha sekaligus Menteri BUMN periode 2019-2024.

Kakak Erick, Garibaldi “Boy” Thohir, adalah taipan batubara yang belakangan masuk ke sektor pengolahan nikel dan aluminium untuk bahan baku baterai kendaraan listrik, terutama lewat PT Adaro Minerals Indonesia dan PT Merdeka Battery Materials.

IBC memasang target besar pada 2030 untuk membangun smelter nikel berteknologi RKEF dan HPAL dan berbagai pabrik, termasuk untuk memproduksi bahan baku baterai, baterai kendaraan listrik, serta sepeda motor dan mobil listrik. Ia pun berniat membangun stasiun penukaran baterai dan fasilitas daur ulang baterai.

Untuk itu, Indonesia mulai menggandeng sejumlah mitra asing. Pada pertengahan 2021, pemerintah dan IBC meneken nota kesepahaman dengan perusahaan baterai LG Energy Solution dan produsen mobil Hyundai Motor Group asal Korea Selatan untuk membangun pabrik sel baterai di Karawang, Jawa Barat, senilai AS$1,1 miliar (Rp16,9 triliun). 

PT Aneka Tambang telah menyiapkan anak usaha PT Nusa Karya Arindo yang menguasai konsesi nikel seluas 20.763 ha di Halmahera Timur, sebagai pemasok bijih nikel di proyek ini. Rencananya, konsorsium perusahaan Korea Selatan bakal mengambil alih 49% saham PT Nusa Karya Arindo.

Pada awal 2023, IBC menandatangani perjanjian lain dengan Citaglobal Berhad asal Malaysia untuk pengembangan pabrik sel baterai dan sistem penyimpanan energi berbasis baterai (BESS).

Pada 2022, PT Aneka Tambang pun mengamankan kesepakatan dengan CNGR Advanced Material asal Cina untuk membangun kawasan industri bahan baku baterai di Pomalaa. 

Anak usaha PT Aneka Tambang, PT Kawasan Industri Antam Timur, akan mengelola kawasan itu. CNGR Advanced Material, melalui anak usaha PT Pomalaa New Energy Materials, bakal membangun pabrik nikel matte dengan kapasitas produksi 80.000 ton per tahun yang diharapkan beroperasi pada 2025.

CNGR Advanced Material telah berinvestasi di Indonesia sejak 2021. Mulanya dengan membangun pabrik nikel matte berkapasitas produksi 60.000 ton per tahun di Kawasan Industri Morowali, Sulawesi Tengah. Dengan luas area 4.000 ha per 2022, kawasan itu dikembangkan Tsingshan bersama Bintangdelapan Group, yang terafiliasi dengan pensiunan Letnan Jenderal Sintong Panjaitan, melalui PT Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP).

Pada 2022, CNGR Advanced Material masuk pula ke kawasan industri PT IWIP. Ia berencana mendirikan pabrik nikel matte baru di sana dengan kapasitas produksi 120.000 ton per tahun.

Di tahun yang sama, ia bersama Walsin Lihwa Corp., asal Taiwan dan Jhonlin Group milik pengusaha Andi Syamsuddin  Arsyad (Haji Isam) memulai pembangunan smelter lain di Kawasan Ekonomi Khusus Setangga di Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan, melalui PT Anugerah Barokah Cakrawala. Di tahap awal, smelter ini diharapkan menghasilkan 40.000 ton nikel matte per tahun.

Kembali ke PT Aneka Tambang, BUMN ini meneken perjanjian dengan IBC dan Ningbo Contemporary Brunp Lygend (CBL) pada 2022 untuk pengembangan industri baterai kendaraan listrik domestik. Dari sana, PT Antam sepakat menjual 49% saham anak usahanya, PT Sumberdaya Arindo, ke Hong Kong CBL, anak usaha Ningbo CBL. PT Sumberdaya Arindo memegang konsesi tambang nikel seluas 14.421 ha di Halmahera Timur.

Ningbo CBL dikendalikan tiga perusahaan: Ningbo Brunp Contemporary Amperex, Ningbo Meishan Free Trade Port Ruiting Investment, dan Ningbo Lygend New Energy. 

Andi Syamsuddin Arsyad, lebih dikenal Haji Isam, pemilik Jhonlin Group, punya proyek smelter nikel bersama investor Cina di KEK Tanah Bumbu, Kalsel. (Project M/M. Nauval Firdaus)

Ningbo Brunp Contemporary Amperex adalah anak usaha Contemporary Amperex Technology (CATL), pemasok terbesar baterai kendaraan listrik dunia asal Cina. Ningbo Meishan Free Trade Port Ruiting Investment, yang dimiliki konglomerat Hong Kong bernama Robin Zeng Yuqun, adalah pemegang saham pengendali CATL. Ningbo Lygend New Energy adalah anak usaha Lygend Resources & Technology, perusahaan perdagangan nikel asal Cina yang sebagian sahamnya dikuasai tak langsung oleh CATL.

CATL pun menguasai 5% saham PT Merdeka Copper Gold melalui Hong Kong Brunp and Catl. PT Merdeka Battery Materials, anak usaha PT Merdeka Copper Gold, mengendalikan PT Sulawesi Cahaya Mineral yang memegang konsesi tambang nikel seluas 21.100 ha di Konawe, Sulawesi Tenggara. 

Selain itu, produsen bahan baku baterai kendaraan listrik Zhejiang Huayou Cobalt asal Cina juga memegang 7,55% saham PT Merdeka Battery Materials melalui anak usaha Huayong International.

PT Merdeka Copper Gold adalah perusahaan tambang lokal yang dimiliki bersama sejumlah konglomerat, termasuk Boy Thohir, Edwin Soeryadjaya, Sandiaga Uno, dan Winato Kartono.

Sejak 2018, Lygend Resources & Technology bekerja sama dengan Harita Group membangun smelter nikel HPAL dan RKEF di Pulau Obi di Halmahera Selatan, Maluku Utara. 

Harita Group, yang dikuasai keluarga konglomerat Lim Hariyanto Wijaya Sarwono, memiliki gurita bisnis di sektor pertambangan nikel, bauksit, dan batubara, perkebunan sawit, perkapalan, dan lainnya. Perlu dicatat bahwa Lim Shu Hua (Cheryl), cucu dari Lim Hariyanto, juga memegang tak langsung 16,94% saham Lygend Resources & Technology.

Berdasarkan hasil investigasi Panama Papers yang dirilis Konsorsium Jurnalis Investigasi Internasional (ICIJ) pada 2016, keluarga Lim Hariyanto memiliki beberapa perusahaan yang terdaftar di Seychelles, negara suaka pajak di Samudera Hindia. Anaknya, Lim Gunawan Hariyanto, dan dua cucunya dari Lim Gunawan, Cheryl dan Lim Chuan Loong (Brian), tercatat sebagai pemegang saham Wealth Harvest Family. Cheryl juga memiliki saham dua perusahaan lain: Tryllion dan Sage Corp.

Per 2023, Harita Group memegang lima konsesi tambang nikel seluas 11.498,23 ha di Pulau Obi melalui grup PT Trimegah Bangun Persada dan dua konsesi lain seluas 1.808,9 ha di Konawe dan Konawe Kepulauan melalui PT Gema Kreasi Perdana. Total cadangan dan sumber daya bijih nikel di wilayah operasi PT Trimegah Bangun Persada saja diklaim mencapai 302 juta ton.

Smelter HPAL di Pulau Obi dibangun dalam tiga tahap. Tahap pertama dan kedua dikerjakan PT Halmahera Persada Lygend (HPL), yang 45,1% sahamnya dikontrol PT Trimegah Bangun Persada dan sisanya dipegang Lygend Resources & Technology.

Di dua tahap ini, PT HPL telah membangun tiga lini produksi senyawa nikel-kobalt dengan kapasitas total 55.000 ton per tahun. Untuk itu, PT Trimegah Bangun Persada sepakat memasok minimal 8 juta ton bijih nikel per tahun ke PT HPL hingga Desember 2030.

Selain itu, setiap tahunnya pabrik PT HPL mampu menghasilkan 240.000 ton nikel sulfat yang digunakan untuk produksi prekursor baterai kendaraan listrik. Ekspor perdana nikel sulfat PT HPL ke Cina dilakukan pada Juni 2023.

Pembangunan tahap ketiga saat ini dikerjakan PT Obi Nickel Cobalt (ONC), yang berencana menambah tiga lini produksi baru untuk menghasilkan 65.000 ton senyawa nikel-kobalt per tahun. Ia ditargetkan mulai beroperasi penuh pada triwulan 1 2024.

Ilustrasi Lim Hariyanto, pengusaha Harita Group yang punya tambang nikel di Pulau Obi (Maluku Utara) dan Pulau Wawonii (Sulawesi Tenggara). (Project M/M. Nauval Firdaus)

Lygend Resources & Technology menguasai tak langsung 60% saham PT ONC. Cheryl, cucu dari Lim Hariyanto, mengendalikan 30% lainnya melalui Li Yuen, perusahaan yang berbasis di Singapura. Sisa 10% saham dipegang PT Trimegah Bangun Persada.

Untuk smelter RKEF di Pulau Obi, pembangunan dilakukan dalam dua tahap, yang masing-masing dikerjakan perusahaan patungan PT Halmahera Jaya Feronikel (HJF) dan PT Karunia Permai Sentosa (KPS). Dari sana, akan ada total 20 lini produksi feronikel pada 2025 dengan kapasitas 280.000 ton per tahun.

Lygend Resources & Technology menguasai 36,9% saham PT HJF dan 65% saham PT KPS, sementara sisanya dikendalikan PT Trimegah Bangun Persada.

Seluruh kerja sama Lygend Resources & Technology dan Harita Group tersebut adalah bagian dari rencana jangka panjang untuk membangun Kawasan Industri Pulau Obi dengan luas area sekitar 15.000 ha dan nilai investasi Rp31,3 triliun. Kawasan ini, yang telah masuk daftar PSN sejak November 2020, dikelola PT Dharma Cipta Mulia (DCM). Pada 2023, PT DCM masih berkutat menyiapkan rencana induk dan laporan studi kelayakan untuk proyek ini.

Lygend Resources & Technology mengontrol tak langsung 60% saham PT DCM, sementara sisanya dipegang PT Trimegah Bangun Persada.

* * *

3. PT Weda Bay Nickel

Konsesi tambang nikel PT Weda Bay Nickel (garis biru) di Maluku Utara. (Sumber: Portal Minerba One Map Indonesia)

Konsesi nikel CnC: 45.065 ha
Wilayah operasi: Maluku Utara
Sumber daya nikel: 634,9 juta ton
Produksi bijih nikel: 21,1 juta ton (2022)

PT WEDA BAY NICKEL  adalah usaha bersama BUMN PT Aneka Tambang dan Strand Minerals, masing-masing dengan kepemilikan 10% dan 90%. Strand Minerals mulanya dimiliki Weda Bay Minerals asal Kanada yang menjalankan eksplorasi di Pulau Halmahera, Maluku Utara, sejak 1996.

PT Weda Bay Nickel menandatangani Kontrak Karya Generasi VII dengan pemerintah Indonesia pada 19 Januari 1998 dan mendapat izin 30 tahun untuk menambang nikel di lahan seluas 120.500 ha di Halmahera Tengah dan Halmahera Timur. 

Sejumlah negosiasi dengan pemerintah lantas berujung pada penciutan konsesi perusahaan hingga kini 45.065 ha, dengan perkiraan sumber daya bijih nikel 634,9 juta ton per Januari 2019.

Empat bulan setelah Kontrak Karya diteken, presiden otoriter Soeharto lengser menyusul gerakan reformasi. B.J. Habibie menjabat presiden hingga digantikan Abdurrahman Wahid atau Gus Dur pada Oktober 1999. Kira-kira sebulan sebelum mundur, Habibie menerbitkan Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, yang membuat PT Weda Bay Nickel dan berbagai perusahaan tambang lainnya sakit kepala.

Regulasi itu melarang penambangan terbuka di kawasan hutan lindung. Padahal, konsesi PT Weda Bay Nickel mencakup hutan lindung Ake Kobe seluas 35.155 ha. Karena itu perusahaan menghentikan kegiatan eksplorasinya pada 2001.

PT Weda Bay Nickel bersama 11 perusahaan lain, termasuk PT Freeport Indonesia, PT Vale Indonesia, dan PT Aneka Tambang, bernegosiasi dengan pemerintah agar mendapat pengecualian dengan dalih izin mereka terbit sebelum UU Kehutanan 1999. Usaha mereka berhasil. Pemerintah mengamandemen UU itu pada 2004 sehingga mereka bisa kembali beroperasi.

Pada Mei 2006, perusahaan tambang Perancis, Eramet S.A., mengakuisisi Weda Bay Minerals, sehingga memiliki kontrol 90% terhadap PT Weda Bay Nickel melalui Strand Minerals. Tergiur potensi besar nikel di Halmahera, Mitsubishi Corp., membeli 33,4% saham Strand Minerals pada Februari 2009.

Empat bulan berselang, pemerintah menyetujui dokumen analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL) PT Weda Bay Nickel, meski proses pembuatannya diduga cacat prosedur. 

Misal, di tahap konsultasi publik, perwakilan komunitas adat Sawai yang tinggal di wilayah konsesi perusahaan baru mendapat dokumen ratusan halaman untuk dipelajari sesaat sebelum pertemuan berlangsung. Alhasil, komunitas adat setempat tidak memahami seutuhnya isi dokumen dan bahkan tidak tahu kegiatan pertambangan bakal menggusur lahan perkebunan.

Setelah AMDAL beres, dimulailah proses negosiasi panjang untuk mengakuisisi lahan ulayat di wilayah konsesi PT Weda Bay Nickel. Tawaran harga Rp7.000-8.000 per meter persegi dari perusahaan mulanya ditolak. Namun, setelah terjadi kekerasan horizontal dan kriminalisasi, perusahaan perlahan berhasil mengambil alih lahan dan ruang hidup masyarakat setempat.

Krisis ekonomi di Eropa dan kelebihan pasokan nikel membuat harga nikel dunia anjlok sehingga banyak perusahaan tambang merugi besar di 2013, termasuk Eramet. Ini kemudian memicu Eramet, Mitsubishi, dan Pacific Metals (yang membeli 3,4% saham Strand Minerals dari Mitsubishi pada 2011) menunda investasinya di proyek tambang Halmahera. 

Faktor lain yang tak kalah penting adalah rencana Indonesia melarang ekspor bijih nikel mulai awal 2014 untuk mendorong pengembangan industri pengolahan hasil tambang domestik.

Situasi tak menentu akhirnya membuat Mitsubishi dan Pacific Metals mundur dari proyek tambang Halmahera. Mereka menjual kembali seluruh sahamnya di Strand Minerals sejumlah 33,4% ke Eramet pada April 2016.

Titik cerah bagi Eramet baru terlihat setahun berikutnya. Pada 11 Januari 2017, Indonesia melonggarkan larangan ekspornya dan mengizinkan komoditas tertentu dijual ke luar negeri, termasuk bijih nikel dengan kadar di bawah 1,7%. Salah satu syaratnya, perusahaan harus membangun smelter baru di Indonesia dalam waktu lima tahun.

Pada 2017, Eramet meneken perjanjian kerja sama dengan Tsingshan Holding Group, produsen baja nirkarat raksasa asal Cina, untuk menghidupkan kembali PT Weda Bay Nickel. Tsingshan resmi mengambil kontrol 57% atas Strand Minerals, sementara sisanya dipegang Eramet.

Setelah mengamankan pasokan bijih dari PT Weda Bay Nickel, Tsingshan bersama beberapa mitra dari Cina lantas membangun Kawasan Industri Weda Bay di Halmahera Tengah pada 2018

Kawasan ini, yang telah masuk daftar Proyek Strategis Nasional (PSN) sejak November 2020, dikelola PT Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP). Ia diperkirakan bakal menarik investasi senilai AS$15 miliar (Rp232,9 triliun) hingga 2024 dan memiliki luas area sekitar 5.000 ha per 2022.


Teluk Weda Dulu & Kini (2000 vs. 2020)


Per 2023, Tsingshan mengontrol 46% PT IWIP melalui anak usaha Perlux Technology. Dua perusahaan Cina, Zhenshi Holding Group dan Huayou Holding Group, masing-masing menguasai 24% PT IWIP lewat anak usaha Hong Kong Cornerstone Investment dan Huachuang International Investment. Ada pula Contemporary Amperex Technology (CATL), produsen baterai Cina, dengan 6% kendali atas PT IWIP melalui anak usaha Hong Kong Brunp and Catl.

Berdasarkan studi Perkumpulan Aksi Ekologi dan Emansipasi Rakyat yang dirilis pada Juli 2023, penambangan nikel dan pembangunan kawasan industri PT IWIP telah menimbulkan berbagai masalah sosial, lingkungan, dan kesehatan, terutama di empat desa di Halmahera Tengah: Lelilef Sawai, Lelilef Woebulen, Gemaf, dan Sagea.

Meski begitu, Tsingshan dan Eramet justru terlihat makin gencar mengembangkan proyek Halmahera. 

Eramet menargetkan PT Weda Bay Nickel untuk menaikkan produksi bijih nikel hingga 30 juta ton pada 2023. PT IWIP pun dilaporkan terus berekspansi hingga luas kawasan industrinya mencapai 15.000 ha.

Pada 2022, Eramet mendirikan badan hukum lokal PT Eramet Indonesia Mining dan mulai menjalankan eksplorasi untuk mencari lahan pertambangan baru di Indonesia. Bersama BASF, raksasa bahan kimia Jerman, Eramet berencana membangun pabrik HPAL baru dengan perkiraan biaya AS$2,6 miliar (Rp40,4 triliun) di Halmahera, yang bakal memproduksi nikel-kobalt untuk baterai kendaraan listrik.

Pada 2023, Eramet berkongsi dengan Kalla Group milik pengusaha dan mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla untuk membentuk PT Eramet Bumi Sulawesi. Data Kementerian Hukum dan HAM menunjukkan perusahaan ini bergerak di bidang pertambangan bijih nikel, dengan 70% saham dikuasai PT Eramet Indonesia Mining dan 30% dikendalikan PT Bumi Mining Lestari, bagian dari Kalla Group. 

Pada Juli 2023, Kalla Group meneken perjanjian dengan Eramet, perusahaan baterai PowerCo S.E. milik Volkswagen Group asal Jerman, dan perusahaan otomotif Stellantis N.V. asal Belanda untuk membangun Pusat Kendaraan Listrik Ramah Lingkungan (RGEV) di Indonesia. 

Ilustrasi Jusuf Kalla, pengusaha Kalla Group, punya bisnis tambang bijih nikel dan berkongsi dengan investor Eropa membangun pusat kendaraan listrik. (Project M/M. Nauval Firdaus)

Tsingshan pun bekerja sama dengan Bintangdelapan Group milik pengusaha Halim Mina sejak 2013 untuk mengembangkan Kawasan Industri Morowali di Sulawesi Tengah yang dikelola PT Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP). Kawasan ini diklaim telah menarik investasi hingga AS$20,93 miliar (Rp324,4 triliun) dengan luas area 4.000 ha per 2022.

Pensiunan Letnan Jenderal Sintong Panjaitan menjabat komisaris utama di sejumlah perusahaan kunci dalam Bintangdelapan Group. Ia juga komisaris PT Adimitra Baratama Nusantara, penambang batubara di Kalimantan Timur yang dikendalikan PT TBS Energi Utama milik Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan. PT TBS Energi Utama belakangan bekerja sama dengan PT GoTo (Gojek-Tokopedia) melalui usaha patungan PT Energi Kreasi Bersama (Electrum) untuk membangun pabrik sepeda motor listrik domestik di Cikarang, Jawa Barat.

Zhejiang Huayou Cobalt, anak usaha Huayou yang menguasai 24% PT IWIP, juga bekerja sama dengan PT Vale Indonesia untuk mengembangkan dua smelter HPAL baru, masing-masing di Kolaka (Sulawesi Tenggara) dan Luwu Timur (Sulawesi Selatan). 

Huayou juga menggandeng Tsingshan untuk membangun satu pabrik RKEF dan satu pabrik HPAL di kawasan PT IWIP serta satu fasilitas HPAL di kawasan PT IMIP.

Di luar itu semua, Huayou bersiap membangun Kawasan Industri Pomalaa di Kolaka dengan rencana luas lahan hingga 11.808 ha. Kawasan ini, yang bakal dikelola PT Indonesia Pomalaa Industry Park (IPIP), telah masuk daftar PSN sejak Desember 2022 dan diperkirakan bakal menarik investasi awal sejumlah AS$10 miliar (Rp154,3 triliun).

Huayou menguasai 70% saham PT IPIP melalui anak usaha Huaxing Nickel. Sisa 30% dikendalikan PT Rimau New World, perusahaan patungan yang dikendalikan bersama oleh investor Cina bernama Huang Yeping dan Rimau Group milik pengusaha Antonio Yatmiko. Anak-anak usaha Rimau Group banyak bergerak di bidang penambangan batubara dengan luas konsesi setidaknya 6.000 ha di Pulau Kalimantan.

Huayou juga mengontrol tak langsung 7,55% saham PT Merdeka Battery Materials, pemilik saham mayoritas PT Sulawesi Cahaya Mineral yang memegang konsesi tambang nikel seluas 21.100 ha di Konawe, Sulawesi Tenggara. 

PT Merdeka Battery Materials adalah anak usaha PT Merdeka Copper Gold, perusahaan tambang lokal yang dimiliki bersama sejumlah konglomerat termasuk Garibaldi “Boy” Thohir, Edwin Soeryadjaya, Sandiaga Uno, dan Winato Kartono. CATL asal Cina pun tercatat memegang tak langsung 5% saham PT Merdeka Copper Gold.

Di sisi lain, Zhenshi yang mengontrol 24% PT IWIP menguasai 70% saham PT Fajar Bhakti Lintas Nusantara, penambang nikel di Pulau Gebe, Halmahera Tengah. Sebesar 30% saham PT Fajar Bhakti dikendalikan PT Halmahera Sentra Mineral, penambang pasir besi di Halmahera Utara milik keluarga pasangan pengusaha Agung Dewa Chandra dan Maria Chandra Pical. Keluarga ini juga mengontrol PT Gebe Sentra Nikel, penambang nikel lainnya di Pulau Gebe.

Bisnis pasangan ini tampak sedang bermasalah. Izin PT Halmahera Sentra Mineral untuk menambang pasir besi sempat mendapat status clean and clear (CnC) atau tidak menyalahi aturan pertambangan, tapi dibatalkan pemerintah pada 2011

Badan Koordinasi Penanaman Modal pun mencabut izin usaha pertambangan PT Gebe Sentra Nikel pada April 2022 dan PT Fajar Bhakti pada September 2023. Bahkan, Maria disebut sempat memberi gratifikasi Rp250 juta kepada mantan Wali Kota Ambon Richard Louhenapessy pada 2011-2022.

Perusahaan lain, PT Daya Listrindo Utama, tercatat sebagai pemegang saham di dua perusahaan yang terafiliasi dengan PT IWIP. Ia menguasai 51% PT Weda Bay Port yang mengelola pelayanan pelabuhan serta 10% PT Weda Bay Energi yang mengelola PLTU dengan kapasitas 250 megawatt di kawasan industri PT IWIP.

PT Daya Listrindo Utama adalah bagian dari Aserra Group, yang dikendalikan trio pengusaha Zainal Abidinsyah Siregar, Irawan Sastrotanojo, dan Erwin Sutanto. Anak-anak usaha Aserra Group bergerak di bidang eksplorasi dan eksploitasi minyak dan gas bumi, penambangan batubara dan nikel, perkebunan kelapa sawit, penyewaan properti, produksi kendaraan listrik, dan lainnya.

Ilustrasi Sandiaga Uno, pemilik Adaro, lewat bendera PT Merdeka Copper Gold, berkongsi dengan Winato Kartono, Boy Thohir, dan Edwin Soeryadjaya. Di nikel, mereka pakai bendera PT Merdeka Battery Materials. (Project M/M. Nauval Firdaus)

Salah satu anak usaha Aserra Group adalah PT Citra Lampia Mandiri, penambang nikel dengan area konsesi seluas 2.660 ha di Luwu Timur. Sebesar 59,5% saham perusahaan ini dipegang Junaidi, orang dekat sekaligus kuasa hukum Andi Syamsuddin  Arsyad atau Haji Isam. Nama terakhir adalah pengusaha asal Kalimantan Selatan sekaligus pemilik Jhonlin Group, yang memiliki jejaring bisnis di sektor penambangan batubara, perkebunan kelapa sawit dan karet, penerbangan, dan lainnya.

Haji Isam menguasai secara tak langsung mayoritas saham PT Citra Lampia Mandiri setelah dilaporkan membantu proses mediasi dan memenangkan Zainal dalam sengketa kepemilikan perusahaan melawan kubu Helmut Hermawan. Dalam proses sengketa rumit itu, Helmut diduga menyuap mantan Wakil Menteri Hukum dan HAM Edward Omar Sharif Hiariej dengan total uang Rp8 miliar untuk menjaga kepentingannya.

Anak usaha Aserra Group lain, PT Nusajaya Persadatama Mandiri, memegang izin untuk menambang nikel di lahan seluas 1.825 ha di Morowali. Ada pula PT Alessa Motors Nusantara yang memproduksi baterai dan sepeda motor listrik.

* * *

4. Bintangdelapan Group

Konsesi tambang nikel (status clean & clear) Bintangdelapan Group (garis biru) di Sulawesi Tengah. (Sumber: Portal Minerba One Map Indonesia)

Konsesi nikel CnC: 27.144 ha
Konsesi nikel non-CnC: 25.262 hektare
Wilayah operasi: Sulawesi Tengah
Sumber daya nikel: N/A
Produksi bijih nikel: 4,5 juta ton (2016)

 

BAGI PEMERINTAHAN Presiden Joko Widodo, Bintangdelapan Group adalah bagian penting dalam kisah sukses menarik investasi Cina ke Indonesia terutama di sektor penambangan dan pengolahan nikel.

Per akhir 2023, anak-anak usaha Bintangdelapan Group menguasai setidaknya enam konsesi tambang nikel dengan luas total 52.406 ha di Morowali, Sulawesi Tengah. 

Penambang utama grup ini adalah PT Bintangdelapan Mineral dengan konsesi 20.765 ha. Ada pula lahan 6.379 ha yang dikendalikan tiga entitas berbeda: PT Kencana Nusantara Sakti, PT Kencana Bumi Mineral, dan PT Nusa Mineral Semesta.

PT Bintangdelapan Energi juga memegang izin untuk menggarap nikel di lahan 4.902 ha. Izin ini sebenarnya sempat dihentikan pada 18 Februari 2022. Ia adalah bagian dari 2.078 izin usaha pertambangan (IUP) dengan luas total 3,2 juta ha yang rencananya dicabut Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) pada periode Januari-April tahun tersebut. 

Salah satu alasan pencabutannya adalah para pemegang IUP dianggap tidak produktif karena tidak pernah mengurus rencana kerja dan menjalankan kegiatan pertambangan. Bahkan ada yang hanya menggunakannya sebagai jaminan di bank.

PT Bintangdelapan Energi menggugat BKPM ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta pada Juni 2022 dan dinyatakan menang pada November. Alhasil, BKPM mesti menghidupkan kembali IUP perusahaan. BKPM sempat mengajukan banding dan kasasi pada 2023, tapi sia-sia.

Meski begitu, hingga Januari 2024, izin perusahaan belum masuk daftar IUP resmi yang dianggap memenuhi ketentuan pemerintah (berstatus clean and clear atau CnC).

Selain itu, PT Bintangdelapan Wahana memegang konsesi lahan 20.360 ha, juga di Morowali. Namun, ia tumpang tindih dengan area operasi beberapa penambang lain, sehingga para perusahaan terkait saling menggugat secara hukum dan izin untuk lahan itu pun kini berstatus non-CnC.

Bos utama Bintangdelapan Group adalah pengusaha Halim Mina. Secara langsung dan tak langsung, ia menguasai mayoritas saham para penambang nikel di grup dan sebagian saham entitas patungan PT Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP), yang mengelola Kawasan Industri Morowali dengan luas area 4.000 ha per 2022.

Sementara itu, pensiunan Letnan Jenderal Sintong Panjaitan ditempatkan sebagai komisaris utama di sejumlah perusahaan kunci: PT Bintang Delapan Capital, PT Bintang Delapan Investama, PT Bintangdelapan Energi, PT Bintangdelapan Wahana, dan PT Bintangdelapan Mineral.

Sintong juga menjabat komisaris PT Adimitra Baratama Nusantara, penambang batubara di Kalimantan Timur. Perusahaan ini dikendalikan PT TBS Energi Utama milik Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan. PT TBS Energi Utama belakangan bekerja sama dengan PT GoTo (Gojek-Tokopedia) melalui usaha patungan PT Energi Kreasi Bersama (Electrum) untuk membangun pabrik sepeda motor listrik domestik di Cikarang, Jawa Barat. 

Ilustrasi Halim Mina, bos Bintangdelapan Group, yang menguasai industri smelter nikel PT Indonesia Morowali Industrial Park. (Project M/M. Nauval Firdaus)

Halim semula mendirikan Bintangdelapan Group pada 1994 sebagai kendaraan bisnis perdagangan pupuk. Meski sempat menghadapi krisis ekonomi Asia pada akhir 1990-an, bisnisnya terus berkembang hingga pada 2001 mengambil alih sebagian besar saham PT Dover Chemical, perusahaan petrokimia tempat ia pernah bekerja sebelumnya.

Halim mencoba peruntungan di bisnis tambang setelah perusahaannya mendapatkan izin eksplorasi di Konawe, Sulawesi Tenggara, pada 2003. Empat tahun kemudian, enam entitas Bintangdelapan Group, termasuk PT Bintangdelapan Mineral dan PT Bintangdelapan Energi, berhasil mengamankan konsesi dengan luas total 20.397 ha dari Bupati Konawe saat itu. Saat itu bupati berwenang memberi izin setelah terbitnya Undang-Undang Pemerintahan Daerah 2004.

Pada Januari 2010, enam izin berbeda itu digabung jadi satu di bawah bendera PT Bintangdelapan Wahana. 

Tujuh bulan berselang, pemerintah mengubah batas wilayah Sulawesi Tengah dan Sulawesi Tenggara sehingga area operasi PT Bintangdelapan Wahana masuk ke Morowali, Sulawesi Tengah. Otoritas penerbitan IUP pun bergeser dari Bupati Konawe ke Bupati Morowali, yang lantas merevisi luas konsesi perusahaan menjadi 20.360 ha pada Juli 2014.

Tak lama, perusahaan menyadari wilayah konsesinya tumpang tindih dengan area operasi PT Persadatama Inti Jaya Mandiri, PT Daya Inti Mineral, PT Artha Bumi Mining, PT Daya Sumber Mining Indonesia, PT Morindo Bangun Sejahtera, dan PT Hengjaya Nickel Utama. Masalahnya, izin PT Bintangdelapan Wahana diterbitkan Bupati Konawe pada 2007, sementara kuasa pertambangan enam entitas lain diterbitkan Bupati Morowali pada periode 2008-2009.

Imbasnya, Bupati Morowali mencabut IUP PT Bintangdelapan Wahana pada November 2014. Namun, sejak Oktober tahun itu, otoritas penetapan IUP telah bergeser kembali dari bupati ke gubernur karena terbitnya Undang-Undang Pemerintahan Daerah baru. Gubernur Sulawesi Tengah kemudian membatalkan keputusan Bupati Morowali pada Desember 2015. PT Bintangdelapan Wahana bisa bernapas lega, tapi hanya sementara.

Untuk menyelesaikan masalah tumpang tindih lahan konsesi, Gubernur Sulawesi Tengah menciutkan luas wilayah operasi tiap perusahaan pada Mei 2016. Karena itu, area PT Bintangdelapan Wahana hanya tersisa 12.300 ha. Inilah yang memicu berbagai perusahaan itu menggugat gubernur di pengadilan sembari saling menyerang satu sama lain.

Area konsesi 6 perusahaan tambang yang tumpang tindih di Morowali, Sulawesi Tengah. (Sumber: Direktori Putusan Mahkamah Agung)
Area konsesi enam perusahaan tambang di Morowali, Sulawesi Tengah, setelah penciutan pada Mei 2016. (Sumber: Direktori Putusan Mahkamah Agung)

Sengketa konsesi ini berlarut-larut. PT Bintangdelapan Wahana menggugat Gubernur Sulawesi Tengah dan perusahaan-perusahaan terkait (kecuali PT Hengjaya Nickel Utama) ke PTUN Palu pada Agustus 2016. Ia meminta agar penciutan area konsesi dibatalkan dan IUP untuk lahan 20.360 ha diterbitkan lagi. Selewat setahun, gugatan PT Bintangdelapan Wahana dikabulkan.

Pada Juli 2017, gubernur dan lima perusahaan lain mengajukan banding ke PTUN Makassar yang kembali memenangkan PT Bintangdelapan Wahana. Pengajuan kasasi ke Mahkamah Agung pun ditolak pada Maret 2018, tapi peninjauan kembali dikabulkan pada November 2021. 

Imbasnya, gugatan awal PT Bintangdelapan Wahana ditolak. Namun, nama terakhir mengajukan peninjauan kedua pada Januari 2023 dan menang lagi empat bulan berselang.

Selama proses hukum berlangsung, Bintangdelapan Group terus mengembangkan operasinya di Morowali.

Pada 2010, PT Bintangdelapan Mineral mulai memproduksi dan mengekspor bijih nikel ke Tsingshan Holding Group, produsen baja nirkarat raksasa asal Cina. Setelah terbitnya Undang-Undang Pertambangan Mineral dan Batubara 2009, yang mengatur larangan ekspor mineral mentah (termasuk bijih nikel) mulai awal 2014, Bintangdelapan Group mencium peluang baru. Ia mengajak Tsingshan untuk bekerja sama mendirikan pabrik pengolahan di Morowali.

Pemerintah menyambut baik rencana itu. Bintangdelapan Group dan Tsingshan lalu resmi meneken perjanjian kerja sama untuk membangun Kawasan Industri Morowali pada 3 Oktober 2013 di Indonesia di tengah kunjungan Presiden Cina Xi Jinping.

Selewat 10 tahun, kawasan itu diklaim berhasil menarik investasi hingga AS$20,93 miliar (Rp324,4 triliun). 

Ilustrasi Menteri Koordinator Maritim & Investasi Luhut Pandjaitan, pemilik PT TBS Energi Utama. Berkongsi dengan PT GoTo, di bawah bendera PT Energi Kreasi Bersama (Electrum), perusahaan Luhut membangun pabrik sepeda motor listrik domestik di Cikarang. (Project M/M. Nauval Firdaus)

Ada 52 penyewa yang telah membangun pabrik di sana. Mereka terbagi ke tiga klaster industri. Pertama, klaster baja nirkarat dengan kapasitas produksi 4 juta ton per tahun, dengan tambahan produksi 3 juta ton gulungan baja panas (HRC) dan 1,1 juta ton gulungan baja dingin (CRC). 

Kedua, klaster baja karbon dengan kapasitas 4,8 juta ton per tahun. Ketiga, klaster komponen baterai kendaraan listrik yang menghasilkan 120.000 ton nikel-kobalt dan 120.000 ton nikel sulfida per tahun.

Salah satu penyewa di sana adalah PT Indonesia Tsingshan Stainless Steel (ITSS), yang tungku smelternya meledak pada 24 Desember 2023 dan menewaskan setidaknya 21 pekerja dan membuat 38 pekerja cedera. Ini hanyalah satu dari lebih dari 20 kecelakaan kerja yang terjadi di Kawasan Industri Morowali sepanjang tahun itu.

Tsingshan memegang langsung 51% saham PT ITSS dan 29% secara tak langsung melalui dua unit usahanya, Ruipu Technology Group dan Tsingtuo Group. Sisa 20% dibagi rata antara PT IMIP dan perusahaan perdagangan Hanwa asal Jepang.

Sementara itu, Tsingshan menguasai secara tak langsung 66,25% saham PT IMIP yang mengelola Kawasan Industri Morowali. Sisa 33,75% dikendalikan PT Bintang Delapan Investama, entah secara langsung maupun tak langsung.


Morowali Dulu & Kini (2000 vs. 2020)


Setelah sukses bermitra dengan Bintangdelapan Group, Tsingshan terus melebarkan sayapnya di Indonesia. 

Pada 2017, atau dua tahun setelah smelter pertama di kawasan PT IMIP diresmikan, Tsingshan meneken perjanjian kerja sama dengan perusahaan tambang Perancis Eramet S.A. untuk pengembangan operasi PT Weda Bay Nickel. Nama terakhir menguasai konsesi seluas 45.065 ha di Halmahera Tengah dan Halmahera Timur, Maluku Utara, dengan kandungan sumber daya bijih nikel mencapai 634,9 juta ton.

Dari sana, Tsingshan mengambil kontrol 57% atas Strand Minerals, yang memegang 90% saham PT Weda Bay Nickel. Bersama beberapa mitra dari Cina, Tsingshan lantas membangun Kawasan Industri Weda Bay di Halmahera Tengah pada 2018. Kawasan ini dikelola PT Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP). Ia diperkirakan bakal menarik investasi senilai AS$15 miliar (Rp232,9 triliun) hingga 2024 dan memiliki luas area sekitar 5.000 ha per 2022.

Per 2023, Tsingshan mengontrol 46% saham PT IWIP melalui anak usaha Perlux Technology. Dua perusahaan Cina, Zhenshi Holding Group dan Huayou Holding Group, masing-masing menguasai tak langsung 24% saham PT IWIP. Sisa 6% dipegang Contemporary Amperex Technology (CATL), produsen baterai asal Cina.

Tsingshan dan Huayou juga berinvestasi di beberapa pabrik pengolahan nikel. Mereka sedang membangun dua smelter di kawasan PT IWIP, masing-masing berteknologi HPAL dan RKEF, melalui entitas patungan PT Huafei Nickel Cobalt dan PT Huake Nickel Indonesia.

Di kawasan PT IMIP, Huayou punya smelter lain yang diklaim sebagai proyek HPAL terbesar di dunia. Smelter ini dikelola perusahaan patungan PT Huayue Nickel Cobalt. Per 2023, Huayou mengontrol tak langsung 57% saham PT Huayue, Tsingshan mengendalikan 10%, dan CMOC Group, produsen logam tungsten dan molibdenum asal Cina, menguasai 30%.

Tsingshan berencana menjual 10% sahamnya di PT Huayue ke Nickel Industries, perusahaan tambang Australia. Nickel Industries menguasai 80% saham PT Hengjaya Mineralindo, yang memegang konsesi tambang nikel seluas 5.983 ha di Morowali.

Sisa 20% dimiliki keluarga pengusaha Adi Wijoyo, yang juga punya saham di perusahaan tambang nikel PT Erabaru Timur Lestari dan PT Genba Multi Mineral. Dua perusahaan itu memegang konsesi dengan luas total 4.903 ha di Morowali dan Morowali Utara.

Per 2022, Nickel Industries memiliki tiga smelter RKEF di kawasan PT IMIP dan satu lainnya di kawasan PT IWIP. Sebagian kebutuhan bijih nikel saprolit untuk pabrik RKEF di kawasan PT IMIP dibeli dari PT Hengjaya Mineralindo. Nama terakhir juga memasok bijih nikel limonit untuk smelter HPAL milik PT Huayue.

Nickel Industries pun telah mengamankan kesepakatan pada 2022 untuk menjual bijih nikel limonit produksi PT Hengjaya Mineralindo ke PT QMB New Energy Materials, yang mengoperasikan smelter HPAL di Kawasan Industri Morowali. PT QMB New Energy Materials adalah entitas patungan yang dimiliki bersama oleh PT IMIP, Tsingshan, CATL, perusahaan daur ulang baterai GEM asal Cina, produsen bahan baku baterai EcoPro asal Korea Selatan, dan Hanwa asal Jepang.

Tsingshan, Huayou, CATL, dan GEM juga terafiliasi dengan PT Merdeka Copper Gold, perusahaan tambang lokal yang dimiliki bersama sejumlah konglomerat, termasuk Garibaldi “Boy” Thohir, Edwin Soeryadjaya, Sandiaga Uno, dan Winato Kartono. 

Ilustrasi Edwin Soeryadjaya, pemilik Saratoga, yang berkongsi dengan Winato Kartono, Boy Thohir, dan Sandiaga Uno lewat PT Merdeka Copper Gold. Di nikel, mereka pakai bendera PT Merdeka Battery Materials. (Project M/M. Nauval Firdaus)

CATL memegang 5% saham PT Merdeka Copper Gold, yang menguasai 50,03% saham PT Merdeka Battery Materials. Nama terakhir juga dikendalikan oleh Huayou, dengan kepemilikan saham tak langsung sebesar 7,55%.

PT Merdeka Battery Materials mengakuisisi 51% saham PT Sulawesi Cahaya Mineral dari J&P Group pada Maret 2022. Tsingshan pun menguasai tak langsung 49% saham PT Sulawesi Cahaya Mineral, yang memegang konsesi untuk lahan 21.100 ha di Konawe dengan sumber daya nikel mencapai 1,14 miliar ton.

Selain itu, PT Merdeka Battery Materials dan Tsingshan memiliki sejumlah entitas patungan yang mengoperasikan tiga smelter RKEF untuk menghasilkan feronikel berkadar rendah (NPI) dan satu pabrik untuk memproduksi nikel matte berkadar tinggi di Kawasan Industri Morowali. 

Ia pun telah meneken kesepakatan dengan CATL dan GEM pada 2023 untuk membangun dua smelter HPAL baru, dan sedang membangun pabrik lain bersama Tsingshan untuk menghasilkan pelet besi, tembaga, emas dan perak, serta asam sulfat dan uap.

Di luar itu semua, Tsingshan dan PT Merdeka Battery Materials berniat mengulang kesuksesan PT IMIP dan PT IWIP dengan membangun kawasan industri baru di Konawe dengan luas 3.854,37 ha melalui entitas patungan PT Indonesia Konawe Industrial Park (IKIP)

Rencananya, kawasan IKIP akan jadi pusat smelter HPAL yang bijih nikelnya bakal dipasok oleh PT Sulawesi Cahaya Mineral. Perlu dicatat, proyek ini berbeda dengan Kawasan Industri Konawe yang dikelola PT Virtue Dragon Nickel Industrial Park.


Catatan: Pada visualisasi gurita oligark nikel, arahkan kursor ke setiap lingkaran untuk menampilkan info koneksi. Tekan dan geser lingkaran sesuka hati untuk mendapatkan gambaran koneksi lebih jelas.

Baca laporan lain kami dalam serial #HilirisasiOligarki:

Terima kasih sudah membaca laporan dari Project Multatuli. Jika kamu senang membaca laporan kami, jadilah Kawan M untuk mendukung kerja jurnalisme publik agar tetap bisa telaten dan independen. Menjadi Kawan M juga memungkinkan kamu untuk mengetahui proses kerja tim Project Multatuli dan bahkan memberikan ide dan masukan tentang laporan kami. Klik di sini untuk Jadi Kawan M!

Liputan Terkait
Fahri Salam
46 menit